Cari Blog Ini

29 Desember 2008

Tahun 2009: Membangun Rumah Di Atas Pasir atau Batu?

Mat 7:26 Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir.

Tahun 2009 dimulai dengan buyarnya segala impian. Orang mengingat bulan Oktober tahun 2008 dengan peristiwa tsunami ekonomi yang melanda berbagai negara secara global. Ingat seperti apa tsunami? Gempa bumi. Terjangan air yang menghancurkan. Banjir. Air yang tiba-tiba datang, sesaat setelah laut menjadi surut. Ironisnya, sebaliknya dari merasa kuatir, justru surutnya air mendatangkan kegembiraan bagi banyak orang di tepi pantai, karena bisa mengumpulkan banyak kerang dan bunga karang yang lucu dan cantik.

Begitu juga dengan kondisi yang terjadi sebelum tsunami ekonomi. Untuk sesaat, ada orang yang begitu senang karena harga minyak bumi melonjak amat tinggi, mencapai US$ 150 per barrel. Ada banyak yang begitu senang karena harga saham-saham energi dan pertambangan melonjak drastis. Untuk sesaat ada banyak orang yang menjadi jauh lebih kaya. Seperti mendapat kerang dan bunga karang yang lucu dan cantik. Lalu timbullah laporan-laporan yang mengagetkan semua orang. Pengakuan kegagalan Lehman Brother. Bank raksasa di Amerika, WaMu berantakan, akhirnya diakuisisi dengan harga murah. Merril Lynch tidak ada lagi. Minyak bumi harganya turun, turun, turun sampai dibawah US$ 40 per barrel. Semua lembaga keuangan mengalami masalah. Pabrik-pabrik nyaris bangkrut. Jutaan orang di PHK.

Tiba-tiba saja, kita semua sadar bahwa tsunami ekonomi datang. Dunia tidak siap.

Kita hidup di dunia yang dipenuhi dengan paradigma atau cara pandang pragmatis. Praktis dan instan. Yang langsung terlihat. Sekarang. Cepat. Mudah dirasakan. Ada dalam genggaman. Coba pikirkan.

Pertama, waktu seseorang lulus sekolah, lulus kuliah, apa yang dibawanya? Kebanyakan orang menganggap ijazah adalah hal terpenting. Yang kedua terpenting adalah daftar nilai, atau transkrip. Mengapa? Karena, secara praktis kedua hal ini adalah syarat untuk melamar pekerjaan. Dan kenapa melamar pekerjaan begitu penting? Pertama, orang berharap bisa langsung menyebut dirinya 'pekerja'. Kedua, berharap bisa langsung menerima uang secara tetap dan teratur tiap bulan, yaitu gaji yang diterima.

Jadi, belajar 6 tahun di SD, 3 tahun di SMP, 3 tahun di SMA, dan 4 tahun kuliah – total 16 tahun – adalah untuk mendapatkan selembar ijazah dan transkrip, untuk berebut mendapatkan pekerjaan. Ini adalah awalnya. Sesudah bekerja, orang menentukan hal-hal seperti waktu kerja sebagai ukuran utama. Masalah terlambat masuk kerja adalah masalah besar, bisa membuat orang mendapat surat peringatan dan lalu dipecat. Sebaliknya, kalau bisa mengikuti sebuah seminar yang diberikan oleh menteri sebagai 'keynote speaker', seorang karyawan bisa mendapat promosi lebih cepat. Kalau seorang sales bisa membuat omzet ekstra besar, dia langsung mendapat penghargaan lebih tinggi.

Jika ijazah dan transkrip menjadi pokok utama, lalu apa gunanya sungguh-sungguh mengerti ilmu pengetahuan? Ada banyak cara untuk mendapat nilai yang baik tanpa perlu menguasai pelajaran. Lalu, kalau sudah bekerja, memenuhi jam kerja bukan hal yang sulit jika hanya itu yang menjadi ukuran. Orang bisa berada di tempat kerja untuk menghabiskan waktu, bukan? Demikian juga dengan mengikuti sebuah seminar; apa yang benar-benar dibawa dari seminar yang diikuti hanya untuk menerima sertifikatnya?

Bagaimana dengan omzet besar? Benar, sekali itu ia berhasil menutup order besar, tetapi apakah hal itu terjadi karena kecakapannya menguasai produk dan jasa serta menjual, atau dari keberaniannya membujuk dan membangun 'relasi' dengan orang lain yang memakai cara-cara yang tidak etis?

Ini adalah buah dari pragmatisme. Pokoknya order besar di tangan, keberhasilan instan tercatat dan diberi penghargaan. Beberapa tahun lalu, dunia dikejutkan dengan manipulasi oleh Enron, yang membuat nilai sahamnya naik dengan 'laba' yang palsu. Di akhir tahun 2008, dunia lebih terkejut lagi oleh manipulasi hedge fund yang dilakukan Bernard Madoff. Siapa yang dapat mengatakan bahwa hal serupa tidak akan terjadi lagi? Manipulasi Ponzi sudah menjadi penyakit menular di seluruh dunia, tapi banyak orang belum juga sembuh dari kebodohannya.

Selama paradigma orang masih sekedar mencari yang langsung, instan, pokoknya asal ada, asal kelihatan hasil, asal bisa disaksikan dan dibuat 'testimony', semua itu sudah dianggap cukup. Tak usah pikir panjang, yang penting untung sekarang! Pertanyaan: apakah orang sungguh-sungguh belajar dari tsunami ekonomi yang baru terjadi?

Tuhan Yesus sudah mengerti sifat manusia ini sejak pertama. Waktu itu, orang-orang dengan takjub mendengarkan kotbah Yesus di atas bukit. Orang merasa bahwa Yesus berbicara dengan penuh kuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat yang monoton dan membosankan, meributkan setiap detil cara hidup agar sesuai dengan hukum Taurat. Benarlah, orang yang mengikuti hukum memang lebih menekankan pada hal-hal yang dilarang, yang tidak sesuai, yang tidak boleh dilanggar. Semua itu adalah rambu-rambu yang diletakkan, sudah ada di sana berabad-abad lamanya. Rambu-rambu yang melarang dan beberapa menyuruh orang berbuat sesuatu, khususnya perkara ritual dan agama.

Orang Yahudi waktu itu sudah merasa baik karena sudah punya rambu, aturan, hukum. Orang sudah merasa oke karena sudah mendengarkan kotbah yang luar biasa. Orang menganggap hidupnya berubah karena telah melakukan suatu ritual. Instan. Praktis. Pragmatis. Orang modern pun merasa sudah aman karena punya tabungan, punya polis asuransi, punya pekerjaan, punya investasi. Punya rumah.

Tuhan Yesus menunjuk pada perumpamaan rumah. Ini adalah hal yang dibutuhkan manusia secara mendasar, suatu tempat untuk menjalani kehidupan. Rumah bukan sekedar suatu bangunan, tapi juga organisasinya, lingkup pengaruhnya, kepentingan-kepentingan dalam kehidupan seorang manusia. Rumah adalah oikos dan pengaturan adalah nemein, pengaturan rumah lalu di sebut oikonomia, ekonomi. Bagaimana rumah diatur? Apa landasannya, fondasinya?

