Cari Blog Ini

12 November 2007

Kebenaran Dalam Arena Globalisasi

Ketika ekonomi dihubungkan dengan kekristenan, pertanyaan yang seringkali muncul adalah: "Apa konsep ekonomi yang paling sesuai dengan iman Kristen?" Ada begitu banyak pendapat, masing-masing berusaha menggali dari Alkitab, di mana kadang-kadang pendapat yang (katanya) berasal dari tafsir Alkitab itu ternyata saling bertolak belakang. Lagipula, jika diperhatikan ternyata banyak pendapat itu tidak hanya berkaitan dengan ekonomi, tetapi banyak berisi tentang etika sosial dan lebih spesifik lagi, politik. Yang dikemukakan adalah berbagai peristiwa politik, berkaitan dengan banyak kepentingan dan kompetisi memanfaatkan kesempatan demi berbagai keuntungan -- termasuk keuntungan ekonomi.

Kenapa teori ekonomi -- teori ekonomi klasik, Keynesian, atau neo-klasik -- dikemukakan? Ketika Adam Smith meluncurkan Wealth of Nations di tahun 1776, ia merangkumkan apa yang mulai terjadi pada masanya. Ia melihat bagaimana industri bergerak, menyadari adanya upah, biaya sewa, dan kapital -- berbeda dengan sistem feodal yang berlaku sebelumnya. Teori Adam Smith menginspirasi banyak kawasan lain untuk mewujudkan pasar bebas, dengan tujuan lebih mensejahterakan masyarakat. Tapi apakah memang teori ini berlaku secara universal?

Keynes berusaha mengkoreksi dengan memakai analisa matematika ekonomi yang lebih lengkap. Sebaliknya dari pasar bebas, ia menganjurkan peran Pemerintah yang lebih besar. Tujuannya? Sama, yaitu agar lebih mensejahterakan masyarakat. Tapi Keynes pun mulai di "koreksi", lalu orang kembali ke teori pasar bebas namun dengan analisa matematika ekonomi. Kita mengenalnya sekarang dengan teori ekonomi neo-klasik, yang sekarang menjadi berbagai parameter untuk melihat perekonomian nasional. IMF dulu datang dan memakai parameter-parameter ini, berdasarkan teori neo-klasik, untuk membenahi perekonomian Indonesia. Hasilnya? Indonesia bercerai dari IMF karena tidak ada sesuatu perubahan nyata.

Jadi kita lihat, bahkan para ekonom pun tidak dapat memastikan hasil suatu perekonomian dari teori-teori ekonomi yang ada. Bagaimana orang Kristen dapat mengkaitkan Alkitab sebagai sebuah sumber teori ekonomi? Yang pertama, Alkitab jelaslah bukan buku sumber ilmu ekonomi modern. Tafsiranlah yang menghubungkan Alkitab dengan ekonomi, dan dalam hal ini ada kemungkinan besar sekali tafsiran itu diramu bukan hanya dari Alkitab, tetapi juga dari pemahaman penafsir tentang ekonomi, sosial, dan politik. Yang kedua, suatu teori ekonomi selalu terbatas pada keadaan tertentu dalam kerangka waktu dan tempat, karena manusia hidup dalam cara yang berbeda-beda. Begitu sebuah teori ekonomi dijadikan patokan universal, itulah permulaan dari kejatuhan teori ekonomi tersebut, karena gagal terlaksana di kondisi yang berbeda.

Keberbedaan ini semakin mengemuka, justru karena adanya globalisasi. Proses globalisasi telah menciptakan "benturan" di mana orang menyadari perbedaan-perbedaan. Sebaliknya dari berusaha bersikap "rasional" yang cenderung membuat hanya satu jawaban bisa diterima, justru kini perbedaan dirayakan, diterima sebagai hal yang menguntungkan. Dalam konteks perekonomian, ini berarti memudarnya otoritas teori ekonomi apapun, digantikan dengan hal-hal yang berlaku di waktu dan tempat, sesuai dengan orang-orang yang ada, untuk bersepakat bersama-sama meningkatkan kesejahteraan masyarakat di situ. Semua ini cocok, pas dengan filosofi post modern yang masuk ke masyarakat sebagai pandangan hidup kontemporer. Bukan berarti bahwa semua peristiwa atau kondisi ini muncul karena adanya filsafat kontemporer; saya kira justru kedua hal ini muncul secara bersamaan dan saling memperkuat. Orang menemukan bahwa yang paling penting adalah "beradaptasi" di mana ia mengikuti lingkungan di mana ia berada. Perbedaan bukan lagi sesuatu yang berada di luar manusia, melainkan ada dalam dirinya sendiri.

Apakah memang post modernisme memberikan suatu cara hidup yang terbaik, sehingga pada akhirnya kita pun selayaknya senantiasa beradaptasi? Apa salahnya menjadi konservatif di Gereja, sementara di kantor meluncurkan pemasaran yang amat liberalis ke pasar? Tapi, bagaimana dengan prinsip-prinsip Alkitab -- atau memang Alkitab sama sekali tidak relevan, seperti yang dinyatakan oleh sekularisme?

Dalam kenyataannya, ekonomi terjadi di pasar. Itu bisa berarti toko saya atau Anda, berarti penjual di mall atau shopping center, berarti transaksi antar-warga yang terjadi di rumah, berarti aktivitas produksi dan penjualannya di pusat-pusat grosir, distribution center, dan lain sebagainya. Ekonomi dibangun pada apa yang benar-benar terjadi antara penjual dan pembeli, dan dari sana berkembang ke berbagai hal -- dalam permodalan, ada pasar modal, dalam komoditi ada bursa komoditi, dan sebagainya. "Kecanggihan" sistem ekonomi seolah-olah dapat membuat adanya pemisahan, misalnya antara pasar riil dengan pasar modal, antara makro ekonomi dengan mikro ekonomi. Untuk sesaat nampaknya begitu, sampai kita melihat bahwa yang "makro" itu seperti gelembung sabun dan bisa pecah berderai ketika terjadi krisis moneter.

