Cari Blog Ini

29 Agustus 2010

Doa bagi bangsa

Apa yang bisa diharapkan dari Penguasa dan Pemerintah? Kita mengharapkan mereka bertindak sesuai 'hukum-hukum Allah', walaupun kita juga berharap negara terpisah dari agama. Beberapa yang lain menginginkan negara dan agama menjadi satu, walaupun sudah jelas bahwa Indonesia didirikan bukan sebagai negara-agama, melainkan wadah dalam berbagai keberagaman yang satu - Bhinneka Tunggal Ika.

Kenyataan tentang korupsi dan kemiskinan dan kebodohan, walaupun saat ini masih ada pertumbuhan dan perbaikan, membuat kita mengidealkan satu bentuk pemerintahan. Apakah pemerintahan Kristen yang kita mau? Sejarah menunjukkan, ketika dahulu Kaisar Konstantin membuat Kristen jadi agama negara, justru penyimpangan yang terjadi. Ini membuat kekacauan iman, sampai terjadi reformasi di abad 16. Dari sana pun, kita melihat bahwa negara Kristen yang menjadi tempat lahir teolog besar, Jerman, justru menjadi penyebab Perang Dunia I dan II. Jadi apa yang kita harapkan dari pemerintah?

Rasul Paulus menasehatkan Timotius untuk mendoakan penguasa, agar orang bisa hidup dalam kesalehan dan kehormatan. Kita berharap agar kita boleh hidup saleh, hidup beribadah. Bisa berperilaku sesuai keyakinan iman tanpa perlu merasa takut. Kemudian, semoga kita bisa hidup terhormat -- ukan soal kaya atau terpandang, melainkan kita bisa menghormati kehidupan yang diberikan Tuhan.

Tanpa kemampuan untuk bisa hidup saleh atau terhormat, bagaimana mungkin orang dapat menerima keselamatan? Jika seorang terpaksa hidup menjadi pelacur, menjual prinsip kebenaran demi imbalan uang, bagaimana ia bisa bertobat selagi masih merasa terhina dan berdosa?

Karena itu berdoalah, karena tidak mudah untuk hidup saleh atau terhormat. Pada akhirnya, ini adalah pilihan-pilihan yang kita ambil berdasarkan karunia Tuhan, sampai kita juga turut mengambil bagian untuk membawa kemerdekaan bagi orang-orang di sekitar kita. Mari berdoa, dan bekerja!
Published with Blogger-droid v1.5.5.2

20 Agustus 2010

Direndahkan

Babilonia, Babel, adalah lambang dari puncak keberhasilan manusia. Babel pertama dibangun oleh Nimrod, yang menjadi legenda manusia perkasa di zaman para raja. Ia membuat menara yang menggapai langit, sampai Allah sendiri turun tangan dengan mengacaukan bahasa manusia.

Ribuan tahun kemudian, Babel menjadi besar di tangan Nebukadnezar, raja legendaris yang perkasa. Ia seperti titisan Nimrod, membangun segala kemegahan berbalutkan emas, di mana segala bangsa menemukan kerajaan besar yang memberi kesejahteraan dan kemakmuran, sekaligus rasa takut akan kedahsyatannya. Inilah kerajaan yang besarnya melebihi Asyur dan Mesir, yang termahsyur seperti Israel di masa Daud dan Salomo.

Bayangkan, bahwa semua ini dimulai oleh Nebukadnezar, dari sebuah kerajaan kecil orang Kasdim, sampai menjadi hebat seperti ini. Bayangkanlah betapa sang raja dipuja dan disembah oleh rakyatnya! Ia menyatakan diri menjadi dewa, membuat patung emas berdasarkan dirinya sendiri, dan memaklumkan semua untuk menyembah patung emas itu, dewanya, yaitu dirinya sendiri.

Jika kita ada di sana, apakah kita juga akan menyembahnya, sebagian karena takjub, sebagian lagi karena takut? Lalu, di manakah iman kita kepada Tuhan, Allah semesta alam?

Orang-orang seperti Sadrakh, Mesakh, dan Abednego memilih untuk masuk ke dapur perapian yang panasnya membinasakan -- apalagi dicampakkan masuk ke dalamnya. Siapa yang mau mengikuti resiko serupa?

Kita diajari untuk memisahkan antara agama dan negara. Akhirnya, kita berpikir bahwa ada pemisahan yang jelas antara kekuasaan manusia dan kuasa Ilahi. Kekuasaan dunia berjalan sendiri, lepas dari campur tangan Allah. Apapun yang terjadi, itulah pilihan manusia yang menentukan sendiri nasibnya... itulah yang ingin kita percayai, bukan?

Apa yang dialami Nebukadnezar membuktikan sebaliknya. Dia yang meninggikan diri, direndahkan TUHAN, Allah semesta alam, sampai ia mengakui Yang Mahatinggi. Hanya sedikit manusia yang mencapai kemuliaan Nebukadnezar, tapi siapapun yang mengalaminya harus ingat bagaimana yang terbesar pun bisa dijatuhkan serendah binatang.

