Cari Blog Ini

28 November 2010

Benar, Jujur, Berdosa

Mzm 32:11
Bersukacitalah dalam TUHAN
dan bersorak-soraklah,
hai orang-orang benar;
bersorak-sorailah,
hai orang-orang jujur!

Ada orang yang benar. Ada yang jujur. Sebaliknya ada juga orang yang tidak benar dan jujur. Semuanya berdosa.

Siapa yang tidak berdosa? Tetapi, kenyataan tentang dosa telah lama menjadi sasaran kritik oleh manusia. Orang tidak menyukai sebutan dosa, paling sedikit karena tiga alasan. Yang pertama, status 'berdosa' merupakan cacat pada reputasi, sehingga mengganggu kehidupan sosial. Yang kedua, status berdosa mengganggu idealisme personal, suatu perasaan 'tidak sempurna' yang tidak menyenangkan. Yang ketiga, status dosa mengganggu keyakinan rohani, karena menempatkan diri di bawah ancaman hukuman. Tidak ada orang yang menyukai ancaman, apalagi hukuman neraka berupa penderitaan kekal.

Respon manusia ada dua: yang satu benar dan jujur, mengakui dan menundukkan diri sebagai pertobatan. Yang lain, mengingkarinya. Mereka menipu diri sendiri dan orang lain, dengan mendefinisikan dan menyusun kata-kata.

Mulanya, orang meninggikan rasio dan menjadikan pengamatan atas pengalaman sebagai acuan. Ini disebut rasionalisme dan naturalisme, yang dengan tegas menolak apa yang tidak teramati atau terpikirkan. Orang belajar meragukan ketuhanan, kuasa supranatural, dan otoritas ilahi. Siapa yang bisa menunjukkan Surga? Siapa yang pernah melihat neraka? Berdasarkan rasio dan naturalisme, semua ini bisa diragukan. Kemudian orang meninggikan perasaan dalam gerakan romantisisme, mengembalikan cara hidup memuaskan kenikmatan, alias hedonisme. Kalau rasanya enak, pasti benar!

Semua pemikiran abad ke-19 ini disebut teologia liberal, dan umat manusia merasa baik dan tidak berdosa karena sudah menemukan "kebenaran", yang pada hakekatnya berupa pemikiran yang kompleks untuk menolak dosa, kecuali hal-hal yang jelas merugikan sesama manusia seperti pembunuhan atau pencurian. Tapi, dosa ada di sana, apapun kata orang, dan tetap merusak segala hal yang baik.

Perang dunia pertama dan kedua berakar pada akibat dosa, dan manusia kembali dipaksa melihat kenyataan bahwa "kebenaran" tentang keunggulan manusia adalah salah. Setelah PD I, orang mulai melihat pemikiran 'baru' bahwa cara lama ada benarnya dan Tuhan memang ada, walau Ia begitu jauh. Untuk beriman, orang harus melompat dan meninggalkan rasio. Inilah arah baru dimana teologi liberal runtuh, sebaliknya neo-ortodoksi berkembang. Tokoh utamanya, Karl Barth, disebut sebagai teolog terbesar abad ke-20 yang menjatuhkan bom di taman bermain para teolog liberal.

Hanya, pengakuan tentang Tuhan tidak dengan jujur mengakui status dosa dan masalahnya. Sebaliknya, neo-ortodoksi membuka jalan pada filosofi post-modernism yang serba relatif. Kebenaran menjadi relatif, kata-kata bisa didekonstruksi, dan kekuasaan jadi penentu apa yang benar.

Sekali lagi, kebohongan menguasai pikiran manusia. Orang mengerjakan karya yang tebal dan sukar dipahami, dan mengintimidasi orang untuk menerima pandangan tentang ketidakberdosaan manusia.

Siapa yang masih membaca Mazmur 51 dan 32 dengan keyakinan yang sama dengan Daud? Raja yang satu ini menyadari status dosanya, merasa tersiksa dan tidak tenteram karena kesalahannya, dan dengan itu juga bertobat serta mendapatkan pembenarannya.