Herannya, orang masih tetap suka dengan gelembung. Hari ini dana di SBI (sertifikat Bank Indonesia) telah mencapai Rp 200 Triliun, dengan tingkat bunga yang besar, hari ini saja beban bunga BI mencapai Rp 17 Triliun. Ini sebuah masalah; entah kapan akan terjadi saat di mana gelembungnya menjadi besar, sampai mungkin mencapai Rp 1000 Triliun, lalu BI menyerah karena tidak sanggup membayar bunganya? Entah apa yang terjadi jika instrumen moneter seperti SBI mengalami default!

Yang sungguh-sungguh nyata ada dalam 2 hal. Yang pertama adalah PENYEDIAAN. Yang kedua adalah NILAI TAMBAH. Sebuah transaksi terjadi karena kedua hal ini: ada transaksi yang membeli barang atau jasa yang tersedia, ada juga transaksi karena nilai tambah. Suatu ketersediaan muncul dari kreativitas manusia yang menciptakan sesuatu yang diinginkan karena dibutuhkan manusia lain. Ini biasanya muncul sebagai "barang baru" -- penentu keberhasilannya adalah sejauh mana hal itu diinginkan banyak orang. Apakah barang tersebut mempunyai nilai tambah? Mungkin ya, mungkin tidak. Ada barang yang dibeli hanya karena ia baru, bukan karena nilai apa pun yang diberikannya. Ini mungkin telah menjadi pendorong besar ekonomi di era industri, di mana nampaknya sebagian besar barang yang muncul di pasar adalah barang baru.

Di dunia yang sudah serba-ada, transaksi lebih ditujukan kepada nilai tambah. Sekarang penentunya adalah informasi tentang nilai tambah apa yang disediakan, di mana disediakannya, dan bagaimana cara memperoleh nilai tambah itu. Dan di sini kita melihat adanya kebingungan tentang nilai. Kalau sesuatu dikatakan "bernilai tambah", bagaimana persisnya menentukan bahwa sesuatu itu benar-benar bernilai tambah? Apa cara mengukurnya?

Penentu dari nilai dalam segala sesuatu yang ditransaksikan, pada akhirnya, adalah manusia. Masalahnya, (1) manusia itu bermacam-macam dan (2) waktu dapat mengubah nilai-nilai yang dijadikan patokan mengukur. Post modernisme menerima segala nilai yang berlaku antara banyak orang di banyak waktu dan tempat, seraya menolak fondasionalisme yang mengabsolutkan suatu standar dasar penilaian. Manusia memang bertumbuh: dari lahir, bayi, remaja, dewasa, tua, dan renta hingga meninggal, di mana dapat muncul nilai-nilai berbeda sebagai hasil dari interaksi dalam seluruh kehidupannya. Sampai di sini, nampaknya kita memang harus mengakui bahwa filosofi post modern benar. Ada banyak nilai, dalam banyak situasi dan kondisi, yang dapat dipegang oleh seseorang selama hidupnya. Menolak untuk berubah adalah suatu kesalahan, demikian juga mengabsolutkan suatu nilai dapat mendatangkan "kerugian" -- walau yang disebut "kerugian" pun harus dilihat cara mengukurnya.

Namun, menurut saya post modern mempunyai dua kelemahan mendasar. Yang pertama, penilaian yang benar-benar bermakna adalah apa yang terjadi dalam jangka panjang, bukan jangka pendek. Penilaian post modern cenderung mengukur segala sesuatu dalam kurun waktu yang pendek, apa yang "baik" adalah yang bagus pada saat itu saja. Karena nilai-nilai dalam post modernisme selalu ada dalam relativitas, maka makna hanya diterima dalam satu periode waktu, yang biasanya singkat. Tapi manusia tidak hidup sependek itu, dan apa yang "baik" dalam waktu yang singkat dapat menjadi hal yang 'buruk" dalam jangka panjang, bahkan menjadi bencana dalam sekian tahun terakhir kehidupan orang. Kesenangan sesaat dapat menjadi kutukan yang menghantui orang di sepanjang sisa hidupnya, bahkan dalam kekekalan. Sesuatu yang bernilai tambah seharusnya memiliki nilai jangka panjang, bukan jangka pendek.

Yang kedua, manusia itu sendiri dalam keberadaannya tidak berubah, seperti yang dari semula telah diciptakan oleh Tuhan. Apa yang menjadi sifat manusia, kelemahannya dalam dosa dan kelebihannya dalam kemampuan, tidak berubah. Yang berubah adalah pengetahuannya, pengalamannya, dan kondisi yang melingkupinya. Sekarang orang mempunyai teknologi yang jauh-jauh-jauh lebih maju daripada seabad lalu. Sekarang orang mempunyai pengalaman globalisasi. Sekarang jumlah manusia di seluruh dunia ada begitu banyak, dan setiap tahun jumlahnya tidak berkurang. Tapi dahulu yang banyak adalah penduduk di negara maju, sekarang yang banyak adalah penduduk di negara berkembang. Semua ini saling mempengaruhi, tapi lihatlah bahwa manusia itu sendiri, pada dirinya sendiri, tidak berubah. Karena tidak berubah, maka tidak relatif. Jadi, teori postmodern tidak tepat, karena ada suatu kebenaran mutlak yang permanen tentang diri manusia.