Dahulu begitu, sekarangpun demikian. Kuasa Allah selalu lebih dari manusia. Terpujilah TUHAN!
Published with Blogger-droid v1.5.3.1

15 Agustus 2010

Tidak Najis

Manusia adalah mahluk yang memiliki kemampuan hebat untuk beradaptasi. Dari padang tundra es di kutub, sampai padang gurun panas di sahara, ada manusia. Kemampuan ini muncul dari fakta bahwa hanya manusia yang mampu memanfaatkan apa saja di sekitarnya untuk beradaptasi. Bahkan, kemampuan bertahan hidup menjadi kebanggaan.

Kehidupan Daniel adalah contoh yang ekstrim tentang adaptasi. Bayangkan, pada mulanya Daniel adalah kaum bangsawan di Israel. Kemudian Nebukadnezar datang dan menghancurkan semuanya. Daniel menjadi rampasan perang, sedangkan orang-orang dewasa lain dibunuh, binasa. Itulah nasib raja dari pihak yang kalah! Daniel selamat karena ia masih muda.

Apa yang diharapkan orang muda yang tiba-tiba hidupnya dihancurkan oleh perang? Dari hidup nyaman, sekarang sengsara luar biasa. Sedih luar biasa. Dan tiba-tiba pula, mereka direkrut menjadi pegawai raja. Suatu kesempatan untuk kembali hidup enak, malah lebih hebat lagi karena masuk istana raja Nebukadnezar yang mewah nan megah. Hebat!

Anak muda lain mungkin akan berusaha beradaptasi sebisanya. Tapi Daniel dan teman-temannya memilih untuk tidak najis, sekalipun itu berarti menolak makanan dan minuman raja.

Renungkanlah. Dalam perubahan yang sangat ekstrim, Daniel dan kawan-kawannya memilih untuk tetap kudus, tetap sama di hadapan Tuhan. Mereka bertaruh pada penyertaan Tuhan, sekalipun nyatanya saat itu orang Israel adalah tawanan. Mereka percaya, Tuhan tetap lebih besar.

Keyakinan ini terbukti - mereka hanya makan sayur, tapi lebih sehat dan gemuk. Mereka lebih pandai dan berhikmat dibandingkan semua orang lainnya. Mengikuti Firman Allah melalui nabi Yeremia, mereka mengusahakan kesejahteraan kerajaan tempat mereka dibuang. Mereka menjadi penasehat yang baik, penolong yang bijaksana, sampai tiba waktunya orang Israel kembali...

Dapatkah kita menjadi Daniel? Dapatkah kita tetap tidak najis, di tengah-tengah dunia yang memaksakan perubahan?

Dan, apakah kita tetap mengupayakan kesejahteraan kota tempat kita berada?
Published with Blogger-droid v1.5.2

08 Agustus 2010

Air Pahit

Pernah berjalan di tempat yang panas? Seperti, padang gurun misalnya? Di sana, air lebih berharga daripada emas. Rombongan manusia yang melintasi padang gurun membutuhkan banyak air, jadi bayangkan jika yang melintas bukan hanya sepuluh atau seratus manusia, melainkan lebih dari satu juta orang, laki, perempuan, orang tua-muda, termasuk anak-anak. Inilah perjalanan bangsa Israel. Inilah perjalanan kehidupan anak-anak Abraham, umat TUHAN, Allah semesta alam.

Kita juga berjalan dalam berbagai tantangan serta kesulitan. Kalau orang Israel dulu keluar dari Mesir, anak-anak Tuhan sekarang keluar dari kuasa dosa, lepas dari hukuman maut yang menjajah setiap manusia. Seperti orang Israel, anak-anak Tuhan sekarang juga membutuhkan berbagai macam hal: uang, kesehatan, pendidikan, kesempatan, keamanan -- semua yang memungkinkan kehidupan yang baik dapat berlangsung.

Tetapi, ada kalanya kehidupan nampak membingungkan. Orang Israel tiba di Mara, mula-mula senang karena di sana bertemu dengan sumber air. Tetapi kemudian bingung, karena bukan air segar yang didapat melainkan air pahit. Mungkin beracun. Yang jelas, tidak bisa dipakai, tidak bisa diminum, tidak memberikan kehidupan. Lihat, bukankah ini juga pengalaman kita? Mendapatkan pekerjaan, tetapi tidak menerima cukup untuk hidup. Menerima pasangan hidup, untuk mengalami penghinaan dan kecaman dari orang yang seharusnya melindungi dan menyayangi. Kehidupan menjadi pahit.

Kalau kita menjadi orang Israel, apa tindakan kita? Ingat, mereka ini baru saja keluar dari Mesir. Pengalaman melihat mujizat-mujizat, bahkan mengalami sendiri bagaimana Laut Merah terbelah -- itu adalah hal paling luar biasa yang seharusnya tidak terlupakan. Kita juga mungkin belum lama ini menerima pengalaman menakjubkan, karena ada kuasa iblis dipatahkan dan diusir, ada penyakit disembuhkan, patah hati dipulihkan, dan berbagai hal lain yang tidak masuk akal namun toh terjadi juga. Kita seperti orang Israel, mengalami TUHAN sebagai kenyataan dalam hidup.