Orang benar dan jujur bukannya tidak berdosa. Tetapi saat tangan dan tubuhnya menjadi kotor, ia mengakui kebenaran dan menghadap Tuhan agar dibasuh sampai bersih. Itulah sukacita besar yang dimiliki orang-orang benar dan jujur.

Haleluya! Terpujilah Tuhan!
Published with Blogger-droid v1.6.5

21 November 2010

Serius

Apa yang menjadi ukuran ketika kita mengambil keputusan keuangan? Jika ditanya demikian, maka kita mungkin menjawab tentang hasil yang diinginkan. Atau kita membahas soal keamanan dana, atau pertumbuhan, atau moralitas di balik produk keuangan. Itu kalau ditanya, menjadi jawaban yang disampaikan.

Tetapi, dalam prakteknya banyak orang yang mengutamakan kemudahan. Hal berikutnya yang mendorong orang adalah hadiah. Untuk semua produk keuangan, harus terlihat mudah dan akan sangat menarik jika ada hadiahnya. Untuk mempercayai, yang dicari adalah kesederhanaan.

Kenyataannya, apa yang terjadi tidaklah mudah atau sederhana. Orang yang mencari cara termudah di masa kini, seperti meminjam uang setiap kali ada kebutuhan, harus membayar lebih mahal di masa depan. Orang yang mencari kepastian dan keamanan yang mudah, akan mencari orang lain untuk memberi segala "kepastian dan keamanan" yang harus ditebus dengan kebebasannya, dibayar oleh masa depan yang hilang di tangan orang lain.

Kebenarannya adalah, tidak ada yang mudah. Jika kita memimpikan masa depan yang baik, maka kita harus siap dengan kesulitan dan kerumitan di masa kini. Kebenaran yang sejati tidak dapat dipahami tanpa kesediaan untuk berpikir dan merenungkan informasi yang ada. Bahkan informasi yang kita miliki juga perlu direnungkan, karena untuk sebuah kebenaran tunggal, ada banyak sekali kemungkinan informasi yang palsu dan menyesatkan. Jika orang sekedar mencari yang paling mudah, maka ia rentan untuk dimanipulasi dalam kepalsuan.

Pokok masalahnya adalah: manusia kini mempunyai kebebasan untuk menjadi yakin dan percaya tanpa merasa perlu memikirkannya. Memang ada banyak hal yang tidak dapat dipikirkan manusia, terutama hal-hal mengenai Tuhan. Namun, bersikap 'pokoknya percaya' tanpa merenungkan apa yang dipercaya, adalah kepercayaan yang palsu. Orang yang mempercayai tanpa memahami adalah orang yang tidak dapat bertindak sesuai dengan kepercayaannya, dan akhirnya sama saja dengan orang yang tidak percaya.

Jika kita yakin dan percaya bahwa hidup kita penting, maka kita harus memikirkannya, merenungkannya, dan mencari apa yang benar-benar kita butuhkan. Tidak ada yang mudah, karena seluruh keberadaan kita akan terpengaruhi. Kita tidak dapat berubah setengah-setengah. Ada harga yang harus dibayar.

Yang terutama adalah kehidupan itu sendiri. Selamatkah? Satu kepaatian dalam hidup adalah: orang pasti meninggalkan dunia, alias mati. Meninggalkan dunia untuk terus ke mana? Apa yang terjadi dengan kehidupan kita, setelah tidak berada di dunia ini? Lalu, bagaimana dengan yang ditinggalkan? Jika ada orang-orang yang bergantung pada kita, dapatkah mereka tetap mempertahankan kehidupan mereka?

Kebanyakan orang menjawab, itu adalah keyakinan iman bahwa keselamatan ada di tangan. Namun, inipun tidak mudah, karena orang harus merenungkannya, siang dan malam. Jika kita percaya Tuhan, apakah kita mengenal-Nya? Adakah kita melakukan apa yang dikehendaki-Nya?