Lihatlah. Apa yang dicari orang dunia masih soal uang, kekuasaan, dan seksualitas. Masalah orang masih tentang membunuh, mencuri, berzinah, berdusta, menginginkan milik sesama, dan karakter buruk lainnya. Yang dihargai orang dan diterima masih tentang kasih, sukacita, damai sejahtera, kebaikan, kesabaran, kemurahan, kesetiaan, kelemah lembutan, dan penguasaan diri. Kita lihat: ketika bicara tentang nilai yang manusia hargai, apa yang dahulu dan sekarang masih tetap sama. Masalahnya sama. Penyelesaiannya juga sama.

Saya berpendapat, Alkitab bukan bicara tentang ilmu ekonomi. Tetapi Alkitab menyatakan apa yang benar-benar bernilai, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek, sesuai dengan apa yang Tuhan --Pencipta manusia-- nyatakan tentang ciptaan-Nya. Dan dalam hal ini, nilai-nilai dari Alkitab adalah nilai yang mutlak, absolut karena Tuhan tidak berubah dan hakekat manusia pun masih tetap sama. Maka, Alkitab memang tidak menjadi landasan hukum ekonomi, tetapi memberikan apa yang menjadi nilai tambah yang perlu diberikan. Kebenaran yang mutlak adalah benar di mana pun, kapan pun, dan bagi siapa pun adanya.

Demikianlah: nilai-nilai dari Firman Tuhan seharusnya menjadi nilai tambah dari segala aktivitas ekonomi orang Kristen, yang tidak diukur dalam jangka pendek saja tetapi juga dalam jangka panjang. Dengan begitu, kebenaran meningkatkan kehidupan orang -- karena itulah maksudnya menambah nilai -- yang mempengaruhi seluruh relasi dalam masyarakat. Sementara post modernisme menerima segala hal sebagai relatif sehingga nilai-nilai muncul dan musnah dalam berjalannya waktu, kebenaran dari Firman menetapkan nilai-nilai yang bersifat kekal.

Kebenaran tidak tergantung pada teori ekonomi yang digunakan untuk membentuk kemasyarakatan. Entah teori klasik atau Keynesian atau neo-klasik, apa yang benar-benar berharga tetap sama bagi manusia. Entah digunakan dalam lingkup domestik-lokal seperti wilayah terpencil di Indonesia atau dalam lingkup global yang melintasi berbagai negara, apa yang dimuliakan tetap sama mulia. Nilai-nilai ini mungkin tidak hanya muncul dari kekristenan; sebenarnya kita juga bisa menemukan nilai-nilai diberikan oleh banyak kepercayaan lain, agama lain. Mungkin dari sana kita menemukan notasi, "semua agama sama" ketika berbicara tentang kebaikan yang dapat dibuat manusia: kejujuran, kenyamanan, kedamaian...

Alkitab bicara tentang menguji roh, menguji nilai-nilai. Tidak semua yang dirasa baik itu benar serta tetap dirasa baik di masa depan. Pengujian juga mensyaratkan bahwa ada yang cocok dan tidak cocok, benar dan tidak benar dalam terang Firman Tuhan. Ketika nilai-nilai yang benar dibawakan dalam semua barang dan jasa yang diberikan -- dalam pengertian yang lebih luas: "pelanggan ada di proses berikutnya" -- dorongannya akan mempengaruhi bagian lain, bahkan menjadi suatu inspirasi global. Penilaiannya bukan dalam relativitas terhadap pandangan lain seperti pada post modern. Itulah kebenaran dalam arena globalisasi.

Seberapa jauh komunitas Kristen menyatakan identitas kekristenannya ketika meluncurkan suatu hal ke dunia global? Karena sekularisme, banyak hal yang berasal dari kekristenan kehilangan identitas kristennya. Namun dengan cepat kita bisa melihat dan memahami notasi-notasi kristen di dalamnya, bahkan ketika pembawanya sama sekali bukan orang kristen. Amerika adalah negara Kristen, banyak produk dan jasa dan metode yang diwarnai kekristenan, tapi sekarang dikatakan bahwa itu adalah hal-hal yang umum: kualitas, pelayanan lebih baik, pengorbanan, dedikasi, dan sebagainya. Amerika tidak dibangun oleh teori-teori ekonomi tertentu, melainkan produk dan jasa yang diberikannya!

Itulah yang membuat negara Amerika kuat. Saya percaya, itu juga yang dapat membangun negara ini. Bukan teori ekonomi ini atau itu, melainkan bagaimana orang Indonesia memberikan hasil dengan nilai tambah yang sesuai dengan kebenaran, yang bernilai dalam kekekalan. Semua hal yang sungguh riil, nyata, bukan hanya wacana dan diskusi melainkan diwujudkan. Nilai-nilai ini pula dapat menyembuhkan "penyakit" yang mendera bangsa dan negara ini, dan dengan pengaruhnya mengikis sifat korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sudah seperti kanker stadium akhir, merasuk di mana-mana.

Sayangnya, nilai tambah sesuai kebenaran mutlak ini hanya bisa diberikan oleh orang yang benar-benar memahaminya, artinya orang itu harus mau mempelajari Alkitab. Dan untuk mampu memahami Alkitab, ia harus berangkat dari satu landasan iman -- percaya Tuhan Yesus Kristus. Bukan filosofi post modern yang bisa menolong ekonomi yang dalam kesulitan, melainkan pemahaman iman Kristen yang diwujudkan dalam produktivitas riil, dalam semua produk dan jasa serta metode yang benar dan penuh hikmat. Post modernisme tidak bisa diperangi, tetapi bisa digantikan oleh sesuatu yang memang dalam hakekatnya lebih baik, lebih tepat, dan tetap berlaku di masa depan.

