Cari Blog Ini

18 Mei 2005

PREDESTINASI

Banyak orang Kristen yang bertanya-tanya tentang sebuah doktrin, yaitu
doktrin predestinasi. Apa maksudnya? Bagaimana akibatnya? Tidak
habis-habisnya pertanyaan diajukan, dengan berbagai jawaban yang sering
membingungkan. Sejarah perdebatan doktrin predestinasi telah dimulai
lama sekali, sejak jaman Augustinus berdebat dengan Pelagius. Augustinus
mengungkapkan bahwa predestinasi merupakan penetapan Allah bahwa ada
sebagian orang yang terpilih untuk diselamatkan dan sisanya dibinasakan,
sehingga disebut double-predestination (election & reprobation) absolut.
Pelagius tidak mempercayai hal ini, karena menurutnya manusia bebas
memilih jalan hidupnya, yang akan menentukan jalan hidupnya - bukan
merupakan keputusan Allah dari semula.

Baik Augustinus dan Pelagius membahas hal tentang pengetahuan tentang
masa depan (foreknowledge) dan penetapan sejak semula (foreordaination).
Bagi Augustinus, pada Allah ada penetapan sejak semula tentang apa yang
akan terjadi pada manusia, sedang Pelagius berpendapat bahwa Allah sudah
tahu tentang masa depan, tetapi Ia tidak menetapkan jalannya hidup
orang. Manusia bisa memilih jalan hidupnya dengan bebas, untuk menerima
atau menolak Tuhan.

Kedua pandangan ini bertahan selama berabad-abad, dalam satu masa
Pelagius (dan 'turunannya', Semi-Pelagianism) menjadi pokok utama
gereja, di masa lain pandangan Augustinus yang mengemuka. Di masa
reformasi, Martin Luther, Yohanes Calvin, dan tokoh reformasi lainnya
sepenuhnya menerima predestinasi absolut Augustinus. Di masa modern
pasca Schleiermacher, doktrin predestinasi sama sekali diabaikan,
dianggap pemikiran teologia yang semata-mata spekulasi. Tapi toh,
ternyata sampai saat ini pun predestinasi masih tetap menjadi pemikiran.

Benarkah Tuhan telah menetapkan segala sesuatu sebelum dunia dijadikan?
Kalau begitu, apa artinya kehendak bebas manusia? Untuk apa memberitakan
Injil, kalau semua sudah ditetapkan terlebih dahulu? Dan akibatnya,
bukankah berarti Tuhan juga yang menetapkan manusia jadi berdosa, lalu
dihukum?

Allah macam apa yang menetapkan manusia jadi berdosa, lalu dihukum?
Betapa sewenang-wenang! Tidak adil! Tapi, semua tahu bahwa Tuhan itu
baik dan adil. Jadi, banyak yang menyimpulkan bahwa doktrin predistinasi
absolut pasti salah. Teolog besar abad ke-20, Karl Barth memberi
definisi baru atas predestinasi: ini adalah keadaan krisis dari manusia:
yang menerima Allah merupakan orang yang dipredestinasikan terpilih,
sedang yang menolak akan dibinasakan. Karena hidup manusia terus menerus
berada dalam krisis, maka seseorang dalam hidupnya berkali-kali ada
dalam dua keadaan, selamat atau binasa. Kehidupan manusia bukanlah objek
dari predestinasi, melainkan suatu arena antara terpilih dengan
terhukum.

Masalahnya, doktrin ini dirumuskan secara eksplisit, seperti dalam
pembukaan surat ke Efesus:

Ef 1:4 Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia
dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya.

Apakah ayat ini keliru?

Sebelumnya, mari kita memikirkan tentang kebebasan. Anggap saja tidak
ada predestinasi. Apakah manusia benar-benar bebas?

Tidak. Ada kuasa kedagingan yang mengikat setiap orang, sehingga SEMUA
manusia pasti berbuat dosa. Tidak ada orang yang dapat memililih untuk
tidak berbuat salah, walau banyak yang menginginkannya. Solusi sebagian
orang adalah dengan menjadi pertapa yang bebas dari dunia. Tetapi
bertapa -- yang mematikan diri dari dunia -- juga merupakan perbuatan
dosa karena tidak lagi perduli pada kehidupan orang lain. Manusia, hanya
dalam dirinya sendiri, tidak punya kesempatan untuk sepenuhnya benar.
Dalam sikapnya, malah orang mendefinisikan ulang kebenaran, seraya
menolak kebenaran yang absolut. Kini dalam filosofi post-modern tiap
orang merasa 'bebas' memilih kebenarannya sendiri, yang juga merupakan
dosa karena menolak kebenaran Allah.

