Cari Blog Ini

29 April 2016

Tax Amnesty Indonesia 2016

Perkembangan menarik di Indonesia. Adanya Tax Amnesty membuat beberapa reaksi. Bagi negara2 yang selama ini memperoleh dana dari Indonesia, mereka ketar ketir. Bila Tax Amnesty (TA) berjalan dan menarik dana dari negaranya, akan jadi masalah ekonomi. Jadi mereka melakukan lobi dan entah apa, untuk menggagalkan TA, atau untuk membuat TA jadi tidak menarik.

Di sisi lain, investor melihat Indonesia bisa terbang sangat cepat dengan "rocket fuel" dana sangat besar yang dibawa masuk jika TA berjalan. Indonesia masih sangat luas, sangat banyak daerah yang belum berkembang. Jadi ada dana banyak, ada banyak juga daerah bisa dibangun. Keunggulan Indonesia: Stabil dalam pemerintahan, demokratis, dan sekarang kuat membersihkan diri dari korupsi. Aturan yang lebih adil dan terbuka. Plus, jumlah penduduk yang banyak. Saat ini, 252 juta jiwa, dan masih bertumbuh.

Bandingkan dengan negara maju yang tidak ada tempat untuk dibangun besar-besaran, yang penduduknya malas menikah, malas berkeluarga dan punya anak, yang secara statistik orang tuanya banyak sekali.

Demografi adalah akar masalah ekonomi saat ini: Orang muda yg lebih sedikit harus menanggung orang tua dan anak-anak mereka, sementara ada hutang besar yang juga harus dibayar. Hutang yang timbul dari skema serupa Ponzi, tapi ukurannya raksasa, dilakukan oleh negara.

Indonesia bebas dari semua penyakit itu. Hutang Indonesia masih dibawah 60% PDB, dan masih berupa hutang produktif. Bukan hutang untuk bayar gaji PNS, yang merupakan hutang konsumtif.

Tidak heran kalau dana dari luar negeri terus masuk, investor yang mau ambil bagian ketika ekonomi Indonesia melesat. Lihat bagaimana IHSG tetap positif ketika yang lain negatif?

Sudah cukup lama kita duduk sedih dalam kondisi investasi suram dunia. Kini waktunya untuk bangkit dan melihat ada kesempatan bagus yang mungkin segera terjadi.... Tentunya masih ada perjuangan, karena banyak yang tidak mau TA jadi kenyataan hebat, yang berarti musibah hebat bagi mereka....

Mari berdoa dan bersemangat!

16 April 2016

Sektor Jasa Keuangan dan OJK

SEKTOR JASA KEUANGAN -- adalah area di mana produk keuangan diluncurkan. Di Indonesia, pengawasan dan regulasi SJK ada di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dan kita saat ini bisa melihat Master Plan dari OJK untuk SJK dari tahun 2015-2019. Bagian ini penting karena OJK, yang baru muncul 2014, kini mengambil peran sentral dan penting dalam sektor jasa keuangan di Indonesia.

Hanya, yang memahami situasinya, mungkin masih mengangkat alis. Atau angkat tangan? Masih ingat, dua tahun lalu orang meributkan soal bagian yang harus dibayarkan oleh Lembaga Jasa Keuangan (LJK) kepada OJK. Lha, ini regulator atau mau pungut memungut dana saja dari perusahaan keuangan? Ahh…. Itu salah paham yang terjadi dua tahun lalu.
 
Ada lima kelompok yang ditangani OJK. Ada perbankan, ada perusahaan pembiayaan, ada perusahaan sekuritas dan manajemen aset, ada perusahaan asuransi, dan ada bursa efek juga bursa berjangka. Eh, dari sudut pandang OJK, pembagiannya adalah Perbankan, Pasar Modal, IKNB, dan Syariah. OJK juga menangani Konsumen; bagaimana mendidik konsumen untuk lebih paham.

Ribet-ribetnya: belum tentu para pelaku, para agen, di dalam SJK ini sungguh memahami urusannya. Berapa banyak agen bank yang sungguh-sungguh mengerti dan bisa membantu nasabah untuk membuat perhitungan usaha? Berapa banyak agen asuransi jiwa yang sungguh-sungguh dapat melayani nasabah memperoleh asuransi jiwa yang sesuai?

