Cari Blog Ini

30 Juni 2004

KEBANGKITAN

"Tetapi yang benar ialah, bahwa Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal." - 1 Kor 15:20

Kemana Gereja akan melangkah bila di ujung jalan tidak ada kebangkitan?

Kematian adalah realita hidup. Hingga saat ini, orang dilahirkan, hidup, lalu mati. Apa yang menjadi alasan bagi seorang manusia dalam hidup bila di ujungnya hanya ada kematian? Untuk apa berbuat baik, membagikan derma, menolong orang dan mendapatkan nama, bila akhirnya lenyap seperti debu? Untuk apa saling menjaga rasa, mencari-cari kebenaran dan berusaha melakukan keadilan? Tidak ada artinya. Paling-paling hanya demi mendapatkan pujian dari manusia lain, dari masyarakat. Itupun akan dengan segera dilupakan. Bahkan, dalam realita kebaikan itu begitu cepat dilupakan, sehingga bila kebaikan yang bertahun-tahun berhenti dilakukan, pelakunya akan segera dilupakan. Manusia memang mahluk yang mencari-cari pemuasan nafsunya sendiri; bila tidak penting dan berarti bagi dirinya, tidak ada gunanya diingat-ingat.

Bila hidup manusia memang hanya berhenti pada kematian, maka masalah terbesar manusia adalah bagaimana menikmati hidup sebanyak mungkin. Terjadilah peradaban berdasarkan kepentingan; benar atau salahnya sesuatu tergantung dari sejauh mana sesuatu itu melayani kepentingan pihak-pihak yang terlibat. Perang atau damai, menghancurkan atau memelihara, berkhianat atau setia, hanya berbeda dalam memenuhi kepentingan-kepentingan yang berbeda. Kepentingan-kepentingan yang diatur dan dinilai berdasarkan kemampuan olah pikir manusia dalam rasio, perasaan, atau keterampilan dan pengetahuan.

Ketika Gereja terseret dalam konflik kepentingan, tanpa disadari Gereja beraktivitas hanya menurut kepentingan-kepentingan pihak-pihak yang aktif di Gereja. Ketika Gereja sudah punya aset beberapa milyar, atau seorang tokoh dalam Gereja telah memperoleh publisitas yang luas, aktivitas Gereja adalah bagaimana memelihara harta yang begitu banyak itu atau bagaimana memelihara rating gereja berdasarkan jumlah jemaat yang datang. Bukan Injil lagi yang penting, melainkan bagaimana memelihara agar orang tetap datang beribadah di Gereja itu, tetap memberikan persembahan dengan setia. Berita-berita seperti seruan untuk pertobatan menjadi tidak relevan dengan kepentingan Gereja. Berita tentang kebangkitan pun menjadi sesuatu yang mengganjal dalam aktivitas Gereja.

Mengapa mengganjal? Sebab berita kebangkitan memindahkan kepentingan dari masa kini ke masa depan. Jemaat didorong untuk mencari berkat-berkat sekarang, waktu ini juga. Konteks pemberitaan Injil diberi bingkai masa kini, hukum tabur-tuai, soal persembahan perpuluhan, soal menang dari masalah dan kesulitan, semuanya menjadi menarik karena terjadi saat ini, saat manusia masih hidup di dunia. Penderitaan hidup di dunia ini menjadi musuh yang harus dienyahkan dalam nama Tuhan, kesulitan harus pergi sekarang juga dari hidup orang percaya. Namun pesan kebangkitan memberikan bingkai waktu yang berbeda, yaitu berkat-berkat yang dicurahkan nanti, dalam kehidupan yang lebih tinggi daripada yang dihidupi sekarang di dunia. Nanti manusia akan mendapatkan hidup yang sepenuhnya bebas dari penderitaan, bebas dari kesedihan, penyakit, cacat, kelaparan, kemiskinan, bahkan bebas dari kematian. Pesan kebangkitan mendorong jemaat untuk meletakkan pengharapan pada kehidupan yang akan datang. Perbedaan ini menciptakan ganjalan bagi kepentingan Gereja yang bertujuan menghibur jemaat yang berkepentingan mencari kesejahteraan dan kelegaan dari kesulitannya sekarang juga.

Oleh sebab itu, kita menjumpai bahwa pesan kebangkitan ini tidak lagi banyak dibicarakan dalam Gereja, terutama yang pengajarannya diisi oleh teologi kemakmuran. Pengajaran soal kebangkitan secara formal tidak ditolak, namun sudah digeser sedemikian rupa ke belakang, menjadi urusan masa depan yang tidak perlu dipikirkan sekarang. Yang menjadi fokus adalah kesejahteraan hidup masa kini, sedemikian rupa sehingga dalam prakteknya orang seolah-olah tidak lagi punya pengharapan atas kebangkitan. Kebangkitan kehilangan maknanya ketika dengan setengah berputus asa orang berusaha untuk mendapatkan segala berkat dari Tuhan sekarang juga. Kerohanian seseorang kemudian dinilai dari seberapa besar berkatnya yang ia terima selama ia hidup, dan mulailah kita menjumpai pendeta-pendeta yang memamerkan berkat kekayaannya.

Kebangkitan itu sendiri menjadi misteri, menjadi sesuatu yang tidak bisa sungguh-sungguh dipahami oleh akal budi manusia. Orang yang sangat mengutamakan akal budinya akan kesulitan untuk menerima kebangkitan sebagai suatu realita yang terjadi, dimulai dari kebangkitan Yesus dahulu dan akan diikuti oleh segenap orang percaya kelak. Bagi sebagian orang yang sangat rasional, kebangkitan bahkan ditolak sama sekali, dianggap sesuatu yang mustahil terjadi. Kebangkitan dianggap hanya sebagai bagian dari dongeng-dongeng mistik dalam masyarakat.

Paulus dalam suratnya ini berbicara panjang lebar untuk mendorong jemaat kembali berpegang pada pengharapan dalam kebangkitan, untuk menjawab orang-orang yang tidak percaya pada kebangkitan. Ia memulai dari satu kenyataan: bahwa kebangkitan benar-benar telah terjadi, yaitu kebangkitan Kristus. Jadi premis orang yang menyatakan bahwa tidak ada kebangkitan dari antara orang mati telah gugur, sebab kenyataannya ada Yesus yang bangkit dari kematian. Oleh karena Yesus telah bangkit, maka segala usaha dalam kekristenan memiliki arti yang nyata, bukan sekedar ide dalam kemungkinan-kemungkinan.

Kebangkitan adalah kenyataan, sebab itu orang dapat dengan yakin melakukan pemberitaan Injil, memberikan sebuah kepercayaan yang memiliki makna yang berarti. Kebangkitan Kristus memungkinkan orang untuk menaruh pengharapan kepada-Nya, untuk mengambil bagian dalam kebangkitan-Nya kelak. Pengharapan itu sungguh-sungguh bermakna, sebab akan sungguh-sungguh terjadi. Kristus yang telah bangkit akan memberi kebangkitan bagi setiap orang yang bersekutu dengan-Nya. Anak-anak Tuhan akan hidup bersama Kristus dalam kemenangan, dalam hidup di mana Kristus duduk sebagai Raja di atas dunia yang takluk di bawah kaki-Nya.

Tidak sia-sia orang berusaha untuk hidup benar dan adil, meskipun nyatanya dunia saat ini tidaklah benar atau adil. Tidak sia-sia orang berusaha untuk memberi kebaikan, membangun dan memelihara, walaupun hidup manusia diisi oleh kesulitan penderitaan. Ketika rasa sakit datang dalam setiap tarikan nafas, kesulitan menyergap dalam setiap langkah, dan bau kematian menggantung di mana-mana, mungkin hidup orang begitu suram hingga hembusan nafas terakhirnya. Namun hidup dapat tetap memiliki makna sebab ada kepastian atas kebangkitan ke dalam kehidupan yang jauh lebih baik, saat di mana segala berkat dan kuasa Tuhan tercurah tanpa terhalang.

KARUNIA ROH

"Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satuyang mengerjakan semuanya dalam semua orang." - 1 Kor 12:6

Pemberian dari Allah yang nampaknya begitu kuat menancap dalam hati manusia dan Gereja sepanjang jaman adalah pemberian-pemberian spiritual (spiritual gifts)atau karunia Roh. Dari jemaat Korintus di abad pertama hingga gereja di abad keduapuluh satu, karunia-karunia Roh menjadi sesuatu yang dinanti-nanti, dicari-cari, membuat perubahan besar dalam kehidupan orang Kristen.

Yang pertama dari karunia Roh yang dituliskan oleh Paulus, adalah transformasi yang dialami orang yang tidak percaya menjadi seorang yang percaya. Itulah kebenarannya: seorang yang tadinya menyembah dewa atau patung atau uang atau intelektual hingga suka memaki-maki dan mengutuki Tuhan, bisa berubah menjadi seorang yang mengakui Yesus sebagai Tuhan, menjadi orang yang menghambakan diri pada Yesus dalam keseluruhan hidup oleh karena Roh Kudus. Bukan karena kadar intelektual atau pengetahuan yang membawa seseorang berlutut di hadapan salib Kristus, melainkan Roh Kudus.

Meskipun demikian penting peran Roh Kudus, namun Gereja tidak selalu mengacu kepada pemberian rohani ini dalam memberitakan Injil. Ada Gereja yang tidak lagi mengandalkan Roh Kudus dalam mentransformasi orang-orang tidak percaya menjadi hamba-hamba Tuhan, melainkan mengandalkan kekuatan organisasi, kekuatan intelektual, kemampuan persuasi dalam merubah paradigma, serta mengandalkan kemampuan para aktivis jemaat dan penginjil yang ada. Ada Gereja lain yang mengejar karunia Roh semata-mata untuk kuasa-kuasa supranaturalnya dan akhirnya menjadikan Roh Kudus menjadi hamba yang mentaati setiap keinginan orang beriman.

Sedemikian menghebohkannya karunia Roh yang supranatural ini, sehingga orang-orang berebut untuk mendapatkannya, bagaikan anak kecil yang sedang berebut permen. Diminta dengan ketekunan doa dan puasa, tidak mau berhenti sebelum mendapatkan karunia rohani yang ajaib. Padahal, pada hari mereka mengakui Yesus adalah Tuhan, mereka telah menerima karunia Roh yang terbaik dan terpenting, meski tidak nampak sehebat kemampuan supranatural. Ketika Roh Kudus membuat seseorang mengakui Yesus adalah Tuhan, Roh Kudus pun dengan setia menyertai orang ini untuk terus hidup sebagai umat Tuhan. Memberikan pengertian-pengertian atas misteri Allah. Menjagai orang ini dari kesesatan. Memberi penghiburan. Bahkan Roh itu berdoa bagi orang itu, dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan.

