Cari Blog Ini

24 Desember 2010

Bergantung Pada Tuhan

Dalam pelayanan orang Kristen, hal yang sering disebutkan adalah, "mari bergantung pada Tuhan." Pemikiran ini nampak saleh, dan kalau diperhatikan benar-benar, ternyata bukan monopoli orang Kristen saja untuk mengatakan demikian. Sebaliknya, semua umat beragama mempunyai cara untuk mengatakan hal dengan maksud yang sama.

Pertanyaannya, apakah hal itu hanya sebuah pernyataan, ketika banyak orang Kristen sedang sibuk "melayani perayaan Natal"?

Kepada perempuan Samaria, Tuhan Yesua pernah mengatakan bahwa akan tiba saatnya orang menyembah Allah dalam roh dan kebenaran. Di dalam kebenaran, tidak ada dusta, tidak ada kegelapan. Batu ujiannya adalah realita: apa yang ya adalah ya, tidak adalah tidak, karena diluar itu berasal dari si iblis. Kalau seseorang mengatakan ahwa ia bergantung kepada Tuhan, apakah ia menyatakan kebenaran?

Mari kita belajar dari Natal. Hal pertama yang kita lihat adalah, kebergantungan kepada Allah membuka diri bagi rencana Tuhan, yang bisa jadi sangat tidak terduga. Maria adalah gadis muda yang tidak menyangka akan didatangi malaikat, lantas menjadi hamil. Kehamilan diluar pernikahan bukan hal baik di jaman sekarang, terlebih lagi di jaman dahulu saat kehidupan Yahudi sangat religius. Berapa banyak orang yang bergantung kepada Tuhan, juga berserah kepada-Nya? Atau kita berkata bergantung pada Tuhan, dalam pengertian kita membuat rencana dan menggantungkannya pada Allah untuk melaksanakannya? Lihatlah dan pahamilah apa yang Tuhan kehendaki, dan katakan, "jadilah padaku seperti yang Engkau kehendaki."

Hal kedua adalah mengenai kesanggupan. Yusuf tidak sanggup menerima Maria sebagai istrinya. Ia orang yang tulus hati, namun tetap saja bermaksud menceraikannya dengan diam-diam, apapun penjelasan yang diberikan Maria. Ketika akhirnya Yusuf berubah, itu bukan karena kesanggupannya sendiri, melainkan karya Allah. Yusuf kemudian bergantung sepenuhnya kepada jalan Tuhan, menemani Maria sampai melahirkan, dan menamai bayi itu Yesus. Kalau kita bergantung kepada Allah, kita tidak dapat me epuk dada dan mengatakan bahwa semuanya adalah hasil dari kehebatan kita. Saat kita melihat bahwa kenyataannya kita memang hebat, yang harus dilakukan adalah memuji Allah.

Hal ketiga adalah sikap untuk memandang orang lain sebagai orang-orang yang juga menerima karunia, sekalipun mereka kecil, marginal, dan tidak berarti. Keadaan Yusuf dan Maria cukup berat, dan akhirnya Maria harus melahirkan di kandang. Itu adalah penolakan yang menyakitkan, dan pastinya melahirkan adalah proses yang lebih menyakitkan lagi. Tetapi kemudian, datanglah gembala. Yusuf dan Maria tidak menolak mereka, sebaliknya menerima kehadiran orang-orang yang dianggap pinggiran itu, untuk boleh melihat Bayi di dalam palungan.

Orang modern merayakan Natal dengan kemewahan, dimana ada penerimaan bagi mereka yang kecil? Orang Kristen mencari kesempurnaan, malah membuat standar profesionalisme, dan tanpa sadar hatunya menutup bagi mereka yang dipinggiran, karena mereka bukan yang terbaik, paling terampil, atau bisa menghasilkan sesuatu yang wah. Justru kepada para gembala inilah Bala Tentara Surga menampakkan diri!

