Cari Blog Ini

29 Oktober 2009

Scam

Kaisar Jiajing pada dinasti Ming menginginkan umur panjang, sehingga dia dengan senang hati meminum "Cairan Kehidupan". Apakah dia betul-betul berumur panjang? Sebaliknya, dia meracuni dirinya sendiri dengan logam berat merkuri. Tetapi, untuk waktu yang lama orang berpikir bahwa memang ada sebuah bahan, sebuah obat, yang dapat menyembuhkan dan memberi umur lebih panjang daripada yang seharusnya. Kalau hari ini orang disuruh minum "cairan kehidupan" semacam itu, apakah masih mau?

Jangan tertawa dulu. Kita lihat apa yang terjadi di abad ke-20 ketika orang memasarkan "penyembuh ajaib" berupa cairan dengan bahan radioaktif di dalamnya, dari Rusia. Entah berapa banyak orang yang mengalami keracunan radioaktif. Apa yang mereka pikirkan?

Tapi kemudian, kita menemukan ekstrim yang lainnya, dari Rusia juga. Mereka membuat air yang benar-benar 'murni' lalu mengklaimnya sebagai 'miracle water'. Astaga, untuk membuktikan hal-hal seperti ini, mereka melakukan percobaan dengan memakai air itu untuk…mencuci teko air. Hebat, bukan? Kalau teko air bisa menjadi bersih sekali, apalagi tubuh manusia…. Itu pikirannya 'scientist' yang hebat, menurut penjualnya.

Beberapa waktu terakhir, kita menemukan juga klaim tentang air heksagonal, lalu air dengan kandungan oksigen yang lebih banyak. Apakah bermanfaat? Lihatlah, di sini ada testimoni, di sana ada testimoni! Tetapi, siapa yang bisa menjelaskan tentang apa yang terjadi ketika air yang diminum itu masuk ke lambung, lantas bertemu dengan asam lambung di dalam sana? Semua oksigen terlarut hilang, karena pada dasarnya manusia tidak punya insang untuk mengambil oksigen dari air. Semua bentuk molekul air, entah teratur atau tidak teratur, menjadi tidak berarti di dalam perut.

Silakan tanya pada orang yang serius belajar biologi dan kimia di SMA. Tidak perlu jadi ilmuwan untuk mengerti hal-hal semacam ini.

Baru-baru ini ada lagi klaim yang hebat, seperti yang disebu "Miracle Mineral Supplement" di abad ke 21 (http://www.miraclemineral.org/). Yang menarik, di sebelah kanan atas ada tulisan dan gambar kimia dari Chlorine Dioxide Ion. Nampaknya canggih ya?

Bagaimana kalau kita tahu bahwa Chlorine Dioxide itu nama lainnya adalah kaporit, yang dipakai untuk menjernihkan dan membunuh kuman-kuman dalam air? Ini bahan yang dipakai untuk membersihkan kolam renang – yang suka berenang harusnya tahu bahwa air kolam mengandung banyak kaporit. Bahan ini bersifat racun, apalagi dalam jumlah besar. Memang bahan ini bagus untuk membunuh kuman, tapi sebenarnya bagus untuk membunuh apa saja. Sebuah racun, tepatnya.

Dengan kata lain, Miracle Mineral Supplement adalah racun, yang kalau diminum bisa menyebabkan keracunan, tetapi yang jual mengatakan bahwa itu adalah "efek detoksifikasi". Ah, detox apanya? Justru itu adalah efek toksifikasi, yang kalau badan tidak kuat bisa menyebabkan masalah serius!

Tetapi kita cenderung mengabaikan ilmu pengetahuan yang benar, sebaliknya lebih memperhatikan "bukti-bukti" – yang kebanyakan juga tidak bernilai ilmiah karena tidak terdokumentasi dengan tepat. Beberapa beralasan bahwa kita tidak bisa membatasi "ilmu pengetahuan" yang berkembang cepat, jadi siapa yang tahu penemuan paling mutakhir apa yang berguna bagi orang?