Ok deh. Bicara fakta ya. Faktanya, orang modern tidak mungkin lepas dari jasa keuangan. Jika mau bertransaksi, jaman sekarang ini sangat butuh jasa bank. Butuh taruh dana di bank. Butuh buat penjaminan di bank. Sebaiknya menaruh uang dan menarik uang melalui bank -- daripada memakai jasa tetangga.

Jadi, ayo pakai jasa bank! Kalau kantor cabang nggak ada, kan sekarang ada program LAKU PANDAI yang bisa bawa bank ke depan pintu toko. Manfaatkan dong? Tapi, namanya transaksi ya ini berjangka pendek.

Untuk jangka panjang? Sebaiknya menaruh di instrumen investasi; saya menyukai REKSA DANA, yang bahasa Inggrisnya adalah Mutual Fund. Ini adalah suatu Kontrak Investasi Kolektif, di mana dana dikelola oleh Manajer Investasi dari suatu perusahaan Manajemen Aset. Jadi, kalau berpikir mau menabung jangka panjang, lebih dari 1 tahun, ya taruh di Reksa Dana sajalah.

Asuransi sangat penting sebagai penjamin, memastikan adanya PERTANGGUNGAN di saat terjadi musibah. Maksudnya begini: kalau terkena musibah (dan semua musibah itu bakal mengambil duit Anda), ada yang menanggung sebagian atau seluruh pengeluaran yang besar itu. Kalau nggak ditanggung orang lain, ya siap-siap menanggung sendiri semua kehilangan itu.

Pusingnya begini: buat menabung jangka panjang, orang memilih taruh di deposito. Lha, itu kan jangka pendek? Tapi mereka memakai fasilitas ARO - Automatic Roll Over, dalam deposito yang tidak lagi dicek, tidak lagi dikendalikan, dan tidak lagi dilihat apakah bunga riilnya positif atau negatif. Jadi bank dikasih banyak uang yang tidak mengalir. Tahu apa yang terjadi ketika sang pemilik uang meninggal dunia?

Untuk itu, ada agen asuransi yang mengajari bahwa lebih baik menabung jangka panjang -- misalnya untuk biaya pensiun, di Asuransi Jiwa. Nah dibuatlah perbandingan begini: kalau nabung di bank dapatnya cuma segini, nabung di asuransi unit link dapatnya segini, lebih besar! Ada salah paham besar di sini: yang namanya investasi itu tidak pasti, tidak dijamin. Kalau ada ilustrasi asuransi unit link, baca baik-baik HASIL INVESTASI TIDAK DIJAMIN. Maka tidak bisa dibilang bahwa hasilnya akan segini dan nanti pasti jadi segini.

Lagipula, sudah sadar belum, kalau dalam program asuransi unit link, investasi berupa unit itu akan OTOMATIS dicairkan secara periodik SEPANJANG KONTRAK untuk membayar biaya asuransi? Jadi misalnya orang berinvestasi untuk pensiun, tapi investasinya secara periodik dicairkan untuk bayar biaya asuransi. Ini bukan tipuan, MEMANG seperti itulah Asuransi Unit Link.

Terbayang.… ini ayah dan bunda setengah mati menabung untuk ananda nanti kuliah, tanpa sadar unitnya banyak dihabiskan untuk biaya asuransi, karena agennya dengan manis membujuk untuk mengambil banyak manfaat tambahan dalam asuransi, yang semuanya bakal meminta dibayar biaya asuransi. Soalnya, bagi sang agen, semakin banyak manfaat tambahan, semakin banyak pula komisi didapatkan. Miris 'kan?

Masih mau, menabung buat biaya pendidikan nanti, di produk Asuransi? Begini lho: jika MEMANG mau berinvestasi, pilihlah produk investasi. Sekali lagi: sebaiknya menaruh di instrumen investasi seperti Reksa Dana. Atau kalau punya kemampuan dan kompetensi cukup, belilah SAHAM. Tuh, OJK juga buat program NABUNG SAHAM….