Ada Gereja yang mengajar jemaat untuk mengalami kepenuhan Roh, ditandai dengan manifestasi Roh yang ajab seperti bahasa Roh, menyembuhkan orang sakit, mengusir setan, dan sebagainya. Kalau belum bisa berbahasa Roh, atau bernubuat, atau menyembuhkan, dianggapnya orang itu belum dipenuhi oleh Roh. Benarkah begitu? Bukankah bila tidak disertai oleh Roh Kudus, seorang manusia tidak mungkin dapat bertahan di dunia yang jahat dan menyesatkan ini? Tanpa menunjukkan kemampuan supranatural apapun, kenyataan bahwa seseorang dapat tetap menjadi seorang Kristen yang mengakui Yesus adalah Tuhan telah menunjukkan bahwa Roh Kudus memenuhi orang itu. Kalau bukan karena Roh Kudus yang menolong, bagaimana mungkin manusia saja bisa bertahan melawan tipu muslihat iblis?

Tetapi Gereja-Gereja yang mengagungkan manifestasi supranatural ini lebih mencondongkan diri pada kekuatan. Secara tidak langsung, seorang yang punya karunia yang lebih ajaib dianggap lebih beriman dan lebih berkuasa dibandingkan dengan orang yang karunianya biasa saja. Di beberapa Gereja, bahkan jenjang kepemimpinan dalam organisasi gereja dikaitkan dengan kehebatan karunia Roh yang dapat ditunjukkan. Yang bisa membangkitkan orang mati lebih hebat dan lebih penting daripada orang yang hanya dapat memberi pengarahan. Seolah-olah ada berbagai Roh Kudus yang diberikan dalam tingkatan berbeda: ada Roh yang lebih kuat dan Roh yang biasa saja, menurut manifestasi yang dapat ditunjukkannya.

Paulus membalik semua pemikiran ini dengan menunjukkan bahwa semua hal dilakukan oleh satu Roh Kudus yang sama. Tidak ada Roh yang lebih tinggi atau Roh yang lebih rendah. Betul bahwa ada bermacam-macam karunia, tetapi semua berasal dan dikerjakan oleh satu Roh Kudus yang sama bagi setiap orang percaya. betul bahwa ada bermacam-macam pelayanan, tetapi semuanya bagi satu Tuhan yang Esa. Bilamana ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, dari yang sangat ajaib sampai yang kurang ajaib atau biasa saja karena begitu sering terjadi, itu semuanya dikerjakan oleh satu Allah dalam semua orang.

Tuhan yang memiliki kewenangan untuk membagikan karunia sesuai dengan tujuan-Nya. Ada yang diberi bahasa Roh, ada yang diberi kuasa menyembuhkan, ada yang diberi hikmat, atau yang biasa seperti kemampuan seseorang untuk tetap beriman dalam segala keadaan. Semua itu Tuhan yang kerjakan. Tidak ada bagian manusia di situ, tidak ada yang dapat manusia sombongkan. Bagaimana mungkin seorang yang mendapat karunia bahasa Roh dapat menganggap dirinya lebih tinggi daripada seorang yang hanya bisa mengajar Alkitab, sedangkan sebenarnya semuanya hanyalah hamba Tuhan yang tidak mengerjakan apa-apa?

Sebagian orang mendaftarkan karunia-karunia Roh yang dicantumkan dalam bagian bacaan ini sebagai target yang hendak dicapai untuk diperoleh. Tapi bukankah kita semuanya telah ditolong oleh Roh Kudus untuk menjadi anak-anak Tuhan? Entah Tuhan berkenan memberi karunia untuk berbahasa Roh, atau karunia untuk menghibur seorang teman yang bermasalah, semuanya bukan menjadi patokan dalam kehidupan di hadapan Tuhan. Itu adalah karunia, pemberian hadiah yang kita terima dengan senang hati. Bukan untuk meninggikan diri, tetapi melayani Tuhan dan demi kepentingan bersama. Agar sungguh-sungguh Tuhan dipermuliakan oleh umat-Nya.

Marketing Minus

Beberapa hari ini, saya sibuk sekali dengan memikirkan program marketing. Masalahnya: ternyata selama ini kami kurang memikirkan tentang marketing, dan cenderung hanya memikirkan tentang penjualan, berfokus pada salesman.

Dalam perusahaan tempat saya bekerja, filosofi kami adalah menjalankan bisnis dengan kebenaran dan keadilan. Jadi, kami tidak memanipulasi pajak, tidak membuat barang murah dijual mahal, tidak mengebiri hak-hak karyawan... well, setidaknya kami berusaha melakukan hal itu. Apakah cukup baik? Tidak selalu, tapi namanya orang berusaha, boleh 'kan memiliki visi yang baik?

Nah, ketika kami berusaha menjual dengan benar dan baik, ternyata kami jadinya menghindari strategi marketing. Entah kenapa, dulu pikiran terpusat pada: orang harus kerja keras, orang harus berusaha semaksimalnya, dst... tanpa memikirkan bagaimana sebenarnya pekerjaan-pekerjaan harus dilakukan. Hasilnya? Memang jalan, tapi melelahkan sekali dengan hasil yang secukupnya saja.

Saya mengimani bahwa Tuhan bersedia untuk memberikan lebih, tapi kami juga harus bersedia memakai hikmat dan akal budi yang telah diberikan oleh-Nya. Itulah, tulus seperti merpati dan cerdik seperti ular. Sudah saatnya kami mulai dengan program marketing yang lebih baik, lebih terarah, lebih strategis. Suka atau tidak suka, ada peperangan pemasaran di luar, yang harus dihadapi dengan kearifan.

29 Juni 2004

KARUNIA DI BAWAH

Hikmat mengeluh. Hari ini panas sekali, sedang AC di ruang kerjanya masih rusak, menunggu tukang reparasi datang, entah kapan. Dan pekerjaannya banyak. Kertas-kertas brosur berserakan di hadapannya, nota dan buku agenda, dan layar monitor komputer. Oh Tuhan, betapa bermanfaatnya komputer itu! Tapi Hikmat tetap saja harus mengkompilasi lebih dari seribu item jenis barang yang akan dibeli, menjadi berlembar-lembar daftar yang membosankan.

Dua bulan yang lalu, pimpinan perusahaan diganti oleh anak bos lama. Ia muda, cekatan, pandai, serta amat ambisius. Sebulan setelah memangku jabatan, ia berhasil mendapatkan tender untuk pengadaan barang-barang kantor di gedung pusat pemerintah yang baru. Gedung itu berlantai enam, dengan luas hampir tiga ribu meter persegi setiap lantainya. Itu berarti ribuan barang yang harus disediakan, dengan keuntungan bersih lebih dari delapan ratus juta rupiah, setelah dipotong pajak dan lain sebagainya. Lumayan besar. Lihat saja daftarnya.

"Terlalu kecil." kata si Bos. "Masa cuma segini?"

Daftar barang itu dilihatnya kembali dengan teliti. Hikmat menggigil. Selama dua minggu itu ia habiskan waktunya untuk mendapatkan barang-barang termurah dan baik mutunya, setiap malam begadang dan berhitung, nyaris lupa tidur, lupa makan, dan bahkan lupa berdoa, apalagi bersaat teduh, atau membaca Alkitab. Tetap saja Bos tidak puas. Celaka!

Tapi si Bos ini cuma tersenyum simpatik, kemudian membawa berkasnya pergi. Keesokan harinya, si Bos datang lagi ke ruang kerja Hikmat. "Ini," katanya, "kamu tanda tangan di sini." Ia menyodorkan kertas pengesahan daftar yang baru. Di sana sudah ada tanda tangan Bosnya sendiri, jadi meskipun agak ragu, Hikmat mengambil pulpennya, lalu tanda tangan di situ.

Beberapa jam kemudian, Hikmat menyesal. Ia tidak berani bertanya, tidak berani bicara, tapi sungguh, Hikmat kesal dan menyesal. Penyesalan yang datang tepat setelah ia mulai meneliti daftar itu untuk dibuatkan P.O. nya. Seluruh barang yang harus dibeli adalah barang kelas tiga, dengan harga barang kelas satu. Bolpoint butut dihargai bolpoint Parker. Belum lagi meubel, komputer, mesin tik, dan macam yang lainnya lagi, yang berarti keuntungan lebih dari satu setengah milyar rupiah. Gila. Bagaimana kalau pengawas dari pemerintah tahu?

Hikmat baru tahu jawabannya setelah keesokan harinya si Bos datang membawa amplop putih.

"Mat, ini untuk Pak Pengawas. Sekarang dia sedang menunggu kamu, dan kamu harus sampaikan ini langsung kepadanya, mengerti?"
"Ya, Pak."
"Ya sudah, sekarang kamu pergi! Biar POnya diurus sekretaris saya."
"Ya, Pak."

Si Bos tersenyum, setelah bergalak-galak terus sepanjang hari itu.

"Nanti kamu juga dapat bagian."

Hari itu Hikmat merasa sesak sekali. Namanya yang baru tiba-tiba menjadi berat, mungkin seharusnya ia tetap memakai nama Bimba. amplop sudah disampaikan, PO sudah beres, gaji bulan ini dinaikkan tiga kali lipat, dan seharusnya Hikmat senang. Tapi Hikmat merasa sesak. Ia memikirkan semua kejadian yang dialaminya. Ia tak dapat berhenti berpikir, saat ia berjalan, saat ia berkemas, saat ia pulang, mandi, makan, nonton televisi. Ia terus berpikir dan merenung, mengais-ngais sumber kebimbangan hatinya.

Tidak, aku tidak bersalah. Aku mengerjakan semuanya dengan benar. Aku tanda tangan karena disuruh tanda tangan. Aku sampaikan karena disuruh menyampaikan. firman Tuhan sendiri bilang, taatlah kepada tuanmu. Lagipula, memangnya perintah itu bisa ditolak? Menolak perintah Bos yang bisa dengan cepat memecat orang, sama saja minta dipecat. Lalu mau kerja apa? Mau makan apa? Tidak bisa kerjakan pelayanan lagi di Rumah Tuhan. Aku tidak salah. Tidak berdosa!

Tapi Roh-Nya menggeliat, membuatnya merasa gelisah. Ia tidak mau mengakui perasaan salah, karena pikirannya bilang, Hikmat tidak bersalah. Hatinya bilang lain. Hikmat mulai meragukan kebenaran hati nuraninya.

Ah, mungkin aku saja yang terlalu berprasangka. Mungkin cuma emosi. Dipikir sudah benar kok, pasti betul. Perasaan ini aneh ya. Ah, lupakan sajalah. Mending mikirin buat apa duit gajian nanti.

Tapi Roh-Nya mengejar terus, meski Hikmat mengabaikannya. Tahu-tahu ia menyadari, dirinya tidak lagi membaca Alkitab. Tidak lagi ber-PA sendirian sebelum tidur. Bahkan berdoa juga menjadi sulit. Kebaktian Minggu tak lebih dari kumpul-kumpul biasa. Hampa. Kesadaran Hikmat membuatnya menjadi takut, kegoyahan dalam jiwa yang amat meresahkan.