Pertanyaannya: apa yang telah kita berikan, sebagai umat Kristen?


Powered by Qumana

10 November 2007

Globalisasi

Liberalisasi ekonomi tidak dapat dilepaskan dari keadaan masyarakat dunia saat ini. Kalau dipikirkan, sebenarnya semua teori ekonomi adalah benar pada jamannya; teori klasik benar di saat mulainya jaman modern, dan Keynes benar saat dinyatakan pertama kali di paruh pertama abad ke-20. Tapi masyarakat berubah sesuai dengan cara orang berkomunikasi satu sama lain, di mana kemajuan terbesar dimulai dengan terhubungnya saluran telegraf yang dibuat oleh Bell.


Sejak waktu itu, kita melihat keterkaitan erat antara ekonomi dengan teknologi. Setiap kali sebuah temuan teknologi hadir, ekonomi didorong lebih cepat. Komunikasi pertama-tama terjadi antara orang dengan orang; pesan atau berita yang tadinya butuh waktu berminggu-minggu, kini bisa diterima dalam hitungan hari. Telepon merevolusi hubungan antar manusia sehingga orang di satu belahan dunia bisa secara langsung bicara dengan orang di belahan dunia lain. Peningkatan ekonomi yang tercipta adalah peningkatan eksponensial; globalisasi dimulai dengan terpasangnya kabel-kabel telekomunikasi bawah laut antar benua dan diluncurkannya satelit-satelit di orbit geostasioner mengelilingi bumi.


Itu baru permulaannya. Hubungan antar orang memang membuka banyak peluang, tetapi yang lebih perlu sebenarnya adalah komunikasi data. Di mulai dari proyek militer seperti ARPA, kini komunikasi terjadi antara komputer dengan komputer. Data dalam jumlah besar dapat dipindahkan dalam waktu nyata / real-time dan manusia dapat terhubung secara virtual. Saya dengan Anda dapat hadir dalam sebuah "ruang" yang sama tanpa harus secara fisik berada di sana. Ini meningkatkan ekonomi ke skala globalisasi, ketika Perusahan-Perusahaan memanfaatkan teknologi dan membangun basis-basis manufakturnya di lokasi-lokasi yang berbeda di seluruh dunia.


Kalau sudah begini, teori ekonomi apa yang masih berlaku? Sekarang produk dari Cina dipasarkan di lima benua. Hasil keringat tenaga kerja di Brazil dinikmati di Indonesia. Harga-harga kini ditentukan bukan dalam kondisi lokal, melainkan global. Itu bisa berarti harga yang semakin mahal, atau lebih mungkin lagi, harga yang jauh lebih murah karena ongkos produksi yang dapat ditekan. Perbedaan kemampuan antar negara juga menjadi sumber keuntungan Perusahaan; mereka memproduksi di negara yang mata uangnya lemah, untuk dipasarkan di negara yang mata uangnya tinggi. Pemerintah tidak lagi hanya perlu memperhatikan pasar tenaga kerja dalam negeri, tetapi juga harus berkompetisi dengan tenaga kerja di negara lain. Belanja Pemerintah tidak lagi menjadi pendorong terbesar, karena sekarang dana-dana swasta telah menyamai, atau bahkan melebihi, dana pemerintah.


Malangnya, negara seperti Indonesia terlalu lambat mendidik rakyatnya untuk berpartisipasi. Dalam globalisasi, suatu "nilai tambah" yang diberikan harus memenuhi standar-standar tertentu; kalau tidak maka nilai tambahnya itu tidak signifikan, tidak berarti. Misalnya saja, orang membuat sesuatu jasa, atau sebuah produk. Yang dihasilkan itu bagus, menarik, amat bernilai secara lokal. Tetapi tidak ada penjelasan dalam bahasa lain, tidak ada keterangan dalam bahasa Inggris dan Mandarin -- maka produk yang bagus itu tidak bernilai saat dibawa keluar, karena tidak komunikatif. Kita saat ini memiliki Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mengharuskan setiap produk yang dijual di Indonesia mempunyai keterangan dalam Bahasa Indonesia. Tapi yang lebih penting sebenarnya: apakah setiap produk yang dibuat juga mempunyai keterangan dalam bahasa asing sesuai negara tujuan pemasaran?


Sekarang kita membeli produk buatan Malaysia, Thailand, dan Cina, yang dipajang di rak-rak toko raksasa yang merupakan jaringan raksasa global seperti Carrefour, Giant, atau Wal-Mart. Konsultan AC Nielsen mengatakan, saat ini lebih baik para peritel tradisional di Indonesia bergabung dengan jaringan retail seperti Alfamart, Indomaret, atau -mart lain untuk mendapatkan produk yang lebih kompetitif dengan harga lebih rendah. Ekonomi sekarang tidak lagi dapat dijabarkan dalam keputusan-keputusan individu, karena kekuatannya ada pada kelompok. Untuk berhasil, orang harus berkelompok, bekerja sama.


Kalau begitu, kenapa tidak dimulai segera? Untuk bekerja sama, pertama-tama orang harus berada di satu 'ruang' yang sama. Ini seperti mendayung perahu naga: orang harus mau duduk berderet-deret, memegang dayung dengan cara tertentu, dan mengayuh berdasarkan satu irama gendang. Orang tidak dapat mengayuh sendiri, atau tidak mengikuti irama, bahkan ketika irama itu salah. Konon, kecepatan sebuah perahu naga tidak tergantung kepada pengayuhnya, melainkan pada penabuh gendangnya. Jika iramanya terlalu cepat, para pengayuh akan segera kehabisan tenaga dan gagal mengikuti ritme. Jika iramanya terlalu lambat, perahu naganya akan ketinggalan. Itu sebuah perahu, dengan aktivitas fisik yang jelas dan nyata. Bagaimana dengan kegiatan ekonomi?