Susahnya, banyak yang tidak paham ya.

Seperti, banyak orang yang gagal paham bahwa Asuransi itu memberikan PERTANGGUNGAN yang sangat dibutuhkan dalam kondisi terjadi musibah. Semua orang punya risiko, tidak bisa dihindari. Satu-satunya jasa keuangan yang memberi dana saat musibah terjadi adalah Asuransi. Yang lain, kalau misalnya punya kredit ke bank, itu kredit langsung JATUH TEMPO ketika debitor meninggal dunia.

Jadi, yang terpenting dari Asuransi adalah UANG PERTANGGUNGAN yang diberikan. Dalam Asuransi Jiwa yang sampai usia 100 tahun, besarnya Uang Pertanggungan (UP) itu hampir pasti akan diterima, karena jarang yang hidup lebih dari 99 tahun. Dalam kepastian itu, orang bisa hitung berapa premi yang dibayarkan dibanding berapa UP yang diterima oleh keluarga…. Dan dengan demikian, Asuransi Jiwa juga menjadi instrumen untuk pemindahan kekayaan yang sangat efisien, bebas pajak dan bebas dari biaya hukum. (Soal ini, nanti kapan2 ditulis lebih banyak).

Kondisi saat ini adalah: banyak yang salah jual, banyak yang salah beli. Produk keuangan itu bagus, tapi kalau ada salah jual, ada salah beli, dan pastinya salah paham -- maka bisa terjadi kerugian yang sangat menyebalkan.

Peran OJK sangat penting sebagai regulator, yang memberikan kontribusi untuk mengembangkan pembangunan. Dengan OJK menjaga kestabilan sektor jasa keuangan, masyarakat akan lebih aman untuk mengambil produk jasa keuangan -- karena kalau ada yang ngawur, bisa mengadu ke OJK 'kan? Masyarakat bisa bilang ke OJK, ini produk ngawur, saya dirugikan! -- maka OJK bisa datang untuk menyelidiki.

Bisa saja, perusahaan memang salah. Atau agennya salah. Atau konsumennya yang salah. Ada aturan, dan kita bisa lihat apakah peraturan diikuti, atau dilanggar. Eh. Belum tentu perusahaan atau agen salah ya. Yang mau nakal terhadap lembaga keuangan juga ada. Rampok ada di mana-mana…..

UU memberikan kekuasaan kepada OJK. UU No. 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian, misalnya, memberi banyak kekuasaan kepada OJK untuk mengatur. UU itu juga memberikan ancaman pidana kepada agen atau pihak manapun yang memanipulasi nasabah, yang merugikan nasabah. Jadi, merasa ditipu oleh agen asuransi? Sekarang bisa datang ke polisi dan buat LP, atas pelanggaran UU No. 40 Tahun 2014. Ancaman max hukuman 5 Milyar dan/atau 5 tahun penjara…..

Nggak main-main jadi agen asuransi ya.

Hal-hal begini, seharusnya memberikan ketentraman bagi nasabah. Semoga agen yang tidak kompeten menjadi takut karena ancaman ini dan terus keluar. Maka hanya agen profesional yang betul-betul mampu yang datang melayani masyarakat. Lebih baik bagi masyarakat 'kan?

Profesionalisme dibutuhkan, karena kita sedang mengalami situasi yang sukar dalam perekonomian global. Pilihan yang salah, membawa akibat yang berat. Misalnya begini: dulu orang tua kita nabung sebisanya, itu cukup untuk memasukkan kita masuk kuliah. Sekarang, jika kita jadi orang tua, program menabung/berinvestasi harus dibuat secara serius. Kalau tidak begitu, tidak cukup uang untuk memasukkan anak kita kuliah.

Asuransi juga begitu: dulu kalau ada yang kena musibah, banyak keluarga yang datang dan membantu, juga secara finansial. Untuk pemakaman juga ada uang patungan. Tapi sekarang, kalau sang ayah meninggal dunia…. Ibu dan anak-anak harus menanggung sendiri. Mana keluarga besar yang datang membantu? Malah, keluarga harus keluarkan biaya untuk makan-makan para keluarga yang datang melayat…. Biaya final jaman sekarang mahal, dan semakin mahal. Kalau asuransi jiwa cuma 10 - 50 juta, mana cukup?