Hikmat sudah belajar banyak, tapi kali ini ia seolah ingin berlari, mencari kebenaran. Ia berbicara dengan orang-orang. Ia mendengarkan setiap pembenaran, tapi makin hari rasa salahnya semakin besar. Semakin menggelisahkan, mengacaukan kehidupan.

Dan apa kata Tuhan? Dimanakah Dia? Dimanakah jawaban-Nya? Apakah Tuhan sudah meninggalkannya? Apakah Tuhan akan mengabaikan umat-Nya?

Sore itu pamannya datang berkunjung kerumahnya. Ia baru saja menjemput anaknya -- sepupu Hikmat -- yang baru masuk SMP. Pamannya ingin meminjam mesin tiknya, barangkali punya pamannya sedang rusak. Hikmat sama sekali tidak keberatan, dan memang perhatiannya tidak tertuju ke situ. Ia tertarik memperhatikan paman dan sepupunya, karena sejak datang si paman masih memarahi anaknya. Penasaran, Hikmat bertanya.

"Kenapa si Badu, Paman?"
"Itu tuh, ulangannya jelek!"
"Wah, itu kan biasa? Tumben Paman marah begitu."
"Paman marah bukan karena nilainya jelek. Apa artinya nilai di awal masuk sekolah? Paman marah karena ia bohong. Anak ini bohong dan sombong."
"Bagaimana, Paman?"
"Semua anak pasti bikin salah. Badu juga bukan anak yang amat pandai, meski tidak bodoh. Kemarin dulu ia sibuk dengan kegiatan pramuka di sekolah. Tentu saja tidak bisa belajar. paman sudah tanya, mau nggak diajar, dia bilang tidak usah, Badu bisa sendiri. Kemarin Badu ulangan, dia tidak bilang apa-apa. Barusan ulangannya dibagi. Kebetulan Paman iseng, lalu bongkar tasnya sambil menunggu dia jajan, ternyata hasil ulangannya jelek sekali. Eh, Badu bilang gurunya yang salah. Tidak beri soal sesuai dengan bahan. Harus Paman marahi, biar ia tahu. Kesalahannya dalam ulangan tidak sebesar kesalahannya karena tidak jujur dan sombong, karena menganggap diri bisa semuanya."
"Ya, Paman. Harus dimarahi."

Ya, harus dimarahi. Apa bedanya Hikmat dengan Badu? Hikmat yang sombong, yang baru belajar menjalani kehidupan dengan semua ilmu dari persekutuan, kelas Alkitab, dan diskusi. Tidakkah Hikmat menjadi sombong, dan berani bilang tahu semuanya? Bukankah Hikmat juga harus dimarahi?

Malam itu Hikmat memandang semuanya dengan lebih seksama. Ia menoleh ke belakang, kepada kehidupannya seminggu ini. Ia berdoa sungguh-sungguh, mohon diterangi hatinya.

Apa artinya kehidupan Kristen? Tentu bukan sekedar kata-kata manis, nasehat dan anjuran. Kehidupan inilah yang harus dijalani, dengan jujur dan berani. Ampuni aku Tuhan, karena tidak jujur dan sombong. Karena merasa tahu semua, membenarkan semua. Sehingga tidak berani menatap kesalahan yang dibuat sendiri, yang sebenarnya disadari dari dulu. Aku tahu sekarang, iman tidak diletakkan pada perbuatan yang baik saja. Iman justru ada pada kesalahan, kesalahan yang diakui di hadapan Tuhan, lalu diampuni oleh Tuhan. Karena selama masih hidup, manusia masih diikat oleh dosa dan melakukan dosa.

Terima kasih, Tuhan, karena Engkau sudah lahir ke dunia. Karena Engkau, maka manusia dapat disucikan dari dosa. Karena Engkau, maka semua karunia bisa dirasakan, dan dibagi. Terima kasih Tuhan, karena Engkau mengampuni hamba-Mu, yang seharusnya memang pantas dimarahi ini. Aku rasakan sekarang, betapa besarnya kasih setia-Mu padaku!

Hikmat merasa bebas. kadang ia merasa bodoh sekali jika memikirkan kehidupannya, tapi itulah berkat Tuhan, mengajarinya hal-hal yang baru dari kebodohan. Kelimpahan dalam hidup justru datang dari kemalangan, jika manusia tetap menggantungkan dirinya kepada Tuhan. Apakah jalan Tuhan itu mulus dan lurus? Apakah Tuhan memanggil umat-Nya untuk hidup dengan mudah? Apakah jalan keluar dari suatu masalah adalah yang terpenting dalam kehidupan?

Kasih setia Tuhan datang dan disyukuri, justru dalam jalan yang sukar. Bukan di saat tegak kita bisa menyanyikan kesetiaan Tuhan dengan sungguh-sungguh, melainkan di saat badai menghempas, saat Tuhan datang dan menggendong kita. Saat yang akan datang, dan harus dihadapi dengan kejujuran dan ketulusan di hadapan Allah. Karunia itu tidak pernah bisa dibagi, jika manusia tidak mau mengakui bahwa ia membutuhkan karunia Tuhan. Jika orang tidak menyadari dosanya, apa yang bisa ia sesali saat bertobat?

Hikmat tahu, kasih Tuhan Yesus-nya abadi, tak pernah berubah. Tuhannya rela dan mau menggendongnya dalam hidup yang berat. Tapi Hikmat takkan pernah digendong Tuhan, jika ia merasa bisa sendirian menempuh hidup dengan baik setelah ia mempelajari seluruh Firman Tuhan, tahu segala hal yang dikhotbahkan Pendeta atau dibicarakan dalam persekutuan.

Malam itu Hikmat terlelap. Senyum bahagia menghiasi wajahnya.

Natal, 1992

DI BENTARAN SUNGAI

Bentaran sungai itu landai. Airnya bening mengalir perlahan, di antara batu-batu kali hitam yang terbenam dalam-dalam. Di belakangnya petak-petak sawah hijau berundak-undak nampak berombak ditiup angin. Burung pipit bermain-main diudara, sesekali hinggap di pematang sawah untuk mematuk ulat kecil, lalu membawanya pergi ke sarang di atas pohon di mana anak-anaknya mencicit menunggu makanan. Di sisi lain, burung tekukur dalam sangkar yang tergantung tinggi berkicau nyaring. Suaranya terpantul dari bukit di hulu sungai. Semuanya nampak indah dan permai. Tapi hati Hikmat tidak damai.

Hikmat mengumpat. Dia jarang mengumpat, tapi sekali ini hatinya kesal, dan udara pagi itu terasa lembab -- menyesakkan nafas. Dalam hati ia ingin berteriak keras-keras, tapi malu didengar penumpang lain. Waktu itu memang kereta api yang ditumpangi Hikmat mengalami kecelakaan, baut relnya longgar sehingga salah satu gerbong selip dan keluar jalur. Untung tidak sampai terbalik, namun biar bagaimana pun menyebabkan perjalanan terhenti berjam-jam. Akibatnya rapat menjadi terlambat -- Hikmat membawa berkas-berkas utama rencana kerja untuk Indonesia Bagian Timur. Apes.

Di antara semua kesialannya, Hikmat justru merasa paling menderita karena penumpang di sekitarnya. Dia, sendirian di kelas eksekutif, dikelilingi segerombolan anak muda yang pasang musik metal keras-keras, merokok terus menerus (padahal di kelas eksekutif ada AC-nya), minum bir banyak-banyak, teriak-teriak, pokoknya segala hal yang tidak masuk akal untuk dilakukan di atas gerbong kereta api oleh orang yang sopan-sopan. Hikmat tidak dapat tidur, juga tidak dapat bangun, karena kesadaran atas lingkungan sekitarnya menyebabkan penderitaan di sepanjang perjalanan yang berjam-jam ini.

Jadi di waktu mogok yang mengesalkan ini, Hikmat berjalan-jalan sepanjang bentaran sungai, berusaha mengganti asap di paru-parunya dengan udara pegunungan yang segar. Hatinya masih panas, mukanya muram dan gelap. Ia duduk di atas batu besar, melepas sepatu dan kaus kaki, lalu merendam telapak kakinya di air yang dingin dan jernih. Pandangannya disapukan ke seluruh daerah yang indah itu, lalu berhenti ke seberang kali kecil di sebelahnya. Ada seekor kadar di situ.

Kadal besar, atau binatang serupa kadal yang berwarna abu-abu yang besar, keluar dari kumpulan semak yang lebat, meminum air kali dengan moncongnya yang lancip. Sekejap kemudian, binatang itu berbalik, masuk lagi ke rimbunan semak. Hikmat memandang dan meresapi pemandangan itu. Suatu hal tiba-tiba muncul dalam pikirannya. Hikmat ingat perkataan Tuhan Yesus, "Jikalau engkau tahu tentang karunia Allah dan siapakah Dia yang berkata kepadamu: Berilah Aku minum! Niscaya engkau telah meminta kepada-Nya dan Ia telah memberikan kepadamu air hidup."

Berapa banyak mahluk yang sudah diberi hidup oleh sungai kecil ini? Sawah yang luas, pepohonan, burung pipit, kadal, manusia, semua diberi dengan cuma-cuma. Awalnya adalah karunia Allah, semua tumbuhan, semua hewan, semua manusia, baik berdosa maupun tidak, mendapatkan karunia alam yang berlimpah-limpah. Hikmat mengangkat kepalanya, lalu mulai hanyut oleh kekaguman atas keindahan bentang alam di hadapannya. Allah tidak pernah memilih-milih dalam mengasihi manusia. Secara mendasar, Allah telah memberikan karunia alam yang baik kepada semua mahluk. Manusia yang berdosalah yang mengubahnya menjadi buruk dan tidak teratur -- kebanyakan karena manusia merasa terlalu pandai dan serakah untuk menguasai semuanya.

Hikmat memikirkan orang-orang di dalam gerbong kereta. Anak-anak muda itu, bukankah mereka juga dikasihi oleh Allah? Tapi mereka dibutakan oleh jaman, sehingga tidak meminta kepada Tuhan, dan tidak mendapatkan air hidup itu. Yah, mungkin mereka tidak peduli. Atau tidak mendengar. Tapi mungkin juga tidak ada yang memberitakan. Tiba-tiba ayat hafalan yang lain terlintas di benaknya: Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakannya?

Ya, bagaimana? Bahkan untuk berjam-jam, Hikmat sudah keburu merasa kesan dan sebal melihat anak-anak itu, apalagi untuk berbicara. Apalagi memberitakan karunia Tuhan! Kedengarannya seperti kisah Yunus yang kabur pergi ke Tarsis, dan menolak ke Niniwe. Apa hanya orang yang nampak baik-baik yang boleh mendengar berita dari Tuhan?

