Cari Blog Ini

21 November 2009

Perencana Keuangan

Pada mulanya tidak ada hal yang baru. Usaha-usaha dilakukan dalam cara dan kebiasaan yang sudah berjalan lama, diwariskan dari negeri seberang. Begitulah industri keuangan di Indonesia berjalan sebagaimana adanya. Sebagaimana di seluruh dunia hal itu dilakukan dengan berhasil, beginilah juga yang dilakukan di Indonesia.
Apakah lantas ada keberhasilan dalam hal keuangan? Dilihat dari satu sudut pandang, jika ukurannya adalah kekayaan yang diperoleh pelaku bisnis keuangan, jelaslah ada yang sukses dan berhasil. Ada yang menjadi milyuner, baik di bank atau asuransi jiwa atau sekuritas. Yang bekerja di dalam keuangan menikmati kompensasi yang lebih tinggi dibandingkan tempat lain.
Persoalannya menjadi berbeda ketika kita melihat perubahan di masyarakat sebagai hasil dari kinerja industri. Sampai sekarang, perbankan masih berusaha mengajarkan tentang memahami manfaat, mengerti resiko, dan mengetahui biaya, dalam sosialisasi tentang “Ayo ke Bank”. Berapa banyak persentase masyarakat yang mengerti, walaupun mereka sudah menjadi nasabah?
Dalam hal asuransi jiwa, situasinya tidak jauh berbeda. Persentase jumlah pemegang polis dan tertanggung adalah yang terendah di Asean, tidak sampai 10% jumlah penduduk. Dari jumlah yang sedikit itu, tidak semuanya benar-benar memahami manfaat produk keuangan ini. Parahnya, bahkan muncul suara yang cukup keras menentang Asuransi Jiwa, berdasarkan banyaknya pengalaman buruk yang terjadi di masyarakat.
Mengenai sekuritas; siapakah yang memahaminya? Fakta menunjukkan adanya keterpisahan antara sektor riil dengan pasar modal. Upaya mengamankan transaksi keuangan – itulah yang dilakukan sekuritas – menjadi hal yang ‘canggih;’ dan hanya diminati golongan tertentu. Bagi banyak orang lainnya, berinvestasi di pasar modal tidak beda jauh dengan berjudi.
Jadi, dalam 20 tahun terakhir, belum bisa dibilang bahwa industri keuangan di Indonesia benar-benar berhasil. Kasus Bank Century hanyalah lanjutan dari krisis perbankan yang muncul sejak tahun 1998. Itulah saat orang mulai menyadari bahwa ada resiko dalam segala produk keuangan, tanpa mengetahui bagaimana mengukur atau menyikapi resiko tersebut. Dalam prakteknya, hanya sedikit saja yang tahu soal manajemen resiko.
Apa yang dapat diusahakan oleh kita, sebagai bagian dari masyarakat? Situasi ini mirip dengan kasus pengobatan kaki gajah di Kabupaten Bandung, yang menghebohkan karena ada yang meninggal. Ini adalah situasi di mana obat sebagai produk tersedia, untuk diberikan secara bebas tanpa diagnosa. Dalam kasus terkontrol, obat yang diberikan cukup aman – tapi saat diberikan secara massal tanpa kendali, dapat membuat orang meninggal. Jadi bukan obatnya yang salah atau berbahaya atau kurang baik, melainkan cara memberikannya.
Begitu juga dengan keuangan. Produk keuangan sudah banyak, baik dari bank, asuransi, sekuritas, atau lembaga lain. Tetapi yang mampu memberikan diagnosa yang tepat belum banyak, sehingga akhirnya jatuh korban, seperti nasabah Bank Century. Produk dan hukum yang melandasinya sudah cukup, tapi dalam praktek dibutuhkan sikap cermat dan hati-hati. Kalau orang mau memperhatikan sejarah kinerja Bank ini, mereka akan tahu bahwa Century adalah hasil merger 3 bank yang tidak sehat, yang bahkan setelah itupun laporan keuangannya tetap tidak sehat. Ada resiko operasional yang serius di sini. Mengapa masih mau menitipkan uang milyaran rupiah di bank semacam itu?
Dalam hal asuransi jiwa, situasinya lebih pelik. Begini: Asuransi Jiwa pada dasarnya adalah produk yang mengambil alih resiko dari nasabah, yaitu kemungkinan meninggal dini, mengalami cacat tetap total, mengalami sakit yang berat, dan hidup terlalu lama. Karena mengambil resiko dari nasabah, seharusnya produk ini tidak membebani resiko kepada nasabah. Namun, hal ini berubah tatkala asuransi digabungkan dengan investasi, dimana resikonya sepenuhnya ditanggung nasabah. Penjelasan dari agen yang tidak memadai telah membuat orang berpikir bahwa produk unit link memberikan kepastian, sekaligus tingkat keamanan dan kepastian seperti produk asuransi jiwa sebelumnya. Berapa banyak agen asuransi yang memahami tingkat resiko dari investasi yang dipasarkannya?
Pemahaman yang benar dibutuhkan secara utuh. Dalam pilihan-pilihan investasi, ada yang mempunyai peringkat ‘A’ tapi juga ada yang berperingkat tidak layak sebagai wahana investasi. Perhitungannya bukan hanya melihat berapa besar hasil yang diberikan, melainkan bagaimana dana dikelola dalam jangka waktu yang cukup panjang.
Orang Indonesia gagal untuk memahami hal-hal ini, karena minimnya pendidikan yang memadai. Karena itu dibutuhkan peran Perencana Keuangan, sebagai pihak yang mampu mencocokkan antara profil nasabah dan pilihan yang ada. Sayangnya, di negara ini Perencana Keuangan masih sebatas retorika – siapa yang sungguh-sungguh memberikan Perencanaan Keuangan?
Sampai saat ini, jumlah pemegang sertifikat sebagai perencana keuangan masih sedikit, dibandingkan jumlah agen asuransi, pelayan nasabah bank, atau agen reksadana. Apalagi kalau dibandingkan dengan jumlah penduduk, hitungannya sangat minim. Bagaimana kita dapat melihatnya sebagai hal yang vital untuk dilakukan?
Negara ini membutuhkan lebih banyak perencana keuangan, dengan kemampuan yang menyeluruh, bukan sekedar tahu tentang satu bidang saja. Bagi agen asuransi, terutama dengan investasi, kemampuan profesional ini sangat penting.
Di sisi lain, masyarakat juga perlu disadarkan tentang Perencanaan Keuangan dan mengapa mereka membutuhkannya. Bersama-sama, kita bisa membawa kesejahteraan. Mau?