Setelah Tuhan Yesus selesai memberikan pengajaran di atas bukit, Dia memberi peringatan: orang yang mendengarkan tapi tidak melakukannya menjadi orang bodoh. Bodoh kalau hanya merasa cukup dengan memiliki pengalaman mendengar. Orang bodoh merasa istimewa hanya karena pernah berada di bukit dan takjub mendengar pengajaran yang penuh kuasa. Mereka yang berkumpul itu bisa saja terus bercerita kepada kerabat keluarganya, lantas menyatakan, “marilah mengikuti Yesus!” Mereka memasang label, menambah identitas pada ktp mereka dengan kata-kata 'Pengikut Yesus'. Tapi, hanya itu saja. Hidup mereka tetap sama, perilaku mereka tidak berubah.

Sebagian orang lain juga mendengarkan, tetapi bukan hanya itu saja; mereka juga melakukan apa yang Tuhan Yesus ajarkan. Untuk melakukan, prosesnya tidak bisa instan. Orang harus belajar untuk mengenali apa yang selama ini menjadi perilakunya, lalu belajar untuk berubah dari hari ke hari. Beberapa hal bisa berubah dengan cepat. Beberapa hal lain membutuhkan waktu tahunan. Untuk sesaat kelihatannya orang berhasil, tetapi mereka jatuh lagi dan harus mulai lagi dari bawah. Untuk melakukan ajaran Tuhan Yesus, orang harus berkomitmen: mereka harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan berusaha mengikuti Yesus setiap hari.

Ekonomi yang sejati bukan berdasarkan sertifikat seminar dengan keynote speaker yang hebat. Bukan karena punya ijazah akademik setingkat Master atau Doktor. Ada orang yang mempunyai titel Doktor, hebat dalam berargumen dan menyusun tulisan dan mengajari mahasiswa, namun perilakunya menjadi masalah banyak orang. Dia bisa menjabarkan setiap ayat kotbah di bukit dengan fasih, tetapi tidak melakukannya. Dia bisa mengajukan berbagai dalil-dalil ekonomi dengan cara yang mengagumkan tetapi hidupnya sendiri, ekonominya, berantakan. Dia sudah membangun rumahnya, bahkan membuat rumah yang besar, megah, menakjubkan.

Tapi, rumah itu dibangun di atas pasir, yang rubuh diterjang masalah. Herannya, sebelum itu terjadi kita memperhatikan, bahkan mengidolakan. Apa yang kita lihat?

Orang membicarakan dirinya, membuat kita mengagumi pengaturan rumahnya, ekonominya kelihatan dahsyat, serta melihat sebuah gelembung besar raksasa yang berkilauan dibawah lampu-lampu sorot dunia. Semua itu langsung kelihatan, segera bisa nampak dan dinikmati. Kita ingin seperti begitu, berkhayal bahwa kita sendiri memiliki semua kemilau itu, lantas bertanya-tanya bagaimana caranya. Bagaimana cara membangun rumah dengan cepat di atas pasir?

Ini semua mengingatkan kita, para pengikut Tuhan Yesus Kristus. Ada orang menjadi pengikut Kristus, tetapi tidak melakukan ajaran-Nya. Orang ini mempunyai citra yang hebat untuk sesaat, ketika segala sesuatu baik dan tenteram, tidak ada masalah.

Tetapi, kemudian datanglah hujan dan banjir. Datanglah angin yang keras. Seperti akibat yang ditimbulkan oleh pemanasan global dan perubahan iklim, yang baru diakui kegentingannya dalam tiga tahun terakhir padahal para ahli sudah meributkan hal ini sejak belasan tahun lalu. Tuhan Yesus dengan tepat menggambarkan akibat bencana itu pada rumah-rumah yang ada. Rumah yang dibangun di atas batu memang mengalami hal yang berat, tetapi masih tetap berdiri. Rumah yang dibangun di atas pasir hancur rubuh. Terjangan air yang keras menghapus hasil kerja bertahun-tahun. Ijazah yang diperoleh dengan susah payah tiba-tiba saja tidak berarti lagi untuk mencari kerja, nama yang dibangun dalam waktu lama mendadak tidak ada maknanya.

Bayangkan jika yang datang bukan sekedar banjir, tapi tsunami. Kita sebut: tsunami ekonomi. Apa yang tersisa dari rumah yang dibangun di atas pasir? Gelembung besar itu pecah, suaranya memekakkan telinga. Ketika orang sadar dirinya tertipu oleh Madoff, ada yang terus membunuh diri dengan memotong urat nadi tangannya sendiri. Bagi banyak orang lainnya, mereka mengalami gangguan mental dan kejiwaan.

Orang Kristen yang mendengarkan Firman Tuhan tapi tidak melakukan, menjadi orang bodoh. Karena dunia ini berubah dan membawa bencana, tidak ada yang bisa berharap lepas dari segala kesulitan dan masalah sepanjang tinggal di atas muka bumi yang sudah tua ini. Tuhan menjanjikan dunia baru kelak yang sempurna, tapi sekarang kita masih tinggal di sini. Kita harus melakukan apa yang Tuhan ajarkan, justru karena itulah cara yang benar untuk mengatasinya. Tuhan Yesus adalah kebenaran, adalah jalan, adalah hidup.

Sekarang, banyak rumah yang rubuh. Pengaturan rumah yang kacau. Ekonomi yang berantakan – kita bukan bicara soal ekonomi negara, melainkan ekonomi keluarga. Terjangan masalah keuangan membuat kekacauan yang membingungkan, karena apa yang diandalkan selama ini adalah label dan titel. Yang diutamakan adalah ijazahnya, bukan ilmu pengetahuan untuk diterapkan. Yang dibayangkan adalah menjadi karyawan yang pergi pagi pulang petang penghasilan pas-pasan, bukan menjadi orang yang berusaha. Yang dibanggakan adalah citra, sekalipun itu hanya gelembung sesaat saja.

Menyedihkan, tapi diperlukan – ini adalah saatnya rumah diatur ulang. Fondasinya ditanam pada batu, bukan pasir. Bukan tentang label dan titel, bukan sekedar memiliki surat. Bukan sekedar memenuhi absensi pagi dan sore, tanpa mengerjakan sesuatu yang benar-benar berarti. Mari kita melakukan ajaran Tuhan Yesus, berdoa agar kita dimampukan untuk mengikuti-Nya. Mari kita melakukan pekerjaan yang benar, yang produktif, agar nama Tuhan dimuliakan dan hidup kita dibangkitkan.

Terpujilah TUHAN!

Salam kasih,
Donny

24 Desember 2008

Natal: Pemberian Di Akhir Tahun 2008

1 Tes 2:8 Demikianlah kami, dalam kasih sayang yang besar akan kamu, bukan saja rela membagi Injil Allah dengan kamu, tetapi juga hidup kami sendiri dengan kamu, karena kamu telah kami kasihi.

Ketika Injil diberitakan untuk pertama kalinya di kota Tesalonika, belum ada berita Natal. Belum ada perayaan Natal, atau menghias pohon cemara, atau berbagi kue-kue dan kado-kado. Namun di sana ada kasih, seperti dalam berita Natal. Di sana juga ada hidup yang dibagi, dalam kasih sayang yang besar. Betapa mudahnya kita menemukan kesejajaran antara berita Natal dengan kehidupan yang dibagikan di antara orang-orang Tesalonika.

Perhatikanlah: kota Tesalonika adalah kota yang besar. Ini adalah kota pelabuhan besar, ibukota Makedonia yang terkenal, bagian dari kerajaan Yunani kuno. Bayangkan, betapa banyaknya para pedagang dan tuan tanah yang sibuk di sana, masing-masing membawa pegawai dan budak-budaknya sendiri. Semuanya riuh rendah beraktivitas, lengkap dengan segala benturan kepentingan di dalamnya: urusan dengan penjajah Romawi, persaingan dagang, manipulasi politik, dan juga kemerosotan moral yang membawa korupsi hebat, manipulatif, dan saling bunuh yang keji. Gejolak di kekaisaran Romawi menghilangkan kesatuan dari para penguasa dan pemimpin tentara, dan korban yang paling tidak berdaya adalah kaum marginal yang jadi pesuruh, budak, juga para perempuan dan anak-anak.