Tahu-tahu Hikmat sadar, bahwa ia seringkali memilih-milih. Ketaatannya ada di tempat yang nyaman, tempat yang tingkat keberhasilannya tinggi dan resikonya kecil. Saat di Gereja, Hikmat taat. Di persekutuan, Hikmat taat. Di kantor, kereta api, restoran, hotel, nanti dulu. Berhakkan Hikmat memilih orang macam apa yang pantas diselamatkan?

Ketaatan macam apa yang Hikmat punya? Padahal selama ini Hikmat merasa taat. Ia taat bersaat teduh, taat berdoa, taat beribadah. Tapi orang Farisi dan ahli Taurat jaman dulu juga taat beribadah. Mereka yang taat, menjadi sombong secara rohani, dan menjadi orang-orang celaka! Hikmat menjadi gentar. Apakah Hikmat juga sudah menjadi sombong secara rohani, merasa diri pandai, hebat, dan taat, sehingga justru menjadi sangat tidak taat dan celaka?

Bersamaan dengan naiknya matahari, nurani Hikmat seperti diterangi dan diperbaharui. Ia merasakan berkat besar didapatkannya di atas batu besar yang teduh, ditengah alam yang indah. Hikmat merasa diri kecil, namun bahagia, karena dalam kelemahannya, Allah memakainya sebagai alat-Nya. amarahnya hilang, seperti juga asap di paru-parunya. Masalahnya dalam sisa perjalanan, dalam ruangan rapat, masih menanti, tapi ia mau menghadapinya dengan ketaatan yang bulat kepada Tuhan. Suara burung tekukur yang nyaring kembali tergema dari bukit yang permai di bentaran sungai.

Paskah 1993

HIKMAT PELAYAN

Bimba mengganti namanya. Hikmat Setialayani. Hatinya berbunga-bunga, serasa baru dibasuh air murni, air kembang yang wangi. Hidupnya kini menjadi baru, dengan keyakinan yang teguh, pemikiran yang lebih maju. Bimba sudah tiada, Hikmat telah lahir. Ia bahagia, karena Yesus Tuhannya.

Di kota yang penuh dengan hiruk pikuknya manusia, Hikmat berjuang mengais-ngais kehidupan, bekerja membanting tulang. Tapi setiap hari ia senantiasa memohon agar Tuhan menguatkan dirinya. Ia belajar untuk dekat kepada Tuhan, dan Hikmat dikuatkan. Setiap hari Minggu Hikmat tidak pernah meninggalkan kebaktian, dengan khidmat dan keagungannya. Hikmat belajar, bagaimana Tuhan sayang padanya. Ia tahu sekarang, dirinya berharga bagi Tuhan, sebagaimana Tuhan amat berharga baginya. Sekalipun setiap hari, setiap kali ada saja masalah yang datang, Hikmat telah mampu menerimanya dengan hati yang lapang dan tangan terentang.

Jiwanya berkobar-kobar. Hikmat ingin melayani, lebih daripada sebelumnya. Tak mampu ia tanggung sendiri anugerah yang sedemikian besar, kasih yang meluap-luap dari Tuhan Allahnya. Dan saatnya pun telah tiba, dimana Gereja sibuk merayakan kelahiran Tuhan, Yesus Kristus, Allah yang Maha Kudus.

Hikmat mendatangi pendeta. Ia bertanya, "Adakah tempat untuk saya?" Jawab Pendeta, "Kaulah orang pertama. Tentu saja tempat ada. Maukah kamu menjadi Ketua?" Hikmat mau. Tapi tak urung dia menjadi bingung. Aku adalah orang baru. Baru dibaptis, diangkat menjadi anggota gereja. Tak adakah orang lain yang lebih baik untuk jabatan itu? lalu belakangan ia tahu, ternyata yang lain ada, tetapi tidak mau.

Ternyata mencari anggota panitia tak semudah menjadi Ketua. Dan untuk mengadakan rapat susahnya sama saja. Jadi Hikmat memutuskan untuk berbicara, bertanya, dan mendengarkan saudara saudarinya seiman.

"Hai. Sorry ya, tapi pingin tahu, kenapa sih nggak mau jadi panitia?" "Jadi panitia? Wah, bukannya tidak mau, tapi saya mah teu bisa euy. Soalnya teh, saya benar-benar tidak bisa apa-apa, jadi kalau jadi panitia juga pan malahan mengganggu yang lain. Daripada begitu, biarlah, saya menonton saja." Hikmat tercenung. Hikmat termenung. Apa memang ada orang yang tidak mampu sama sekali untuk melayani Tuhan? Ia bertemu yang lain.

"Panitia? Aah, begini ya Mat. Kita ini orang Kristen, tentu harus melayani Tuhan. Tapi Tuhan kan tidak mengharuskan kita jadi panitia? Apalagi saya, saya kan sibuk? Tanggung jawab saya ada di mana-mana. Saya tidak suka ikut rapat-rapat panitia. Kalau ada apa-apa bisa berabe nanti. Sudahlah ya Mat, kita kan bisa saja melayani langsung. Nanti kalau panitia mulai kerja, kamu bisa panggil saya kapan saja, oke?" Hikmat heran. Orang ini sibuk, tapi bisa dipanggil kapan saja. Dia itu sibuk, atau tidak suka rapat, atau tidak mau memikul tanggung jawab?

"Nggak ah Mat. Saya nggak mau. Habis, panitia yang lain nggak suka sama saya sih. Lagian, temen-temen saya juga nggak pada ikutan jadi panitia. Kita kan masih remaja. Biasanya nanti juga kita dianggap enggak ada. Nggak mau ah, mending juga panitia Natal Remaja!" Kenapa? pikir Hikmat. Ia cerdas, juga cekatan, baik tangan maupun otaknya. Kalau mau, ia dapat banyak sekali membantu. Kenapa kepanitiaan yang sepenuhnya pelayanan pribadi, harus dikaitkan dengan teman-teman? Atau lebih lagi: tergantung siapa yang telah jadi panitia? Atau memang yang muda dan yang tidak dikenal dianggap tidak berharga?

Hikmat menemukan yang lain mempunyai alasan yang itu-itu juga. Memang beberapa ada yang lebih masuk akal: membuat skripsi, mau menikah, dan sebagainya. Tapi sebagian besar begitu saja menolak, dengan alasan yang lalu menjadi amat sering terdengar. Di mana berkat Tuhan bagi mereka? Atau mereka tidak tahu, tidak merasakan dan mensyukuri? Atau mereka tahu, tapi tidak rela membagi? Atau mereka ingin membagi, tapi takut? Hikmat tidak tahu. Hikmat menjadi takut. Mengapa dulu saya mau menjadi Ketua? Mengapa dulu tidak ada yang mau menjadi Ketua? Pasti ada sebabnya! Tapi apa?

Menjelang Natal, pertanyaan Hikmat terjawab. Tanggungannya menjadi berat, diisi oleh rapat2 yang penuh adu debat. Dan ancaman.

"Hikmat, saya tidak mau jij atur seperti itu. Itu kan merugikan saya? Apa kata orang nanti kalau saya melakukan itu? Pokoknya kalau jij taruh saya bekerja dengan dia, saya keluar dari kepanitiaan ini, biar dia kerja sendiri!" Astaga. Si Tante mukanya merah, Tante yang sudah tua, sudah ada di Gereja jauh sebelum ia ada di tengah dunia. Lalu yang tersisa di ruangan itu cuma si ibu tua, mengangkuti gelas dan piring kosong.

Hikmat pun bertanya kepada pak Pendeta, tapi Pendeta bilang, "Aah, Dik Hikmat jangan kuatir. Ini hal yang biasa, ada di mana-mana. Pokoknya kalau jadi ketua, buat semua orang menjadi gembira. Kan itu yang Tuhan minta. Pokoknya kita lakukan yang aman-aman saja." Astaga. Pak Pendeta bicara sedemikian tenangnya. Padahal ia sudah tua pula. Hikmat geleng-geleng kepala. Sudut matanya memperhatikan si ibu tua mengangkati cangkir-cangkir, setenang Pak Pendeta.

Panitia yang lain juga Hikmat tanyai. Lalu Hikmat semakin cemas. Orang-orang yang senior, yang berpengalaman, termakan oleh pengalamannya sendiri. Kadang tidak berani, amat hati-hati. Lain kali mereka bijaksana, terlalu bijaksana, sehingga tidak ada yang berani bilang 'tidak' waktu yang terucap adalah 'ya'. Dan waktu dua orang senior bertentangan, berarti rapat hari itu berakhir tanpa keputusan. Hikmat menjadi kecut. Ia sendiri takut. Tak ada keputusan. Cuma si ibu tua, lagi-lagi mengangkuti gelas dan membereskan meja.

Orang-orang junior, yang baru, biasanya tidak memegang jabatan penting. Mereka bekerja keras, tanpa kata keluhan. Murni pelayanan, tapi tanpa pengalaman. Jada kadang-kadang pekerjaannya kacau, mereka menjadi bingung, Hikmat juga bingung, dan yang senior sedikitpun tidak membantu. Sepertinya Tuhan juga tidak mau membantu. Kenapa? Ini kan semuanya untuk Tuhan? Tempat rapat itu kosong. Kecuali si ibu tua yang masih membereskan meja.

Hikmat bertanya, "Ibu, ibu sudah lama di sini?"

"Lama. Lama sekali."
"Tidak bosan membereskan meja?"
"Tidak. Cuma ini yang ibu bisa, membereskan meja."
"Apa ibu tidak mengerjakan hal lain? Bekerja di tempat lain?"

Ibu tua berhenti bekerja. Tatapannya sejuk pada Hikmat, lalu ia duduk di sisi pak Ketua yang muda.

"Dik, hanya ini yang tersisa. Ibu sudah tua, tidak bertenaga. Ibu hanya bisa berdoa, dan membereskan meja. Tapi meski pelayanan ini sederhana, ibu yakin kalau Tuhan dengan senang akan menerima. Memang tidak sebesar dan sebanyak bapak-bapak atau Adik telah berikan, tapi asal Tuhan senang, ibu senang. Ibu ini dulu orang berdosa, orang tidak bersusila. Tidak sekolah atau berpendidikan. Tidak berharga. Ibu lalu dikenalkan dengan Tuhan, dan ibu tahu ibu sudah diselamatkan. Yaah, memang cuma ini yang ibu tahu. Tapi di dalam sini rasanya bahagia sekali. Ibu ingin melayani. Ibu sayang kepada Tuhan, tidak akan bosan. Sayang, hal lain tidak ibu mengerti. Tapi dulu, waktu ibu muda, seorang istri juga tidak perlu tahu banyak tentang suami. Kalau ia dicinta, maka istri juga mesti mencinta. Ibu mencinta, sayang ibu sudah tidak punya apa-apa. Cuma bisa membereskan meja." Wajahnya menjadi sendu, tapi senyum dari muka yang keriput itu terasa begitu lekat dan menyejukkan. Dengan cinta si ibu tua tidak pernah berhenti tersenyum. Pancaran kasihnya menyejukkan hati Hikmat yang gelisah dan marah.