Kenyataannya, semua yang disebut sebagai penjual "cairan kehidupan" ini menunjukkan banyak sekali situs web dan tulisan dari para 'dokter' dan 'ahli' yang menyatakan bahwa cairan ini berguna, sangat bermanfaat, tanpa menjelaskan apa isinya. Cairan semacam ini dijual dengan harga tinggi, yang terasa menjadi semakin murah ketika disertai oleh testimoni alias kesaksian yang hebat tentang hasilnya.

Hanya saja, kalau diperhatikan ternyata kebanyakan "informasi" itu datang dari situs yang memang menjual produk. Apa bedanya dengan brosur dan katalog promosi yang dibagikan? Di sini ada banyak sekali upaya promosi, hingga ke tingkat yang tidak terbayangkan. Bisa jadi, biaya untuk promosi jauh lebih besar daripada biaya untuk produksi dan operasional. Kalau orang membeli produk, pada dasarnya dia bukan membeli barang melainkan membayar para salesmen dan iklan.

Di tengah abad informasi, ternyata semakin banyak penyimpangan informasi. Akhirnya semua tulisan berbicara bagi dirinya sendiri, dan kebenaran menjadi relatif tergantung pada keyakinan pembaca atau pendengar. Kata-kata bisa didekonstruksi, kebenaran tergantung kepada kekuasaan – entah dana, entah pengaruh. Inikah yang terjadi pada masa post-modern?

Kebenaran tidak relatif; kebenaran adalah benar di segala tempat, di setiap waktu. Kalau kaporit kemarin bersifat racun, hari ini juga bersifat racun – tidak peduli apapun testimoni yang diberikan atau klaim-klaim yang dilakukan. Kaporit tidak berubah jadi bahan yang aman, hanya karena ada yang mengatakan demikian. Orang mungkin tidak belajar kimia dengan baik, atau tidak punya cukup pengetahuan untuk mengenali tipu pemasaran, tetapi ketidak-tahuan itu tidak membuat apa yang berbahaya menjadi aman.

Hal serupa terjadi di segala bidang. Ada di bidang pendidikan – bayangkan bahwa ada yang bisa membuat orang 'biasa' menjadi 'genius' dalam hitungan bulan. Ada di bidang keuangan, bahkan banyak sekali di bidang keuangan, berbagai investasi yang 'hebat' tanpa resiko, yang justru akhirnya hilang dan kabur tak tentu rimbanya.

Berapa lama lagi orang masih memilih mengikuti 'bukti' dan bukannya mencari tahu apa yang benar? Ada juga yang bilang bahwa dirinya tidak mau repot, tidak mau pusing, karena hari ini yang dipikirkan sudah cukup banyak – tidak ada lagi sisa untuk memikirkan masa depan. Dan mereka yang tidak mau pusing ini sudah cukup puas dengan melihat bukti-bukti – dan siapa tahu akhirnya mereka sedang meracuni diri mereka sendiri, atau memiskinkan diri mereka sendiri.

Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya – yaitu kebenaran yang mutlak dan pasti tentang segala hal, di Surga dan di bumi – maka segalanya akan ditambahkan kepada kita.

15 Oktober 2009

Crisis On Hold

Di hari-hari ini, berita yang terdengar adalah beban bank sentral untuk menaikkan suku bunganya. Ben Bernanke sudah bilang, tidak mungkin The Fed terus-terusan menahan tingkat suku bunga mendekati 0%. Akan tiba saatnya suku bunga dinaikkan kembali untuk mencegah inflasi. Di Australia, bank sentralnya sudah menaikkan suku bunga dari 3% menjadi 3,25%.

Satu pemikiran yang diduga melandasi kenaikan suku bunga adalah kekhawatiran munculnya inflasi yang tidak terkendali. Bagaimanapun, sejumlah kucuran dana stimulus sudah masuk ke pasar, walaupun ternyata belum dapat sepenuhnya memulihkan ekonomi. Stimulus memang membantu naiknya pasar modal, tetapi di tempat kerja orang masih mengalami PHK. Order masih tetap sepi, belum seperti sediakala. Masalahnya, ada kapasitas-kapasitas produksi yang tidak terpakai, dan masih belum terlihat kapan akan digunakan.

