Cari Blog Ini

12 Januari 2008

No Secret: Semesta Tidak Mendukung

Apa artinya keinginan bagi seorang manusia? Ini mungkin menjadi hal yang sering kita hadapi, sekaligus tidak pernah kita pikirkan. Mengapa orang ingin makan sesuatu yang rasanya manis, bukan pahit? Tetapi, mengapa ada juga orang yang menyukai sayur daun pepaya yang pahit, dengan bumbu sambal yang pedas, sehingga melihatnya pun kita turut merasa ingin makan? Beberapa keinginan nampak janggal bagi kita. Mengapa orang ingin melubang-lubangi dirinya sendiri? Mengapa orang ingin menjadi kaya? Sekaligus, mengapa ada juga orang yang memilih melepaskan kekayaannya untuk menjadi penginjil miskin yang berkelana di belantara hutan Kalimantan?

Mengapa ada orang yang ingin belajar dan mengajar sebanyak-banyaknya, menjadi ilmuwan yang hidupnya dihabiskan di laboratorium, dengan eksperimen yang beresiko membahayakan dirinya? Mengapa ada orang lain lagi yang tidak mau sekolah, sebaliknya ia mencari pencapaian karir setinggi-tingginya, dengan bersikap pragmatis di sepanjang jalannya?

Kadang-kadang, kita berusaha menjelaskan keinginan kita kepada orang lain, terutama mereka yang dekat dengan kita. Kita menjelaskan keinginan kita kepada suami, kepada istri, kepada orang tua, kepada anak-anak, atau kepada saudara kandung atau sahabat yang dekat. Apakah semua penjelasan itu berhasil dengan baik? Belum tentu. Betapa pun mereka berhubungan dekat, ternyata tidak semua gagasan kita dapat disampaikan. Mereka ternyata masih belum memahami apa yang kita pahami, belum melihat apa yang kita lihat. Tapi, bagaimana bisa? Bukankah mereka mempunyai mata yang sama, akal budi yang setara?

Jadi ternyata, ada sesuatu pada diri kita yang mendasari apa yang kita inginkan. Masalahnya, apakah 'sesuatu' itu kita pahami -- itu harus diuji terlebih dahulu. Karena banyak juga orang yang menginginkan sesuatu tanpa alasan, tanpa pemahaman mengapa mereka menginginkan hal itu. Apalagi jika hal-hal itu ada di masa depan, sesuatu yang belum pernah kita lihat, bahkan belum pernah terlintas sedikit pun di pikiran kita. Bagaimana mungkin menginginkan sesuatu yang tidak pernah ada di dalam pemahaman manusia!

Ambil saja contoh: soal rasa yang disukai. Ada yang suka manis, berarti kandungan sukrosa atau glukosa yang lebih tinggi pada makanan. Yang lain lebih menyukai kandungan garam -- Natrium Klorida -- yang terasa asin di lidah. Apakah alam mengenal apa artinya 'manis' dan 'asin'? Tidak. Bahkan, mungkin kita sendiri yang menyebut suatu 'rasa' tidak tahu apa yang ada di sana. Ada rasa manis dari gula, tapi ada juga dari pemanis buatan seperti aspartame. Apa orang bisa terus mengetahui ini adalah gula, ini adalah saccharin, atau ini adalah aspartame? Namun, jika sudah disebutkan, mungkin kita lebih memilih gula daripada aspartame. Mengapa?

Karena, ada orang yang menilai gula lebih baik daripada aspartame. Suatu penilaian yang subyektif sebenarnya, karena apakah benar suatu rangkaian C6H12O6 lebih baik bagi tubuh manusia daripada rangkaian kompleks aspartame yang terdiri dari dua asam amino, yaitu phenylalanine dan asam aspartic? Penilaian manusia didasarkan pada suatu pemahaman, sesuatu yang membuat orang memilih satu kondisi ketimbang kondisi lainnya.

Dalam prinsipnya, pilihan itu bukanlah sesuatu yang alamiah.

Banyak hal yang ada dalam diri manusia bukan sesuatu yang muncul dalam alam. Kita menginginkan kekayaan, tapi siapa yang bisa menjelaskan apa yang alamiah dalam hal kekayaan? Apa yang alamiah dari keinginan untuk menimbun segala hal bagi dirinya sendiri, jauh lebih banyak daripada yang dapat dihabiskannya di sepanjang hidupnya? Pemahaman-pemahaman ini ada dalam diri manusia, berangkat dari nilai-nilai yang dianut oleh seseorang (dan belum tentu oleh orang lain).

Sekarang, seumpama memang benar bahwa manusia dapat memancarkan suatu 'sinyal' dari dirinya kepada alam tentang keinginannya. Seumpama memang benar bahwa alam dapat direkonfigurasi sesuai dengan intensitas yang dipancarkan orang itu. Pertanyaannya, apakah alam mengerti apa yang dipancarkan oleh seseorang? Kita bicara, misalnya, tentang seseorang yang berada dalam keadaan kritis -- suatu kondisi sukar dalam hal keuangan, seperti yang banyak dialami orang jaman sekarang. Masalah yang sangat kritis: tidak punya uang yang cukup untuk bayar sekolah anak, misalnya. Siapa yang tidak pusing kalau anaknya tidak bisa bersekolah seperti yang direncanakan?