Mau tidak mau Hikmat ingat cerita tentang Yesus. Dulu Yesus sedang duduk dan memperhatikan kotak persembahan. Orang-orang mengisi kotak itu dengan uang mereka yang bergemerincing. Persembahan itu diberikan untuk dua pihak: Allah yang menerima uang, dan orang itu sendiri, yang menerima kekaguman dan pujian karena amat dermawan. Dan mereka tetap saja kaya, karena sebanyak-banyaknya mereka memberi, jumlahnya masih kecil dibandingkan dengan seluruh kekayaan yang dimiliki. Lalu ada janda tua. Yang miskin. Dan hanya dua keping uang dengan nilai yang rendah, satu-satunya yang dimiliki oleh janda tua itu. Yang diberikan dengan cinta dan penyembahan, sehingga tiba-tiba nilainya menjadi jauh lebih besar daripada segala persembahan yang gemerincing bunyinya. Meski cuma dua keping uang. Meski cuma bisa membereskan meja.

Hikmat serasa ingin memeluk ibu tua itu. Begitu sederhana dan bodohnya ia, sekaligus begitu besarnya ia. Betapa kecil dirinya dibandingkan ibu tua ini. Kalau ia ingat semua amarahnya, Hikmat menjadi malu. Ia sudah mementingkan dirinya, menginginkan dirinya mendapat yang terbaik. Ia adalah ketua, jangan ada yang menganggap rendah padanya. Ia adalah ketua, semua harus tunduk padanya. Ia adalah ketua, ingin lebih dari semua, di atas semua. Betapa kecil dan hinanya, dibanding ibu tua yang pelayan ini.

Di Surga, yang terbesar adalah yang menjadi pelayan. Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan. Hikmat tahu sekarang, dan bersyukur karena ia kini memperoleh hikmat: ialah ketua dan ialah pelayan. Kini ia tahu. Ia Hikmat. Ia pelayan.

VINDICATION

Bacaan: 1 Korintus 6:1-11

"Adanya saja perkara di antara kamu yang seorang terhadap yang lain telah merupakan kekalahan bagi kamu. Mengapa kamu tidak lebih suka menderita ketidakadilan? Mengapakah kamu tidak lebih suka dirugikan?" - 1 Kor 6:7

Manusia secara umum akan mempertahankan haknya. Secara umum orang akan mempertahankan nama baiknya (vindication), berjuang agar kebenarannya diungkapkan pada masyarakat, agar keadilan diperolehnya. Bagaimanakah mungkin seseorang yang dirugikan berdiam diri saja? Ia akan berseru-seru lantang, kalau perlu semua orang mengerti kasusnya agar membela keadilannya. At any cost.

Kekacauan mulai terjadi saat 'keadilan' bagi seseorang berbenturan dengan 'keadilan' orang lain. Perselisihan terjadi antara orang-orang yang berbeda kepentingan, masing-masing memandang 'keadilan' menurut kacamatanya sendiri, berdasarkan jalan berpikir masing-masing, dan berjuang untuk memenangkan keadilan bagi dirinya. Yang diperjuangkan seringkali berupa benda-benda harta material, namun dalam kasus lain bisa juga berupa ide dan pengakuan orang. Bahkan dalam beberapa kasus, yang dibela adalah hal-hal yang baik, seperti rencana pembangunan tubuh Kristus: Gereja.

Cerita singkatnya, seorang pendeta muda ditugaskan untuk membangun dan memimpin sebuah bakal jemaat kecil menjadi jemaat penuh. Di antara bakal jemaat ini, ada seorang tokoh yang dari awal telah membantu dan melayani kegiatan penginjilan, sedemikian rupa sehingga terbentuklah bakal jemaat itu. Pendeta yang mendapat tugas ini segera memulai pekerjaannya dengan bersemangat, dengan teliti mempersiapkan jemaat sesuai dengan petunjuk yang telah diterimanya. Di lain pihak, tokoh penatua jemaat ini pun telah memiliki rencana yang dipikirkannya sejak awal ia mulai terlibat dalam pelayanan pengembangan jemaat. Celakanya, rencana kedua orang ini berselisih jalan. Yang satu mau lebih dahulu mengembangkan organisasi. Yang lain mau lebih dahulu mengembangkan diakonia. Yang satu mau mengembangkan pemahaman Alkitab bagi jemaat. Yang lain mau lebih dahulu mempersiapkan gedung tempat kebaktian. Dengan berbagai keinginan, sumber daya dana dan tenaga yang tersedia pada bakal jemaat yang masih baru ini tidak cukup untuk secara bersamaan menjalankan rencana kedua orang ini.

Pertentangan mulai terjadi. Masing-masing mencari pengikut yang mau mengikuti kehendaknya. Masing-masing merasa sudah diperlakukan tidak adil, sudah dirugikan oleh pihak lain dalam pembangunan jemaat baru ini. Masing-masing merasa sudah dilecehkan dan terhina oleh rencana dan tindakan pihak lawan. Lama-lama, walau bakal jemaat itu masih kecil dan hanya ada satu, kedua orang ini selalu memakai istilah "mereka' dan "kita" dalam menjelaskan posisi yang berbeda dalam Gereja; jemaat secara umum mulai terpecah dan melupakan bahwa pada dasarnya mereka adalah satu bakal jemaat.

Dalam Gereja yang lain, pertentangan terjadi antar pendeta. Kedua pendeta ini berselisih pendapat dengan keras di atas pokok harta Gereja. Di mulai dari ribut mulut, hingga ribut fisik, berlanjut ke ribut antar pengikut dan tawuran antar jemaat. Bila sudah begini, akhirnya polisi turun tangan dan para pengamat tertunduk dengan sedih dan berlinangan air mata, ketika melihat pintu Gereja disegel polisi sebagai barang bukti sengketa di pengadilan. Orang-orang yang berselisih ini mencari penyelesaian menurut jalur hukum, sesuai hukum yang berlaku di Republik Indonesia. Ditimbang dan diputuskan oleh wasit yang tidak percaya kepada Kristus.

Itu adalah kasus yang besar. Kasus yang lebih kecil dan banyak terjadi adalah ketika seorang pria dan seorang wanita yang semula menjadi suami istri di dalam Kristus, bertengkar hebat sehingga menghadap pengadilan untuk bercerai. Membeberkan kasusnya dan menuntut keadilan agar dapat bercerai dari orang yang menyengsarakan hidupnya ini. Memohon kepada hakim yang tidak pernah percaya kasih karunia untuk memutuskan kasusnya. Seperti normalnya, sang hakim ini secara manusiawi akan membujuk kedua belah pihak untuk rujuk kembali. Bila tidak bisa dicocokkan, ya apa boleh buat, diceraikanlah mereka. Toh sang hakim tidak percaya kalimat yang berbunyi bahwa apa yang sudah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia.

Mengapa keadilan begitu penting bagi manusia? Apa yang penting dari diperlakukan adil, oleh dunia yang sudah berdosa dan sepenuhnya tidak adil ini?

Hanya Allah saja yang memiliki keadilan yang sejati. Hanya anak-anak Allah yang mampu memahami keadilan yang sesungguhnya, yang menjadi baju zirah dalam peperangan melawan kuasa iblis yang menguasai dunia. Untuk apa anak-anak Allah yang tahu tentang keadilan ini mencari keadilan pada orang-orang yang tidak benar, dan bukan pada orang-orang kudus? Sama saja seperti seorang ahli hukum muda berselisih paham tentang sebuah pasal UU dengan ahli hukum muda lain, kemudian meminta tolong seorang anak SMP yang paling pintar untuk memutuskan siapakah yang benar di antara kedua ahli hukum tersebut. Meski anak SMP ini diakui sebagai yang terbaik, tapi ia masih jauh dari apa yang dipahami oleh kedua ahli hukum tadi. Bodoh sekali kalau mereka menyerahkan keputusan tentang ilmu tingkat lanjut kepada seorang anak SMP!

Hanya anak Tuhan yang diberi pengertian oleh Roh Kudus saja yang mampu mengerti keadilan yang sejati di dalam Tuhan. Oleh karena itu orang-orang kudus akan menghakimi dunia yang tidak adil ini. Semestinya orang-orang kudus sudah memahami pula, bahwa sejauh mereka dapat melakukan kebenaran dan keadilan, sebaliknya dunia tidak dapat melakukan keadilan oleh karena dosanya. Orang-orang kudus harus memberikan kebenaran dan kebaikan, tetapi tidak bisa mengharapkan untuk menerima keadilan dari dunia. Anak Tuhan tidak bisa mengharapkan dunia mengerti dan senantiasa memberikan hal-hal yang menjadi hak-hak mereka. Perhatikanlah! Bukankah hanya anak-anak Tuhan saja yang sungguh-sungguh memberikan keadilan bagi umat manusia di dalam perjalanan sejarah? Yang dilakukan mereka pun belumlah sempurna, sebab masih ada kuasa dosa yang mengacaukan keadilan.

Oleh karena itu, betapa menyedihkan kalau anak-anak Tuhan tidak lagi mencari keadilan pada sesama anak Tuhan, melainkan pada dunia yang tidak kenal Tuhan. Kalau sudah demikian, bukan lagi keadilan yang sesungguhnya yang mereka cari, melainkan pemuasan nafsunya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Memalukan! Tidak cukupkah berkat yang Tuhan berikan dalam hidup, sehingga masih mencari keuntungan-keuntungan dunia sebesar-besarnya? Oleh karena ingin untung itulah makanya timbul perkara-perkara, ribut membela kepentingan diri namun sama sekali tidak terpikir mengenai kepentingan Tuhan yang disandang setiap orang percaya.

Jangan berlindung di balik label Kristen. Jangan bersembunyi di dalam organisasi Gereja. Seseorang yang tidak melakukan keadilan, yang pikirannya hanya mencari untung sendiri saja, tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. Rasul Paulus menyamakan orang yang tidak adil ini dengan orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, orang pemburit, pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu -- mereka semua adalah orang yang hanya memikirkan diri dan kesenangannya sendiri.

Dulu anak-anak Tuhan juga begitu, sebelum diselamatkan oleh anugerah kasih karunia Tuhan. Tapi kini anak Tuhan telah disucikan, dikuduskan, telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah. Ada hal yang besar dan mulia yang telah dimiliki tiap anak Tuhan, yang jauh melebihi segala harta atau keuntungan di dunia. Untuk apa masih meributkan dan berkelahi gara-gara hal-hal duniawi? Bahkan seandainya anak Tuhan dirugikan dan menderita ketidakadilan gara-gara dunia ini, jangan lepaskan kemenangan yang sudah diberikan Tuhan dengan kembali menjadi sama seperti dunia ini, lalu mencari keadilan pada orang yang tidak tahu keadilan. Biar saja bila dunia tidak adil dan merugikan, sebab Allah Bapa di Sorga pasti memelihara setiap anak-anak-Nya dan menyediakan segala kebutuhan mereka. Lebih baik lagi, Tuhan sudah menyediakan tempat di Sorga, di mana semua pengharapan akan terpenuhi dan keadilan yang sejati benar-benar ada.