Prakteknya, orang tidak bisa memilih untuk selalu berbuat benar. Ada
yang terpaksa berdusta. Terpaksa mencuri. Terpaksa menyakiti. Semua
harus berkuasa, siapa yang rela menjadi hamba? Semua harus menyelamatkan
dirinya sendiri, kalau perlu dengan mengorbankan orang lain. Dan
perhatikanlah, seperti apa manusia jatuh dalam candu. Ada yang kecanduan
merokok. Ada yang kecanduan obat. Ada yang menjadi budak nafsu, entah
itu nafsu sex atau nafsu makan. Ada juga yang kecanduan kekuasaan,
seperti Alexander Agung yang tak bisa berhenti memerangi dan menguasai.

Orang-orang ini menikmati keadaan mereka, sedemikian rupa sehingga tidak
bisa berhenti, walau mereka menginginkannya. Pada satu saat, mereka
merasa bebas menikmati apa yang mereka inginkan, walaupun tahu bahwa hal
itu buruk. Suatu saat mereka tiba pada satu kondisi di mana mereka tidak
bisa meninggalkan -- apakah kita pun mengalaminya? Pernahkah merasakan
ingin berhenti dari suatu kebiasaan buruk, tetapi ternyata tidak bisa
stop?

Rasul Paulus mengungkapkan hal ini dengan jelas:
Rom 7:18-19 Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku
sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada
di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik. Sebab bukan apa
yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa
yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat.

Kenyataannya: kita tidak mempunyai kehendak bebas. Manusia tunduk pada
kuasa-kuasa di luar dirinya, diperbudak oleh hal-hal di atas bumi ini.
Orang menjadi jahat, mereka berbuat salah di mana-mana. Mungkin sebagian
akan berkilah, bukankah pada manusia ada hukum yang melarang orang
berbuat salah dan jahat? Tetapi, nyatanya keberadaan Hukum telah membuat
keadaan menjadi semakin buruk; orang cenderung untuk melanggar aturan.
Hukum ada bukan untuk menuntun orang menjadi baik, sebaliknya menjadi
acuan untuk memberikan hukuman. Coba saja perhatikan: tidak ada orang
yang menjadi baik karena KUHP; kitab hukum itu hanya berguna untuk
menjadi acuan dalam menentukan hukuman kepada pelanggarnya.

Karena orang tidak mempunyai kehendak bebas, maka pilihan-pilihan yang
diambil pun merupakan wujud keterpaksaan. Ketika tiba dalam keputusan
untuk memilih Allah atau dunia, manusia tidak bisa memilih-Nya. Orang
terikat pada dunia, mau tidak mau harus memilih dunia, bukan Allah.
Kehendak 'bebas' hanya ilusi belaka; siapa yang bisa lepas dari ikatan
diri sendiri? Bahkan di saat memilih untuk beragama, orang sebenarnya
terikat untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Mari saya jelaskan
sedikit tentang ini.

Perhatikanlah: mengapa orang menganut suatu agama tertentu? Ada tawaran
dalam agama. Tawarannya adalah kenikmatan surgawi, dilayani oleh
bidadari-bidadari yang penuh gairah dan selalu perawan. Tawarannya
adalah lepas dari lingkaran reinkarnasi dan karma, untuk menjadi
sempurna. Tawarannya adalah menjadi penguasa langit yang diberkati.
Ketika dicari pusat dari semua tawaran itu, kita menemukan di tengahnya
ada manusia, yang haus dan rindu akan kenikmatan, kenyamanan, keamanan,
serta kesempurnaan. Orang terikat untuk memuaskan dirinya sendiri;
itulah kuasa daging. Untuk itu, manusia rela untuk melakukan hal-hal
yang baik dengan penuh disiplin, bahkan bersedia untuk mati sebagai
'pahlawan iman'. Tetapi kedagingan yang sama juga membuat manusia
melakukan berbagai-bagai kejahatan, yang tidak ada batasnya.

Apakah agama Kristen tidak menawarkan hal yang sama? Nah, inilah tawaran
dari kekristenan: manusia selamat untuk masuk ke hadapan TUHAN, dan
selama-lamanya memuji, menyembah, dan melayani-Nya. Di Surga tidak ada
penderitaan, tetapi juga tidak ada kesempatan untuk memuaskan nafsu diri
dalam kekekalan, atau selamanya hidup seperti raja yang senantiasa
dilayani bidadari perawan. Pusatnya bukanlah manusia, melainkan TUHAN,
dan hanya TUHAN. Selamanya untuk kemuliaan-Nya, kesenangan-Nya, dan
kehendak-Nya. Adakah orang yang dapat bebas untuk memilih-Nya?

Predestinasi bukanlah dikenakan pada manusia yang memiliki kebebasan;
sebaliknya,

Rom 3:23-24 Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan
kemuliaan Allah, dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan
cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus.