Lalu, orang ini memancarkan kondisi kritisnya kepada alam. Apakah alam mengerti? Apakah ada suatu pengaturan-pengaturan diri di alam yang dapat menyediakan jalan keluar atas situasi kritis orang itu? Dia mungkin merasa seperti sedang dikejar-kejar penagih hutang, lantas berusaha lebih keras lagi. Ototnya menjadi lebih kuat, ia berpikir lebih rumit dan panjang. Tapi, apakah berusaha lebih keras selalu menyediakan jalan keluar? Mungkin tidak. Yang dibutuhkannya, mungkin adalah bekerja lebih cerdas. Dan mungkin juga, yang dibutuhkannya adalah perubahan paradigma, caranya memandang keadaan. Yang mana berarti, masalahnya semula masih tetap ada di sana, tidak ada perubahan. Hanya nilai-nilai orang itu yang berubah, dan apa yang tadinya 'kritis' tidak lagi terlihat demikian. Ini adalah perubahan pemahaman, bukan jalan keluar. Tidak ada pengaturan ulang apa pun, tidak ada rekonfigurasi apa pun yang terjadi setelah 'sinyal' dipancarkan.

Tentu saja, dalam kasus lain benar-benar timbul suatu jalan keluar. Misalnya saja, orang itu mendadak memenangkan undian dari tabungannya di bank. Atau mendadak, barangkali orang tuanya yang kikir meninggal dan mewariskan cukup dana untuk membayari sekolah anak. Tapi hal-hal ini sama sekali bukan suatu pengaturan alam, karena untuk memenangkan undian, ia sudah lebih dulu menabung. Untuk mendapatkan warisan yang banyak, orang tuanya sudah lebih dahulu menjadi orang kikir yang menyimpan banyak harta, mengabaikan kesehatan (saking kikirnya), dan meninggal sebagai akibat sifatnya itu. Dalam banyak kasus, seringkali jalan keluar timbul dari suatu akibat yang penyebabnya sudah ada lama, jauh sebelum masalah muncul. Bukan sesuatu yang baru muncul setelah orang mencapai 'situasi kritis' yang disampaikan kepada alam.

Alam sendiri tidak dapat memahami 'pesan' yang tidak alamiah. Jika ada orang yang menginginkan alam bagi dirinya sendiri, apa yang dapat ia harapkan sebagai 'dukungan semesta' atau terpenuhinya 'hukum ketertarikan'? Tidak ada. Tidak seperti itu alam diciptakan (atau kalau tidak percaya, sebut saja alam ber-evolusi). Alam tidak akan memenuhi visualisasi manusia yang tidak alamiah. Orang bisa berimajinasi sesuatu yang hebat, bahkan memaksakan gambaran itu kepada orang lain. Tetapi betapapun juga, hal itu tidak akan terjadi.

Dahulu manusia memvisualisasikan bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Segala sesuatu berputar mengelilingi bumi -- jangan keliru, hal ini bukan timbul dari Firman Allah, tapi dari hellenisme, dari gambaran yang di-'ilmiah'-kan oleh Claudius Ptolemaeus. Gambaran ini diyakini, disukai, dan diadopsi sepenuhnya oleh Gereja sebagai sesuatu yang 'suci' dan 'berasal dari Tuhan'. Masuk dalam Dogma, diyakini seperti Alkitab sendiri. Tapi salah, bukan? Pandangan Ptolemy tidak alamiah. Bagaimanapun orang mempertahankan pandangan ini, bahkan dengan menghukum mati Galileo, tetap saja gambaran itu salah dan tidak akan pernah terjadi.

Alam semesta tidak memahami nilai-nilai yang timbul dalam diri manusia, karena hanya manusia saja mahluk yang diberi akal budi, yang sanggup menginginkan sesuatu yang tidak alamiah. Hanya manusia juga yang bisa berhubungan dengan TUHAN, yang sepenuhnya tidak alamiah, karena TUHAN sebagai Pencipta alam berada di luar alam ciptaan.

So, there is no secret: ternyata alam semesta tidak mendukung manusia...betapa pun kerasnya kita menginginkan apa yang tidak alamiah terjadi. Hanya TUHAN yang memahami apa yang kita inginkan dan memenuhinya.

Oh ya, iblis juga paham lho apa keinginan manusia, tetapi sebaliknya dari memenuhi demi kebaikan, iblis memanipulasi untuk mendatangkan kejahatan. Untung, Tuhan sudah mengalahkan si naga tua yang jahat itu.

Terpujilah TUHAN!


Powered by Qumana


03 Januari 2008

Rencana Mencapai Impian

Setiap tujuan yang baik harus selalu disertai rencana yang baik untuk mencapainya. Jika orang tidak membuat rencana, berarti ia sedang merencanakan kegagalan.

Begitulah kata-kata bijaksana yang sering kita dengar tentang usaha mencapai impian. Tapi, ternyata membuat rencana masa depan tidaklah semudah kedengarannya. Orang perlu rencana untuk membuat rencana, pengaturan yang memastikan bahwa rencana yang dibuat nantinya benar-benar dapat dilaksanakan. Dalam dunia modern yang kita hidupi, kita tidak dapat mengabaikan nilai jumlah uang yang terlibat, sebagai alat ukur. Bagaimana mungkin, mengatakan bahwa uang adalah alat ukur?

Uang di jaman sekarang berbeda dengan jaman dahulu. Pada jaman dahulu, uang terbuat dari perunggu, perak, dan emas. Nilai dari uang berada pada uang itu sendiri, maka uang adalah harta dalam pengertian yang sesungguhnya. Tetapi di jaman sekarang, uang adalah sebuah surat yang dikeluarkan oleh bank sentral, yaitu Bank Indonesia. Perhatikanlah, bukankah pada uang kertas ada tanda tangan Gubernur BI? Makna dari uang merupakan ukuran daya beli, di mana nilainya ditanggung oleh Bank Indonesia. Harta dalam uang tidak terletak pada kertasnya, melainkan dalam kekayaan yang dimiliki Negara. Ketika negara semakin maju, nilai uangnya semakin tinggi. Ketika negara digerus oleh korupsi dan kemunduran, nilai uangnya semakin rendah.