RENDAH HATI

Bacaan: 1 Korintus 4:6-21

"Sebab siapakah yang menganggap engkau begitu penting? Dan apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima? Dan jika engkau memang menerimanya, mengapakah engkau memegahkan diri, seolah-olah engkau tidak menerimanya?" - 1 Kor 4:7

Betapa mudahnya menjadi tinggi hati.

Ketika pengetahuan bertambah, punya pengertian lebih tinggi dari orang kebanyakan, hati pun turut menjadi tinggi. Ketika kekuatan bertambah, punya tenaga lebih besar dari orang kebanyakan, hati pun turut menjadi tinggi. Ketika pengalaman diperoleh, punya kisah hidup yang tidak pernah dialami oleh orang lain, sekali lagi hati pun turut menjadi tinggi. Betapa mudah dan menyenangkan untuk membanding-bandingkan diri dengan orang lain, terutama bila memiliki sesuatu yang tidak dimiliki kebanyakan orang. Seluruh kesederhanaan dan kerendahan hati dilupakan dan hati pun menjadi tinggi tatkala perbandingan yang dibuat dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa diri kita lebih daripada orang lain: lebih bernilai, lebih pintar, lebih kaya, lebih segalanya. Terlebih lagi, bila kelebihan itu dibayar oleh tiap butir keringat dan tetesan air mata yang kita keluarkan. Siapa yang dapat bertahan untuk tidak menjadi sombong?

Di Gereja, kita melihat bahwa para jemaat - kita - tidak lepas dari jerat kesombongan ini. Dari keberhasilan kecil ke keberhasilan besar, seorang aktivis yang tadinya rendah hati, sederhana, penuh semangat, selalu mau diajar, dan menghormati orang lain kini menjadi orang yang sombong, yang omongannya rumit tidak karuan, yang pesimis akan kemampuan orang, tidak boleh dikritik, dan menuntut penghormatan dari orang lain. Seorang pendeta muda yang semula penuh perhatian dan jiwa yang bertekad untuk melayani jemaat, kini menjadi orang yang memikirkan diri sendiri beserta segenap reputasi dan jabatan yang disandangnya tanpa mempedulikan orang lain, apalagi melayani. Seorang organisatoris yang semula amat memperhatikan pribadi demi pribadi, kini menjadi seorang yang tidak ragu untuk mengorbankan dua atau tiga orang demi "kepentingan bersama".

Satu hal yang seragam terjadi pada orang-orang baik yang menjadi tinggi hati ini: pandangan mereka terhadap apa yang mereka telah perbuat telah berubah, dari semula menerima keberhasilan sebagai anugerah, menjadi keberhasilan sebagai prestasi. Dari tadinya melihat segala sesuatu adalah kasih karunia, jadi melihat bagaimana rencana yang baik dan teliti telah berhasil dilaksanakan melalui komitmen diri, kedisiplinan, kecerdasan, dan keuletan dalam mengatasi masalah. Dari ketergantungan pada kekuatan Allah, berubah ke ketergantungan pada kekuatan organisasi. Perlahan-lahan, orang-orang yang berhasil ini mengembangkan sendiri standar-standar mereka. Kalau perlu, standar itu dibuat melampaui apa yang tertulis di dalam Kitab Suci. Mereka mulai memilih-milih apa yang penting dan apa yang kurang penting pada Alkitab, mengutamakan yang satu dari yang lain, dan menjadi sombong tatkala berhasil berprestasi dalam area yang mereka anggap penting.

Bukankah kita dapat melihat, seperti apa kebanggaan beberapa hamba Tuhan yang memperoleh karunia untuk menyembuhkan orang sakit? Atau kebanggaan seorang yang menguasai ilmu teologia walaupun ia adalah seorang awam yang tidak mendapat pendidikan formal teologia? Atau kebanggaan seorang yang telah berjasa pada Gereja, sehingga aktivitas dapat berjalan dan pembangunan gedung gereja dapat dilanjutkan? Orang-orang ini berpikir bahwa apa yang mereka lakukan adalah hal-hal terpenting, dan bila bisa melakukannya dengan baik maka mereka telah berhasil menjadi seorang Kristen. Mereka menyempitkan area keberhasilan seorang Kristen, bahkan sebenarnya agak mengabaikan hal-hal lain yang penting dalam kekristenan. Terkadang, pada akhirnya orang yang sombong mengabaikan hal yang terpenting dalam kekristenan: mengasihi Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dan dengan dengan segenap akal budinya.

Padahal, tak ada satupun anugerah yang berasal dari prestasi seorang atau sekelompok manusia. Anugerah adalah pemberian, diberikan oleh Allah menurut kerelaan dan kemurahan hati-Nya. Diberikan sebagai kasih karunia, perwujudan kasih Allah bagi manusia yang tidak layak untuk dikasihi. Tapi orang-orang, termasuk hamba-hamba Tuhan, para pendeta, yang menerima kasih ini menjadi orang yang tidak tahu berterima kasih. Anugerah yang diterima menjadi kebanggaan diri, dan karya Allah diklaim sebagai hasil keringat sendiri. Atas prestasi itu, mereka menuntut imbalan dan pengakuan dari Allah dan manusia. Antara lain katanya, "Saya adalah seorang ahli yang sudah lama mendalami ilmu penginjilan dan pelayanan. Kalau mau mengundang saya ke sana harus booking 6 bulan di muka dan mohon disediakan tiket penerbangan untuk seluruh keluarga saya dan tolong juga disediakan akomodasi di hotel bintang lima. Biaya ceramah yang saya berikan bisa didiskusikan dengan manajer saya sesuai dengan tarif standar."

Paulus memiliki caranya sendiri untuk menutup mulut orang-orang yang tinggi hati ini.
Lihatlah aku, kata Paulus, bukankah aku ini rasul? Orang yang memiliki jabatan yang tinggi di antara jemaat pengikut Kristus? Dan bila jemaat adalah raja-raja yang harus dilayani, maka terlebih lagi seorang rasul yang lebih tinggi posisinya daripada jemaat? Tetapi menurut pendapatku Allah memberikan kepada kami, para rasul, tempat yang paling rendah, sam aseperti orang-orang yang telah dijatuhi hukuman mati, sebab kami telah menjadi tontonan bagi dunia, bagi malaikat-malaikat dan bagi manusia. Para rasul adalah orang-orang yang hina, bagaikan sampah dunia, yang posisinya jauh ada di bawah jemaat yang mereka layani yang menginginkan hidup seperti raja.

Bila rasulnya serendah itu, bagaimana mungkin jemaat dapat mengambil posisi yang lebih tinggi? Para rasul, yang telah membuktikan diri sebagai utusan-utusan Tuhan sendiri, telah menjumpai dan berbicara dengan Allah sendiri sehingga layak untuk ditinggikan di antara manusia, ternyata sedemikian rendahnya. Mereka kelaparan, kehausan, telanjang, dipukul, hidup mengembara dalam kemiskinan. Secara kontras kita melihat beberapa pendeta jaman sekarang -- yang sebagian mengklaim dirinya juga sebagai rasul -- memposisikan diri sebagai orang yang berkelimpahan dalam harta kekayaan, tidak boleh sakit, tidak boleh menderita atau kekurangan karena segala sesuatunya harus dicukupkan oleh Tuhan. Betapa sombongnya, sampai Tuhan pun harus menuruti kehendaknya!

Paulus juga menunjukkan bahwa dirinya adalah Bapa Gereja. Orang yang membawakan Injil Yesus Kristus ke dalam jemaat, sehingga mereka bisa memiliki pengertian tentang Tuhan dan karya-Nya. Sudah sepatutnya jemaat sebagai anak mengikuti petunjuk dan teladan bapanya untuk hidup menurut jalan Kristus. Bukannya meninggikan diri, sebaliknya melepaskan segala sesuatu, mengosongkan diri, sama seperti Kristus telah mengosongkan diri-Nya dan hidup dalam ketaatan kepada Bapa di Sorga agar kekosongan itu diisi oleh kasih karunia Allah. Kekuatannya milik Allah. Kemuliaannya milik Allah.
Bagi orang-orang yang tetap tinggi hati, Paulus ingin menantang mereka, melihat seperti apa kuasa yang sesungguhnya mereka miliki. Bila orang-orang sombong ini membual-bual dengan apa yang mereka miliki dan kuasai, Paulus ingin melihat apakah semua itu hanyalah kata-kata biasa atau sungguh-sungguh memiliki kuasa. Tantangan ini juga berlaku bagi kita, bila kita menjadi sombong. Ketika kita berhasil melakukan ini dan itu, dan mengklaim dengan kata-kata kita bahwa segalanya adalah hasil kerja kita. Siapakah yang memiliki dan memberikan kuasa, sehingga segala sesuatu bisa berjalan dengan lancar? Bila kuasa itu dicabut, dapatkah kita tetap sombong dan menepuk dada atas apa yang kita perbuat?

Marilah kita menjadi pelayan-pelayan Tuhan yang rendah hati!

GOD'S SECRET WISDOM

Bacaan: 1 Korintus 2:6-16

"Tetapi yang kami beritakan ialah hikmat Allah yang tersembunyi dan rahasia, yang sebelum dunia dijadikan, telah disediakan Allah bagi kemuliaan kita." - 1 Kor 2:7

Gereja di Korintus memiliki banyak karunia pada banyak jemaat yang berada dalam masyarakat yang terdiri dari banyak budaya. Kita dapat membayangkan jemaat Korintus ini terdiri dari berbagai macam dan jenis orang; ada yang punya karunia bernubuat, ada yang bisa membuat mujizat, ada yang cabul, ada yang berpendidikan, ada yang kaya raya, dan lain sebagainya. Kita juga dapat membayangkan bagaimana interaksi antar anggota jemaat, misalnya bagaimana orang yang berpendidikan tinggi dalam filsafat Yunani semacam Stoic atau Epicurean memberikan respon terhadap orang yang melakukan mujizat penyembuhan. Tentu ramai sekali, mungkin penuh kekaguman, tetapi mungkin pula penuh kecurigaan.

Respon yang diberikan seseorang terhadap apa yang dilihatnya, secara umum akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki serta pengalaman yang telah dialami. Orang yang terdidik untuk amat menghargai dan menggunakan rasionya akan cenderung lebih mudah menerima filosofi rasionalisme, ketimbang seorang yang terbiasa menggunakan perasaannya dalam menilai segala sesuatu. Orang yang penuh perasaan ini mungkin akan lebih cocok dengan filosofi romantisisme. Dengan beragam latar belakang pengetahuan ini, orang memberikan respon yang berbeda terhadap segala sesuatu yang diterimanya. Bila misalnya mengalami mujizat, pikiran dan perasaan mereka terus bekerja. Yang rasional segera memikirkan bagaimana hal yang nampak seperti mujizat itu bisa terjadi. Yang romantis segera merasakan pengalaman hidup yang indah ini, Tuhan yang besar dan tak terpikirkan, yang hanya bisa dirasakan kuasa-Nya.