Ketika orang mengalami PHK, sebenarnya Perusahaan bukan saja memutuskan hubungan dengan seseorang melainkan juga menghilangkan pengalaman dan kebijaksanaan. Penggantian orang tidak bisa menggantikan pengalaman dan kebijaksanaan yang muncul. Kesalahan-kesalahan lama mungkin terulangi lagi, dan kesalahan baru membuat situasi semakin membingungkan. Demikian juga dengan kapasitas yang tidak terpakai: masalahnya adalah kerusakan terjadi pada mesin-mesin yang menganggur, serta hilangnya dukungan yang dibutuhkan untuk menjalankan peralatan-peralatan. Ada sparepart yang tidak tersedia, teknisi yang sudah keluar kerja, dan material yang tidak lagi dipasok karena alasan ekonomi. Kalaupun ekonomi mulai pulih, ada masalah di setiap perusahaan dan pemerintah untuk memulihkan kapasitas manusia dan peralatan ke kondisi semula.

Secara keseluruhan, tingkat pengangguran di Amerika Serikat masih tetap tinggi – bahkan diperkirakan semakin besar sampai tahun 2010. Dalam harian Kompas 15 Oktober 2009, ada artikel berjudul "Pemulihan Masih Alot – Paul Krugman Berpesan soal Strategi Kebijakan Ekonomi." Pesannya: dalam keadaan seperti ini, diperlukan waktu bertahun-tahun hingga tingkat pengangguran di perekonomian negara-negara maju turun ke level lebih masuk akal. Kebijakan yang tidak standar harus tetap dipertahankan dalam periode yang lebih lama. Artinya, bank-bank sentral harus terus menjaga agar tingkat suku bunga tetap mendekati nol persen.

Pesan bagus dari Krugman, tapi jelaslah bahwa para pengelola bank sentral tidak sepakat. Kalau tingkat suku bunga mendekati nol, maka dana-dana berlimpah tidak terserap di dalam ekonomi yang tingkat pertumbuhannya rendah. Ada banyak yang pegang uang, artinya demand tinggi, tapi tidak ada penyedia, artinya supply rendah, yang berarti harga naik, naik, dan naik. Makin banyak orang tidak bisa membeli, artinya mereka juga tidak bisa menjual. Produksi domestik menurun – tidak bagus karena masih resesi. Logika sederhana ini membuat perekonomian Amerika menjadi tidak menarik dalam jangka panjang – dan kita lihat bahwa dolar Amerika terus melemah.

Jadi, tentunya dibutuhkan upaya untuk mengerem inflasi, yaitu dengan menaikkan suku bunga. Langkah ini juga bertujuan menyerap kembali uang yang semula dikucurkan dalam stimulus. Tapi, apa yang bisa terjadi? Kalau suku bunga dinaikkan, maka bunga kredit membesar kembali di tengah kondisi sukar. Mereka yang tadinya bernafas agak lega dengan tingkat bunga yang rendah, sekarang harus bekerja lebih keras lagi. Beberapa mungkin tidak sanggup lagi, sehingga ada resiko terjadi depresi.

Jadi, suku bunga dinaikkan atau tidak dinaikkan, resiko tetap ada di sana. Hanya sekarang, mana resiko yang lebih mungkin terjadi dan lebih berat akibatnya?

Bagaimana dengan Indonesia? Yang pertama, kondisi ekonomi yang lemah di Barat membuat banyak dana masuk Indonesia, menjadi aliran hot money yang mengangkat berbagai bursa Asia, termasuk Bursa Efek Indonesia, secara signifikan. Bukankah banyak ulasan analis, seperti dari Goldman Sachs yang menunjukkan bahwa pertumbuhan global akan ditarik oleh pertumbuhan Asia? Yang kedua, melemahnya dolar Amerika membuat hutang luar negeri lebih mudah dibayar dan impor lebih murah diperoleh. Masih ada pengamat yang justru merasa bahwa harusnya Rupiah bisa menjadi lebih kuat lagi, toh saat ini ekspor Indonesia ke Amerika dan Eropa telah menurun drastis.