Nilai tambah yang diberikan harus mengikuti 'ritme' dari kelompoknya. Jika yang dilakukan adalah korupsi, maka setiap orang di kelompok itu harus berkorupsi. Jika yang dilakukan adalah kerja keras sampai malam, maka setiap orang di kelompok itu harus rela kerja keras sampai malam. Pertanyaannya: kita sekarang ini berada di kelompok apa, mengikuti ritme apa? Ada filosofi yang berbeda, motivasi yang berbeda, visi dan misi yang berbeda. Di Indonesia, banyak yang visi dan misinya berbunyi, "menjadi yang terbaik," dalam pengertian "yang paling banyak mendapatkan segalanya." Orang yang bekerja di Pemerintahan pun berlomba-lomba mendapatkan bagian terbesar, bahkan ketika mereka diharapkan berdedikasi untuk melayani dan memberikan segalanya. Ujung-ujungnya adalah nilai tambah apa --atau nilai kurang apa-- yang diberikan oleh  kelompok, entah di Pemerintahan atau di Swasta masyarakat. Globalisasi bercerita tentang nilai tambah yang diberikan suatu kelompok, yang juga mengurangi nilai tambah kelompok lain.


Di sisi individu, pikiran dan filosofi global ini memaksa orang untuk bersikap kompromistis, bahkan menjaga dirinya untuk selalu "politically correct". Perbedaan Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan menjadi tidak relevan dibicarakan, malah dikatakan seharusnya tidak lagi ada pembedaan. Bahkan pemikiran modern yang mengutamakan rasionalisme pun tidak lagi mendapat tempat, karena dalam komunikasi dan hubungan antar manusia yang lebih berperan adalah emosi perasaan, di mana ada asumsi-asumsi berbeda tentang segala sesuatu. Pernahkah melihat iklan bank HSBC yang menunjukkan nilai-nilai lokal yang saling berbeda makna untuk satu hal yang sama? Di sini 'rasa kemanusiaan' lebih penting daripada penjelasan "rasional", karena perasaan itu bersifat universal sementara rasio tergantung pada asumsi lokal. Dalam dagang, misalnya, semua orang di segala belahan dunia menginginkan perdagangan yang rasanya "adil" dan "jujur", walau tentu ada perbedaan penafsiran dalam hal apa yang bisa disebut "adil" dan "jujur" itu.


Tak heran, pandangan yang muncul adalah yang menguniversalkan "perasaan manusia" sementara menolak semua standar yang mengklaim diri universal. Dalam pengertian ini, tidak ada lagi hal yang absolut, karena semuanya dilihat dalam konteks komunikasi budaya, semua adalah teks yang bisa didekonstruksi berdasarkan suatu budaya, yang berbeda dengan budaya lain. Globalisasi bergerak di dalam kabel-kabel saluran komunikasi, di mana semuanya, termasuk filosofi dan standar nilai, akan diterjemahkan sesuai nilai tambah dari kelompok. Kita mengenalnya dengan istilah "post modern" dan berusaha melokalisirnya sebagai salah satu moda berfilosofi dan berteologi, tapi sekarang ini saya yakin bahwa kaitannya jauh lebih luas.


Apakah kalau begitu, maka kita harus tunduk pada nilai kelompok, dalam bekerja, dan setuju atau tidak akhirnya mengikuti filosofi post modern, betapapun diri kita mungkin tidak setuju (atau malah tidak mengerti) filosofi ini?


Saya sudah melihat, bahwa orang Kristen pun dalam kehidupannya di pekerjaan tunduk pada nilai kelompok, betapa pun ia berusaha mengkompensasi dengan aktivitas gereja yang lebih giat. Jadinya orang seperti mempunyai standar ganda: ketika di pekerjaan ia mengikuti apa yang 'biasa' seperti memanipulasi data, menyuap pejabat, memakai bahan yang kualitas lebih rendah, dan menekan para buruh dengan keras (baca: kejam). Ketika di gereja ia menjadi majelis, menjadi penyumbang besar, dan orang datang padanya untuk meminta nasehat. Dualisme sikap ini sudah merupakan wujud dari post-modern, karena pada hakekatnya orang ini tidak menerima kemutlakan suatu nilai; ia bisa memakai nilai yang satu dan menggantinya dengan yang bertolak belakang!


Bagaimana dengan nilai-nilai kita sendiri? 


Powered by Qumana


08 November 2007

Value Add

Apa yang orang pikirkan tentang 'memberi nilai tambah'? Biasanya, pertanyaan langsung adalah: "saya dapat apa?" Masalahnya, banyak orang berpikir sesuai dengan apa yang disebut 'maksud ekonomi' yaitu "dengan sumber sesedikit mungkin mendapatkan sebanyak mungkin." Ini, saya dapatkan dulu sekali, waktu di SMA. Betulkah?

Saya ingin memulai dengan teori ekonomi klasik, tentang pasar dan pekerjaan. Teorinya, selama tidak ada intervensi, masyarakat selalu bisa mendapatkan keadaan seimbang di mana setiap orang mendapatkan pekerjaan penuh. Bagaimana kalau ada pengangguran? Jika banyak orang menganggur, maka persaingan untuk pekerjaan akan menjadi tinggi. Karena itu, gaji dapat ditawarkan lebih rendah. Dengan rendahnya gaji, maka lebih banyak usaha yang bisa dibangun, sehingga membuka lebih banyak lowongan kerja. Akhirnya, yang tadinya menganggur bisa bekerja semua. Kalau masih ada yang menganggur, itu karena dia memilih untuk tetap menganggur (voluntary unemployment).