Melek finansial -- literasi finansial -- menjadi suatu kebutuhan yang semakin mendesak. Umm…. OJK sampai di mana ya, untuk ini? Semoga, OJK bisa bekerja lebih cepat, lebih profesional, dan tidak terus bingung karena aturan-aturan lama yang tidak cocok dengan kondisi lapangan….

Namun, nampaknya kita harus bersabar…. Apalagi dengan para pembuat UU yang nampaknya tidak begitu paham dengan seluk beluk riil dari kondisi ekonomi dan masyarakat Indonesia. Dan coba lihat, bukankah ruang media kita masih penuh dengan keributan tentang Sumber Waras -- yang sebenarnya lebih memperlihatkan betapa TIDAK KOMPETEN nya BPK dalam bekerja?

Sampai, tidak tahu lagi, apa sih pentingnya semua pemberitaan dan keramaian begini?

Ini bagus untuk disimpan: http://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/info-terkini/Pages/Master-Plan-Sektor-Jasa-Keuangan-Indonesia-2015-2019.aspx

Indonesia - Quo Vadis?

INDONESIA berada di tengah ekonomi global yang lelah. Seperti orang yang terus-menerus harus meniup balon yang bocor, tapi harus dijaga tetap mengembang. Kalau balon ini kempes, ekonomi kempes, hancurlah gaya hidup dan kehidupan banyak negara, banyak rakyat yang akan menderita. Tapi terus menerus meniup balon bocor ini selalu melelahkan…

Perbankan, bank sentral, mempunyai kewenangan dalam menetapkan kebijakan moneter. Sudah tahu belum, sekarang Bank Indonesia akan menetapkan BI Rate dengan cara berbeda? Tadinya, BI Rate berlaku untuk jangka waktu 12 bulan. Jadi misalnya mau taruh duit di deposito, diberi bunga yang hitungannya per tahun (walau depositonya hanya 1 bulan). Mulai bulan Agustus 2016, yang jadi patokan adalah suku bunga pinjaman antar-bank yang dikenal sebagai 7-days-reverse-repo-rate.

Sederhananya (mohon maaf dan koreksi kalau ada salah dalam penyederhanaan ini). Pemerintah kan mengeluarkan surat utang negara (SUN). Nah, SUN ini dijual BI kepada Bank dengan perjanjian nanti, 7 hari kemudian, dijual balik oleh Bank kepada BI (makanya disebut repo) dengan harga lebih rendah (alias reverse). Bank memperoleh keuntungan dari reverse-repo. Rate dari 7-days-reverse-repo ini menjadi patokan, ambil 75 bps lebih rendah untuk suku bunga tabungan dan 75 bps lebih tinggi untuk suku bunga pinjaman.

Akibatnya? Di satu sisi, suku bunga tabungan jadi nggak tinggi. Di sisi lain, suku bunga pinjaman juga jadi nggak tinggi. Secara keseluruhan, pergerakan suku bunga bisa menjadi lebih sempit untuk transaksi yang jangka waktunya lebih pendek. Yang diharapkan, duit lebih banyak beredar di pasar, daripada di bank. Posisi bank adalah jadi intermediasi bisnis, dukung transaksi bisnis. Taruh duit di bank untuk bisnis!

Nah, repot-repotnya, orang masih menaruh duit di bank, seperti deposito, untuk jangka panjang. Kalau boleh menduga-duga, nanti perubahan BI Rate bisa lebih seru, jadi bunga deposito juga bisa lebih fluktuatif dari bulan ke bulan. Siapa bilang menaruh duit di deposito itu stabil dan garis lurus tetap sama? Sebaiknya orang taruh duit jangka panjang di instrumen investasi, seperti Reksa Dana.

Namun gimana nih, saat ini dana di reksa dana kebanyakan datang dari institusi baik perusahaan, yayasan, maupun dana pensiun, bukan perorangan. Jumlah reksa dana dari perorangan hanya berapa % ya? (belum dapat datanya).