Jangan membayangkan kondisi kota besar saat itu seperti di jaman sekarang. Kalau sekarang, orang cenderung bersikap pluralis, sekuler – benar-benar memisahkan urusan bisnis dengan kepercayaan. Tetapi pada waktu itu kepercayaan adalah bagian dari bisnis. Di samping itu, manusia terbagi atas kelas-kelas yang berbeda dan terpisah secara mutlak. Hanya kondisi khusus saja yang mampu menerobos batas-batas sosial dan religius yang sudah terpelihara berabad-abad lamanya.

Jadi, ketika di abad pertama Rasul Paulus memberitakan Injil, tantangannya luar biasa. Orang menghadapi resiko besar untuk menganut sebuah kepercayaan yang baru; dia bisa kehilangan banyak hal karena orang mengucilkannya sebagai sumber keanehan, yang berarti banyak masalah. Banyak penerima berita Injil adalah kalangan menengah dan bawah, yang harus menghadapi penindasan lebih besar serta kesulitan yang tak terbayangkan. Tapi, betapapun juga, toh mereka menerima Berita Injil itu.

Apa yang disebut Natal? Bagi orang Tesalonika saat itu, barangkali tak ada sedikit pun bayangan tentang hari Natal seperti yang kita alami. Tetapi mereka memahami tentang pemberian karena kasih sayang yang besar. Para pemberita Injil bukan sekedar membagikan berita, melainkan membagi kehidupan mereka sendiri. Kiasan Paulus: seperti seorang ibu yang mengasuh dan merawati anaknya. Kasih sayang yang ditunjukkan lebih besar daripada penindasan, lebih berkuasa daripada kesulitan – sedemikian rupa sehingga penindasan dan kesulitan tidak sanggup merebut sukacitanya.

Apakah Natal memberi sukacita kepada kita juga? Hari ini, kita tidak menghadapi penindasan atau kesulitan seperti jemaat di Tesalonika. Kita tidak menghadapi budaya yang membagi-bagi kelas oleh dinding sosial dan religius – walaupun memang masih ada seperti itu – yang tidak dapat ditembus. Kita tidak lagi menghadapi perbudakan, meskipun memang masih ada penjajahan. Tetapi, adakah sukacita kita dihari Natal lebih besar daripada beban dan pergumulan hidup yang harus kita hadapi?

Di penghujung tahun 2008 ini, nampaknya lebih banyak orang yang berbicara tentang kesulitan dan masalah yang harus dihadapi. Kita bicara tentang PHK, tentang kemunduran ekonomi secara global, tentang hancurnya usaha yang sudah ratusan tahun. Kita bicara tentang kegagalan sistem finansial, tak ada lagi keamanan, hancurnya harapan.

Harapan siapa yang hancur? Keamanan seperti apa yang hilang? Perhatikanlah: semua yang hilang adalah segala hal yang dibuat oleh manusia. Sistem finansial yang dibangun bertahun-tahun, dirancang oleh pikiran-pikiran cerdas yang diakui dan ternama – itulah yang gagal. Keamanan yang dibuat orang, yang didasarkan pada pertumbuhan ekonomi yang (seharusnya) berkesinambungan – itulah yang tidak ada lagi. Siapa yang tidak kaget ketiga Bernard Madoff, yang sebelumnya menjadi Ketua Nasdaq – bursa saham elektronik terbesar dunia – ternyata melakukan penipuan menurut skema Ponzi yang penuh janji, dan sekarang gagal total dan menimbulkan kerugian hingga US$ 50 Miliar?

Kehadiran Yesus Kristus memberi harapan yang pasti, keamanan yang tidak pernah berakhir. Kehadiran Kristus memastikan suatu keadaan yang tidak tergantung pada pertumbuhan ekonomi, kemajuan teknologi, atau peningkatan produktivitas manusia. Janji yang diberikan Kristus tidak tergantung pada kesanggupan manusia melakukan sesuatu, melainkan pada janji Allah yang tidak gagal, selalu tepat, benar, dan pasti. Oleh karena Kristus, kita mempunyai suatu kepastian akan hidup yang kekal, dalam keadaan yang sempurna. Jika direnungkan, inilah sebenarnya keselamatan: suatu kepastian – suatu misteri yang diselidiki orang dari berbagai bangsa, di segala jaman, abad, dan tempat – tentang masa depan.

Masa depan orang-orang yang berada dalam Kristus adalah suatu hal yang pasti. Tidak peduli bagaimana pun keadaannya sekarang, miskin atau kaya, pengangguran atau pengusaha, gagal atau berhasil, semua yang tetap ada dalam Kristus tetap mempunyai kepastian tentang hidupnya kelak. Tidak ada yang dapat mengubahnya, tidak ada yang bisa memisahkan manusia dari kasih Kristus, tidak ada yang bisa menghentikan kuasa Allah.

Karena kuasa-Nya besar, maka orang-orang yang berada dalam Kristus juga sanggup memberikan kasih sayang seperti yang diberikan Kristus. Mereka bukan hanya membagikan berita Injil, melainkan juga memberi hidup kepada orang-orang yang mereka layani. Bukankah Kristus juga memberi hidup-Nya, dengan mengosongkan diri dan menjadi sama dengan manusia, bahkan sampai mati di kayu salib? Natal adalah peristiwa pemberian, suatu perwujudan kasih sayang. Inilah yang dilakukan rasul Paulus bagi jemaat Tesalonika. Inilah yang dilakukan para hamba Tuhan di berbagai penjuru dunia, tahun demi tahun, abad demi abad. Natal menjadi proses yang berulang, terjadi dan terjadi lagi: pemberian tanpa pamrih yang terus menerus menjadikan dunia tempat yang lebih baik.

Sayangnya, orang masa kini lebih banyak memaknai Natal sebagai peristiwa untuk menerima: mendapat order lebih banyak, penjualan lebih besar, atau menerima bonus dan kado yang menyenangkan. Ketika dunia masuk dalam kondisi krisis, tiba-tiba saja banyak orang menjadi bingung kehilangan makna Natal. Tidak ada lagi order, penjualan justru menurun, dan tidak ada pembagian bonus atau kado apapun. Apa artinya Natal? Kemurungan terjadi, dan tidak sedikit orang yang tidak mau merayakan natal lagi.

Dapatkanlah makna Natal yang sesungguhnya! Bersukacitalah, karena ada harapan yang pasti dan keamanan yang tidak pernah berhenti. Bagi anak-anak TUHAN, mari kita sungguh-sungguh merenungkan arti perwujudan Yesus Kristus ke dalam dunia, sebagai teladan untuk bagi orang yang mengikuti-Nya. Bukan hanya pemberitaan Injil, bukan sekedar pembacaan Firman atau kotbah atau renungan, melainkan juga hidup yang diberikan bagi sesama.