Kondisi awal predestinasi adalah semua sudah kehilangan kemuliaan Allah.
Ini bukan memilih sebagian orang untuk dimasukkan ke 'kotak kudus' dan
sisanya dimasukkan ke 'kotak dosa' -- bukan. Semuanya berangkat dari
dalam kotak dosa, di mana seharusnya SEMUA yang ada di dalamnya
dimusnahkan. Kita semua awalnya adalah bangkai, sampah yang sudah
selayaknya dibuang dan dibakar, dibinasakan. Kalau bangkai tidak
dihancurkan akan mendatangkan penyakit, bukan?

Jadi, bagaimana mungkin kita masih bisa terpilih? Karena kasih karunia,
sehingga dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus
Yesus. Dalam hal ini, TUHAN berotoritas untuk memilih siapa yang mau
dipilih-Nya, sementara meninggalkan sisanya di tempatnya semula. Inilah
yang dikatakan oleh Tuhan Yesus tentang orang yang tidak percaya
pada-Nya:

Yoh 3:18 Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum;
barangsiapa tidak percaya, ia TELAH berada di bawah hukuman, sebab ia
tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah. (huruf besar dari saya)

Yang tidak percaya sudah berada dalam kotak dosa, berada di bawah
hukuman, karena itulah tempat kita sejak semula. Dibutuhkan suatu
karunia, suatu usaha khusus dari Tuhan, untuk mengatasi kuasa dosa itu.
Dibutuhkan darah untuk memutuskan ikatan dosa, suatu kebangkitan bersama
dengan Kristus yang bangkit. Karena itu, keselamatan adalah sepenuhnya
karunia, sebuah anugerah.

Dan sebuah anugerah sepenuhnya ada dalam otoritas pihak yang
memberikannya. Tidak ada anugerah yang bisa dipaksakan, karena kalau
demikian bukan lagi merupakan anugerah. Predestinasi pada hakekatnya
adalah penetapan Allah terhadap manusia yang dipilih-Nya untuk menerima
anugerah untuk percaya; mengatasi ikatan kedagingan sehingga manusia
percaya pada-Nya. Di sini, iman bukanlah hasil pekerjaan kita, seperti
kata Rasul Paulus lagi:

Ef 2:8-9 Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu
bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil
pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.

Ya, iman bukan hasil usaha kita, tetapi pemberian Allah. Orang tidak
bisa bermegah karena iman yang dimilikinya; iman bukan hasil keputusan
manusia, melainkan pemberian. Ketika manusia menerimanya, mereka menjadi
bebas. Orang yang di dalam Tuhan memiliki kebebasan yang sejati untuk
memilih; di dalam Tuhan orang kembali mampu untuk memilih dengan bebas.
Bahkan, orang di dalam-Nya bebas untuk memilih menyangkali-Nya atau
mengkhianati-Nya.

Sampai di sini, ada satu hal yang perlu dijelaskan terlebih dahulu,
karena mungkin sudah timbul dalam benak kita sejak tadi: bagaimana
dengan kondisi awal Allah menciptakan manusia? Jelaslah bahwa TUHAN
tidak menciptakan manusia yang ada di dalam kotak dosa. Di kitab
Kejadian dikatakan bahwa semua yang diciptakan oleh Allah adalah BAIK,
termasuk manusia -- bahkan AMAT BAIK. Dia tidak menciptakan sampah; lalu
bagaimana manusia bisa berdosa? Apakah Allah sudah mempredestinasikan
bahwa manusia akan berdosa? Apakah Allah menciptakan dosa?

Ada dua pandangan yang menjawab hal ini.

Yang pertama, pandangan yang disebut supralapsarianisme. Supralapsarian
mengatakan bahwa otoritas Allah meliputi segala hal, termasuk keberadaan
dosa yang membuat semua orang jatuh di dalamnya. Ketika Allah
merencanakan menciptakan manusia dengan kehendak bebas, Ia sudah
mempredestinasikan kejatuhan manusia. Maka, Tuhan juga sudah
mempredestinasikan jalan keselamatan oleh Kristus serta keberadaan
manusia yang akan dipilih-Nya untuk selamat.

Bukan artinya Allah menciptakan dosa; tidak, sebaliknya ia membuat
manusia yang sempurna, segambar dan serupa diri-Nya. Semua ciptaan
adalah amat baik, dengan akal budi serta kehendak bebas seperti yang
dimiliki Allah. Tetapi di saat Allah memberikan hal-hal baik itu, Ia
juga harus memberikan kondisi pilihan pada manusia karena kehendak bebas
selalu berkaitan dengan pilihan. Jika manusia tidak bisa memilih, apa
artinya kehendak bebas? Demikianlah Allah menaruh pohon pengetahuan
tentang yang baik dan yang jahat, yang buahnya akan mematikan manusia.
Manusia bebas berkehendak; ia bisa bebas menikmati seluruh Firdaus,
tetapi bisa juga bebas mengambil dan memakan buah pohon itu. Sempurna.