Lantas, ada juga urusan perpajakan. Pemerintah nampak bingung karena ingin menarik pajak sekaligus menjaga konsumsi masyarakat. Maka, Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) naik dan diwacanakan naik lagi, sementara kegiatan Dirjen Pajak mengejar WP Perorangan semakin giat. Yang bayar pajak tentunya adalah para WP yang pendapatannya di atas 3 jt per bulan (saat ini -- diwacanakan nanti jadi 4,5 jt per bulan).

Masalahnya, orang pajak hanya melihat bahwa ada penghasilan sekian untuk dipajaki. Pendapatan lebih tinggi sebenarnya bisa dibagi dua kelas: yang datang sebagai pendapatan/gaji/upah/income, dan yang datang sebagai kapitalisasi dari risiko dalam mengerjakan aset. Ada perbedaan besar.

Kalau namanya gaji, itu kan stabil, tidak pakai risiko. Karyawan dapat gaji rutin, apapun kondisi perusahaannya.
Kalau namanya aset, bisa untung bisa juga rugi. Hari ini untung besar. Besok rugi besar. Biasa dalam bisnis.

Jadi tidak biasa, ketika semuanya dipajaki dengan cara yang sama, asal lihat angka penghasilan. Jadi lebih tidak cocok lagi, ketika pajak juga melihat kekayaan dan peningkatan kekayaan sebagai pokok pengenaan pajak yang sama besarnya. Kenapa?

Karena kalau memiliki aset dan terus mengalami dipajaki selangit adalah peraturan yang harus diikuti tanpa bisa ditawar lagi, maka… lebih baik jadi karyawan dan terima gaji. Sebaiknya setinggi-tingginya jadi karyawan dan terima gaji besar. Mungkin pajaknya besar, tapi kan pendapatan itu nggak ada risikonya?

Daripada jadi pengusaha. Waktu ada pendapatan besar, harus dilaporkan dan dipajaki sama besarnya seperti karyawan. Tapi waktu ada kerugian, akibatnya pajaknya lebih kecil -- terus datanglah petugas pajak dan mencari tahu kenapa pendapatan menurun, kenapa bayar pajak lebih sedikit? Maunya pajak tinggi terus, makin tinggi terus….

Dalam ekonomi seperti sekarang di mana tingkat risiko lebih tinggi, pengusaha mempunyai beban berat mempertahankan tingkat perputaran usaha. Mau sama saja sudah susah -- bagaimana caranya bisa membuat usaha bertumbuh? Tapi orang pajak punya target dalam memperoleh pungutan pajak. Ini kan jadi pilar penopang APBN, apalagi dengan kondisi harga minyak rendah, harga komoditi rendah, dan pajak dari ekspor tidak bisa diharapkan sebesar dahulu.

Dengan PTKP dinaikkan ke 4,5 jt per bulan, sebagian besar rakyat Indonesia tidak bayar pajak. Yang sebagian kecil harus bayar pajak dengan taat -- bukan saja laba, tapi juga aset dikenakan pajak. Bagi orang yang punya aset, mau taruh di mana? Menaruh aset di negara-negara yang tidak memajaki aset dan kekayaan menjadi menarik (termasuk di Amerika Serikat -- di sana aset nggak dipajaki).

Tax Amnesty adalah usaha 'mengampuni kesalahan' orang yang menaruh aset di luar negeri, sehingga kekayaannya itu tidak dikenakan pajak. Harapannya, dengan tax amnesty maka asetnya boleh kembali ke Indonesia…. Nggak dipajaki atas apa yang sudah terjadi di masa lalu, tapi untuk selanjutnya bisa dikenakan pajak dong?! Lagipula, aset yang jumlahnya sangat besar itu -- konon mencapai 11 quaddrilliun -- akan membuat dorongan yang sangat besar dalam likuiditas di Indonesia; dan utamanya adalah selanjutnya menjadi objek pajak.

Kemarin, dari konsultasi DPR dengan Presiden, RUU Tax Amnesty nampaknya akan segera dikeluarkan sebagai UU.

