Cari Blog Ini

24 September 2009

Risk & Control

Di mana letaknya kunci keberhasilan suatu tindakan investasi? Sebenarnya, pelajaran terutama menjadi investor adalah perihal mengatur masa depan. Kita senang mengendalikan masa depan, bukan? Walaupun banyak orang bicara tentang perubahan, bahwa dunia selalu berubah dan tidak ada yang sama, nyatanya orang bekerja berdasarkan pemahaman bahwa masa depan akan datang dengan suatu keadaan tertentu yang bisa diperkirakan dengan tepat. Pikirkanlah.

Bayangkan, kita sedang bermain basket. Saya ada di belakang, sedang Anda sudah mengambil posisi di titik tengah lapangan. Bola ada pada saya. Setelah melakukan dribble beberapa kali seraya menghindari pemain depan lawan, saya melontarkan bola ke muka. Tidak persis ke tengah, tetapi arahnya sedikit serong ke kanan, karena saya harus menghindari pemain lawan yang mau merebut bola. Anda melihat saya melepas bola, langsung mengejar ke kanan. Ambil posisi. Bola ditangkap dengan sempurna, langsung diteruskan ke muka pemain depan. Ia lompat ke depan melewati pemain belakang, menangkap, melompat ke arah ring…slam dunk! Score untuk tim kita!

Nah, pikirkanlah permainan ini. Ketika saya melepaskan bola dari tangan, Anda ada di posisi yang salah. Kalau Anda hanya berdiri di sana, bola tidak akan dapat ditangkap. Berkat latihan yang intensif, Anda bisa langsung memperkirakan di mana bola akan jatuh, sehingga langsung ambil posisi. Langsung mempersiapkan kedua lengan terjulur, menangkap bola dengan sempurna. Apakah saat bergerak Anda sudah tahu pasti bahwa bola akan jatuh di tempat yang diperkirakan? Nyatanya, kadang-kadang meleset juga, bukan? Lokasi bola jatuh adalah masa depan, tetapi gerakan Anda dalam sepersekian detik itu menentukan bagaimana masa depan akan terjadi, apakah Anda bisa tangkap bola atau tidak.

Anda juga melanjutkan dengan melakukan hal yang sama: saat itu posisi pemain depan masih belum tepat. Tetapi Anda sudah mengoper bola ke posisi di mana ia seharusnya kemudian berada, untuk menangkap dan menjaringkan bola ke ring. Kalau Anda melemparkan bola ke posisinya semula, ia bisa tangkap bola itu tetapi tidak bisa meneruskan ke ring, karena tertahan pemain belakang lawan. Anda harus lemparkan ke depan.

Untuk membuat keputusan-keputusan itu, kita semua belajar beberapa hal; ada yang dari pengetahuan khusus, ada juga dari pengalaman. Kita belajar bagaimana kekuatan otot kita melempar; otot kuat menimbulkan daya dorong yang lebih besar dan bola bisa lebih jauh dilontarkan, sebaliknya kalau otot kita lemah, lemparan pendek lebih disukai. Kalau otot kuat maka bola dari belakang bisa langsung dioper ke depan. Kalau otot lemah maka kerja sama tim harus lebih erat untuk banyak operan-operan pendek.

Lihat, tidak banyak berbeda dengan investasi, bukan? Dalam lemparan bola, berlaku hukum-hukum fisika berikut besaran-besaran seperti percepatan gravitasi bumi yang besarnya tetap 9,8 m/det2. Dalam investasi, orang berpikir bahwa ada hukum-hukum ekonomi berikut parameternya, yang bekerja dengan suatu aturan tertentu.

Katakanlah, misalnya hubungan antara inflasi dengan tingkat pengembalian atau yield obligasi. Kalau inflasi naik, maka pengembalian obligasi akan naik. Kenapa? Karena, kenaikan inflasi akan mengundang bank sentral menaikkan tingkat suku bunga. Akibatnya, orang melepaskan obligasinya dengan harga lebih murah untuk mengejar real
return yang positif, yang berarti yield obligasi lebih tinggi. Lebih jauh lagi, dana masyarakat akan terhisap ke instrumen pasar uang, sehingga mengendurkan jual beli saham, sehingga indeks saham menjadi turun. Itu berarti pasar mengalami hambatan permodalan, di mana tingkat ekonomi tertekan - berkaitan dengan PDB secara keseluruhan.