Teori klasik juga menunjukkan keseimbangan yang lain, seperti misalnya keseimbangan antara tabungan dengan investasi. Begini: kalau investasi naik, maka akan timbul kebutuhan lebih akan uang. Muncul ketertarikan alias interests akan uang, yaitu bunga yang diberikan kepada orang yang mau menabungkan uangnya. Akibatnya, bunga tabungan semakin tinggi dan investasi jadi tidak terlalu menarik, karena pasar masuk ke keseimbangan antara tabungan dan investasi.

Semua keseimbangan ini secara klasik dirumuskan oleh hukum Says, dibuat oleh Jean Baptiste Says, yang mengatakan bahwa setiap supply akan menciptakan permintaannya sendiri. Keseimbangan penawaran dan permintaan membuat selalu ada pekerjaan, selalu ada proses... itu kan teori klasik. Tidak salah ketika teori ini dirumuskan, di saat ekonomi di seluruh dunia bergairah karena modernisasi dan industrialisasi. Tapi sekarang?

Seorang ahli ekonomi bernama Keynes protes keras. Salah itu! Begitu katanya. Pengangguran dapat selalu terjadi di setiap tingkat gaji dan jumlah pekerjaan. Karena itu dibutuhkan Pemerintah yang secara aktif mengendalikan permintaan. Permintaan aktif paling banyak datangnya dari Perusahaan, waktu Pemerintah membelanjakan dana untuk barang dan jasa, ekonomi negara akan bangkit. Kalau Pemerintah tidak ikut campur, ekonomi tidak maju dan pengangguran tetap ada walaupun gaji menjadi turun.

Oh ya, urusan gaji turun inilah yang jadi pokok kesalahan teori klasik menurut Keynes. Sebab, mana ada orang yang mau gajinya turun? Jadi, walaupun tingkat pengangguran tinggi, gaji tidak akan turun. Mana ada perusahaan yang siap didemo oleh karyawannya sendiri, kecuali perusahaan itu sudah morat marit mau bangkrut? Singkat kata, tingkat pengangguran tidak akan turun karena pasar bebas. Lagipula orang akan terdorong untuk lebih banyak menabung ketika menghadapi keadaan sukar, karena perlu berjaga-jaga atas pengeluaran di masa depan. Akibatnya, orang lebih sedikit berbelanja, membatasi hanya barang-barang yang benar-benar perlu. Tingkat penjualan akan menjadi semakin turun, bagaimana mungkin perusahaan-perusahaan bisa terus berekspansi dan menyerap tenaga kerja?

Lain halnya kalau banyak orang yang mau berbelanja, secara keseluruhan (agregat) ada peningkatan transaksi. Karena barang-barang menjadi laku, perusahaan bisa berekspansi lebih banyak. Dibutuhkan lebih banyak tenaga kerja, yang berarti lebih banyak orang menerima gaji, dan kembali lagi mendatangkan lebih banyak lagi penjualan. Prosesnya akan lebih cepat kalau orang tidak banyak menabungkan uangnya, sebab seandainya mereka terus menabung, dana ekstra yang diperoleh segera menghilang dan tidak sempat mendorong pertumbuhan ekonomi.

Apakah teori-teori ini benar? Asumsi bahwa perusahaan selalu membesarkan usaha ketika omzet bertambah adalah hal yang tidak selalu terjadi. Ketika perusahaan dikelola dengan buruk, peningkatan omzet membuat lebih banyak inefisiensi terjadi, termasuk yang timbul dari korupsi dan pencurian oleh karyawan sendiri. Akibatnya, walaupun omzet perusahaan naik, laba bersihnya tidak bertambah. Keberadaan pungutan liar, pungutan, retribusi, dan berbagai macam pajak juga dapat mengakibatkan kesulitan berusaha. Bahkan ketika sebuah perusahaan mau berinvestasi, hambatan yang timbul dapat membatalkan ekspansi. Globalisasi telah membuat jalan yang bagus untuk membangun industri di negara lain, membawa keluar dana yang semula akan digunakan untuk memperluas usaha di Indonesia.

Orang akhirnya kembali ke teori klasik, dengan sebuah rumusan teori yang disebut "The Quantity Theory of Money" Rumus dari teori ini adalah:

MV = PT

M = Jumlah uang beredar

V= Kecepatan perputaran uang

P = Harga

T = Jumlah transaksi yang terjadi

Jika jumlah uang beredar bertambah, maka harga secara keseluruhan akan naik, suatu inflasi. Orang jaman sekarang sudah lebih pandai, kita tahu bahwa inflasi dapat terjadi karena perubahan nyata atau atas sesuatu sebab lain yang lebih bersifat keyakinan, seperti ketika orang yakin bahwa permintaan akan melonjak di bulan puasa dan telah lebih dahulu menaikkan harga. Waktu Pemerintah menaikkan gaji pegawai negeri 10%, para pedagang sudah lebih dahulu menaikkan harga dagangannya 10%! Demikian juga halnya bila ada pertambahan uang yang beredar. Orang membuat relasi dalam persamaan ini menjadi:

^ M -> P ^

Perhatikanlah: baik jumlah uang beredar (M) maupun harga (P) adalah bilangan yang ditetapkan orang. Di mana usaha yang sebenarnya dapat kita lihat? Lihatlah V dan T! Ini adalah speedometer dari produktivitas sebuah negara, menunjukkan seberapa produktif bangsa dan negara itu adanya. Seberapa produktif kita adanya. Kuncinya adalah nilai tambah, karena ketika rakyat memberikan lebih banyak nilai tambah, maka akan terjadi lebih banyak transaksi serta perputaran uang lebih cepat. Sebaliknya dari berfokus pada jumlah uang beredar dan kenaikan harga, fokusnya adalah bagaimana membuat bisnis yang lebih sehat, transaksi yang lebih sering terjadi.