Ketika anak-anak TUHAN melakukan hal ini, kepastian akan masa depan mendatangkan harapan bagi masa kini. Karena tahu pasti akan hidup kekal kelak, orang percaya tidak ragu untuk memberi bagi dunia di masa sekarang. Pemberiannya adalah kasih sayang yang besar, yang sanggup mempengaruhi orang, memimpin orang-orang disekitarnya. Hasilnya adalah suatu komitmen untuk membangun, komitmen untuk berusaha serta memberi yang terbaik. Kehidupan anak-anak Tuhan mendatangkan kualitas bagi dunia di sekitarnya, suatu kehidupan yang memberi sesuai harapan, atau bahkan melebihinya. Maka dunia kembali menemukan bahwa anak-anak Tuhan dapat diandalkan, untuk bersama-sama membangun, membawa kesejahteraan dan kemakmuran.

Natal adalah proses terus menerus yang kini menjadi bagian kita juga. Siapkah kita meneladani Kristus yang mengasihi dan memberi? Kasih, kepemimpinan, komitmen, kualitas, dan keandalan. Siapkah kita membawa usaha-usaha yang positif, bisnis yang positif, sebagai perwujudan Natal?

Selamat hari Natal 2008 dan Tahun Baru 2009!

15 Desember 2008

Sikap Beradaptasi Terhadap Krisis

Ketika dunia menghadapi kenyataan bahwa kekayaan mereka tidak sebesar yang dibayangkan, ada tiga sikap yang muncul. Sikap pertama, sebagian orang menyangkal kenyataan itu. Dikatakan bahwa semua yang terjadi hanyalah bersifat sementara dan tak lama lagi keadaan akan pulih menjadi seperti semula. Orang-orang ini terus menerus bertahan dan berharap pemulihan segera terjadi, menunggu waktu membereskan semua kekacauan.

Sikap kedua, sebagian orang melihat keadaan menjadi buruk dan berusaha menyelamatkan diri sendiri. Dalam situasi ini, mereka justru menjadi serakah, mengikuti pandangan “/Survival of the fittest/” menurut teori evolusi. Keserakahan ini bukan muncul dari karakter dasar, melainkan keluar dari kekuatiran di tengah situasi sulit. Hidup menjadi seperti peperangan: untuk bisa hidup, yang lain dibiarkan mati. Pandangan ini juga berangkat dari keyakinan akan keterbatasan akan segala sesuatu, jadi kalau mau bertahan harus mengambil bagian orang lain. Begitulah mereka terus berupaya mengambil dan menyimpan untuk diri sendiri.

Sikap ketiga, diambil oleh orang-orang yang melihat bahwa semua ini merupakan bagian dari perubahan, suatu roda kehidupan yang kadang di atas, kadang di bawah. Dalam pandangan mereka yang mengambil sikap ketiga, tantangan terpenting bukanlah soal selamat di hari ini, melainkan bagaimana meneruskan hidup di hari esok. Sampai tingkat tertentu, kesulitan di hari ini diterima walau terasa sakit agar dapat tetap memiliki kesempatan di masa yang akan datang. Untuk itu, bukan hanya diri sendiri saja yang selamat tetapi orang lain juga. Jika di masa depan hanya diri sendiri yang selamat, maka masa depan itu akan menjadi awal dari proses akhir, sebelum akhirnya semua binasa. Orang membutuhkan kerja sama untuk tetap bertahan.

Tantangan yang orang Indonesia hadapi sekarang adalah memahami ketiga sikap ini. Kita melihat bahwa sikap pertama banyak dianut oleh para pejabat pemerintah, apalagi pemerintah daerah yang sepertinya sama sekali tidak mengerti krisis yang terjadi. Sikap ini juga ditunjukkan oleh sebagian partai politik yang masih tetap berkampanye seperti biasa, seolah-olah tidak ada yang terjadi di atas dunia ini. Urusan yang diangkat masih seputar konflik-konflik internal dan pencitraan diri, sama sekali tidak menyentuh realita – bahkan menunjukkan ketidak-pahaman yang utuh. Mengingat mereka menjadi pemerintah, tentu hal ini terasa ironis sekali.

Di sisi lain, banyak pelaku usaha dan juga pemain di pasar modal dan komoditas – baik sebagai investor atau trader yang betul-betul mengikuti peristiwa-peristiwa dunia – mengambil sikap kedua. Kalau diperhatikan, kejatuhan pasar modal Indonesia sebagian diakibatkan oleh kepanikan pemodal domestik ketika melihat pihak asing secara besar-besaran melepas aset mereka, baik saham, obligasi, maupun surat berharga lainnya. Kita bisa memahami alasan pihak asing mencairkan aset; mereka harus menutupi kebutuhan akan likuiditas yang tersendat akibat kerugian besar dalam subprime mortgage. Tetapi alasan pihak domestik adalah ketakutan hilangnya nilai akibat harga yang jatuh oleh pencairan besar-besaran ini. Mereka turut berupaya secepatnya memegang dana tunai, seperti sedang berlomba dengan investor asing. Bahkan, mereka juga berlomba untuk memegang dana tunai dalam mata uang US Dollar, karena siapapun bisa memperhitungkan bahwa permintaan akan dollar menjadi tinggi secara ekstrim dalam jangka pendek. Bukankah semua aset yang dicairkan itu dalam mata uang Rupiah, sedang yang dibutuhkan adalah dana dalam US Dollar?

“Kerja sama” antara kedua sikap menyangkal dan serakah ini secara efektif menempatkan pasar modal Indonesia di posisi sulit. Hanya sebagian yang mengambil sikap ketiga, untuk beradaptasi sambil tetap memperjuangkan kepentingan bersama di Indonesia. Kita harus menghargai usaha-usaha tidak kenal lelah yang diupayakan oleh Ibu Menteri Keuangan, Gubernur BI, dan seluruh jajaran Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Masalahnya, otoritas keuangan terbatas oleh kebijakan dan peraturan, dan tentunya tidak dapat memaksa orang untuk bersikap tertentu. Selain itu, masih banyak jajaran pemerintah yang nampaknya sama sekali tidak membantu karena masih mengambil sikap pertama sekalipun Bapak Presiden sudah menyatakan kekritisan situasi yang terjadi.

Sementara itu, situasi perekonomian negara maju (yang sekarang tidak maju, melainkan sedang mundur) mulai menyentuh jalanan dan kehidupan sehari-hari. Siklus dimulai dari hutang; rakyat Amerika terbelit hutang rumah tangga yang jumlah totalnya lebih besar daripada PDB. Akibatnya, perbankan melakukan pengetatan pinjaman, baik untuk konsumen maupun kredit usaha. Pengetatan ini mempersulit banyak orang dan badan usaha, karena selama ini perputaran kas ditopang oleh hutang (karena sebelumnya, bunga kredit sangat rendah). Otomatis terjadi penurunan pembelanjaan, karena orang kesulitan dana tunai. Orang yang semula tidak berhutang pun kini kehilangan pendapatan, mau tidak mau harus berhutang juga padahal mereka belum tentu bisa membayarnya. Perbankan tentunya mengetahui hal ini, sehingga memperketat lagi pinjaman, dan lingkaran setan ini berputar kembali.

Pukulan paling keras langsung dirasakan oleh dua sektor yang bertumpu pada “pembelian besar” yaitu perumahan berikut isi rumah dan transportasi. Harga rumah dan furniture di Amerika merosot tajam, tetapi masih tidak ada pembeli. Demikian juga dengan transportasi, khususnya penjualan mobil. Masalahnya, mobil umumnya dibeli dengan cara dicicil, sedang sekarang kredit tertahan. Lagipula, produsen mobil di Amerika seperti General Motors dan Chrysler mengambil posisi pada mobil kelas 'atas' yang mengutamakan kenyamanan dan kemewahan. Hanya Ford yang masih berada pada segmen kelas menengah dan bawah, bersama dengan Toyota, Honda, dan Nissan. Kita lihat sekarang GM dan Chrysler dalam kesulitan keuangan besar; GM bahkan sudah mulai menyewa pengacara untuk kebangkrutan. Ford masih bertahan, tetapi kalau kedua perusahaan otomotif raksasa lain mengalami kebangkrutan, Ford juga akan mengalami kesulitan besar karena kehilangan pemasok.