Sejujurnya saya merasa takut dengan kondisi yang mungkin terjadi. Bayangkan, semisal ada duit 11.000 Triliun (buat perbandingan, total dana pihak ketiga di perbankan Indonesia sekitar 4.000 Triliun) masuk ke Indonesia…. Duit itu kan milik institusi dan individu. Lari ke mana? Taruh di Bank?

Kalau taruh di bank, itu bank nya kelimpungan kebanyakan duit. Mau dikemanain duitnya? Siapa yang mau pinjam duit, yang punya tingkat risiko sepadan?
Kalau ditaruh ke pasar, misalnya terus dibelanjakan properti, maka harga properti akan terus terbang ke langit, sampai menjadi gelembung yang nggak masuk akal.
Kalau ditaruh ke pasar modal, terjadi gelembung pasar modal yang gila-gilaan -- karena semua investor (termasuk saya) pasti akan terus beli saham apapun, yang harganya akan naik jauh berlipat-lipat dibandingkan earning dari perusahaan. Mau beli saham dengan PER berapa?

Inflasi, jadi hyper-inflation. Kalau berpikir ada duit banyak masuk Indonesia itu lantas bagus, mungkin di depannya saja nampak bagus. Sudah tahu belum, ada orang mati karena kebanyakan makan? Ini perbankan sedang berusaha membuat duit nggak banyak dan nggak lama2 di perbankan kok, dengan pengaturan BI Rate baru itu.

Hampir pasti, duit yang banyak itu nggak akan masuk secara merata ke akar rumput, terbagi ke seluruh rakyat. Kemampuan dan kompetensi orang tetap akan jadi pembeda -- yang terjadi adalah gap yang lebih besar antara orang kaya dan miskin, parameternya coba cek koefisien gini yang terjadi.

Tapi orang pajak kan punya target ya….

Bagaimana ya, nasib rakyat Indonesia?

Secular Stagnation

SECULAR STAGNATION -- adalah kondisi pertumbuhan ekonomi rendah sekali di mana dalam tingkat kekayaan yang besar, jumlah tabungan melebihi jumlah investasi jangka menengah - panjang. Artinya, uang tersimpan lebih banyak di brankas daripada diputarkan untuk bangun (misalnya) infrastruktur dan pendidikan, yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan yang berkelanjutan. Alhasil, pertumbuhan ekonomi menurun, pendapatan per kapita menurun. Bisa dibilang: ekonominya stagnan. Bagi yang punyai duit di tabungan, nggak mau nilainya menurun dong…. Jadi mereka terus mengalihkan kekayaannya di negara yang pertumbuhannya masih bagus. Akibatnya, duit mengalir keluar dan menyebabkan devaluasi mata uang, kalau jumlah uang keluar banyak sekali.

Devaluasi mata uang itu membuat nilai barang ekspor jadi menurun, dan terus meningkatkan pesanan, membuat pabrik berjalan, orang bekerja, dan pendapatan tetap dijaga nggak jeblok-jeblok amat, pertumbuhan ekonomi nggak sampai negatif -- masih berkisar di angka 0%.

Cerita ini terjadi di berbagai negara maju, di Eropa dan Jepang. Lihat saja Jepang: ekonomi Jepang parah, tapi investor Jepang banyak taruh duit di Indonesia. Dan bagi negara-negara ini, penguatan mata uang adalah masalah. Mereka mau supaya terjadi devaluasi -- perang mata uang adalah kompetisi saling menurunkan nilai mata uangnya. Mungkin cuma orang Indonesia saja yang suka kalau mata uang Rupiah menguat….

Bagi negara seperti Jepang, duit dikeluarkan dari sistem perbankan dengan membuat rate suku bunga negatif; artinya orang DIHUKUM karena menaruh duitnya di perbankan Jepang. Begitu juga dengan Eurozone. Ya itu duit terus dikeluarkan…. Dan untuk itu bank sentralnya tidak berbuat apa-apa. Tidak melakukan apa-apa adalah pilihan yang mereka ambil.