Ketika fokus terpusat pada V dan T, maka campur tangan Pemerintah menjadi irrelevan, karena Pemerintah tidak dapat secara langsung membuat perputaran lebih cepat atau transaksi lebih sering. Tidak mungkin memaksa orang melakukan jual beli lebih sering. Yang mungkin adalah memberikan insentif-insentif, misalnya insentif pajak, tetapi itu pun terbatas. Cara lain secara tidak langsung adalah dengan meningkatkan pendidikan bagi masyarakat, yang membuat penduduk lebih pandai memberikan nilai tambah, menciptakan permintaan-permintaan baru, dan meningkatkan pasar karena lebih banyak orang yang sejahtera.

Apakah pendidikan kita menuju ke arah sana? Pendidikan kita masih bicara tentang mendapatkan nilai tertentu, bukan memberi nilai tambah atau menciptakan nilai tambah. Ketika orang berpikir, "saya dapat apa?" ia tidak berpikir, "saya memberikan apa?" Di situlah masalahnya: ketika semua meminta, siapa yang akan memberi?

Andakah?

Powered by Qumana

06 November 2007

Mission

Kerja sih bekerja, tapi apa tujuan orang bekerja? Pertanyaan ini terasa janggal waktu pertama kali ditanyakan.

Tapi ini mungkin pertanyaan paling penting untuk ditanyakan, karena jawabannya adalah misi dari kerja. Apa misi pekerjaan saya? Bagaimana sebuah pekerjaan dapat berarti?

Ada orang yang bekerja untuk sesuatu di dunia. Beberapa memikirkannya secara fisik: sejumlah uang tertentu, rumah, mobil, perhiasan... segala hal yang dapat diinginkan dan dibeli orang. Beberapa yang lain mengarah pada hal yang bersifat lebih filosofis, seperti memenuhi hormat kepada orang tua, mendapatkan penghargaan dari masyarakat, atau untuk mendapatkan rasa aman, baik untuk saat ini maupun di hari depan. Kita melihat bagaimana orang amat terdorong untuk hal-hal yang bisa diperolehnya, sehingga tidak sedikit yang dengan penuh sukacita menerima teori semacam "The Law of Attraction", yang katanya menjadi rahasia sejak jaman dahulu kala.

Kenyataannya, memang orang senang bila segala hal yang diinginkannya bergerak sendiri, tertarik kepada hal yang dipikirkannya. Hanya dengan memikirkan, lalu dapat!

Yang belum banyak terpikir oleh mereka yang menghendaki segala sesuatu tertarik pada dirinya adalah: apa arti atau makna dari itu semua? Kalau seseorang mendapatkan barang atau pengakuan yang diingkannya, lalu apa?

Seorang bisa memperoleh rumah baru, atau mobil baru, atau mendapatkan tempat yang diinginkan. Bahkan mungkin benar, ia tidak perlu bekerja keras untuk mendapatkannya... cukup benar-benar 'mengirim pesan' dan melihat hal itu tertarik dengan sendirinya. Katakanlah bahwa hal itu memang benar (sejujurnya, saya tidak percaya), lalu apa maknanya? Apa arti dari mendapatkan lebih banyak uang, memiliki rekening dengan banyak angka nol?

Jika ada yang berpikir bahwa uang saja dapat menjamin hidupnya, baru-baru ini saya berhitung dan menemukan bahwa nilai mata uang di dunia ini terus menerus merosot. Setiap negara berlomba-lomba mencetak uang, sedemikian rupa sehingga perbandingan kurs antara satu negara dengan negara lain tidak terpaut banyak. Kurs Rupiah dengan US Dollar relatif stabil, hanya naik turun beberapa basis poin saja. Tapi defisit anggaran Amerika menjadi semakin buruk, demikian juga dengan defisit APBN Indonesia. Musuh sebenarnya bukan perbedaan kurs, melainkan inflasi -- atau lebih tepatnya: devaluasi mata uang. Semakin banyak uang dicetak, semakin turun pula nilai dari mata uang yang kita pegang.

Kenapa lebih banyak uang dicetak? Karena ada banyak hal yang harus dibayar oleh Pemerintah. Ada biaya pegawai, biaya proyek, biaya untuk dikorupsi...bahkan yang melakukan korupsi mungkin tidak mengerti bahwa uang yang diperoleh sebenarnya menjadi semakin tidak berharga. Kalau sekarang 1 keluarga orang Indonesia kelas menengah dapat hidup dengan Rp. 5 juta per bulan, maka 15 tahun lagi ia akan butuh hampir Rp. 16 juta per bulan, jika inflasi rata-rata selama 15 tahun itu hanya 8% saja.

Semakin banyak korupsi dan penyelewengan, semakin banyak kebutuhan pembiayaan. Cara cepat mengatasinya adalah dengan semakin banyak mencetak uang, dan berakhir dengan semakin rendahnya nilai mata uang. Tapi karena hal serupa dilakukan banyak negara lain, termasuk Amerika Serikat, banyak orang merasa baik-baik saja. Hanya sedikit analisa dapat menunjukkan seperti apa beban yang akan dihadapi negara pada saat beban masyarakat benar-benar harus ditanggungnya. Jadi, apa artinya uang yang banyak itu? Semakin lama semakin turun nilainya!

Hal ini mengembalikan kita kepada pertanyaan semula: untuk apa bekerja?