Ada pula orang yang tidak terbiasa berpikir atau berperasaan, mereka menggunakan pengalamannya sebagai acuan dalam memberikan respon. Ketika mengalami mujizat, misalnya, ada orang-orang yang begitu terpesona oleh mujizat dan menjadikan kuasa itu menjadi norma tanpa memikirkan kembali kebenaran dibalik peristiwanya. Membuat mujizat sebagai suatu keharusan, bukan lagi anugerah kasih karunia. Mereka tidak lagi mampu, atau mau, memikirkan makna yang ada di balik sebuah mujizat. Misalnya seperti ini: Pokoknya kalau sakit kepala, doakan saja, pasti sembuh. Apa bedanya makna mujizat itu dengan makna sebutir tablet aspirin?

Pada jemaat Korintus, Paulus memberitakan hikmat di kalangan mereka yang telah matang. Sudah matang, atau dewasa, atau sempurna, di dalam kelahiran barunya dalam Kristus. Mereka inilah orang-orang yang menggantungkan imannya bukan pada hikmat manusia, melainkan pada kekuatan Allah. Pada kita, berita ini juga diterima oleh mereka yang telah matang, yang bergantung pada kekuatan Allah.
Paulus memberitakan hikmat, bukan pengalaman atau peristiwa. Untuk menerima hikmat dan memperoleh pengertian, seseorang harus menggunakan akal budi dan nalarnya. Untuk bisa bernalar, seseorang harus memiliki pengalaman atau pengetahuan terlebih dahulu, dimana di atas pengalaman atau pengetahuan itu ia membangun nalarnya. Seorang yang berpendidikan, secara umum akan membangun nalarnya di atas pengetahuan yang dimilikinya. Seorang yang sederhana dan tidak suka berpikir panjang, lebih senang membangun nalarnya berdasarkan pengalamannya.

Namun Paulus memberitakan hikmat Allah, kebijaksanaan Allah. Dia tidak berbicara tentang kebijaksanaan yang timbul dari pengalaman dan pengetahuan manusia, bukan dari para cendekiawan atau raja-raja, melainkan dari Allah. Yang tidak dapat dipahami dan dimengerti dengan nalar yang berdasarkan pada pengalaman dan pengetahuan manusia, walaupun manusia telah mengalami pengalaman berjumpa dengan Allah atau mujizat-Nya. Hikmat Allah ini sungguh-sungguh tersembunyi dari manusia, padahal Allah telah memikirkan dan mempersiapkannya jauh-jauh hari sebelumnya, bahkan sebelum dunia dijadikan, untuk kemuliaan kita.

Tuhan sudah menyediakan hal-hal yang tidak pernah dilihat, didengar, atau dipikirkan manusia bagi kita yang mengasihi Allah. Bagaimana kita bisa memahami dan mengerti? Ya, oleh Roh Kudus. Roh itulah yang menyelidiki isi hati Allah, kebijaksanaan Allah, Roh itu pulalah yang mengajarkan kata-kata pada Paulus dan para rasul, dituliskan dalam surat dan dapat kita baca sekarang. Karena itulah kita dapat meyakini kebenaran akan tulisan Paulus ini sebagai Firman, sebab disampaikan dari Roh Allah yang bekerja pada Paulus. Firman yang utuh, yang tetap merupakan Firman dan tidak bergantung kepada perasaan manusia yang memberikan respon terhadapnya atau pengalaman manusia yang berjumpa dengan Allah dalamnya.

Dapatkah hikmat manusia memahaminya? Tidak. Bagi hikmat manusia, semua itu hanya suatu kebodohan, ketidaksesuaian dengan segala sesuatu yang dapat dipikirkan atau dirasakan secara duniawi. Tidak pernah cocok, sebab hal-hal ini hanya dapat dipahami secara rohani. Tidak bisa oleh anthropologi atau sosiologi atau arkeologi atau filsafat.

Sekarang, dimana Gereja dalam memahami dan menerima hikmat Allah? Apakah para jemaat, seperti sebagian orang di Korintus, menerimanya dengan hikmat dunia, sehingga mereka menertawakan hikmat Allah itu sebagai kebodohan? Atau mereka menerimanya sebagai suatu pengalaman, yang tidak dipikirkan lagi maknanya, sehingga tidak tahu kalau mereka telah disesatkan oleh iblis yang juga bisa memberikan pengalaman ajaib?

Marilah kita menerima kebijaksanaan Allah yang rahasia, yang diungkapkan bagi kita melalui Firman dan Roh Kudus yang ada pada kita. Dan milikilah pikiran Kristus.

KRISIS IDENTITAS

Bacaan: 1 Korintus 1:10-17

Coba pikirkan, betapa kita satu sama lain saling berbeda.

Ada yang suka makan nasi putih, ada yang suka makan nasi pakai kecap (favorit: nasi goreng). Ada yang suka pedas, ada yang tidak suka pedas. Ada yang suka pergi ke laut, ada yang suka pergi ke gunung. Ada yang suka beristirahat di desa, ada yang suka beristirahat dengan keliling mall besar di kota besar. Ada yang suka badan kurus, ada yang suka badan gemuk. Bila kita menggabungkan faktor-faktor ini, maka perbedaan menjadi semakin tajam kelihatannya. Ada yang suka rambut lurus-makan ice cream-pergi ke mall-istirahat di hotel bintang lima, ada pula yang suka rambut keriting-makan rujak cingur-pergi ke ladang sayur-istirahat di cottage yang jelas berbeda dari yang suka rambut keriting-makan rujak cingur-pergi panjat gunung-istirahat di tenda.

Orang sudah paham dengan perbedaan-perbedaan ini dan mereka tidak bermasalah dengan 'berbeda'. Bagaimana pun, tidak ada dua orang yang persis sama, bukan? Tapi ketika perbedaan itu menjadi dikelompokkan dan diberi identitas, mulailah jadi masalah.

Misalnya, sekelompok orang (di Gereja) yang senang pergi ke laut menamakan perkumpulan mereka "Pencinta Laut" sedang yang senang pergi ke gunung berkumpul sebagai "Pencinta Gunung". Pada saat hari libur tiba, biasanya kedua kelompok ini bersatu dan pergi ke gunung atau ke laut secara bergilir. Tapi kali itu, setelah kedua kelompok berdiri, dimulailah keributan. Gara-garanya adalah pemahaman bahwa: pertama, semua orang harus pergi bersama-sama ke satu tempat; kedua, kelompok pencinta laut mau ke laut; ketiga, kelompok pencinta gunung mau ke gunung; keempat, orang tidak bisa berada di dua tempat yang berbeda dalam waktu yang sama. Ributnya hebat, orang yang biasa berteman baik kini saling balas menyindir dan memaki, bahkan berkelahi.

Berkelahi untuk menjaga kotak kosong saja sebenarnya, sebab kedua kelompok ini tahu bahwa pada hari mereka mulai berkelahi, mereka tidak akan pernah dapat pergi berlibur bersama-sama lagi. Mereka tahu tidak akan pernah dapat saling bersenda gurau lagi. Mereka tahu tidak akan saling memperhatikan lagi, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang ada. Bahkan mereka tahu bahwa mereka telah gagal untuk mencapai tujuan mendasar pergi berlibur: bersenang-senang. Hanya demi kepentingan kelompok, demi menjaga bendera yang telah dikibarkan, apapun harus diterima. Biar Gereja bubar, tidak apa-apa, asal para pencinta laut bisa pergi ke laut dan pecinta gunung bisa pergi ke gunung. Padahal, kalau Gerejanya bubar, maka bubar pula acara berlibur bersamanya, bukan? Tapi mereka tidak peduli.
Jadi yang salah apa? Apalagi kalau bukan identitas! Ketika identitas kelompok menjadi lebih tinggi daripada identitas Kristus, terjadilah kekacauan. Ketika kepentingan kelompok lebih penting daripada kepentingan Kristus, terjadilah perkelahian. Identitas kelompok ini kemudian menjadi titik lemah Gereja, menjadi batu pengganjal yang merobohkan jalan dan jembatan kerja sama dan kasih persaudaraan.

Sebuah anekdot berkisah tentang dua orang Kristen yang bertemu sebagai turis di negara yang jauh. Kata yang seorang, "Hai! Kamu dari Gereja Protestan atau Katolik?" Lalu jawab yang seorang lain, "Wah, saya dari Gereja Protestan." "Hebat! Saya juga dari Gereja Protestan. Presbiterian atau Congregasional?" "Saya dari Presbiterian." "Okeh! Sama dong! Calvinis atau Wesleyan?" "Kalau saya sih Calvinis." "Luar biasa! Saya juga Calvinis. Dari GKI atau GKP?" "Ooh, kalau saya orang GKI." "Puji Tuhan! Kebaktian pagi atau sore?" "Hmm, saya sih kebaktian pagi-pagi." "Tak dapat dipercaya! Suka nyanyi pakai KJ atau NKB?"

Sampai di sini, orang yang satu lagi itu merenung sebentar, "Hmm... dipikir-pikir, saya lebih senang pakai buku nyanyian kidung baru (NKB) itu." "Ahh! Bodoh! Ternyata saya bertemu kelompok yang nyanyi pakai NKB! Pergi sana! Nyanyilah dengan NKB kamu itu jauh-jauh!"

Kalau identitas kelompok menjadi pengganjal, lebih baik hapus saja identitas itu! Kalau tidak bisa meletakkan identitas apa pun di bawah identitas pengikut Kristus, lebih baik tanggalkan saja identitas itu! Lebih baik identitas itu tidak ada, daripada membagi-bagi tubuh Kristus. Untuk apa identitas yang tidak memberi manfaat, malah sebaliknya jadi perusak jemaat?

Kita semua memiliki satu identitas: pengikut Kristus, orang Kristen. Itu sudah cukup. Mengenai perbedaan: baptis selam atau baptis percik, premillenialis atau amillenialis, misi sosial atau pelayanan penginjilan, serta sederet panjang perbedaan lain berikut kombinasinya, biarlah menjadi perbedaan yang memperkaya Gereja. Tidak perlu diberi identitas yang dibela berlebihan. Tidak usah diberi nama untuk dibela mati-matian.

Karena satu salib itu, dipanggul dan dinaikkan bagi semua. Terpujilah Nama Tuhan Yesus Kristus!

SYUKUR

Bacaan: 1 Korintus 1:4-9


“Aku senantiasa mengucap syukur kepada Allahku karena kamu atas kasih karunia Allah yang dianugerahkan-Nya kepada kamu dalam Kristus Yesus.” – 1 Kor 1:4

Pernahkah kita mengucap syukur atas karunia yang diberikan Allah bagi Gereja dalam Yesus Kristus?