Sementara, uang mengalir kembali ke AS, dan dengan ragu-ragu masuk ke pasar saham serta investasi lain. Masalahnya, dengan Secular Stagnation maka nilai barang Amrik jadi tinggi, biaya dan harga barang & jasa Amrik tinggi…. Dan The Fed yang neracanya seperti gajah bengkak itu, pelan-pelan tapi pasti menaikkan suku bunganya. Bagi The Fed, sudah tidak banyak pilihan, opsi mereka terbatas. Mau ikutan bikin duit keluar dari Amerika? Itu bisa meruntuhkan pasar saham. Mau menahan duit terus ada di dalam negeri? Harga barang menjadi tinggi.

Logika ekonominya gampang sih. Di mana duit berkumpul, di sana terjadi kenaikan harga yang menyebabkan barang nggak kompetitif lagi. Kalau mau tetap ada pesanan, tetap ada pertumbuhan ekonomi, maka duit nggak boleh kumpul terlalu banyak terlalu lama.

Tapi secular stagnation ini bikin frustasi para pemegang duit. Kalau berlama-lama begini, kepercayaan kepada para pembuat kebijakan menjadi semakin terkikis. Para pembuat kebijakan bank sentral itu mungkin membuat keputusan yang secara politis bagus buat kebanyakan rakyat, 80% penduduk yang hidup dari gaji mereka. Tapi, itu jelek untuk 5% high-net-worth-individual investors yang punya uang sedemikian banyak dan ingin melihat ada pertumbuhan. Mereka kalau mau charity ya charity, yang bisa dipakai potong pajak. Nggak mau disuruh menerima rate negatif.

Jadi…. Ada kemungkinan pasar saham di amrik bakal anjlok, yang tidak selalu berarti bursa efek Indonesia ikutan anjlok…. Haeh. Kondisinya susah diprediksi.

Moga-moga nggak lelah membaca posting begini…. Hahaha (NEXT: bagaimana Indonesia)

12 April 2016

Panama Papers

PANAMA PAPERS membuat mata terbuka tentang praktek orang-orang kaya untuk menyelamatkan kekayaannya dari incaran pajak. Ok. Sebelum lebih lanjut, lebih dahulu harus dipahami ada dua hal yang berbeda soal tidak membayar pajak ini. Yang pertama adalah PENGGELAPAN PAJAK (Tax Evasion), yang merupakan kriminal. Yang kedua adalah PENGHINDARAN PAJAK (Tax Avoidance), yang bisa saja sepenuhnya legal.

Penggelapan pajak adalah, situasi dimana orang atau badan usaha seharusnya membayar pajak, namun melakukan berbagai manipulasi dan pat pat gulipat, sehingga tidak bayar pajak atau membayar pajak lebih kecil. Seringkali caranya kerjasama dengan petugas pajak…. Itu adalah tindakan kriminal, berakhir di penjara.

Penghindaran pajak adalah, situasi dimana orang mengatur badan atau aset dan hasilnya menjadi BUKAN objek pajak, atau setidaknya hanya sebagian membayar pajak, melalui penetapan yang SAH dan diijinkan. Ini bukan tindakan kriminal, namun secara moral patut dipertanyakan.

Kenapa patut dipertanyakan? Karena, secara moral, seorang warganegara yang baik akan bersedia membela dan membangun negaranya dengan rela membayar pajak secara penuh. Seharusnya, selayaknya, pajak dibayar agar negara memperoleh cukup pendapatan untuk bekerja, menjaga kehidupan seluruh rakyat.

Di sisi dirjen pajak, pokok utamanya sederhana: ada target yang harus dicapai, di mana penerimaan pajak menjadi salah satu pendukung utama APBN. Jadi, harus dipikirkan bagaimana pungutan pajak bisa dilakukan lebih banyak, lebih luas -- supaya anggaran belanja negara tercukupi.

Di sisi wajib pajak…. Apakah seseorang yang bekerja lebih banyak, lebih keras, menjadi wajib untuk mendukung bangsa dan negara ini? Mereka yang berjerih lelah membangun perekonomian, patutkah mereka diberi hadiah berupa dikejar-kejar untuk bayar pajak?

Sedangkan, sebagian besar orang di usia kerja, yang pendapatannya 3 jt per bulan, tidak dikenakan pajak (PTKP adalah 3 jt per bulan atau 36 jt per tahun)?