19 November 2009

Kelas Menengah

Belakangan ini dalam Perencanaan Keuangan, ada hal-hal yang terlihat semakin jelas…dan semakin mengerikan. Tetapi untuk itu, kita perlu sama-sama menyepakati satu cara untuk melihat dan memilah masyarakat. Kita lihat bahwa masyarakat dibagi jadi tiga kelas: kelas atas, menengah, dan bawah.

Kelas bawah adalah golongan marginal, yang perjuangannya adalah mempertahankan produktivitas agar bisa bertahan hidup setiap hari. Karena mereka itu 'marginal', mereka hanya mempunyai daya yang terbatas. Sebagai akibatnya, mereka membutuhkan proteksi, dukungan, permodalan, dan sebagainya dari Pemerintah. Kita tahu, antara lain Pemerintah mengadakan BLT – yang terus habis dikonsumsi.

Kelas menengah sudah keluar dari garis kemiskinan, sudah bisa memelihara kehidupannya sehari demi sehari. Mereka sudah punya pendapatan yang rutin dan juga memenuhi kebutuhan sekunder dan tertier, bukan sekedar memenuhi kebutuhan primer. Kebanyakan adalah karyawan, selain tentunya cukup banyak pengusaha kelas menengah mulai dari pemilik toko kelontong di seberang jalan sampai pemilik pabrik menengah-kecil yang terima maklun dari pabrik besar.