Jadi di dalam negeri orang lebih terfokus dengan dua isu besar. Yang pertama adalah penyusunan pemerintahan yang baru akan diumumkan pada tanggal 21 Oktober mendatang, dan yang kedua adalah langkah-langkah memberantas korupsi di Indonesia, yang menjadi sorotan setelah pemimpin KPK justru dimejahijaukan dengan cara yang aneh sekali. Pemerintah baru Indonesia harus menghadapi tantangan global yang besar, sekaligus perlu membersihkan dalam negeri dari penyakit korupsi yang sekarang ini sudah mengakar-berurat di mana-mana.

Tetapi memikirkan bahwa Indonesia terlepas dari situasi global adalah pemikiran yang tidak tepat. Kalau ekonomi global mengalami depresi, aliran modal akan terhenti, mungkin berbalik keluar kembali untuk menutupi kerugian di negara asal dana. Seandainya mereka berinvestasi sejak awal 2009, bukankan sekarang ini keuntungan dari bursa saham sudah lebih dari 80%? Sebaliknya, Indonesia juga akan kesulitan untuk mengekspor hasil produksinya, sementara pasar dalam negeri belum sanggup menyerap produksi atau komoditas yang ada.

Repotnya, kita sekarang menemukan banyak orang masih berpikir pragmatis dan sektarian, apalagi dengan keramaian politik seperti munas Golkar yang baru lalu. Tidak banyak yang sungguh-sungguh memikirkan untuk bersama-sama memperkuat perekonomian Indonesia, menghilangkan ekonomi berbiaya tinggi, dan meningkatkan produktivitas dan pasar dalam negeri. Orang Indonesia sebenarnya perlu bersikap lebih bijaksana dan percaya diri, menggunakan produk dan jasa dari perusahaan swasta nasional – cintailah produk dalam negeri!

Di sisi masyarakat juga ada kebutuhan, suatu keharusan, untuk lebih baik mengelola keuangan, membuat perencanaan finansial yang benar. Masa depan adalah masa yang tidak terduga dan dihantui banyak masalah. Perencanaan keuangan yang baik, perlindungan finansial yang memadai, dan investasi yang tepat akan menolong setiap keluarga untuk mempunyai masa depan yang lebih baik. Ini menjadi tanggung jawab yang tidak dapat dielakkan – maksudnya, apapun pilihan orang saat ini dalam bersikap, masalah ekonomi yang muncul kelak tidak dapat dihindari hanya dengan kata-kata.

Sekarang ini, situasinya adalah "Crisis On Hold" – krisis sedang ditangguhkan. Apakah krisis benar-benar berlalu? Atau justru sebaliknya, terjangan krisis berikutnya justru lebih keras dan hebat? Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang pasti. Karena ada banyak faktor di luar sana yang tidak pasti, maka buatlah agar diri kita mempunyai sejumlah kepastian sekarang, selagi masih ada kelegaan dan kebebasan untuk bersikap. Mungkin saja, kesempatan ini suatu saat akan berakhir…

09 Oktober 2009

Peran Kristen

Dengan perkembangan terkini di dalam ekonomi global, pertaruhan yang besar adalah apakah globalisasi akan terus berlanjut, atau terhenti di dalam proteksionisme. Secara populer, di saat krisis terjadi seperti sekarang tidak banyak yang menyukai ide untuk terus mengembangkan globalisasi. Para politikus memanfaatkan kesempatan ini untuk menegaskan kembali "jati diri bangsa" dan membuat batasan-batasan yang lebih ketat untuk membatasi "pengaruh global" yang berpotensi merugikan bangsa dan negara.

Satu hal yang perlu dicermati di sini adalah: apa peran orang-orang Kristen di dalam kekisruhan ekonomi? Jawaban yang diambil, antara lain, adalah sikap pasrah dan membiarkan apa yang terjadi, terjadilah – kita hanya berdoa dan "melakukan kehendak Tuhan", yaitu menyelesaikan tugas yang lebih mudah dikerjakan seperti memberi persepuluhan dengan disiplin. Nah, tentang memberi persembahan tidak ada hal yang salah mengenai memberi persepuluhan, tapi masalah sebenarnya adalah ketidak-pedulian terhadap situasi yang sedang berkembang. Itukah apa yang disebut "melakukan kehendak Tuhan"?