Jika kita mengatakan bahwa kita bergantung kepada Allah, dapatkah kita juga menerima orang yang minus, cacat, lemah, sebagai bagian dari komunitas kita?

Yang keempat, apa yang hina di mata manusia: gadis hamil di luar nikah, tukang kayu di Nazaret, melahirkan di kandang -- semua itu buruk, kurang, cacat, itulah yang dipandang Allah berarti. Orang Kristen yang mengatakan bahwa bagi Tuhan haruslah yang terbesar, terbaik, terindah -- dapatkah melihat ke kedalaman hati manusia, dan mengakui bahwa ia sedang bergantung kepada Tuhan? Perhatikanlah, betapa banyak sakit hati akibat penolakan, karena tidak sanggup memenuhi tuntutan kesempurnaan. Di dalam gereja, justru kesabaran menjadi hal yang langka, dan betapa mudahnya kemarahan terlontar karena ada yang kurang di mata mereka yang pandai terhadap mereka yang bodoh, atau yang kaya terhadap yang miskin.

Gereja bukan perusahaan, yang menuntut kesempurnaan kerja profesi. Gereja adalah tempat belas kasih dicurahkan, sebagaimana dahulu belas kasih diberikan dalam Natal yang pertama, yang tidak berlangsung dengan panitia dan acara, melainkan isak tangis dan kesukaran.

Manusia tidak pernah dapat memberi yang terbaik bagi Allah. Manusia hanya bisa menerima yang terbaik dari Allah, kemudian meneruskannya sebagaimana Allah kehendaki.

Selamat hari Natal, selamat bergantung pada Allah!
Published with Blogger-droid v1.6.5

19 Desember 2010

Natal 2010

Yoh 3:16  Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.

Permulaannya adalah kasih, ketika Allah membuatnya berbeda. Allah menciptakan dunia dengan mata-Nya yang sempurna, sehingga apa yang dilihat-Nya baik merupakan dunia yang sempurna. Di alam semesta ini ada begitu banyak bintang, barangkali ada planet-planet lain, bahkan mungkin kehidupan lain. Tetapi Allah mengasihi dunia ini, Ia membedakannya.

Prinsip kasih memang membedakan. Jika kita mengasihi sesuatu, atau seseorang, kita akan memperlakukannya berbeda. Walaupun orang merasa tidak suka dan mengata-ngatai, "ah, kok pilih kasih sih?" Kenyataannya, kasih memang memilih yang satu dan menolak yang lain. Tanpa membedakan, kasih tidak memiliki arti; kalau orang berharap diperlakukan sama semuanya, mau "dikasihi semuanya", maka sebenarnya tidak ada yang dikasihi. Di dalam pilihan itu tidak ada syarat -- kasih bukanlah bagian dari hukum sebab - akibat. Kalau dipikirkan, bahkan kasih itu merupakan suatu hal yang bekerja satu arah. Kasih adalah tepukan sebelah tangan.

Orang bilang, cinta tidak bisa bertepuk sebelah tangan, karena dibutuhkan dua orang untuk saling mencintai. Namun kasih tidak membutuhkan respon dari pihak lain; kasih lebih besar daripada cinta, karena sanggup bertepuk sebelah tangan. Kasih Allah yang besar adalah bukti kerasnya tepukan sebelah tangan ini, karena sebaliknya dari berharap balasan, kasih Allah justru memberikan karunia.

Perhatikanlah bahwa di sini disebut "mengaruniakan". Karunia adalah pemberian tanpa pamrih, kepada orang yang sebenarnya tidak dalam posisi yang pantas untuk menerima. Istilah ini dipakai sejak jaman dahulu dalam konteks raja dengan hamba; ketika hati raja senang, ia begitu saja mengaruniakan sesuatu bagi hamba, entah tanah atau kambing domba. Raja tidak mengharapkan balasan dari hamba, karena sang hamba tidak akan sanggup membalasnya. Raja tidak mengharapkan hormat atau pujian oleh pemberian, karena sang hamba memang berkewajiban selalu menaruh hormat dan pujian kepada Raja, baik diberi atau tidak diberi.