Untuk memahami masalahnya lebih baik, jangan membayangkan kebangkrutan ini hanya dihadapi perusahaan otomotif. Mereka tidak memproduksi semua sendiri; banyak hal yang dipasok oleh ribuan perusahaan lain kepada ketiga perusahaan otomotif raksasa Amerika ini. Mereka juga menjual mobil melalui jaringan jutaan dealer di seluruh Amerika, yang memasarkan ketiga mereka. Kebangkrutan dua raksasa otomotif akan turut membangkrutkan ribuan perusahaan pemasok dan entah berapa banyak dealer yang tidak bisa secara cepat beralih ke produk mobil dari Asia. Kesulitan ini secara efektif akan turut memangkas jalur supply dan distribusi Ford juga, dan mungkin akan segera membangkrutkan semuanya.

Saat ini, bailout yang diajukan sebesar USD 14 Milliar telah ditolak oleh Senat. Harapan perusahaan otomotif, administrasi Bush akan mengambil dana talangan yang USD 700 Miliar. Banyak orang berharap-harap cemas, dan kita lihat Wall Street langsung jatuh menyusul penolakan Senat. Tetapi, sebenarnya mungkin tidak banyak yang bisa dilakukan oleh dana USD 14 Milliar. Seandainya ketiga perusahaan mendapat talangan, tetap saja ada banyak sekali dealer mobil yang telah bangkrut, demikian juga sejumlah perusahaan pemasok yang tidak lagi menerima order dari ketiga raksasa ini. Beberapa melihat, sebenarnya dana talangan ini akan sia-sia saja, karena tidak mungkin pemerintah menalangi hilangnya pasar akibat krisis ekonomi. Kebangkrutan adalah hal yang tidak dapat dihindari, sebagaimana kita lihat perusahaan yang tadinya ditalangi seperti AIG pun masih meminta lagi. Apakah memang semuanya harus bangkrut dahulu, sebelum bisa bangkit lagi?

Amerika adalah pasar pembeli terbesar dunia. Ketika Amerika tidak lagi berbelanja, efeknya langsung dirasakan oleh semua negara yang berproduksi. Amerika juga adalah pasar modal terbesar di dunia. Ketika pasar modal Amerika jatuh, pasar modal di Inggris dan Uni Eropa turut bertumbangan. Secara keseluruhan, negara-negara maju mengalami kontraksi ekonomi dalam skala sangat besar; sesuatu yang tidak pernah terjadi selama 50 tahun terakhir. Kontraksi ekonomi ini membuat semua negara pemasok juga mengalami kontraksi, termasuk Cina dan India yang selama ini bertumbuh pesat. Mereka yang selama ini mencari bahan baku, turut menghentikan permintaan.

Indonesia tidak dalam posisi pemasok besar ke Amerika, tetapi kita banyak menjual bahan baku ke Cina, ke India, juga ke Timur Tengah. Semula, krisis di Amerika tidak terlihat mengkhawatirkan karena nyatanya persentase ekspor ke sana tidaklah dominan. Namun ketika Cina dan India turut menyetop permintaan, masalahnya menjadi lebih serius. Negara-negara Arab yang semula memiliki daya beli tinggi oleh karena minyak, kini juga mengalami kontraksi sesuai turunnya harga minyak yang drastis.

Tentang negara-negara ini, kita perlu mengerti bahwa masalah di sana menyerupai kondisi di Indonesia dalam hal kesenjangan. Di antara pihak yang berkuasa dan orang-orang yang berperan dalam perekonomian, terdapat sejumlah besar kekayaan yang terkonsentrasi pada sekelompok golongan. Terhadap total penduduk, seperti di Cina yang tahun 2007 diestimasi lebih dari 1,3 Miliar, diperkirakan golongan kaya ini persentasenya kecil; namun tidak ada yang tahu jumlahnya. Intinya, walaupun PDB besar tetapi jumlah produk untuk didistribusikan di negara-negara Asia ini masih belum besar. Bagi sebagian besar rakyat Asia, perjuangan hidup adalah memenuhi kebutuhan primer. Diferensiasi produk belum menjadi strategi utama, karena kebanyakan orang masih mencari barang yang paling murah.

Dengan pemahaman ini, bagaimana kita dapat mengambil sikap menghadapi krisis? Kembali ke pembahasan sebelumnya, sikap menyangkal dan serakah akan menghancurkan peluang masa depan. Sementara itu, kondisi di Amerika masih belum dapat dipastikan, melihat besarnya masalah di sana. Demikian juga kita lihat pasar di negara-negara Asia mengalami kontraksi, karena banyak produsen yang kehilangan pasar. Seperti apa sikap “beradaptasi” yang dapat orang Indonesia ambil?

Masalah kita adalah kesenjangan ekonomi, berkaitan dengan perbedaan besar di antara kelas masyarakat. Golongan atas yang eksklusif mempunyai banyak sumber dan informasi; mereka masih tetap berbelanja namun karena jumlahnya sedikit, volume yang ditimbulkan juga terbatas. Golongan menengah hidup dalam perjuangan yang berbeda, membeli produk yang berbeda pada tingkat layanan dan harga yang berbeda, antara mencari barang yang berkualitas dan harga yang didiskon. Golongan bawah yang jumlahnya besar masih hidup dalam pola tradisional, mereka tidak mengerti segala persoalan 'kelas dunia' dan hanya termangu-mangu ketika mendadak harga jual jatuh secara ekstrim dan order berhenti. Walaupun sama-sama tinggal di Indonesia, ketiga golongan ini seperti tinggal di negara yang berbeda.

Jika Indonesia hendak bertumpu kepada ekonomi domestik, mau tidak mau kesenjangan ini harus dijembatani. Untuk memperoleh tingkat ekonomi yang cukup, dibutuhkan dua hal: pemerataan informasi dan pemerataan tingkat pendapatan, yang timbul oleh peningkatan produktivitas yang merata. Dengan pemerataan dua hal ini, kita bisa mengharapkan munculnya banyak pasar-pasar baru, perputaran ekonomi, dan juga berarti pemerataan kemakmuran dan kesejahteraan.

Apakah kita mau beradaptasi menghadapi krisis? Maka, kita harus bersedia berbagi pengetahuan, berbagi informasi yang menguntungkan banyak orang. Kesenjangan antar golongan harus dikikis, minimal dalam hal informasi. Tidak boleh lagi ada diskriminasi informasi! Dalam prosesnya, mutlak dibutuhkan kepercayaan, yang hanya bisa muncul jika setiap pihak menjaga etika dan integritas dalam membagi informasi dan kesempatan. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Lihatlah: kita sekarang mengenal internet! Hari ini, jutaan orang saling terhubung satu sama lain. Orang dari berbagai belahan dunia saling berbagi dengan blog. Orang saling bersumbang relasi dan informasi dengan Facebook dan MySpace dan Friendster. Forum-forum dibuka, dan apa saja bisa dipelajari.