Pernahkah terpikir, mengapa globalisasi menjadi begitu penting? Kunci pemahaman atas hal ini adalah pengetahuan tentang produktivitas manusia. Perhatikanlah: setiap negara mempunyai pengukuran Produk Domestik Bruto alias PDB, tetapi bagaimana PDB itu muncul merupakan isu yang berbeda. Ada PDB yang muncul dari alam, produksi komoditas yang berlimpah karena alam yang kaya raya seperti Indonesia. Ada PDB yang muncul dari hasil manufaktur yang berkembang pesat, seperti di China yang rata-rata PDB nya di atas 9% dalam satu dekade terakhir. Ada juga PDB yang muncul dari sektor jasa, seperti yang terjadi di Amerika dan Eropa.

Berkaitan dengan globalisasi, kita lihat bahwa sektor-sektor yang berkaitan dengan produk agraria dan manufaktur cenderung diatur dan diawasi, termasuk diproteksi. Kalau kita bicara tentang proteksionisme, objek bahasannya adalah komoditi dan hasil manufaktur. Bagaimana dengan sektor jasa? Globalisasi dimulai dari jasa-jasa yang melintas negara, diikuti dengan permodalan. Sebenarnya, kalau tidak ada jasa finansial yang mengatur perpindahan modal lintas negara, tidak akan terjadi globalisasi. Kalau tidak ada jasa yang mengatur perdagangan, atau disebut trade broker, dari dulu pembeli dan penjual yang berbeda benua tidak akan pernah bertemu.

Seluruh sektor jasa bertumpu pada relasi yang terjadi antara orang yang satu dengan lainnya, berkaitan dengan apa yang dilakukan oleh manusia untuk mempengaruhi manusia lain. Kita mengenal jasa seperti dunia hiburan dan film, yang bukan saja memberi kesenangan melainkan juga menciptakan trend tertentu di masyarakat. Kita mengenal jasa pendidikan, yang menyebar-luaskan pemikiran-pemikiran, filosofi, dan ideologi. Kita mengenal jasa pelayanan kesehatan. Dan secara global, kita menemukan jasa layanan finansial, yang memberikan globalisasi ekonomi dunia menjadi kenyataan.

Ketika sebuah negara mendasari PDB nya dari jasa, terutama jasa finansial, maka negara itu menjadi dominan dalam globalisasi. Itulah sebabnya kita temukan Amerika, Inggris, Jerman dan Swiss menjadi pemain besar dalam globalisasi dunia. Mereka selama beberapa dekade menikmati peningkatan kemakmuran yang tinggi dari globalisasi. Mereka menjadi tempat-tempat yang dipercaya sebagai pemberi jasa finansial terkemuka. Itulah sebabnya, ketika krisis subprime mortgage terjadi, sangat banyak pihak yang terkejut – bukan hanya karena runtuhnya nilai subprime mortgage, melainkan karena hilangnya kepercayaan kepada lembaga-lembaga keuangan dan akhirnya kepada negara yang mewadahi lembaga-lembaga tersebut.

Subprime mortgage adalah surat gadai yang dibawah prima, alias kelas dua. Tetapi para pengelola dana mengambil surat hutang itu, kemudian melakukan sekuritisasi dan memasukkannya dalam wahana investasi terstruktur kelas satu yang dianggap aman dengan asumsi bahwa aset tanah dan bangunan, biar bagaimanapun juga, tidak akan turun nilainya. Tentu saja ini adalah asumsi yang salah, tetapi menguntungkan mereka yang bekerja sebagai penyedia jasa finansial dalam bentuk komisi dan kompensasi biaya transaksi. Pertanyaannya: mengapa badan regulator dari Pemerintah seperti The Fed membiarkan hal serupa ini terjadi? Kalau orang bisa manipulasi dalam subprime mortgage, apakah mereka dapat melakukan manipulasi dalam hal lainnya, seperti Ponzi scheme yang dilakukan oleh Madoff? Apakah di kemudian hari, Pemerintah negara itu tetap akan membiarkan manipulasi dilakukan sampai dampaknya menjadi besar dan tidak terelakkan?