Sebelum diteruskan, semoga Anda paham bahwa yang disebut real
return adalah besar tingkat pengembalian yang sebenarnya, yaitu besarnya nominal suku bunga dikurangi inflasi yang terjadi. Kalau tingkat suku bunga simpanan 8% dan inflasinya 6%, real return adalah 2%.

Sampai di sini kelihatannya mudah, sebelum kita menyelidiki lebih jauh tentang bagaimana angka-angka itu muncul. Inflasi dihitung berdasarkan statistik – tapi statistik apa? Di Indonesia, seperti juga di Eropa, inflasi dihitung dari total konsumsi dan memasukkan harga makanan dan energi. Ini disebut sebagai headline inflation. Ada pandangan yang menunjukkan bahwa fluktuasi yang besar dari harga makanan dan energi menuntut intervensi Pemerintah, antara lain substitusi, sehingga pada akhirnya headline inflation tidak menunjukkan kondisi ekonomi yang sebenarnya. Pilihan lain Pemerintah adalah membuat perhitungan inflasi yang tidak memasukkan harga konsumsi yang fluktuatif, disebut sebagai core inflation. Ini adalah pilihan yang diambil oleh Pemerintah Amerika Serikat. Mereka menganggap cara ini lebih tepat menunjukkan situasi ekonomi.

Ketika kemarin ini harga minyak bumi meningkat, bank sentral Eropa – juga Indonesia – melihat inflasi mereka meningkat tajam. Di Amerika, perhitungan inflasinya justru merendah, mengarah ke deflasi. Yang di sini sudah bergerak menahan inflasi dengan menaikkan suku bunga. Yang lain bertahan dengan tingkat suku bunga yang rendah. Sekarang, bagaimana dengan harga obligasi? Harga obligasi di Eropa bergerak menurun, sementara harga obligasi di Amerika – treasury bonds – bergerak menaik. Bagaimana reaksi para penerbit obligasi, terutama dari korporat?Jangan heran, dalam krisis moneter yang lalu, harga obligasi korporat menjadi aneh (untuk mengetahui lebih lanjut, silakan cek http://video.forbes.com/fvn/finadnet/milking-the-muni-bond-anomaly).

Intinya: apa yang dipandang sebagai "hukum ekonomi" ternyata berubah dalam pengaruh finansial global. Dahulu, para penguasa dapat mengendalikan ekonomi negara dengan cara yang relatif lebih pasti, saat bank sentral dapat melangkah menenangkan pasar. Mereka mempunyai kendali yang lebih besar untuk menahan tingkat resiko yang rendah, sambil terus meningkatkan hasil investasi. Tapi sekarang kendali itu semakin lama semakin tidak efektif. Kalau instrumen yang seharusnya cukup stabil seperti obligasi menjadi lebih volatile – harganya turun naik – tanpa terduga, apa jadinya dengan efek seperti saham yang memang bersifat volatile?

Krisis global melihat bahwa investasi dalam saham menuntut pemahaman baru, karena sekarang harganya bukan saja turun melainkan dapat lenyap padahal beberapa minggu sebelumnya masih berharga tinggi. Inilah yang terjadi dengan berbagai bank dan lembaga keuangan (ingat Lehman Brothers?), sehingga nilai saham sektor finansial Amerika dan Eropa terjungkal jatuh. Siapa yang mau memegang saham perbankan di masa-masa seperti ini? Malangnya, hal ini juga berarti bank dan lembaga keuangan mempunyai masalah untuk memperoleh tambahan modal yang mereka butuhkan. Bahkan di antara bank-bank, ketidakpercayaan semakin tinggi sehingga tidak ada bank yang mau memberikan pinjaman kepada bank lain – hal yang sebenarnya sangat umum di masa-masa normal.

Bank mempunyai fungsi menjadi katup-katup likuiditas – memberikan pinjaman cair yang dibutuhkan dunia usaha. Ketika bank-bank bermasalah, usaha-usaha juga mengalami masalah – terutama usaha yang mengandalkan perputaran modal dari bank. Maka sekarang bukan hanya sektor finansial yang beresiko tinggi, semua sektor mempunyai masalah besar seperti orang yang mengalami penyempitan pembuluh darah jantung.

Itulah sebabnya, Pemerintah AS begitu lancar menyuntikkan dana-dana talangan untuk mempertahankan bank dan lembaga-lembaga keuangan. Hal ini dalam jangka pendek terbukti berhasil – nyatanya sekarang Ben Bernanke, ketua The Fed menyatakan bahwa resesi di Amerika berakhir. Namun dalam jangka panjang, konsekuensi dari melimpahi likuiditas ke pasar dalam jumlah besar, dilakukan dengan berbagai macam cara termasuk mencetak banyak uang, dapat berarti masalah baru seperti inflasi tinggi dan tidak terkendali. Itu PR besar bagi Ben: membalikkan apa yang telah pemerintah AS lakukan setahun belakangan ini.