Ini adalah suatu sistem yang baru terbentuk, yang memungkinkan setiap orang menyumbangkan ide dan produktivitas demi kepentingan bersama. Untuk ini, sudah ada istilahnya: wikinomics. Memang hal ini nampak asing, bahkan mungkin terasa mengancam keberadaan bisnis-bisnis yang sudah mapan. Tetapi, bukankah dengan kondisi krisis, justru kemapanan menjadi suatu ancaman? Masalah di depan mata terlalu besar untuk dihadapi sendiri; sedang untuk berhasil, kesenjangan antar golongan harus diselesaikan.

Kalau tidak mau, bayangkanlah pada suatu hari di masa depan nanti, ada kemungkinan rakyat di Amerika akan sulit untuk mendapatkan makanan di atas meja mereka. Jutaan orang dari berbagai negara maju, termasuk dari negara tetangga kita, akan bertahan dengan masuk ke pasar yang lain. Mereka yang pandai, yang masih punya modal, akan berjuang di pasar-pasar yang masih terbuka seperti Indonesia. Melalui skema kerja sama seperti AFTA dan APEC yang sudah disetujui, mereka akan punya akses untuk berusaha di Indonesia, menyaingi rakyat Indonesia. Apakah mereka setuju dengan pemerataan? Sebaliknya, kesempatan dan informasi menjadi sesuatu yang bersifat diskriminatif secara absolut.

Kalau tidak mau beradaptasi dan menjadi pandai secepat-cepatnya, siapa tahu orang Indonesia akan terjajah di negaranya sendiri. Bukan oleh senjata atau kekerasan, melainkan oleh kompetensi dan informasi.

Mau?

02 Desember 2008

Digital: Dekonstruksi Kualitas...

Dear Teman-Teman,

Apa yang menyebabkan timbulnya Subprime Mortgage di Amerika? Konon, ini adalah buah dari Alan Greenspan untuk meredam kejatuhan pasar modal akibat krisis dot.com. Masalah dot.com telah menjadi sebuah gelembung besar yang penuh harapan, yang tiba-tiba saja meletus dengan keras dan mengagetkan banyak orang. Ternyata, bisnis di internet tidaklah sebagus yang dibayangkan, meskipun eforia internet yang dimulai tahun 1995 gemanya masih terasa sampai sekarang. Namun, apa masalah yang sebenarnya?

Kalau direnungkan, masalahnya adalah tentang ilusi akan masa depan. Kita semua belajar dari berbagai pakar "kesuksesan" untuk terlebih dahulu membayangkan kesuksesan. Covey menyebutkan kebiasaan "start with an end in mind" sebagai kebiasaan orang yang efektif. Nah, kita percaya bahwa sesuatu benar-benar berharga, maka kita pun mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. Hasilnya, kita bisa berharap mendapatkan seperti yang kita bayangkan itu. Bentuk-bentuk pengharapan ini senantiasa muncul dengan berbagai istilah dan penjelasan, yang terakhir mungkin digambarkan oleh The Secret, sebagai Law of Attraction. Rahasia besar terakhir...

Dalam kenyataannya, mari kita memikirkan soal nilai. Makanan, misalnya. Ada makanan Jepang yang murah. Ada makanan Jepang yang mahal. Mengapa yang satu murah dan yang lain mahal, sedangkan keduanya menggunakan bahan yang sama, dimasak dengan cara yang sama? Oh, ternyata ada perbedaan: yang satu memakai kecap impor dari Jepang, yang lain membeli kecap Jepang di supermarket di Indonesia. Tetapi inipun menimbulkan pertanyaan: apa bedanya kecap yang dibeli di Jepang dengan kecap yang dibeli di Indonesia, sedangkan kedua kecap itu mempunyai merek yang sama? Kalau dijelaskan lebih lanjut, kita mungkin menemukan jawaban: kecap yang produksi Jepang memakai kedelai dari Jepang, yang ditanam di tanah di Jepang...dan seterusnya.

Ini adalah ilusi dari nilai, yang diciptakan oleh keyakinan. Dalam ilusi ini, presisi dari pengerjaan menjadi hal yang penting. Mungkin modelnya sama, tetapi yang satu dikerjakan dengan ketelitian tinggi, sedang yang lain ketelitiannya rendah. Karena itu, yang satu harganya akan lebih mahal daripada yang lain. Tetapi ilusi ini menggunakan asumsi bahwa memang segala sesuatu dikerjakan secara demikian, dalam ketelitian dan perbedaan-perbedaan yang berukuran mikron. Yang banyak orang tidak sadari, hal ini tidak terjadi dalam rancangan-rancangan digital. Bisa dikatakan, teknik digital telah mendekonstruksi kualitas. Mari kita lihat.

Pertama-tama yang disebut "digital" adalah teknik yang berdasarkan pada dua kondisi: nol dan satu. Hidup dan mati. Dalam elektronika, itu bisa berarti 0 V dan 5 V. Teknik digital tidak memaksakan presisi tertentu, karena 0V dan 5V juga bisa dinyatakan dengan 0V dan 1,5V. Atau 0V dan 1,6V. Dalam pandangan digital, semua itu sama, tidak perlu presisi sampai beberapa angka dibelakang koma. Ini berbeda dari teknik analog dengan pendekatan linear. Kalau orang memakai motor analog, perbedaan 0,1 V bisa berarti perbedaan kecepatan putaran yang cukup signifikan. Tetapi ketika memakai motor servo digital, perbedaan itu tidak berarti, karena penentunya bukan tegangan melainkan sinyal. Setiap kali ada '1', motor akan bergerak sekian derajat searah atau berlawanan arah jarum jam. Dari penggambaran ini, jelaslah bahwa presisi tegangan tidak lagi signifikan.

Makna dari kualitas juga berubah. Ketika orang masih menggunakan tabung-tabung transistor, reproduksi suara menuntut ketepatan perhitungan penguatan (gain) transistor dan kecepatan responsnya mengikuti frekuensi bunyi yang direproduksi. Sekarang, frekuensi transistor dalam teknik digital sudah jauh melebih frekuensi suara, dan reproduksi suara kini bergantung kepada frekuensi sampling dari analog menjadi digital. Mau suaranya bagus sekali? Buat saja sampling dengan laju 256 Kilo bit per second (Kbps) - tapi ukuran hasilnya pun besar. Mau suaranya biasa saja? 128 Kbps sudah cukup. Mau dibuat hasilnya kecil dan bisa dikirimkan melalui internet? Samplingnya mungkin hanya 32 Kbps, dengan kualitas seperti radio jaman dahulu.

Apakah ada perbedaan antara sampling yang dilakukan di Jepang dengan sampling yang dilakukan di Indonesia? Tidak ada. Dalam teknik digital, logika gerbang-gerbangnya akan selalu sama di manapun juga di atas muka bumi. Kalau kita lihat lebih detil, mungkin sebenarnya buatan Amerika hasilnya lebih presisi: yang disebut 1 adalah 5V dan 0 adalah 0V, beda dengan buatan China yang 1 adalah 4,8V dan 0 adalah -0,1V. Tetapi, toh dalam dunia digital semua ini sah-sah saja dan peralatan yang dimaksud bisa bekerja. Tidak ada perbedaan kualitas dalam produk digital; entah dibuat di Amerika atau di Indonesia, logikanya tetap sama.

Ketika teknik digital berkembang menjadi teknologi komputer, lalu menjadi teknologi informasi, kita menemukan kualitas yang sama antara apa yang dibuat di Amerika dengan hasil salinannya di Jakarta. Antara software asli dengan software bajakan ada kesamaan dan keserupaan, identik. Kualitas program asli dengan program bajakan akan sama persis, karena memang program hasil copy tidak berbeda dari aslinya. Lalu, kalau semuanya serba sama, bagaimana menghargai yang satu lebih daripada yang lain?