Kelas atas sudah keluar dari tekanan 'rutinitas', mereka sudah mampu menciptakan nilai mereka sendiri. Pendapatan mereka jauh melebihi kebutuhan mereka. Mereka adalah orang-orang yang sudah sukses di dalam bisnis, membangun apa yang diikuti oleh orang-orang lainnya. Sayangnya, jumlah mereka ini terbatas.

Sampai beberapa tahun lalu, penggambaran ketiga kelas ini bisa ditunjukkan dengan segitiga sama kaki; kelas bawah ada di bagian bawah, lalu menengah, akhirnya kelas atas ada di puncak segitiga. Kalau luas segitiga mencerminkan jumlah masyarakat, kita lihat kelas bawah jumlahnya paling banyak, diikuti menengah, sampai kelas atas berjumlah paling sedikit. Itu dulu. Sekarang bagaimana?

Yang kita lihat, bagi orang kelas bawah situasinya tidak banyak berbeda. Hidup masih tetap susah, uang di dapat dari pinjam sana sini untuk membayar ke sana sini. Di kelas atas situasinya juga tidak berubah, hidup mereka masih tetap makmur dan menjadi semakin kaya, karena aliran uangnya lebih deras masuk daripada keluar. Mereka sudah terlibat dalam transaksi-transaksi global dan mempunyai akses yang istimewa.

Tidak demikian halnya dengan kelas menengah. Keadaan sekarang ini terasa benar perbedaannya. Ambil contoh, misalnya tentang rumah. Bagi kelas bawah, rumah tidak pernah jadi masalah karena mereka memang tidak sanggup dan tidak bermimpi untuk punya rumah sendiri. Bagi kelas atas, rumah juga tidak pernah jadi masalah karena mereka bisa mendapatkan semua rumah yang mereka inginkan – pertimbangannya kini adalah patokan-patokan investasi properti.

Bagi kelas menengah, perubahan pada pasar perumahan menjadi hal yang sangat berbeda. Ada kondisi suku bunga KPR yang berubah, mudah naik dan susah turun. Ada kenaikan harga rumah, berkaitan dengan kenaikan harga bahan bangunan. Perhitungan pengeluaran ini menjadi beban, karena di saat yang sama tidak terjadi kenaikan pendapatan. Mungkin akan menjadi lebih mudah bagi kelas menengah jika mereka tidak terlalu memikirkannya, namun kelas menengah telah mempunyai suatu gaya hidup dan mereka tidak bersedia mengubah gaya hidupnya.

Rumah hanya menjadi satu acuan, karena papan adalah salah satu dari tiga kebutuhan pokok disamping pangan dan sandang. Diam-diam, sebenarnya hal yang serupa terjadi dalam industri pakaian, ketika orang tidak lagi menjahit pakaiannya sendiri melainkan membeli buatan pabrik yang harganya bisa jauh lebih murah. Satu-satunya yang masih dipertahankan sesuai gaya hidup adalah soal makanan; baju boleh saja kumal tetapi selera mulut dan perut selalu harus dipenuhi.

Kelas menengah saat ini diancam dari berbagai sisi. Dalam bidang pendidikan, menurut laporan Depdiknas ada 35,65% lulusan SMA yang tidak meneruskan ke perguruan tinggi karena tingginya biaya. Satu perhitungan menunjukkan bahwa untuk menyelesaikan 4 tahun strata 1, total biaya yang dibutuhkan mencapai Rp 100 juta. Angka ini akan menjadi semakin tinggi karena nyatanya tiap tahun terjadi kenaikan biaya pendidikan, baik dasar, menengah, maupun tinggi, dalam kisaran rata-rata 10%-15%. Dua dekade lalu, orang tua hanya membutuhkan waktu satu atau dua tahun saja mempersiapkan dana untuk kuliah di universitas yang cukup baik. Bagi kelas menengah, pada umumnya mereka dapat memberi pendidikan tinggi, bahkan sampai sekarang pun kelas menengah masih merencanakan anaknya menjadi sarjana. Sekarang masih ada yang bisa mengusahakan dana 100 juta untuk kuliah anak, meskipun ditempuh dengan cara menjual aset seperti mobil atau tanah.