Apa yang kita percaya?

Jelaskanlah.
Published with Blogger-droid v1.6.5

14 November 2010

Celebrity or Community?

Apa bedanya selebriti dengan komuniti? Tiap orang pasti memiliki sentuhan dari keduanya. Tetapi yang sebenarnya menjadi pertanyaan adalah, apakah kita memikirkan selebriti atau komunitas kita?

Komunitas adalah hal wajar yang kita alami sejak lahir. Komunitas pertama kita adalah ibu dan ayah, di mana kita makan bersama mereka (itulah arti commune, harafiahnya makan bersama). Seiring semakin luasnya pergaulan, komunitas kita juga membesar dan melibatkan lebih banyak orang.

Setiap komunitas menyukai perayaan, dan dalam sebuah perayaan biasanya ada bintangnya. Kalau acara ulang tahun, bintangnya adalah yang berulang tahun. Dalam acara yang lebih luas atau publik, bintangnya adalah orang yang dikenal semua orang -- walaupun dia sendiri tidak mengenal banyak orang. Itulah seorang celebrity, bintang dalam perayaan atau celebration. Selebriti menjadi pusat perhatian, kata-katanya diperhatikan orang, bajunya dilihat orang, dan tidak heran bila pendapatannya juga besar.

Selebriti bukan hal yang terjadi dengan sendirinya, karena tidak mudah seseorang dikenal banyak orang begitu saja. Namun orang jaman sekarang, berkat teknologi media komunikasi, berupaya menjadi selebriti. Mereka berpenampilan sebagai seorang selebriti, berkata-kata seperti selebriti, dan berperilaku seperti itu juga.

Bagaimana dengan komuniti? Semakin orang berfokus pada selebriti, semakin jauh orang dari komunitasnya. Komunitas adalah kelompok terbatas, mempunyai gaya dan corak tertentu, dan bukan sesuatu yang diperhatikan semua orang. Dengan berniat menjadi selebriti, seseorang menjadi semakin sadar akan dirinya sendiri, semakin individualis, dan mungkin juga jadi semakin egois. Tapi banyak orang mau jadi selebriti. Bagaimana dengan kita?

Rasul Paulus adalah selebriti di antara jemaat kristen mula-mula. Dia dikenal hampir semua orang kristen, bukan yahudi atau yahudi, sebagai tokoh yang dulu ditakuti dan kemudian disegani. Lihat dan perhatikan, apakah ia bersikap sebagai selebriti?

Dalam penutup surat kepada jemaat di Roma, Paulus memberi salam kepada lebih dari 20 orang. Beberapa disapa dengan keakraban yang luar biasa, seperti untuk Rufus dan ibunya, yang juga dianggap ibu sendiri. Bayangkan, berapa sering seseorang menyapa seorang dengan keintiman seperti itu?

Dan di dalam semuanya, saat itu Paulus tidak sempat ke Roma. Ia baru mengumpulkan dana untuk orang susah di Yerusalem, dan dalam perjalanan ke sana surat kepada jemaat Roma ini ditulis. Rencananya, setelah dari Yerusalem ia akan ke Roma. Tetapi rencana itu tidak pernah terwujud, karena Paulus ditangkap di Yerusalem oleh orang-orang Yahudi.

Paulus adalah selebriti, namun ia tidak bersikap demikian karena mengutamakan komunitinya. Bagaimana kita, yang saat ini memiliki komunitas, justru mengabaikan komunitas demi selebritas?

Lihat dan hargai dan kasihilah orang-orang dalam komunitas kita. Tuhan tidak membuat kita sekedar untuk dikenal semua orang, melainkan untuk melayani orang-orang, komunitas kita, lingkungan kita. Dalam kasih ini tangan Tuhan terulur dan bekerja, hingga Kerajaan Allah terwujud nyata. Terpujilah TUHAN!
Published with Blogger-droid v1.6.5