Dari sisi hukum, penegakan dilakukan melalui Undang Undang Hak Cipta. Tetapi hal ini bukan suatu proses pemasaran yang positif, karena dengan begitu orang membeli berdasarkan rasa takut. Sekarang orang didorong untuk mencari program gratisan alias open source, yang semakin hari menjadi semakin baik. Secara bisnis, gambaran keuntungan besar dari perusahaan software menjadi semakin kabur. Tetapi ilusi bahwa perusahaan seperti Microsoft selamanya akan tetap untung masih ada serta diwujudkan dalam harga sahamnya yang masih tinggi. Mungkinkah mereka dapat terus menerus mendapat keuntungan?

Teknik digital memberikan kemampuan kepada manusia untuk membuat reproduksi-reproduksi yang persis sama, yang kemudian merambat pada bidang-bidang produksi lain. Sekarang orang bisa mereproduksi produk seperti sepatu dan tas dan pakaian menggunakan teknologi komputer, di mana hasilnya 99,99% sama. Maka, sementara produk fashion mewah dan mahal diciptakan di Paris, dalam hitungan minggu produk serupa dibuat di berbagai pelosok Asia dengan biaya yang jauh lebih murah sehingga juga bisa dijual murah. Tentu ada perbedaan dalam material yang dipakai, tapi siapa peduli? Toh produk fashion bersifat musiman dan tidak membutuhkan daya tahan sekuat itu.

Kenyataan ini kemudian dimanfaatkan dengan cerdas oleh berbagai pengusaha dan industriawan, sehingga kita melihat pertumbuhan ekonomi China yang mengesankan sementara Amerika terus menerus mengalami defisit perdagangan. Malah pengusaha komputer di China bisa membeli divisi komputer pribadi IBM, dan sekarang meluncurkan komputer dengan rancangan berkualitas dari IBM dengan harga jauh lebih murah, dijual dengan merek Lenovo. Transaksi ini menjadi suatu kisah tersendiri yang menonjol dalam industri komputer dunia. Bagaimana Amerika tidak semakin kehilangan nilainya? Tetapi, rakyat dan pemerintah Amerika dan negara maju lainnya masih tetap yakin pada ilusi kesuksesan masa depan mereka, serta mengenakan harga tinggi pada produk yang mereka buat. Sementara itu, dunia dalam kenyataannya mulai beralih pada produk-produk dari Asia: China, Taiwan, Korea, Malaysia, Singapore, Indonesia... Sayang Indonesia hanya kebagian yang berteknologi rendah.

Ilusi tentang kesuksesan di masyarakat negara maju di beri bahan bakar hutang, yang membuat mereka membeli apa saja dengan kartu kredit. Mereka yakin bahwa apapun yang dibuat negara maju mempunyai nilai tambah yang besar. Nyatanya mereka terus mengembangkan teknologi digital dan komputer dua kali lipat setiap 2 tahun, dihitung dari jumlah transistor yang dipakai pada sebuah CPU. Kondisi ini sedemikian konsisten seperti yang diramalkan seorang direktur dan co-founder Intel bernama Gordon Moore, yang pada tahun 1965 menyebutnya sebagai "Hukum Moore" dan masih berlaku hingga sekarang. Yang terjadi, justru negara-negara berkembang yang memanfaatkan teknologi ini untuk memajukan industrinya dan membuat barang yang lebih murah dengan keuntungan yang lebih kecil. Dari negara produsen, Amerika dan banyak negara Eropa berbalik menjadi negara pembeli, sementara mereka mengenakan harga yang tinggi untuk segala jasa dan hasil produksi mereka.

Krisis yang terjadi sekarang adalah pecahnya gelembung ilusi ini. Ternyata, hutang rakyat Amerika begitu besar. Ternyata, harga tanah dan rumah tidak dapat terus menerus meningkat. Ternyata, nilai dari jasa dan hasil produksi negara maju tidaklah setinggi harga yang mereka kenakan. Tetapi masalahnya, ilusi ini sudah diterima oleh seluruh dunia sebagai aksioma yang tidak dipertanyakan lagi. Orang di Indonesia masih ada yang berpikir bahwa semua yang dibuat di Amerika itu bagus dan layak berharga mahal -- padahal nyatanya tidak demikian dan harganya kemahalan. Ironisnya, hal seperti ini sudah terjadi waktu gelembung dot.com meletus -- ternyata nilai dari teknologi internet tidaklah setinggi yang diharapkan. Banyak orang di negara maju nyatanya masih terperangkap dalam ilusi kesuksesan.

Pada kita sekarang ada hal-hal yang lebih nyata. Kita memiliki komoditas, yang walaupun harganya sekarang turun tetapi dalam realita masih tetap dibutuhkan oleh manusia yang hidup. Kita memiliki pasar, jumlah penduduk yang bertumbuh. Dan pada kita ada kesanggupan yang sama untuk menangani teknologi digital, karena orang Indonesia juga sanggup berlogika seperti orang lain di seluruh dunia. Ada kesempatan untuk mendapatkan fasilitas yang serupa, atau justru berkontribusi dalam teknologi informasi. Sementara ilusi dapat hilang, hal-hal fundamental tetap bertahan.

Pertanyaannya, apakah kita juga turut terperangkap dalam ilusi yang serupa?

01 Desember 2008

Awas Gelombang Tsunami Ekonomi Melanda Indonesia

Sampai akhir bulan lalu, kita semua berharap melihat sebuah perbaikan terjadi di dunia. Bagaimanapun, di awal bulan lalu posisi bank sentral sudah bersepakat menurunkan suku bunga, sementara pemerintahan negara maju bersama-sama akan menggelontorkan dana talangan. Dengan perhitungan bahwa rasio P/E dari saham-saham sudah sangat rendah, tentunya akan terjadi pembelian kembali saham-saham, perbankan mendapat kembali keleluasaan dana untuk mengalirkan kredit, dan semuanya menjadi baik lagi -- setidaknya di Amerika dan Jepang. Yang masih berat adalah Uni Eropa dan negara-negara "emerging markets" karena yang satu memberi hutang dan yang lain dilanda hutang.

Tetapi, ternyata keadaan tidak berbalik secara demikian. Memang pasar modal sempat membaik, tetapi investornya bukan berasal dari rakyat Amerika. Orang-orang di Amerika masih kesulitan dengan hutang dan kehilangan aset, sehingga ekonomi mereka mengalami penyusutan. Ketika Wall Street mendapat berita baik seperti talangan dana untuk Citigroup, kondisi di Main Street (pasar riil) justru semakin berat. Mr. Obama melakukan gerakan yang tak lazim dengan mengajukan program untuk mendorong ekonomi dalam negeri selama 2 tahun kepada Kongres, sebelum ia dilantik di bulan Januari. Bagaimanapun kondisi seperti yang dialami oleh industri otomotif di Amerika telah menekan banyak sektor. Jutaan orang di PHK, jelaslah bahwa dunia tidak akan menjadi baik dalam semalam.

Bagaimana Asia? Saat ini jumlah pengangguran di seluruh Asia sudah mencapai 500 juta orang. Di China, beberapa kota seperti Guang Dong mulai mengalami protes dari buruh. Masalah Asia menjadi semakin pelik dengan adanya terorisme seperti di India dan protes politik seperti di Thailand. Masalah-masalah ini menunjukkan bahwa banyak orang di Asia tidak tahu dan tidak memahami apa yang sedang terjadi. Fokus banyak orang masih pada "siapa yang salah" ketimbang mengerti bahwa kondisi sekarang menuntut kerja sama -- tepatnya kerja keras bersama-sama -- baik dari pemerintah maupun elemen-elemen masyarakat. Pemimpin di Asia nampaknya mengalami kesulitan membawa rakyat bersama-sama mengatasi krisis, sementara tekanan ekonomi tidak kunjung mereda.