Masalah krisis global sebenarnya bukan soal produk yang cacat. Ini adalah masalah kepercayaan, soal integritas – karena sekarang orang menemukan bahwa ada banyak alasan bagi para pelaku ekonomi untuk tidak berintegritas. Apa alasan seseorang bersikap jujur, kalau ketidak-jujuran menghasilkan keuntungan cepat dan langsung? Toh perubahan begitu cepat terjadi, sehingga pembahasan mengenai jangka panjang tidak lagi relevan.

Sikap berintegritas akhirnya menjadi bagian dari karakter, yang dilandasi oleh nilai dan prinsip yang dianut seseorang. Darimana orang-orang mendapatkan nilai dan prinsip-prinsip dalam hidupnya? Apa yang menjadi sumber nilai dan prinsipnya?

Suka atau tidak suka, disinilah kita menemukan peran agama dalam diri manusia. Agama memberikan nilai dan prinsip, serta bagaimana karakter dibentuk. Secara fundamental, agama Kristen menjadi bagian dari budaya negara barat, termasuk Amerika, Inggris, Jerman, dan Swiss – sehingga walaupun sebagian penduduknya mungkin tidak memiliki kepercayaan yang mendasar kepada Kristus sebagai Juruselamat, mereka menerima nilai dan prinsip yang muncul dari kepercayaan itu. Agama Kristen menjadi landasan budaya yang mengutamakan keterbukaan dan kejujuran, serta kasih sebagai landasan dalam hubungan antar manusia. Hukum emasnya adalah "lakukanlah kepada orang lain apa yang engkau ingin orang lain lakukan kepadamu." Di sinilah inti dari integritas,

Sejarah agama Kristen dalam negara-negara Barat telah begitu lama, berabad-abad, sehingga menjadi tradisi dalam bersikap dan bermasyarakat. Sayangnya, dengan filosofi baru yang muncul sejak "abad pencerahan", baik itu rasionalisme dan naturalisme, kemudian liberalisme dan eksistensialisme, keyakinan masyarakat turut berubah, apalagi setelah trauma yang muncul dari perang dunia, PD 1 dan PD 2. Di satu sisi, usaha manusia menemui perkembangan yang menakjubkan dari teknologi dan kemajuan kemanusiaan – ditandai dihapusnya perbudakan dan pernyataan tentang kesetaraan. Di sisi lain, dasar keyakinan iman menjadi sesuatu yang kuno, yang tidak masuk akal. Agama Kristen menjadi sebuah petunjuk tentang hidup yang baik, namun bukan sesuatu untuk sepenuhnya dipercayai.

Yang banyak orang tidak sadari adalah hal ini: perilaku manusia diarahkan oleh tujuannya, yang muncul dari relasi yang dimiliki manusia itu. Relasi pribadi antara manusia dengan TUHAN melalui kepercayaan kepada Kristus menimbulkan tujuan yang jelas – hidup kekal bersama Tuhan – serta mendefinisikan perilaku yang sesuai, seperti menjaga kekudusan dan memelihara kesetiaan, dalam kebenaran dan keadilan.

Ketika kepercayaan itu ditolak, maka perilaku yang mengikuti tradisi sebenarnya hanya meniru contoh saja, mengikuti teladan dari orang tua. Saat orang tua terdahulu masih memegang kepercayaan dengan sepenuh hati, mereka mengajar anak-anak untuk berperilaku benar dan melihat bagaimana semua itu menciptakan masyarakat yang tertib dan baik. Namun saat anak-anak kehilangan kepercayaan, yang mereka lihat hanyalah suatu sebab-akibat antara perilaku dan kemasyarakatan. Orang memiliki tujuan-tujuan yang lebih pragmatis seperti menginginkan kekayaan dan kenikmatan, dan hidup yang bebas dari perang. Perlahan tapi pasti, kepentingan-kepentingan finansial dan politik membentuk sikap hidup yang sama sekali berbeda. Kini kebenaran menjadi sesuatu yang relatif, karena tidak lagi didasarkan pada keyakinan iman. Demikian juga dengan turunannya seperti integritas, yang kini mengalami pergeseran makna.