Satu jawaban yang saya dapatkan dari Peter Drucker, dari Michael Potter, dari beberapa ahli lain adalah: peningkatan nilai. Potter bahkan menunjukkan analisa yang terkenal: Value Chain Analysis untuk mengembangkan keunggulan kompetitif dari suatu bisnis. Sampai sekarang, pelajaran ini masih banyak dipakai untuk analisa bisnis perusahaan.

Eh, siapa bilang hanya untuk perusahaan?

Setiap orang yang bekerja sebenarnya sedang berbisnis, dan itu berarti juga menuntut peningkatan nilai. Tujuan bekerja adalah memberikan nilai tambah. Dengan begitu, posisi dari orang itu akan lebih unggul dalam kompetisi dengan orang-orang lain di sekitarnya, membuat hidupnya menjadi lebih baik -- suatu proses yang berkesinambungan.

Sebaliknya dari 'The Law of Attraction', saya justru menemukan bahwa aturan yang lebih tepat telah diberikan lama oleh Tuhan: "Berikanlah / lakukanlah kepada orang lain apa yang engkau ingin orang lain berikan / lakukan kepadamu" Hukum yang benar bukan tentang menarik segala hal kepada diri, melainkan tentang memberi diri kepada segala sesuatu.

Pertama-tama, orang harus memberi diri bagi Tuhan. Kedua, orang harus memberi diri sesuai tanggung jawab tertingginya: kepada bangsa dan negara, lalu kepada keluarga, lalu kepada lingkungan yang bergantung padanya. Ketiga, orang harus memberi diri sesuai posisinya di mana ia berada, entah di perusahaan atau sekolah atau lingkungan rukun warga. Ada banyak hal yang mungkin terjadi, tetapi Tuhan sudah memberi hukum yang terutama di atas segala hukum: Hukum Kasih.

Misi pekerjaan adalah memberi diri, atau lebih spesifik, memberikan nilai tambah. Nilai tambah akan membuat hal-hal di sekitarnya menjadi lebih bernilai, lebih berharga. Semakin banyak nilai tambah diberikan, semakin besar kesejahteraan, mengalahkan penurunan nilai mata uang. Melihat keadaan bangsa dan negara ini, saya berpikir bahwa hal ini menjadi semakin penting untuk diusahakan.

Begini: korupsi dan manipulasi dan penyelewengan adalah tindakan yang mengurangi nilai. Orang selama ini berusaha untuk memberantas korupsi, tetapi sejauh ini tidak banyak hasil. Kenapa? Karena sekalipun korupsi bisa dihentikan, tidak ada nilai yang ditambahkan. Padahal kehidupan berjalan terus, dan pada saatnya memaksa orang yang tadinya anti korupsi untuk turut melakukan korupsi.

Untuk melawan pengurangan nilai, orang harus bekerja memberikan nilai tambah. Hanya dengan memberikan nilai tambah saja maka penghentian korupsi menjadi bermakna, di mana orang bisa melihat bahwa kehidupan menjadi semakin baik. Tidak semua orang bisa mengatasi korupsi -- saya kira kebanyakan dari kita tidak dalam posisi apa pun untuk memaksa korupsi berhenti. Kita berharap kepada komite yang dibentuk, berharap kepada orang-orang yang berada dalam bidang hukum melakukannya.

Tetapi saya yakin bahwa usaha ini sia-sia, kalau seluruh bangsa ini tidak mulai bekerja untuk memberikan nilai tambah, di mana pun mereka berada. Tapi, ini mendatangkan masalah lain: bagaimana orang bisa memberi nilai tambah, kalau mereka bahkan tidak tahu apa-apa? Berapa banyak orang yang mengerti sesuatu tentang keuangan, tentang berinvestasi, tentang manajemen, dan seterusnya?

Maka nilai tambah yang perlu diberikan adalah dengan memberikan edukasi yang baik. Banyak orang yang belum melek finansial, sekalipun telah lulus sebagai sarjana ekonomi. Saya sendiri bukan lulusan ekonomi, betapa saya berharap orang yang sudah belajar ekonomi dapat tahu lebih baik! Tapi pengalaman saya selama hampir 2 tahun di bidang finansial ini menunjukkan sebaliknya. Kenapa ya?

Kita membutuhkan pengetahuan ekonomi dalam konteks meningkatkan kemampuan setiap orang memberi nilai tambah, dalam berbagai aspek. Yang paling mudah diukur adalah yang berhubungan dengan uang, tetapi bukan hanya uang yang jadi ukuran. Jika suatu saat nilai mata uang turun, peningkatan nilai tambah yang dinyatakan dengan antara lain peningkatan produksi akan mengembalikan apa yang hilang.

Apa faktor kuncinya?

Belum lama ini saya membaca kembali buku yang ditulis Ibu Dorothy I. Marx, "Kebenaran Meninggikan Derajat Bangsa". Saya percaya, ini adalah faktor kunci, karena kebenaran Allah menjadi sumber segala nilai tambah yang dapat diberikan manusia. Ibu mengupasnya mendalam dari berbagai aspek, yang tidak akan saya bahas...jujur, ndak sanggup.

Kembali kepada Anda, para pembaca, pertanyaan 'untuk apa bekerja?' telah menjadi 'bagaimana memberi nilai tambah?' Saya tidak tahu semua jawaban. Saya pikir, setiap orang harus mencari jawaban lengkapnya sendiri, sesuai dengan bidangnya. Apa nilai tambah sebagai seorang dokter? Apa nilai tambah sebagai seorang manajer HRD? Apa nilai tambah sebagai seorang Akuntan? Apa nilai tambah sebagai seorang konsultan finansial? ...demikian seterusnya.

Semoga, ini juga menjadi pertanyaan Anda. Terpujilah TUHAN!