Daya beli dari uang harus dibandingkan dengan kondisi negara. Kalau ada banyak orang yang membutuhkan barang, sedangkan penyediaannya sedikit, maka daya beli uang semakin rendah. Demikian pula, jika untuk memproduksi sesuatu – misalnya BBM – dibutuhkan biaya lebih tinggi karena sumur-sumur minyak mengering, maka daya beli uang juga akan semakin rendah. Hal-hal semacam ini disebut dengan INFLASI, ada yang disebut demand pull inflation dan ada juga yang disebut cost push inflation.

Karena kita tidak bisa mengatur lingkungan pada saat yang kita butuhkan, maka kita harus membuat rencana dan secara teratur mengevaluasi kondisi, serta melakukan penyesuaian, agar kita bisa mencapai cita-cita. Orang yang hanya membuat rencana tapi tidak mengevaluasinya, sangat mungkin ia akan kaget menghadapi kenyataan kelak, ia akan mengalami kegagalan. Untuk itu, pertama-tama kita perlu mengetahui, apa yang menjadi TUJUAN dari rencana kita.

Secara singkat, kita akan meninjau 7 aspek tujuan rencana: Tuhan, diri, keluarga, sosial, kesehatan, karir, dan keuangan.

Pusat Dari Semua Rencana: TUHAN

Seperti yang sudah kita bahas, kenyataannya setiap orang menghadapi lingkungan, situasi dan kondisi di dalam dan di sekitar dirinya, yang tidak dapat ia kendalikan. Bagaimana kita dapat memulai sesuatu? Jangan melupakan TUHAN dalam perencanaan! Ini adalah pusat dari semua rencana yang kita buat, berawal dari Tuhan, dimampukan oleh Tuhan, dan pada akhirnya adalah demi Tuhan. Karena TUHAN yang menjadi pusat, maka semua nilai-nilai yang ada dalam rencana kita berasal dari TUHAN.

Ada yang bertanya: “lalu apa artinya nilai uang?” Sekali lagi, ingatlah bahwa uang adalah alat ukur. Sebuah alat ukur tidak mempunyai nilai di dalam dirinya sendiri, apalagi menjadi sumber dari nilai-nilai. Tetapi dari TUHAN, melalui Firman Tuhan, kita menemukan nilai-nilai, seperti kasih, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kejujuran, rendah hati, dan sebagainya. Inilah yang penting, yang membuat sesuatu bernilai, bermakna, dan mulia adanya. Jadi, bukan uang yang banyak yang membuat sesuatu berharga, sebaliknya ketika sesuatu berharga, itu akan menunjukkan ukuran jumlah uang yang besar.

Tak ada jumlah uang yang dapat dipakai untuk mengukur TUHAN. Sebaliknya, semua kemuliaan berasal dari TUHAN, berharga karena dianggap berharga oleh TUHAN. Ingatkah tentang janda yang hanya memberikan dua keping, seluruh uang yang dimilikinya? Tuhan menganggapnya lebih berharga daripada segala uang yang diberikan oleh orang-orang kaya. Ini adalah prinsip yang harus selalu kita ingat: makna dari segala pencapaian kita ditentukan oleh nilainya di mata Tuhan.

Pelaku Dari Rencana: Diri Sendiri

Kita harus merencanakan bagaimana segala rencana dapat dikerjakan. Dan siapa yang mengerjakan rencana kita? Tentu saja, diri kita sendiri. Maka, membuat rencana masa depan juga berarti merencanakan keberadaan kita kelak. Apa artinya?

Ini berarti, kita merencanakan untuk menjadi lebih daripada sebelumnya. Menjadi lebih pandai. Menjadi lebih sabar. Menjadi lebih cepat. Menjadi lebih peduli. Semua sesuai dengan nilai-nilai yang Tuhan mau, sehingga pada akhirnya kita menjadi serupa dengan Kristus. Itu adalah tujuan tertinggi dari orang-orang Kristen. Tapi sebelumnya, kita perlu membandingkan dengan lingkungan yang ada di sekitar kita, menjadi ‘lebih’ sesuai dengan apa yang ada dalam kehidupan kita sekarang, seperti nasehat dari rasul Paulus: jangan berpikir terlalu tinggi!

Dalam cara yang sederhana, kita bisa mengukur pencapaian diri dengan produksi yang kita hasilkan – tentu saja, dengan cara yang benar. Kalau mau, kita bisa saja mengukur tingkat produksi itu dengan jumlah uang yang mengikutinya. Misalnya kita bekerja, dan menghasilkan nilai produk sebesar Rp. 1 juta bagi perusahaan. Kini di tahun berikutnya, kita bekerja dan menghasilkan nilai produk sebesar Rp. 2 juta. Nah, kita lihat peningkatannya, bukan? Kita membuat barang yang lebih bagus, memberi jasa yang lebih memuaskan, atau tingkat keilmuan yang lebih tinggi, sehingga segala hal yang berhubungan dengan diri kita mengalami peningkatan.

Untuk bisa memberi lebih, kita perlu merencanakan banyak hal. Mungkin kita berencana untuk sekolah lagi. Atau untuk menambah pengalaman. Atau untuk mengikuti dan meneladani seseorang.

Pendamping Pelaksana: Keluarga

Semua pelaksanaan rencana akan melibatkan pendamping dari pelaksana, yaitu keluarga. Ini adalah aspek ketiga dalam perencanaan kita, karena bagaimana keadaan keluarga juga harus direncanakan. Mengapa? Karena, Tuhan memberi kita tanggung jawab atas keluarga. Keluarga adalah beban yang harus kita tanggung, kuk yang harus kita pikul. Tetapi bukan beban yang menyusahkan atau kuk yang menyakitkan, justru sebaliknya!