Tuhan lebih daripada segala raja yang pernah ada atau yang akan ada. Manusia harus menyembah Tuhan, harus memuliakan Tuhan -- entah mendapat atau tidak mendapat apapun. Penyembahan kepada Tuhan adalah kewajiban, suatu kewajaran yang sudah seharusnya, bukan suatu sebab-akibat. Sikap yang benar bukan sekedar menempatkan Tuhan secara berbeda, melainkan kita harus menguduskan hidup bagi Tuhan.

Perbedaan antara Tuhan dan manusia adalah sedemikian jauhnya -- setinggi langit di atas bumi -- maka karunia yang Tuhan berikan mempunyai nilai yang tidak terhingga, karena Allah tidak memberi sesuatu yang dengan mudah dimiliki-Nya. Esensi dari pemberian adalah kehilangan, dan apa yang lebih hebat daripada kehilangan Anak Tunggal? Bagi manusia sekalipun, kehilangan anak adalah peristiwa mengerikan, membuat histeris. Rasanya tidak ada orang yang dengan sadar bersedia memberikan anaknya yang tunggal. Kalaupun hal itu terjadi, pasti ada alasan besar dan hebat, ada suatu penyebab yang tidak dapat diatasi dengan cara lain.

Tetapi di sini tidak ada alasan bagi Allah. Dia bukan memberikan karena desakan; Dia memberikan karunia! Direnungkan seperti ini, Natal adalah hal yang tidak masuk akal, kecuali dengan satu alasan: karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini. Satu-satunya cara untuk memahami seluruh karya Allah adalah karena kasih yang maha besar, hingga melampaui semua pikiran dan pertimbangan manusia.

Respon yang dapat manusia berikan adalah mempercayainya, dan satu-satunya cara untuk dapat melakukannya adalah dengan mengasihi Tuhan. Begini: kasih adalah hal yang membuat manusia mampu membedakan, menguduskan, dan di dalam keadaan itu baru orang bisa mempercayai dengan segenap hati. Kalau orang tidak menguduskan, maka kepercayaan kepada Tuhan akan diletakkan dalam konteks seperti di dunia ini, di mana ada sebab dan akibat, ada maksud-tujuan dalam segala hal. Orang percaya kepada Tuhan supaya... dapat berkat, dapat rejeki, memperoleh kesehatan, mendapat kelepasan dari masalah. Orang percaya bahwa Allah itu Maha Besar, percaya bahwa Allah itu Maha Pengampun, percaya bahwa segala hal yang baik berasal dari Allah, percaya untuk mengikuti semua ajaran agama -- tetapi tidak ada yang dapat cukup percaya untuk meletakkan finalitas kehidupan di dalam tangan Allah kecuali manusia menguduskan-Nya.

Dan satu-satunya cara manusia dapat menguduskan Allah, hanyalah dengan mengasihi-Nya dengan segenap hati, segenap akal budi, segenap kekuatan. Itulah hukum yang utama dan pertama.

Manusia yang percaya kepada Tuhan dengan segenap hatinya dibenarkan oleh Tuhan, seperti Abraham. Orang yang sungguh-sungguh mengasihi Allah, yang mempercayai Natal dan dari sana mempercayai Tuhan Yesus Kristus, diselamatkan dari kebinasaan, berarti memperoleh hidup yang kekal. Mempercayai Natal bukan sekedar percaya bahwa ada bayi yang lahir di kandang dari seorang gadis perawan, bukan hanya percaya pada semua peristiwa di Bethlehem dua millenia yang lalu, melainkan menaruh kepercayaan kepada Tuhan akan finalitas hidup -- bahwa pada akhirnya, pada puncaknya, tidak peduli apapun yang terjadi di dalam jalan kehidupan kita di atas muka bumi ini, kita akan hidup kekal di dalam dan bersama dengan Kristus Yesus, yang telah lahir, hidup, mati, bangkit, dan naik ke Sorga. Semua karena kita mendapat karunia dan kita sungguh-sungguh mempercayai-Nya!