Sayang sekali kalau ternyata kita tidak lagi mengucap syukur. Bila ternyata, peran Yesus Kristus tidak lagi disadari oleh Gereja yang sibuk dengan birokrasi dan aktivitas organisasi. Bila ternyata, semua kata-kata baik yang diucap dan didengar, semua pengetahuan di antara jemaat, tidak lagi dianggap sebagai anugerah Allah melainkan semata-mata hasil kerja keras manusia.

Bilamana Gereja tidak lagi mengakui bahwa perkataan dan pengetahuan dan karunia bukan berasal dari Allah, bagaimanakah Gereja dapat memohon kepada Allah? Bagaimanakah Gereja dapat bersyukur kepada Allah? Bagaimanakah Gereja dapat menjadi bagian dari tubuh Kristus? Tetapi bagi sebagian orang, memang bukan lagi Allah yang diutamakan dalam Gereja, melainkan manusia. Pusatnya bukan lagi TUHAN, melainkan Manusia. Sebagian orang yang jumlahnya sedikit tetapi menempati posisi penting dan memiliki pengaruh luas dalam Gereja.

Jadinya, Manusialah yang terutama dalam segala sesuatu yang dipikirkan orang-orang ini. Coba perhatikan: bukankah topik utama dalam banyak kotbah dan seminar Gereja adalah kesejahteraan manusia, kesehatan manusia, rasionalitas manusia, intelektualitas manusia, pendapat manusia, kekayaan manusia, kekuasaan manusia, pengaruh manusia, dan sebagainya tentang manusia. Tuhan diletakkan sebagai sumber kesejahteraan, kesehatan, kekayaan, dan hal lain lagi, namun tidak dipandang sebagai Pusat yang Gereja sembah. Hanya menjadi acuan, menjadi target yang manusia hendak capai demi keselamatannya dan peroleh karunianya, namun tidak didengar, tidak diperhatikan, apalagi disembah.

Jadi, kita bisa melihat bagaimana kerasnya keributan yang terjadi dalam Gereja. Perselisihan yang terjadi akibat sebagian orang yang memiliki pendidikan tinggi dalam teologia dan memegang jabatan-jabatan kunci ternyata tidak mengutamakan Allah dalam organisasi Gereja, sementara banyak jemaat yang sungguh-sungguh tulus mencari Tuhan menjadi bingung dan mencari-cari. Padahal, segala kemampuan berbicara itu, segala pengetahuan melalui pendidikan tinggi yang dimiliki itu berasal dari anugerah kasih karunia Allah.

Rasul Paulus mengenali Gereja di Korintus sebagai Gereja yang bermasalah. Tetapi ia tetap bersyukur kepada Allah, bukan hanya sekedar basa basi dalam sebuah surat, melainkan karena ia benar-benar mengenali adanya anugerah kasih karunia di sana, bagi orang-orang yang bermasalah ini. Paulus tetap memandang kepada banyak karunia yang diberikan, sementara jemaat Korintus tetap menantikan penyataan Tuhan Yesus Kristus. Paulus tetap berkeyakinan bahwa Tuhan Yesus tetap ada dalam Gereja-Nya dan meneguhkan jemaat sehingga tidak bercacat hingga hari kedatangan Kristus. Bukan karena Paulus terpukau oleh besarnya jemaat atau kekayaan yang dimiliki oleh Gereja Korintus, melainkan karena Paulus bergantung kepada kesetiaan Allah.

Allah tetap setia, walaupun manusia tidak setia. Walaupun sebagian Gereja-Nya tidak lagi menyembah Allah, melainkan memuaskan keinginan telinga dan hatinya sendiri, Allah tetap memelihara. Walaupun sebagian Gereja-Nya telah menggantikan kebenaran Firman dengan rasionalisme dan filsafat dunia, bahkan tidak lagi menerima karya keselamatan yang dilakukan Kristus sebagai fakta melainkan “nilai-nilai iman yang diungkapkan orang jaman dahulu”, Allah tetap memberikan karunia. Sebab hanya inilah kesempatan manusia untuk berbalik dan bertobat kepada Allah, hanya melalui pemeliharaan dan karunia dari Allah. Dan sangat patutlah kita bersyukur kepada Allah!

MUSTAHIL?

Luk 1:37 Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil.

Bagi manusia, kemustahilan adalah kenyataan hidup yang tidak dapat dilawannya. Mustahil orang bisa berjalan di atas air. Mustahil orang bisa hidup 40 hari 40 malam tanpa makan dan minum sama sekali. Mustahil seorang wanita tua yang sudah menopause bisa hamil. Mustahil seorang anak dara yang tidak pernah disentuh pria bisa mengandung. Orang mengatakan bahwa ini semua adalah hukum alam, hal-hal yang sudah ditentukan demikian semenjak dari semula, tidak bisa diubah.

Kemustahilan menjadi batas-batas bagi hidup manusia, yang mendorong orang untuk berusaha keras dalam hidupnya. Karena seorang wanita hanya memiliki masa-masa tertentu saja untuk mengandung, maka segala usaha dikerahkan oleh pasangan yang masih belum memiliki anak, mulai dari pijat sampai bayi tabung. Karena manusia tidak bisa terbang seperti burung, maka manusia menciptakan mesin yang bisa terbang. Karena manusia membutuhkan makan dan minum untuk hidup, maka seumurnya orang bekerja mencari nafkah untuk mengisi perutnya.

Seringkali pula, orang akhirnya menjadikan hidupnya hanya bertujuan untuk mengatasi batas-batas, mencari hidup yang tidak terbatas. Soal makan, misalnya, ada takaran tertentu yang cukup bagi seseorang untuk hidup sehat, tapi ada orang yang keranjingan makan dan menggemukkan dirinya tanpa batas. Ada yang berusaha untuk menjadi pandai. Ada yang berusaha untuk menaklukkan alam. Ada berbagai bentuk dan cara hidup manusia, yang bila diperhatikan mereka semua menjawab tantangan tua yang sama: menaklukkan kemustahilan dalam hidup. Begitu gigihnya, begitu terfokusnya, sehingga kadang-kadang melupakan hidup itu sendiri demi menjawab tantangannya.

Orang pun berpaling kepada kuasa yang lebih tinggi, mencari jawaban atas tantangan kemustahilan yang paling besar: maut. Dari abad ke abad, manusia menyembah matahari, bulan, dan bintang, menyembah dewa-dewi beserta patung-patungnya, mencari-cari apa saja kuasa yang sanggup membebaskannya dari kesulitan hidup, memberikan kekuatan, serta memungkinkannya melawan maut. Mereka mencari allah untuk mengatasi kemustahilan, kemudian menyusun berbagai macam upacara dan cara hidup dalam usaha-usahanya mencapai allah yang dicarinya itu. Maka, muncullah agama-agama, menjadi bentuk-bentuk usaha pencarian orang terhadap allah.

Namun nyatanya, dalam agama-agama tetap saja tidak dinyatakan kekuasaan allah atas kemustahilan. Manusia mengaku allah maha kuasa, tetapi mereka harus mengangkat pedang dan berperang untuk membela agamanya. Mereka harus membela agamanya, sebab mustahil agamanya bisa bertahan bila tidak diupayakan oleh pengikutnya. Mustahil ajaran agamanya bisa berkembang bila tidak disiarkan oleh umatnya. Bukankah ini aneh? Mengakui kekuasaan allah, namun segala sesuatunya tergantung manusia? Tetapi agama-agama memberikan pengajaran: memang haruslah demikian. Kalau perlu, musnahkanlah orang yang mengancam agamamu. Maka manusia berperang, berabad-abad, saling serang dan memusnahkan atas nama agama.

Sedihnya, orang lupa bahwa sebenarnya mustahil bagi manusia menemukan Allah. Kemustahilan menghalangi jawaban atas kemustahilan. Maka, usaha manusia menjadi sia-sia. Teknologi bisa saja menjadi semakin tinggi dan cara hidup manusia berubah, tetapi manusia tetap dibatasi kemustahilannya.

Maka betapa besarnya kasih karunia yang Tuhan berikan, ketika Ia berkenan untuk mencari manusia. Tidak masuk akal, mustahil bagi manusia, tetapi tidak mustahil bagi Allah. Ketika Ia menyentuh kandungan Elizabeth sehingga wanita tua itu mengandung, ketika ia membuat Maria yang perawan ini mengandung dari Roh, semuanya mendobrak batas-batas kemustahilan, dalam tujuan yang sama sekali mustahil bagi manusia tetapi mungkin bagi Allah.

Tuhan menjadi Pribadi yang hidup, yang bekerja dalam hidup manusia. Bagi-Nya tidak ada yang mustahil, rancangan-Nya pasti dan teguh, pasti akan terlaksana. Demikianlah kita dapat menaruh kepercayaan kepada Allah dalam segala sesuatu, yaitu selalu ada kemungkinan lain, alternatif lain yang mendobrak batas-batas kemustahilan manusia. Bukan dalam rancangan manusia, melainkan dalam rencana dan kehendak Tuhan. Betapa indahnya!

Terpujilah TUHAN!

28 Juni 2004

Integritas Kampanye

Menarik untuk memperhatikan bagaimana slogan-slogan kampanye dilontarkan. Sebab, rata-rata menunjukkan apa yang mereka mau capai tanpa sedikitpun menunjukkan bagaimana mau mencapainya.

Ambil contoh, yang satu menunjukkan 5 rencana bagi perempuan. Astaga, bukannya dilindungi, sebaliknya perempuan di Indonesia didorong menjadi pekerja-pekerja. Mau dikemanakan kaum lelaki yang pemalas dan pengangguran itu?

Yang lain lagi menunjukkan mau membangun pendidikan bangsa. Ide yang bagus, tapi coba perhatikan apa yang selama ini dilakukannya. Apa komentarnya terhadap manipulasi nilai dalam UAN? Nggak ada tuh.

Pikiran Donny: jangan percaya omongan yang tidak bisa menunjukkan alur pikir yang berintegritas di baliknya. Kasihan orang Indonesia, dikasih propaganda terus...

Pikiran Donny

Halo,

Pikiran Donny: kayaknya blog ini lucu dan unik, meski (nampaknya) tidak mempunyai kegunaan praktis. Orang kan bisa nulis dan membaca, tapi rasanya tidak ada yang secara serius mempertimbangkan masukan dari blog untuk sesuatu yang praktis dan penting.

Tapi, jelaslah bahwa blog ini berguna untuk gaul, gaul man! Lagipula, pergaulan pun seringkali lucu dan unik, meski tidak selalu punya kegunaan praktis (tergantung orangnya juga sih). Dalam jangka panjang, berteman selalu memberi hal yang baik dan positif (tapi sekali lagi, tergantung orangnya juga).

Ok, jadi silakan tulis komentar atas pikiran Anda. Mudah-mudahan jadi awal yang menyenangkan.

Salam,
Donny