Disinilah supralasarian berpendapat, bahwa Allah telah
mempredestinasikan bahwa manusia akan gagal. Kesempurnaan pada manusia
akan menjadi penyebab kejatuhannya sendiri. Allah memang tidak
menciptakan dosa, tetapi pada saat Ia memberi kehendak bebas, Ia juga
memberi potensi berdosa pada manusia. Keadaannya mungkin seperti
seseorang yang memberikan seuntai kalung berlian yang amat sangat mahal
kepada seseorang. Pemberian itu amat baik dan menyenangkan, tetapi di
saat yang sama juga menimbulkan resiko mengalami kejahatan, karena
penjahat mengincar harta itu, seperti iblis yang mengincar kejatuhan
manusia. Di sini ada otoritas Allah sepenuhnya untuk memberi, walaupun
dengan demikian Allah juga menetapkan resikonya yang pasti terjadi.

Pandangan supralapsarian menjadi pandangan bapak-bapak reformasi seperti
Luther dan Calvin, menjadi salah satu paham mendasar teologi reformasi.
Bagaimana pandangan yang kedua?

Yang kedua, pandangan yang disebut infralapsarianisme. Infralapsarian
mengatakan bahwa Allah tidak mempredestinasikan atau menetapkan
kejatuhan, melainkan Ia sudah mengetahui lebih dahulu bahwa nantinya
manusia bisa jatuh dalam dosa. Pandangan ini awalnya muncul sebagai
reaksi terhadap teologi reformasi, dalam kurun waktu yang kurang lebih
bersamaan dengan munculnya pandangan Armenianisme. Dalam pandangan ini,
Allah tidak menetapkan kejatuhan manusia, melainkan manusia yang
mencelakakan dirinya sendiri, di luar rencana Allah.

Apakah Allah tidak tahu? Tentu saja, Allah sudah lebih dahulu mengetahui
hal itu. Allah tahu bahwa manusia akan jatuh dalam dosa, tetapi
sebenarnya Allah tidak menghendakinya, maka tentu Allah tidak menetapkan
keberdosaan manusia. Infralapsarian mengatakan bahwa dosa adalah
keputusan manusia, berdasarkan kehendak bebasnya. Dan berdasarkan
kehendak bebas itu pula manusia dapat meninggalkan dosa. Untuk itu orang
harus berusaha, bahkan berusaha keras. Allah menawarkan keselamatan,
tetapi manusia harus berjuang untuk memperolehnya.

Bagaimana pun juga, kita semua SUDAH berdosa, apa pun asal muasalnya.
Baik supralapsarian maupun infralapsarian tidak menjawab langsung
bagaimana dosa bisa diatasi. Kita semua juga tahu bahwa Allah tetap
memiliki otoritas atas kehidupan, Dia memiliki penilaian-Nya, yang
berbeda dari manusia. Kalau kita melihat ada orang baik, mungkin kita
akan berkata, "wah, orang itu baik sekali, pasti masuk Sorga!"
Sebaliknya, kalau kita melihat ada orang jahat, mungkin kita juga akan
berkata "aduh, orang ini jahat sekali, pasti masuk neraka!"

Kenyataannya, jika orang yang berkelakuan baik tadi ternyata tidak
menerima Kristus, tidak percaya kepada-Nya, serta kemudian melakukan
hal-hal yang jahat di mata Allah, maka ia (yang tadi dipuji-puji itu)
akan menerima hukuman Neraka. Sebaliknya, jika orang jahat tadi bertobat
dan berbalik dari jalannya yang jahat, serta percaya kepada Kristus, ia
akan diselamatkan.

Di sini kita melihat bahwa predestinasi itu sendiri adalah misteri, di
luar kemampuan manusia memahami. Kita hanya tahu bahwa Tuhan menetapkan,
tetapi tak seorang pun yang tahu apa isi ketetapan itu. Satu peringatan
bagi kita adalah agar kita jangan menghakimi, karena kita sama-sama
berada di muka Hakim Semesta. Kita tidak tahu bagaimana akhir hidup
seseorang, dan bagaimana kesudahannya. Bagi kita, bagian kita adalah
percaya Kristus dan memberitakan kepercayaan itu kepada segala bangsa.
Jika saat-Nya tiba dan kita memandang seseorang berlutut mengaku dosa
dan bertobat, serta menerima Kristus, kita boleh bersorak-sorai karena
ada satu lagi anak manusia yang selamat, berdasarkan anugerah TUHAN.

Terpujilah TUHAN!

Salam kasih,
Donny A. Wiguna