Pertanyaannya berlanjut menjadi, masih adakah hak azasi seorang untuk memiliki, menyimpan, dan mengelola hartanya sesuai dengan apa yang dikehendakinya? Jika masih ada hak azasi itu, maka apa yang melarangnya untuk menaruh hartanya di luar negeri? Orang Indonesia bisa menaruh harta di mana saja, kan?

Mereka menaruh harta di luar negeri, dengan cara membentuk perusahaan asing. Sahamnya dibuat atas nama warganegara asing tempat perusahaan didirikan, sementara si pemilik harta sebenarnya hanya menjadi direktur pelaksana. "Perusahaan asing" ini terus bekerja di Indonesia, mendapatkan untung, dan tentunya membayar pajak badan secara normal (bukan menggelapkan pajak lho).

Karena ada keuntungan, maka ada dividen dari saham. Keuntungan ini secara hukum diterima oleh warganegara asing tadi, tapi itu hanya nama saja…. Dan oleh orang Indonesia ini dana itu terus dibuatkan menjadi aset lain, perusahaan lain, juga di luar negeri. Dari waktu ke waktu, kekayaannya bertambah.

Orang Indonesia ini akan 'dibayari' oleh perusahaan asing yang didirikannya -- itu adalah biaya operasional yang mengurangi laba. Tentunya sebagai 'pegawai' ia akan dikenakan pajak penghasilan -- tetapi bukan dihitung dari segala kekayaan yang sebenarnya. Pajak yang dibayarnya jauh lebih kecil daripada peningkatan kekayaan yang dimilikinya. Perusahaannya terus bertambah, bertumbuh, berada di luar negeri.

Perusahaan Panama itu menjadi penyedia jasa untuk membuat semua hal ini bisa terjadi.

Secara hukum, semua ketentuan perpajakan dipenuhi. Tidak ada penggelapan pajak. Kekayaan, aset perusahaan bertumbuh di negara yang tidak mengenakan pajak pada aset dan kekayaan. Negara-negara ini hanya memungut sebagian kecil dari pendapatan laba perusahaan, untuk menutupi biaya negeri yang kecil mungil dan berpenduduk tidak sampai satu juta orang itu. Kalaupun mau melakukan 'pelacakan' kekayaan, nama orang Indonesia tidak muncul dalam dokumen pemilik di akte. Perjanjian antara orang Indonesia dan warga asing yang ditunjuk, itu adalah perjanjian khusus berdua saja, yang tidak diumumkan.

Jadi….. Kalau tidak ada pelanggaran hukum, maka tidak bisa dilakukan tindakan hukum. Namun secara moral, hal ini mengganggu -- dan muncul usaha untuk mengambil kembali 'kekayaan' itu…. Masalahnya, secara politik, bagaimana menyelaraskan antara hak individu dengan kebutuhan komunitas? Jika secara politik, demi popularitas partai politik, dilakukan langkah-langkah represif, misalnya memenjarakan orang kaya itu untuk memaksanya….. Apa dasar hukum untuk memenjarakan orang karena melakukan penghindaran pajak, dan secara hukum memasang nama orang lain sebagai pemilik yang sah?

Lebih jauh lagi, tindakan represif hanya membuat orang-orang kaya itu terus pergi dari Indonesia, dan menarik semua aset dan usaha mereka. Sebagai pemilik yang sebenarnya, bukankah mereka bisa melakukan hal itu? Toh masih ada negara lain di atas muka bumi ini. Pemerintah tidak bisa menjadi lebih pandai daripada orang yang memikirkan cara untuk memperoleh kekayaannya.

Orang Indonesia tidak harus punya aset di Indonesia.
Orang Indonesia tidak harus berbisnis di Indonesia.
Orang Indonesia tidak harus berbahasa Indonesia.
Orang Indonesia bisa berubah menjadi bukan Indonesia.


Yang tertinggal hanya orang Indonesia yang biasa-biasa saja, dan bisanya cari makan -- bukan menyediakan pekerjaan. Jadi, siapa yang sebenarnya kehilangan?