Keluarga bukan sekedar beban; dalam perencanaan Tuhan, keluarga juga menjadi penolong. Bukankah istri diciptakan untuk menjadi penolong yang sepadan bagi suami? Banyak sekali bukti bahwa keberhasilan seseorang dapat terjadi karena dukungan keluarga yang kuat. Sebaliknya ada juga orang-orang yang gagal karena keluarganya menahan dia untuk berhasil. Kita lihat, bahwa kondisi keluarga pun harus direncanakan!

Kita perlu menetapkan tujuan-tujuan bagi keluarga kita: apa yang harus dihilangkan, apa yang harus dikurangi, apa yang harus ditambah, dan apa yang harus diciptakan. Dengan demikian kita mempunyai keluarga yang baik, yang kuat. Yang mendukung kita untuk mencapai kesuksesan, untuk menyertai kita di saat kita memuliakan Tuhan.

Lingkungan Yang Kita Pengaruhi: Sosial

Bagaimana kita bisa memuliakan Tuhan? Kita memuliakan Dia ketika kita membuat orang-orang lain memuliakan Tuhan. Ketika kita menunjukkan kebenaran dan keadilan Tuhan sebagai hal yang nyata dan dapat dirasakan oleh orang-orang lain, termasuk yang belum mengenal Tuhan. Waktu mereka mengetahui bahwa nilai-nilai dari Tuhan itu sungguh-sungguh indah, mereka memuliakan Tuhan, kita pun memuliakan Tuhan.

Dalam hal ini, kita perlu merencanakan apa yang dapat kita berikan kepada masyarakat. Dalam banyak kasus, ukurannya juga adalah uang. Ketika kita membuat lowongan kerja yang menggaji dengan pantas, misalnya. Atau ketika kita berdagang dengan jujur dan memberi nilai tambah kepada para pelanggan.

Kita perlu merencanakannya, karena untuk berbuat sosial tidaklah mudah. Kalau kita hendak menggaji dengan pantas, kita harus mempunyai produktivitas yang memadai. Jika kita hendak berdagang dengan jujur, kita harus menawarkan suatu kelebihan agar tetap dapat bersaing di dalam pasar yang penuh persaingan, seringkali persaingan kotor. Kita harus merencanakan apa yang dapat kita berikan kepada masyarakat di sekitar kita, tanpa membuat kita sendiri kehabisan.

Tiga Aspek Dalam Proses: Kesehatan, Karir, Keuangan

Kita sampai di sini telah melihat empat aspek tujuan perencanaan: Tuhan, Diri, Keluarga, dan Sosial. Pusatnya adalah Tuhan, dan tiga yang lain dinilai berdasarkan prinsip-prinsip-Nya. Tapi, kita juga perlu merencanakan jalannya. Seperti dalam setiap perjalanan, kita juga harus mempersiapkan prosesnya.

Kita menemukan bahwa kesehatan kita menentukan bagaimana adanya kita. Produktivitas kita berbanding lurus dengan kesehatan. Dapatkah orang lebih menekankan pentingnya kesehatan? Walau demikian, betapa banyaknya orang yang mengabaikan cara hidup yang sehat! Kita perlu merencanakan hidup sehat, karena nyatanya cara hidup yang sehat bukanlah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya.

Untuk dapat memenuhi segala sesuatu, kita membutuhkan pekerjaan. Dalam bidang kerja orang mengenal yang disebut ‘karir’ sebagai anak tangga yang perlu dilaluinya untuk menjadi lebih tinggi. Kita juga melihat bagaimana karir menentukan pendapatan, pemasukan untuk mencapai hal-hal lainnya, serta pengaruh yang kita miliki terhadap orang lain. Ini penting, karena dengan demikian kita dapat membangun hal-hal yang lebih baik. Apa rencana kita tentang hal-hal ini?

Jika perencanaan karir melibatkan tentang bagaimana mendapatkan uang, maka perencanaan keuangan melibatkan tentang bagaimana mengelola uang yang kita dapatkan. Kita dibatasi oleh pemasukan, demikian juga kita harus melihat batas-batas dalam pengeluaran. Untuk membuat rencana keuangan yang baik, kita harus membuat rencana, misalnya metode apa yang akan kita pakai dalam merencanakan keuangan? Apa komitmen keuangan kita?

Keseimbangan Dalam Perencanaan dan Pelaksanaan

Sekarang kita sudah melihat ketujuh aspek dalam perencanaan: Tuhan, diri pribadi (mental), keluarga, sosial-masyarakat, kesehatan, karir, dan keuangan. Ada banyak yang harus dikelola. Apakah mudah mengelolanya?

Sejujurnya, tidak mudah. Kesulitannya adalah bahwa kita harus menjaga keseimbangan dari ketujuh hal ini, karena kita mempunyai waktu yang terbatas untuk mengerjakan sesuatu. Setiap orang hanya punya waktu 24 jam sehari, bukan? Kita tidak bisa memfokuskan hanya pada satu atau dua aspek, sambil mengabaikan aspek-aspek lain.

Kalau diumpamakan, diibaratkan bahwa ketujuh aspek ini adalah jari-jari dari sebuah roda, kita dapat melihat bahwa keseimbangan – artinya panjang yang sama, besar energi, tenaga, usaha – yang baik menentukan kualitas rodanya untuk terus berputar dengan baik. Bayangkan bila salah satu jari-jarinya lebih panjang dari yang lain, maka rodanya tidak lagi bulat dan akan mengguncangkan kereta kehidupan kita.

Jika memang sulit, lalu bagaimanakah kita dapat melakukannya? Di sini kita kembali pada pusat dari semua rencana, bahwa TUHAN yang akan memelihara kita, Dia juga yang memampukan kita. Selama kita sungguh-sungguh berkomitmen dalam membuat rencana yang baik dan melaksanakannya, percayalah bahwa TUHAN juga tidak akan meninggalkan kita saat melalui pencobaan yang melampaui kemampuan kita. Sungguh, Tuhan itu baik!

HARAPAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN

Artikel ini merupakan bahan dari talkshow dalam acara Morning Coffee di radio Maestro FM 92.5 Bandung, pada tanggal 3 Januari 2008, pk 08:05 - 08:55

=======================

Setiap orang yang sudah dewasa memiliki dua hal yang tidak dapat dipisahkan dari kedewasaannya, yaitu adanya HARAPAN serta TANGGUNG JAWAB dalam kehidupan.

Harapan
Dalam hal harapan --atau kita sebut IMPIAN-- inilah yang memotivasi orang untuk berusaha terus, berjuang terus. Kita mempunyai pengharapan di Sorga, impian untuk mendapatkan mahkota dari Tuhan. Kita mempunyai pengharapan untuk kehidupan yang baik di dunia. Semua ini tidak akan datang begitu saja, sebaliknya seperti kata penulis Ibrani,

Ibr 12:1 Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita.

Ada banyak orang yang menyaksikan kehidupan kita, seperti awan yang mengelilingi. Bagaimana kita melakukan perlombaan ini? Kita harus menujukan mata kita kepada Kristus, lalu kita berlari, jangan menjadi lemah dan putus asa. Pengharapan berkaitan dengan tahan uji, dengan ketekunan (Roma 5:4) -- ini semua adalah sesuatu yang diperjuangkan.

Harapan Berkaitan Dengan Uang
Lebih jauh lagi, mari kita lihat bagaimana kehidupan orang di masa sekarang. Aktivitas manusia senantiasa berkaitan dengan uang, sebagai alat tukar untuk segala hal. Semua perencanaan untuk sesuatu yang kelak diperoleh, diukur dengan sejumlah uang. Kita melihat pendidikan membutuhkan uang, kesehatan membutuhkan uang, transportasi membutuhkan uang, bahkan pelayanan gerejawi pun membutuhkan uang. Jangan keliru: bukan uangnya yang kita butuhkan, melainkan pendidikan, kesehatan, transportasi, dan berjalannya pelayanan, serta segala hal lainnya. Uang hanyalah alat tukar, sekaligus alat ukur dari usaha kita untuk mendapatkan dan memberikan segala hal baik selama kita hidup di dunia modern ini.

Jadi, harapan untuk masa depan dapat diukur dengan uang juga -- misalnya, orang tua menginginkan pendidikan anak yang baik, kuliah di luar negeri -- yang dijabarkan dengan sejumlah uang yang perlu disediakan di masa depan. Mungkin orang tua kelak harus menyediakan dana Rp 1 Milyar, agar harapannya terpenuhi. Inilah yang perlu diperjuangkannya mulai dari sekarang, karena mungkin orang tua tidak akan sanggup menyediakan uang sebanyak itu dalam waktu singkat.

Sekarang, apa yang kita harapkan di tahun 2008? Barangkali waktunya sudah terlalu singkat untuk mencapai sesuatu yang benar-benar besar. Namun, kita masih mempunyai banyak harapan di tahun-tahun yang akan datang, barangkali ketika anak kita masuk kuliah di tahun 2018, sepuluh tahun lagi. Maka kita bisa menaruh sebuah harapan lain, agar tahun ini menjadi awal dari pengelolaan keuangan yang mapan, yang benar, yang membuat kita memberi yang terbaik bagi keluarga kelak. Kita boleh berharap, tahun ini kita bisa melangkah untuk mendapatkan penghasilan lebih baik. Melakukan investasi yang lebih baik. Mengelola uang kita lebih baik. Hasilnya?

Bukankah indah sekali, memikirkan bagaimana anak-anak kita bisa mendapatkan pendidikan terbaik di negeri ini? Atau mungkin kita akhirnya bisa memperoleh rumah yang kita idam-idamkan? Atau kelak, di saat kita pensiun, kita bisa menghabiskan waktu keliling dunia, mendapatkan sarana pemeliharaan kesehatan yang baik selama bertahun-tahun, tanpa membebani siapa pun juga?

Tanggung Jawab
Tentu saja, beberapa dari kita mungkin tidak menginginkan anak kuliah ke luar negeri, karena berbagai alasan. Mungkin orang tua tidak berharap seperti demikian. Tetapi, kalau harapan itu diturunkan, kita menemukan bahwa ada TANGGUNG JAWAB yang mengharuskan kita memenuhi kebutuhan, baik diri kita sendiri, keluarga kita, gereja, atau masyarakat di sekitar kita. Bagi sebagian orang, harapan dapat diabaikan -- orang bisa berubah pikiran tentang apa yang diimpikannya, bukan? -- tetapi tanggung jawab tidak dapat dikurangi.

Orang yang sudah mempunyai anak, misalnya, bertanggung jawab untuk merawat, membesarkan, dan mendidik anaknya. Orang yang sudah dewasa bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Orang yang mempunyai talenta bertanggung jawab untuk memberikan hasil dari talentanya itu. Kita mengenal baik perumpamaan yang telah diberikan oleh Tuhan Yesus tentang majikan yang memberikan talenta kepada hamba-hambanya. Perhatikanlah: mengembalikan talenta bukan suatu pilihan, melainkan keharusan.

Bertanggung Jawab Mengembalikan Investasi Allah
Yang menarik disini, yang disebut 'talenta' sebenarnya adalah UANG; talenta bukanlah mata uang, tapi satuan nilai uang. Kalau dikonversikan dengan uang sekarang, nilainya kira-kira US$ 960, atau sekitar Rp 9.024.000 (1$ = Rp 9400). Dalam perumpamaan itu, setelah memberikan sejumlah talenta, maka sang majikan pergi untuk jangka waktu yang lama (Mat 25:19). Kita melihat, bahwa dengan jangka waktu yang lama, hamba-hamba yang baik dapat mengembalikan talenta beserta hasilnya 100%.