Bagaimana jika kita sampai di Mara? Air itu pahit dan orang Israel bersungut-sungut. Kita juga bisa, bahkan telah, bersungut-sungut. Kita mulai meragukan kebaikan Allah. Kita bilang, Allah menyediakan tapi tidak semua, tidak tuntas. Mata air memang ada, tetapi pahit. Pekerjaan memang ada, tetapi jahat memeras. Orang yang seharusnya menjadi teladan karena telah mengemban tugas pelayanan -- entah dia itu majelis atau diaken atau penatua atau apalah -- ternyata adalah kaki tangan iblis di luar hari Minggu. Sandiwara yang menjijikan. Penipu ulung. Penyebab kepahitan hati yang rasanya tidak termaafkan. Apakah kita bersungut-sungut juga?

Musa disuruh untuk mengambil kayu, sekalipun ia mempunyai tongkat yang terbukti sakti mandraguna. Ia melemparkan tongkat kayu yang dibuang itu, hal kotor yang dilupakan dan diabaikan. Dan air itu menjadi manis. Bukankah salib juga kotor, terkutuk, dan tidak mau diingat-ingat orang? Yang disalib adalah orang yang tidak lagi diinginkan, tidak lagi diharapkan berada di antara manusia. Kayu kering yang boleh dimusnahkan begitu saja, kini dilemparkan ke pusat kesulitan dan membuat air pahit menjadi manis. Salib juga membuat hidup menjadi manis.

Kalau begitu, apa kesimpulannya? Apakah urusan air ini hanya itu saja? Tidak, karena di Mara inilah Allah memberikan peraturan, ketetapan, kepada bangsa Israel. Ketika kayu biasa telah mengubah keadaan pahit menjadi manis, ketika salib telah mengubah hidup pahit menjadi sukacita, di sanalah TUHAN memberikan ketetapan untuk diikuti. Pengalaman pahit mungkin terasa menjijikkan, namun di sanalah kita mendapatkan kebenaran Allah, prinsip-prinsip yang sekarang menjadi jelas bagi kita. Sesuatu yang tidak dapat dipahami oleh orang yang belum mengalami kepahitan -- di sanalah ada pertumbuhan.

Tuhan mengubah air pahit itu, demikian juga salib membersihkan kehidupan kita sendiri. Apa yang menjadi sikap kita selanjutnya?

Terpujilah TUHAN!

01 Agustus 2010

Rela Takut

Pada jamannya, Xerxes, raja Persia, dianggap sebagai manusia-dewa. Dia bertahta di Puri Susan yang megah, dengan pasukan disebut Immortal, yang menggentarkan seluruh Asia. Menakutkan, sekaligus menjadi sumber harapan. Orang-orang berbondong-bondong menyembahnya, sekaligus memohon sesuatu. Rejeki besar bagi yang diperkenan raja dan celaka ngeri bagi yang dimusuhinya.

Saat itu, Nehemia menjadi juru minuman raja. Ini posisi penting, suatu tempat terpercaya yang tinggi sekali karena berada di sisi sang dewa. Bisa dibayangkan, hidup Nehemia pasti makmur sentosa, aman tenteram, dan membuat iri banyak orang. Ia sudah mendapat apa yang diimpikan banyak orang. Apakah Nehemia puas?

Ia memikirkan tanah Israel. Ia bertanya tentang tembok dan gerbang Yerusalem. Ia menangis, berkabung, dan berdoa kepada TUHAN, Allah semesta alam. Ia rela takut kepada Allah, bahkan saat semua bangsa lain takut kepada Xerxes. Nehemia memilih kepada siapa ia takut, suatu sikap rela, bukan terpaksa.

Rasa takut itu sendiri membuat Nehemia lebih memikirkan Tanah Perjanjian, tempat yang dipilih TUHAN untuk hadir. Ia takut dan mengakui dosanya, perbuatan dosa yang dibuatnya setiap kali menghadap raja. Ia menyesal karena bangsanya tidak mentaati hukum-hukum Musa. Akhirnya, Nehemia memilih untuk bertindak karena takut akan TUHAN, daripada takut pada raja. Ia keluar dari kenyamanannya dan membangun kota.

Apa yang kita takuti? Kita semua dapat merasa sangat nyaman dengan situasi hidup, dan kita takut terhadap apapun yang dapat merenggut kenyamanan itu. Apakah kita rela takut kepada Tuhan, sebagai pilihan yang kita buat?

Jika kita memang takut, apakah kita bersedia untuk membangun Kerajaan Allah, berani keluar dari zona nyaman kita sekarang bagi-Nya? Atau kita terlalu takut nanti hidup susah?

Terpujilah TUHAN!

Published with Blogger-droid v1.4.8