Hal semacam ini dikhawatirkan tidak akan terjadi dalam dua dekade mendatang. Bagi pasangan muda dari kelas menengah yang baru menikah sekarang, mereka harus mempersiapkan waktu yang panjang untuk memenuhi kebutuhan biaya kuliah anak mereka kelak. Saat ini pun sudah mulai muncul kesadaran untuk memiliki lebih sedikit anak, saat ini tidak jarang pasangan muda hanya mau punya 1 atau 2 orang anak saja. Jika kita menghitung dengan peningkatan rata-rata 10% saja dan asumsi bahwa anak baru lahir tahun ini, dana kuliah yang dibutuhkan 18 tahun lagi menjadi Rp 556 juta. Dengan memperkirakan perbandingan inflasi umum dengan laju kenaikan pendapatan/gaji, dapat diduga bahwa kemampuan orang tua untuk menabung akan semakin menurun – artinya mereka akan kesulitan untuk menabung dana sebesar itu dalam jangka waktu singkat.

Dalam sisi kesehatan, juga terjadi hal serupa. Bagi kelas menengah, akses kepada layanan kesehatan saat ini sudah mulai terasa berat, orang mulai habis-habisan membayar tagihan rumah sakit. Tidak heran, kini semakin banyak orang yang mencari Asuransi Kesehatan untuk menyebar biaya kesehatan dalam bentuk premi bulanan. Tetapi biaya kesehatan terus menerus meningkat, didorong oleh tiga faktor: tingginya biaya pendidikan kesehatan, sehingga dokter juga mengenakan tarif yang tinggi; tingginya biaya obat-obatan karena kebanyakan masih impor, belum ada riset paten dalam negeri, dan tingginya biaya pemasaran obat; dan tingginya biaya peralatan medis mutakhir yang terus menerus diperbaharui sebagai bagian dari persaingan antar Rumah Sakit. Kenaikan biaya Rumah Sakit juga didorong oleh munculnya RS dengan tambahan 'internasional', yang 20%-30% lebih mahal. Secara umum biaya RS naik 10% per tahun.

Jika kenaikan terus terjadi, maka untuk biaya dokter, obat, dan bedah (plus alatnya) kelak menjadi sangat tinggi. Apakah Asuransi Kesehatan masih dapat menanggung biaya kesehatan di masa depan? Saat ini hampir semua Asuransi Kesehatan masih membatasi biaya dokter, obat, dan bedah. Memang ada beberapa Asuransi Kesehatan umum yang memberikan penggantian sesuai tagihan, namun umur polisnya berlaku hanya 1 tahun dan tidak ada garansi bahwa polis bisa terus diperpanjang bila nasabah menderita sakit berat. Orang kelas menengah yang hari ini merasa aman dengan polis Asuransi Jiwa dengan tambahan manfaat kesehatan yang berlaku sampai puluhan tahun mendatang, mungkin akan kecewa menemukan bahwa penggantian asuransinya kelak sama sekali tidak mencukupi biaya yang timbul.

Tekanan-tekanan ini membuat terjadi perubahan tatanan kemasyarakatan di kelas menengah. Beberapa dekade lalu, kelas menengah ditandai oleh kekeluargaan yang erat, dengan komunitas yang saling membantu. Kalau ada dua keluarga merayakan pernikahan anak-anak mereka, bantuan datang dari berbagai kerabat dan sahabat dalam sukacita bersama. Kalau ada satu keluarga dirundung malang, misalnya bapak meninggal dunia sehingga ibu menjadi janda yang mengurus dua atau tiga anak, maka selalu saja ada yang turun tangan mulai dari membantu proses pemakaman, menyokong kehidupan keluarga yang ditinggalkan, dan mungkin turut membantu mencarikan pekerjaan, atau mencarikan suami baru. Komunitas bukan saja terbentuk antara saudara, tetapi juga terbentuk antara majikan-karyawan yang membentuk komunitas serupa keluarga. Kelas menengah dahulu bekerja di satu tempat saja sampai puluhan tahun lamanya.