Kalau dibaca dengan pemahaman modern, perumpamaan ini berbicara tentang INVESTASI. Sang majikan berinvestasi pada hamba-hambanya, dengan suatu kewajiban untuk mengembalikan bunga 100%. Kalau kita yang bertanggung jawab sebagai hamba, apa yang kita lakukan? Perhatikan juga konteks di mana perumpamaan itu diberikan: Tuhan Yesus sedang berbicara tentang Kerajaan Sorga pada hari Dia kembali, saat akhir jaman. Kita juga HARUS berinvestasi atas segala hal yang telah kita miliki, yang harus kita pertanggungjawabkan.

Tanggung Jawab Mengelola Keuangan
Di sinilah kita melihat bahwa orang percaya bertanggung jawab untuk mengelola keuangannya. Kita harus merencanakan keuangan kita. Kita tidak bisa mengatakan, bahwa kita hanya perlu duduk diam dan melihat Tuhan memenuhi kebutuhan kehidupan kita. Rasul Paulus pun memperingatkan,

2 Tes 3:10 Sebab, juga waktu kami berada di antara kamu, kami memberi peringatan ini kepada kamu: jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.

Kita HARUS mengambil jalan terbaik dan benar untuk memenuhi tanggung jawab kita. Orang tidak bisa berharap untuk berjudi dan memperoleh apa yang dia butuhkan. Kita harus melakukan apa yang benar, berupaya memenuhi kebutuhan kita, baik di masa kini maupun masa depan. Untuk itu, kita perlu tahu apa yang harus kita hadapi, seberapa besar kebutuhan kita, seberapa besar uang yang kelak harus disediakan.

Lalu, bagaimana menyediakannya? Banyak orang Kristen yang menutup mata, tidak mau belajar, sebaliknya hanya berkutat dalam apa yang diketahuinya saja. Ini tidak bertanggung jawab, karena sikap ini serupa dengan hamba yang telah berpandangan negatif lalu menyimpan satu talentanya dalam lobang di tanah. Sikap bertanggung jawab menuntut orang untuk terus memahami berbagai fasilitas dan kemungkinan yang ada, mengerti bahwa ada resiko-resiko yang harus dihadapi dan kesempatan-kesempatan untuk digali.

Tanggung Jawab Memahami Investasi
Jika orang mau belajar, maka ia akan tahu bahwa sebenarnya setiap investasi mengandung resiko, dan tidak mungkin menjamin suatu hasil yang besar dalam jangka pendek. Sekarang ini banyak orang --termasuk orang Kristen-- yang terjebak dalam investasi yang dijanjikan akan mendapatkan pengembalian tinggi, 5%-10% per bulan, yang kemudian ternyata suatu modus penipuan, uangnya lantas hilang dibawa kabur. Banyak yang tidak tahu bahwa Pemerintah melalui Departemen Keuangan sebenarnya telah membuat larangan memberi jaminan bunga dalam suatu investasi. Kalau ada ilustrasi perhitungan hasil dalam investasi, itu bukan kontrak, tidak boleh dijamin. Sayang, masih banyak yang mencari tempat berinvestasi 'serba terjamin'.

Sebaliknya, banyak juga orang yang tidak tahu bahwa dalam pasar modal yang tidak dijamin itu, tingkat pengembalian rata-rata selama 10 tahun terakhir ini lebih tinggi daripada inflasi, lebih tinggi daripada suku bunga bank. Ada investasi dalam bentuk yang sangat berfluktuasi seperti saham, justru secara statistik menunjukkan rata-rata peningkatan yang selalu positif dalam jangka panjang. Dalam bentuk yang lebih stabil, pasar obligasi di Indonesia tetap menunjukkan antusiasme tinggi. Sayang, banyak orang Indonesia yang tidak tahu!

Jadi, siapa pemain-pemain besar di pasar modal kita? Orang-orang asing! Mereka sanggup mengenali pasar modal yang mempunyai pertumbuhan tinggi dan baik di Indonesia, mereka mengusahakan agar dana mereka mendapatkan hasil di negeri ini. Sementara kita, yang menjadi rakyat Indonesia, justru banyak yang mencari investasi di negara asing, yang tidak kita pahami, yang sebenarnya tidak lagi bisa memberikan imbalan yang baik atas investasi yang dilakukan. Sekali lagi, ini bukan sikap yang bertanggung jawab. Jika kita berkutat dengan apa yang kita ketahui, menyembunyikan kemalasan dan ketakutan kita untuk belajar dan memahami, kita tidak bertanggung jawab.

Kalau kita bertanggung jawab, kita bisa mengetahui bahwa ternyata rata-rata reksadana saham di Indonesia selama 10 tahun terakhir memberi hasil rata-rata tidak kurang dari 40%. Ini angka yang besar, jauh di atas rata-rata reksadana saham di Amerika, misalnya, yang berkisar kira-kira 15% saja. Kita juga bisa mengetahui cara-cara yang lebih ringan dan terjangkau untuk memperolehnya -- karena banyak juga orang yang mundur dari berinvestasi ketika tahu bahwa modal awal yang diminta mencapai angka puluhan, ratusan juta rupiah. Padahal, tidak harus selalu demikian! Ada cara yang lebih mudah, lebih sederhana, dan terjangkau, yang bisa kita ketahui jika kita bersedia untuk mencari tahu, mendengarkan, meneliti, dan bersikap positif.