Selamat hari Natal!

05 Desember 2010

Bukan Hamba

Realita menunjukkan, manusia harus bekerja. Dahulu, mula-mula manusia mengambil segala hal yang disediakan alam. Kemudian orang belajar mengolah alam, membuat pertanian dan menambang. Beberapa abad terakhir manusia mengenal teknologi industri, dan manusia terbang, baik untuk perang maupun kemajuan. Sampai sekarang.

Semakin tinggi naiknya, semakin keras jatuhnya. Tiba-tiba kita mendapati bahwa kehidupan berputar lebih cepat, lebih menuntut, dan pastinya tidak lebih mudah. Manusia belajar untuk lebih mempercayai diri, tetapi di saat yang sama tantangannya juga lebih besar, karena orang bertindak berdasarkan kepercayaannya, bukan realita. Ketika apa yang dipercayai tidak sesuai kenyataan, konsekuensi yang harus ditanggung terasa amat sangat besar.

Dalam keadaan sukar, manusia mencari jalan. Di dalam kepercayaannya, orang percaya mengenai hari-hari baik, tentang benda-benda bertuah, dan kekuasaan alam. Ketika ilmu pengetahuan makin tinggi, orang percaya teknologi, pada komputer dan magnet, far infra red, dan gadgets. Orang percaya harus mempunyai ini, baru bisa sukses.

Realitanya, yang membeli dan memasang komputer tercanggih terbaru tetap bangkrut setahun berikutnya. Demikian juga dengan yang mendapat jimat dari makam di gunung, tetap mengalami musibah. Ada orang yang semula sangat percaya diri, mendapati realita kegagalan yang sedemikian hebat, sehingga tidak mampu bangkit dalam waktu yang lama.

Dengan semua realita itu, apakah yang dilakukan? Orang bilang bahwa dirinya berbuat salah, ia harus lebih mendalami, lebih percaya, dan lebih memperhatikan petunjuk-petunjuk dunia. Ia seperti hamba yang dicambuk majikannya, sehingga harus bersikap lebih taat dan patuh dengan setia.

Dunia seperti ular yang membelit mangsanya. Siapa yang dapat melepaskan? Dahulu, Allah sudah memberikan nubuat, sebuah pengungkapan: kelak kepalanya akan diremukkan Anak Manusia, sebaliknya si ular meremukkan tumitnya. Itulah yang terjadi, dan sekarang kita tahu si ular tua, penguasa dunia, tidak lagi berkuasa terhadap anak-anak Allah.

Kedatangan dan karya Kristus menyelamatkan kita, tetapi dunia tidak tinggal diam. Selama masih di dunia, kebenaran Kristus menghancurkan kekuasaan iblis, tetapi mahluk ini terus menerus menghantam tumit. Betapa sakitnya, betapa sukar untuk berdiri, apalagi berjalan dan berlari!

Selama kita belum menerima Perjanjian dengan Tuhan, kita diperhamba oleh kuasa jahat yang mengarahkan kita kepada kematian. Namun setelah kita akil balig, menerima Perjanjian melalui iman, kita menjadi anak, bukan hamba.

Apakah kita masih mau diikat aturan dunia? Percaya pada jimat, atau pada komputer? Adakah kita masih bergantung dan taat pada sistem ekonomi, yang semakin hari semakin terlihat kepalsuannya? Tidak! Tetapi, dunia membalas dengan menghantam tumit, sampai kita juga tidak sanggup berjalan.

Terpujilah Tuhan Yesus Kristus yang telah memanggul salib itu bagi kita. Dia menggendong kita saat kita tidak berdaya.

Selamat Natal, selamat karena Dia hadir bagi kita, yang percaya pada-Nya, bukan pada dunia.
Published with Blogger-droid v1.6.5