Kondisi ini berubah dengan adanya industrialisasi dan individualisme yang mengikutinya. Karena sekarang setiap keluarga harus menghadapi masalah keuangan yang berat: harus menabung untuk anak, untuk membeli aset, untuk menanggung biaya kesehatan, maka tidak banyak dana yang tersedia untuk menolong keluarga lain sekalipun itu adalah saudara kandungnya sendiri. Sekarang pernikahan umumnya ditangani oleh Event Organizer (EO). Biaya pernikahan menjadi tanggungan keluarga saja – tidak jarang hanya diusahakan oleh pasangan yang menikah saja. Karena mereka menikah oleh hasil usaha sendiri, maka pasangan muda juga lebih terpisah dari keluarga, membentuk keluarga baru yang hubungannya renggang satu sama lain.

Apa yang terjadi ketika muncul musibah atas kepala dalam keluarga? Karena hubungannya telah menjadi renggang, maka beban kehidupan sepenuhnya jatuh pada istri janda dan anak-anak yang ditinggalkan. Dalam hal inilah peran Asuransi Jiwa menjadi lebih penting; sayangnya masih banyak yang gagal memahami tujuan dan manfaat dari Asuransi Jiwa. Nyatanya, masih banyak orang yang mencari Asuransi Jiwa demi manfaat tabungan dan investasi, bukan proteksinya. Padahal, proteksi menjadi penting karena kelas menengah saat ini juga lebih mudah dan lebih banyak terlibat hutang, melalui upaya perbankan meningkatkan kredit konsumsi melalui kartu kredit, kredit tanpa agunan, KPM, dan KPR. Berhutang tanpa proteksi ibaratnya seperti mengikuti arung jeram tanpa mengenakan jaket pelampung / Life Jacket – sekali tercebur, bisa celaka kehilangan semuanya.

Kelas menengah saat ini semakin terjepit secara ekonomi, dan kemungkinannya ada dua: naik ke atas menjadi kaya dan lepas dari belitan masalah, atau jatuh ke bawah karena kalah terhadap masalah – mereka terpaksa melepaskan gaya hidup mapan dan turut menjadi kaum marginal. Kalau dalam negara ini lebih banyak yang jatuh ke bawah, bisa diduga bahwa pertumbuhan ekonomi ke depan akan suram karena negara terlalu berat dibebani rakyat yang tidak mampu. Dibutuhkan usaha yang keras dan berkesinambungan di antara kelas menengah untuk berusaha naik ke atas, demi kehidupannya sendiri dan demi kesejahteraan negara ini.

Bagaimana caranya? Dibutuhkan perubahan paradigma, merubah mindset dari hanya pengikut dan pekerja menjadi pemimpin dan pengusaha. Perubahan dimulai dalam pikiran; menjadi kaya dimulai dari hati yang kaya. Dari sana ada tekad untuk bekerja lebih baik, lebih cerdas, dan lebih produktif – belum tentu kerja yang lebih keras. Karena sulit, maka perencanaan keuangan dan karir adalah hal-hal yang penting walau tidak terlihat mendesak. Hanya dengan perencanaan keuangan yang baik, kelas menengah dapat melalui masa-masa sulit sampai akhirnya berhasil naik menjadi kelas atas yang mandiri dan sejahtera.

Pahamilah, menjadi kaya bukan berarti berkelebihan harta. Menjadi kaya berarti dapat membayar segala sesuatu yang menjadi bebannya untuk dibayar, di sepanjang hidupnya. Menjadi kaya memang berkorelasi dengan memiliki banyak uang, karena kelak apa yang harus dibayar juga sangat mahal harganya.