Dengan berinvestasi, orang bisa mendapatkan pengungkit (leverage) untuk memenuhi kebutuhannya. Kalau kelak ia membutuhkan Rp 1 Milyar, misalnya, ia tidak perlu menabung sebanyak itu. Dengan berinvestasi dan jangka waktu yang cukup panjang, dalam kedisiplinan diri, orang dapat mengatur agar ia menyediakan sepertiga saja, sisanya didapat dari hasil investasi. Ini jika orang dapat mengatur pengeluarannya, menjaga agar investasi tetap dipertahankan sesuai rencana. Sanggupkah kita melakukannya?

Tanggung Jawab Mengelola Arus Kas
Sekarang ini, masih banyak orang yang merasa tidak sanggup. Apa yang terjadi? Mereka mengatakan, bahwa keadaan hidup saat ini pun terlalu sukar untuk memenuhi kebutuhan. "Hard to make ends meet," begitulah istilahnya. Tapi, kalau di masa kini hidup terlalu sulit untuk dipenuhi, apakah lantas orang dibebaskan dari tanggung jawabnya untuk memenuhi kebutuhan di masa mendatang? Apakah karena sekarang hidup susah, kita tidak lagi perlu menyekolahkan anak, tidak perlu memberikan perawatan kesehatan, tidak perlu menyediakan dana yang diperlukan?

Ada orang yang berharap semua selesai dengan berdoa. Tetapi ia sendiri tidak berusaha untuk menemukan cara yang lebih baik mengelola keuangannya. Ia tidak berinvestasi, sebenarnya bukan karena tidak bisa, melainkan karena tidak mau belajar untuk mengatur pengeluaran. Kita lihat, sikap tidak bertanggung jawab sebenarnya memiskinkan orang, dan betapa sering kita melihat orang miskin justru membelanjakan uangnya dengan cara yang tidak bertanggung jawab! Ini seperti lingkaran setan, yang akan meminta korban anak-anak kita, generasi penerus kita.

Kesulitan keuangan bukanlah hal yang baru; ini sudah lama terjadi. Orang sudah menemukan berbagai macam cara untuk mengatasinya, ada petunjuk-petunjuk yang bisa dilakukan semua orang, asal orang itu disiplin dan tekun. Orang yang bertanggung jawab akan mengelola arus kasnya dengan baik, mereka menyehatkan keuangan keluarga, menyehatkan keuangan usaha. Siapa yang tidak ingin mempunyai keuangan yang sehat? Tapi, siapa yang telah melakukan upaya-upaya yang sepadan untuk hal itu? Ini adalah bagian yang harus orang lalui, membutuhkan ketekunan dan tahan uji.

Bereskan arus kas, maka kita dapat memenuhi tanggung jawab kita. Lebih jauh lagi, maka kita dapat mencapai harapan di masa depan. Siapa yang tidak menginginkan rumah yang lebih baik, melalui masa pensiun tanpa masalah keuangan -- sementara ada banyak sekali orang tua sekarang yang kehidupannya harus ditopang oleh anak-anaknya, padahal mereka sendiri masih bermasalah?

Tanggung Jawab Proteksi Keuangan
Dalam hubungan keluarga dan masyarakat, tanggung jawab keuangan tidak hanya pada diri sendiri saja. Ketika seseorang telah sanggup berproduksi, ia mula-mula menyediakan kebutuhan dirinya. Kemudian, ketika orang memperluas lingkup diri dengan berkeluarga, ia harus menyediakan kebutuhan keluarga: istri, anak-anak, dan segala kebutuhan rumah tangganya. Kita banyak memperhatikan masalah keluarga, berawal dari masalah keuangan. Tidak sedikit penyelesaian konflik suami istri harus melibatkan penasehat atau konselor yang memahami bagaimana mengatur uang. Tetapi dalam beberapa kasus, masalahnya timbul karena faktor resiko, yang tidak mungkin dihindari orang.

Pertama-tama, kita perlu menyadari bahwa semua orang pasti ada dalam dua kemungkinan: yang pertama orang itu menjadi semakin tua, yang kedua orang itu meninggal. Menjadi semakin tua berarti timbulnya kebutuhan-kebutuhan di masa depan, yang berkaitan dengan usianya, kondisi tubuhnya, penyakit yang dideritanya, dan sebagainya. Tapi kalau orang itu meninggal, maka segala produktivitasnya berhenti. Sekarang pertimbangkanlah: siapa yang tahu kapan ia akan meninggal? Bagaimana pun juga, manusia yang hidup PASTI akan meninggal, tapi kapan waktunya terjadi? Orang bisa meninggal karena kecelakaan, karena penyakit, atau karena kejahatan. Siapa yang bisa memastikan bahwa hal-hal buruk tidak akan terjadi pada diri kita?

Sebagai anak-anak TUHAN, seharusnya kematian tidak menakutkan kita. Memang kita tidak perlu takut akan keselamatan jiwa -- ini sudah dijamin oleh Tuhan kita Yesus Kristus. Tetapi, kalau kita meninggal, bagaimana dengan kesejahteraan keluarga yang kita tinggalkan? Kalau kita meninggal di usia tua, kita bersyukur karena tidak ada lagi beban yang harus kita pikul. Tapi bagaimana kalau kita meninggal di saat kita masih produktif? Orang-orang yang bergantung secara keuangan pada kita tentu akan sangat terganggu. Kesejahteraan mereka terancam. Kita sudah melihat contohnya: janda harus menjual rumah, anak-anak berhenti sekolah, serta masalah keuangan terjadi karena meninggalnya sang ayah, sumber nafkah keluarga. Dapatkah orang yang sungguh mengasihi keluarganya bersikap tidak peduli dan hanya berkata, "biarlah Tuhan yang memelihara keluarga saya." Apakah ia sungguh-sungguh mencintai keluarganya?