Haruskah kita benar-benar terkejut ketika menemui orang-orang yang telah lolos uji sebagai pengelola perbankan, yang memiliki segala integritas yang dibutuhkan, ternyata melakukan penipuan-penipuan? Ketika kebenaran menjadi relatif, orang tidak lagi tahu seberapa jauh sebenarnya mereka telah hanyut dalam manipulasi yang dibuat secara sistematis. Setiap orang melakukan satu penyimpangan kecil, yang kalau dilihat secara individual tidak berarti namun secara kolektif menjadi sangat berbeda. Skala permasalahan krisis finansial yang terjadi bukan dibentuk dalam satu atau dua bulan, melainkan telah ditanamkan selama bertahun-tahun.

Pada akhirnya, kita melihat bahwa peran Kristen dalam perekonomian telah memudar sedemikian rupa, digantikan oleh pertemuan berbagai kepentingan dan kekuasaan. Semula orang hidup dalam suatu ilusi bahwa integritas dan sifat dapat dipercayai, sesuatu yang dibangun dalam tradisi Kristen selama berabad-abad, masih tertanam dalam para pelaku ekonomi yang juga dapat dipercayai. Tetapi, krisis demi krisis menunjukkan hal yang sebaliknya – menimbulkan pertanyaan: saat ini siapa yang masih dapat dipercaya?

Bayangkan apa yang terjadi saat sifat dapat dipercaya menghilang dari usaha jasa, yang bertumpu pada kepercayaan. Orang meragukan keamanan dananya yang disimpan dan diinvestasikan di surat berharga di Amerika dan Eropa. Ketika G20 bertemu di Pittsburg, orang-orang berdemonstrasi dan menolak – yang berangkat dari ketidakpercayaan atas ketulusan niat dan tujuan pemerintah-pemerintah yang berunding. Apakah ketidakpercayaan hanya dalam hal keuangan saja? Tidak, kecurigaan muncul dalam urusan pendidikan (sekolah yang berbisnis), dalam urusan kesehatan (memeras orang), dan bahkan juga hiburan (awas propaganda terselubung). Peristiwa bangkrutnya Lehman Brothers menjadi contoh yang diulang-ulang oleh banyak orang untuk mengingatkan betapa perusahaan besar di Amerika tidak bisa dipercaya. Lalu, siapa yang bisa dipercaya? Apa yang bisa dipegang?

Berbagai Pemerintah berusaha mempertahankan kepercayaan dengan memberikan jaminan bagi sistem finansialnya, tetapi uang tidak bisa membeli sifat bisa dipercaya. Sebaliknya, justru kucuran uang mendatangkan para pengeduk keuntungan. Siapa yang bisa memastikan bahwa kucuran dana talangan (bail-out) seluruhnya sampai ke sasaran? Yang lebih menakutkan adalah kenyataan bahwa dana itu diperoleh dengan cara mencetak uang lebih banyak; saat ini ratusan miliar dollar telah dicetak dan disuntikkan untuk menyokong sistem finansial di Amerika dan Eropa. Dalam jangka panjang, hal ini menimbulkan resiko inflasi yang tinggi, yang justru menurunkan tingkat kepercayaan. Tidak heran, hari ini beberapa pihak mulai berpikir untuk melepaskan dolar Amerika. Tidak ada yang mau turut mengalami kerugian saat gelombang masalah kedua datang melanda negara Paman Sam ini.

Kekacauan dari ketidakpercayaan bukan hanya berhenti di Amerika, tetapi juga mempengaruhi seluruh tatanan globalisasi. Peran kekristenan yang tidak lagi signifikan dalam kehidupan digantikan oleh manipulasi dan permainan kekuasaan, kini mendatangkan akibat yang menakutkan orang untuk berelasi dengan orang lain. Kembali kepada awal dari tulisan ini, ketidakpercayaan telah membuat orang tidak lagi menyukai globalisasi, walaupun sejarah membuktikan globalisasi mendatangkan kemakmuran.

Kita kini masuk dalam alam finansial yang baru...dimana yang bisa dipercaya adalah mereka yang dekat, yang lokal, perusahaan-perusahaan swasta nasional (maaf, tapi saat ini perusahaan milik negara masih dicurigai penuh korupsi). Apakah orang-orang Kristen saat ini dapat membuat perbedaan? Tuhan yang memampukannya!