Di Indonesia sendiri, tekanan dari turunnya perekonomian mulai terasa nyata. Industri rotan di Cirebon menurun lebih dari 35%. Industri tekstil dengan tujuan ekspor turun lebih dari 40%. Industri elektronika, dan segala industri lain yang menggunakan bahan impor, untuk kemudian di ekspor, hari ini mengalami masalah serius. Dengan kondisi likuiditas ketat yang masih menarik banyak dollar kembali ke Amerika, di seluruh dunia nilai dollar menjadi tinggi. Biasanya, kalau dollar Amerika tinggi, eksportir Indonesia mengalami kemudahan karena harga produk menjadi lebih murah. Tetapi sekarang, eksportir justru kehilangan order sampai bulan Februari mendatang. Padahal, untuk mengimpor bahan baku dibutuhkan dana yang lebih besar. Bagaimana mempertahankan keberadaan industri? Rasionalisasi, efisiensi, dan tak terelakkan -- PHK.

Kunci untuk mengatasi kondisi seperti ini adalah kerja sama, yang harus dimulai dengan bersama-sama memahami persoalan yang ada. Kita membutuhkan birokrasi pemerintah yang mendukung produktivitas. Kita membutuhkan pengusaha-pengusaha yang membuka pasar-pasar baru, meraih peluang-peluang baru dalam negeri. Kita membutuhkan pekerja-pekerja yang produktif dan kreatif. Semua harus tahu bahwa saat ini adalah saat untuk memberi, untuk menanam benih-benih baru. Untuk itu, lebih daripada waktu-waktu sebelumnya, kita harus membuat rencana keuangan dan produktivitas yang lebih detil, lebih lengkap.

Produktivitas dimulai dari kompetensi. Aset terbesar adalah orang-orang yang mengerjakan, yang kreatif, dan bekerja sama. Kita membutuhkan positive business yang mempunyai 5 pilar: kasih, pengaruh/kepemimpinan, komitmen, kualitas, dan keandalan. Sudah waktunya orang Indonesia memecahkan masalah lama: orang Indonesia ragu dengan produk sendiri, malas beli produk dalam negeri. Ini adalah faktor kritis: selama kita tidak nyaman dengan produk dalam negeri, selama itu pula kita tergantung pada impor yang berarti tekanan ekonomi lebih besar lagi. Hal ini tidak bisa diselesaikan dengan slogan atau "gerakan" seperti yang dilakukan semasa orde baru, melainkan harus dengan promosi dan pencitraan yang baik, yang berangkat dari produk yang memang bagus.

Sisi berikutnya adalah perencanaan finansial, yang pada prinsipnya terbagi 3 hal: (1) Operasional, (2) Pertumbuhan/investasi, dan (3) Perlindungan /asuransi. Operasional yang efisien membutuhkan pengendalian yang baik, seperti balance scorecard dan activity based costing. Investasi dibutuhkan untuk melindungi kebutuhan arus kas di masa depan karena tekanan inflasi dan devaluasi. Asuransi dibutuhkan untuk menjamin likuiditas pada saat terjadi hal-hal seperti musibah yang menghilangkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga.

Kondisi sulit menuntut sikap yang berbeda dalam membuat perencanaan finansial. Dalam kondisi yang lebih mudah, mungkin kontrol operasional bisa lebih longgar, dan tindakan-tindakan uji coba, try-and-error, masih bisa dibuat karena masih ada budget untuk eksperiman. Tetapi sekarang, kita harus lebih banyak bersandar pada data dan analisa sebelum membuat suatu langkah; tidak boleh melakukan banyak kesalahan sekarang. Demikian juga dengan investasi: mungkin sebelumnya kita hanya mengejar tingkat bunga saja, setinggi-tingginya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Sekarang, kita harus membuat investasi dengan pertimbangan lengkap di keempat sisi investasi: resiko, hasil, perubahan, dan peraturan yang berlaku. Portofolio investasi yang seimbang harus memiliki margin yang cukup pada bentuk-bentuk yang stabil seperti obligasi pemerintah, sementara mempertahankan pertumbuhan yang baik pada bentuk yang lebih fluktuatif, baik saham (jangka panjang) maupun komoditas (jangka pendek).

Di sisi asuransi, dalam 3 tahun terakhir ini kita semua menyukai unit link. Produk ini masih tetap baik, tetapi kita harus mulai menghitung tingkat pengembaliannya dibandingkan biaya yang dikenakan, kalau-kalau polis kita tahu-tahu dibatalkan karena jumlah unitnya menjadi 0. Kita perlu mengingat, dalam unit link hasil investasi akan dipotong secara teratur untuk membayar biaya asuransi. Ketika jumlah biaya lebih tinggi daripada hasil investasi, mungkin karena investasi terlalu kecil atau biaya terlalu besar, maka sedikit demi sedikit pokok investasi akan berkurang, sampai akhirnya menjadi nol. Yang lebih baik mungkin mengambil produk asuransi jiwa seumur hidup yang perlindungannya dijamin oleh perusahaan asuransi jiwa.

Tentang asuransi seumur hidup, berlawanan dengan paham umum, saya justru menemukan bahwa lebih untung mengambil asuransi seumur hidup dengan satu kali pembayaran premi, atau disebut juga single premium. Mengapa? Karena, dalam single premium, komisi untuk agen persentasenya adalah yang paling kecil. Kalau mempunyai dana, kita bisa memindahkan sekaligus untuk asuransi DAN investasi bukan pada 1 produk unit link, melainkan 2 kontrak, yang satu polis asuransi yang lain kontrak reksa dana. Dengan dana 250 juta, seorang pria berusia 40 tahun bisa mendapat asuransi jiwa seumur hidup sampai Rp 1 Milyar, dijamin berlaku sampai umur 100 tahun DAN reksa dana yang baik, sehingga dengan rata-rata tingkat bunga 11% saja, uang 250 juta itu bisa kembali kira-kira di tahun ke-10. Lebih menarik lagi, asuransi jiwa seumur hidupnya mempunyai bonus majemuk, sehingga semakin lama polis berjalan, uang pertanggungan yang diterima dapat lebih besar, menahan laju inflasi yang menurunkan nilai uang pertanggungan di masa depan.

Perencanaan finansial harus berkaitan langsung dengan produktivitas yang diharapkan. Kombinasi yang tepat dari kedua hal ini mempersiapkan kita untuk menghadapi gelombang tsunami ekonomi yang mungkin akan melanda Indonesia, setidaknya di kuartal pertama tahun 2009. Ini adalah gelombang Wealth Destruction yang menggerus kemampuan orang Indonesia untuk meraih laba dan peningkatan, sekaligus mengikis kekayaan yang ada dalam tingkat yang sangat besar; sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam 70 tahun terakhir. Untuk itu, sekali lagi kita harus bergantung, satu-satunya dan hanya kepada TUHAN yang lebih besar daripada semua masalah ini. Kebergantungan kita kepada Tuhan juga menuntut kita untuk bersikap benar, dalam segala situasi, pada kesempatan pertama. Kemudian kita mengerjakan segala sesuatu seperti untuk Tuhan, dalam hormat dan takut, melakukan bagian kita dengan baik.

Kebenaran meninggikan derajat bangsa.