Maka, sikap bertanggung jawab akan membuat orang mengadakan proteksi keuangan atas jiwanya. Dalam keadaan tertentu, orang juga memahami bahwa dia mempunyai resiko hidup -- resiko mengalami penyakit kritis, resiko masuk rumah sakit, resiko mengalami kecelakaan yang mengakibatkan cacat -- yang perlu ditanggungnya. Tentu saja, resiko dari satu orang ke orang lain akan berbeda, sesuai dengan kondisi dan situasinya masing-masing. Disinilah fungsi asuransi, yaitu untuk mengambil alih resiko finansial atas diri seseorang. Di masa kini, asuransi telah menjadi suatu hal yang umum, yang paling logis untuk dilakukan. Kalau kita perhatikan negara-negara maju, Amerika, Eropa, Jepang, semuanya sudah sadar pentingnya asuransi. Di Jepang, rata-rata orang dewasa mempunyai 6 polis asuransi. Mereka menambahkan polis baru setiap kali nilai ekonomi yang dimilikinya bertambah, karena perlindungan itu harusnya membesar sesuai dengan kemajuan yang dicapai oleh seseorang.

Sayangnya, kita masih menemukan sejumlah praktek yang tidak terpuji dalam dunia perasuransian di Indonesia. Masalahnya, orang Indonesia tidak cukup belajar seluk beluk asuransi, karena di sini tidak diajarkan di sekolah, tidak seperti di negara yang sudah maju. Karena tidak tahu, banyak orang salah paham, dan celakanya mereka tidak mencari tahu lebih dalam. Kita bisa lihat, ini pun suatu sikap yang tidak bertanggung jawab, di mana orang bisa jatuh dalam dua ekstrim yang sama buruknya: yang pertama adalah sikap anti-asuransi secara total, yang menyatakan "pokoknya TIDAK atas asuransi". Di sisi ekstrim lain adalah sikap total-berasuransi yang menerima apa saja yang ditawarkan oleh agen asuransi, tanpa sedikitpun berupaya memahami apa yang didapatkannya. Sikap bertanggung jawab akan menempatkan asuransi pada porsinya, yaitu sebagai proteksi keuangan atas keluarga kita. Kita tidak dapat melepaskan diri dari pertimbangan tentang keadaan kita sendiri, memahami resiko yang kita hadapi, dan mengambil sikap yang sesuai. Kalau kita tahu bahwa kita membutuhkan proteksi sebesar Rp 1 Milyar, kita tidak akan membuat proteksi yang nilainya hanya Rp 100 juta saja.

Belajar Bertanggung Jawab
Demikianlah, kita sudah melihat bahwa harapan dan tanggung jawab kita dalam bidang keuangan personal meliputi tiga hal: Investasi, Arus Kas, dan Asuransi. Hal-hal ini penting; tidak cukup kalau kita hanya menyebutkannya saja. Sebaliknya masing-masing membutuhkan proses belajar, dilanjutkan dengan keputusan-keputusan untuk bertindak sesuai. Di dalam hal inilah kita mengerti bahwa keputusan yang kita ambil berkaitan dengan iman Kristen. Karena untuk melakukan investasi yang benar, mengatur arus kas dengan benar, dan mengambil asuransi yang sesuai, orang sebenarnya membutuhkan iman, kepercayaan bahwa Tuhan memang memelihara dan mempersiapkan segala hal baik untuk kita kerjakan. Mengelola keuangan adalah bagian dari menjadi dewasa di dalam iman -- untuk orang yang baru percaya, Tuhan mungkin memberikan susu, segala berkat yang datang begitu saja. Tetapi ketika orang semakin dewasa, Tuhan semakin melepaskan dia, agar orang itu mengambil keputusan sendiri.

Apakah hal ini mudah? Akan berbeda untuk orang yang satu dibandingkan orang lain. Kita semua berangkat dari situasi yang berbeda, di mana harapan dan masalah kita berbeda. Tetapi ada satu hal yang sama: kita harus mempertanggungjawabkan talenta yang Tuhan sudah berikan. Talenta itu mencakup diri kita, bakat kita, keterampilan kita, dan...ya, uang kita juga. Dan kita bertanggung jawab untuk mencapai harapan kita sendiri, meraih cita-cita kita sendiri. Tuhan memang akan membantu kita, tetapi kita harus dalam posisi bergerak, berusaha. Tuhan tidak akan membantu orang yang tidak mau bergerak, yang tidak cukup berani untuk melangkah. Ia sudah menyerahkan Anak-Nya yang tunggal sebagai Juruselamat, menebus kita dengan darah-Nya yang mahal -- lalu apakah kita masih tetap terlalu takut untuk berupaya, mengerjakan segala sesuatu?

Jangan kuatir, Tuhan tidak menyuruh anak-anaknya untuk langsung berlari, sementara kita masih merangkak. Tapi dari merangkak kita akan belajar berdiri, walau ada resiko jatuh -- rasanya sakit. Ketika kita mulai belajar berjalan, lalu berlari, kalau jatuh akan lebih sakit lagi. Mengatur uang yang pas-pasan mungkin awalnya terasa sakit, demikian juga kerumitan yang harus dihadapi dalam mempelajari berbagai pilihan investasi. Tapi ini semua kita butuhkan untuk kemandirian kita, hingga kita sanggup bertanggung jawab dengan sepenuhnya sebagai orang dewasa. Di saat itu kita dapat dengan bangga mengatakan, bahwa kita sudah tahu. Sudah mengalami. Dan kita bisa melihat bahwa apa yang kita tabur kini dapat kita tuai, dengan hasil yang berlipat ganda, menjadi berkat bagi orang di sekitar kita, bagi masyarakat. Dan demikianlah, kita pun memuliakan TUHAN yang sudah memberikan semuanya!