Apa yang dapat dilakukan untuk menyerap kembali likuiditas? Jika dahulu langkah-langkah bank sentral dapat diyakini mengendalikan kondisi moneter, sekarang langkah yang sama tidak lagi se-efektif dahulu. Penurunan kendali membuat tingkat resiko yang meningkat – di sisi lain memberi kemungkinan memperoleh keuntungan yang lebih tinggi. Higher risk, higher gain.

Kenyataannya, jumlah total dana kekayaan yang diinvestasikan di seluruh dunia, termasuk di antaranya kekayaan minyak Timur Tengah dan keajaiban industri China, bernilai jauh lebih besar dibandingkan total investasi beresiko rendah yang ada. Bagi para pengelola hedge fund, dana ekuitas privat, dan manajer kekayaan, permainannya adalah mengelola resiko tinggi untuk hasil yang tinggi. Mereka yang jumlahnya relatif kecil ini mengelola dana besar beresiko besar dan berpendapatan besar, sementara puluhan juta investor lainnya mengelola dana yang kecil, berpendapatan kecil sampai sedang, dan beresiko besar. Mengapa? Gerakan para ahli ini memaksa semua orang memainkan permainan mereka, mengikuti prinsip "orang bodoh mengikuti orang pintar".

Bagaimana dengan Indonesia? Walaupun pasar efek berada di Indonesia, permainannya juga adalah mengikuti pemain asing. Salah satu alasannya adalah besaran dana; bagi pemain lokal, dana yang mereka miliki terbatas. Bagi orang Indonesia, mempertaruhkan uang sebesar Rp. 1.000.000.000.000 (Satu Trilyun Rupiah) adalah hal yang sukar. Bagi fund manager asing yang rekeningnya dalam mata uang US dollar, uang sebesar USD 100.000.000 (Seratus Juta US Dollar) tidak terlalu besar atau sukar dipertaruhkan. Bagaimana orang Indonesia bisa mengendalikan pasar yang kini terbuka bagi dunia? Tidak bisa; akhirnya pemain yang bermodal pas-pasan selalu harus mengikuti sang petaruh besar.

Cara yang lebih cerdas sebenarnya adalah belajar mengambil bagian dalam investasi dunia, dengan demikian dapat membatasi diri dari paparan resiko pasar. Sayangnya, penduduk dan pemerintah Indonesia nampaknya belum mengapresiasi situasi ini dengan baik; sebaliknya banyak yang berupaya untuk menutup diri dari keterlibatan kepada pasar dunia. Pemikiran yang timbul adalah situasi serba-ekstrim: kalau tidak berinvestasi seluruhnya di luar negeri, maka sama sekali tidak berinvestasi di luar negeri. Padahal, salah satu prinsip pengelolaan resiko dan hasil adalah dengan diversifikasi. Lakukan sebagian di sana dan sebagian lagi di sini. Yang dibutuhkan adalah pemahaman yang lengkap, komprehensif, mengenai apa yang patut diambil dan harus dihindari – bukan semua yang ada di luar negeri adalah tempat berinvestasi yang baik.

Akhirnya, kita berpikir bahwa kita bisa mengendalikan keuangan kita – tapi pertimbangkanlah satu hal ini, bahwa esensi dari keberhasilan pengendalian adalah keberhasilan menghindari resiko-resiko. Jika Anda mampu mengendalikan mobil dengan baik, maka mungkin mobil itu tidak melaju secepat yang Anda mau tapi tidak ada tabrakan atau kecelakaan yang terjadi. Perhatikanlah, saat ini banyak orang yang mengalami kegagalan finansial yang parah: mereka gagal menyekolahkan anaknya, gagal membayar tagihannya, gagal mendapatkan rumah bagi keluarga – dan satu kesamaan dari orang-orang ini adalah mereka menganggap diri sebagai "penghindar resiko". Mereka lupa, bahwa selain ada resiko dalam melangkah, ada juga resiko di dalam tidak melakukan apa-apa.

Hari ini keadaannya begitu membingungkan, bahkan bagi para pemain kawakan. Semakin banyak analisa-analisa ekonomi yang meleset, dan intuisi serta tebakan yang ngawur; siapa yang masih bisa menyebut dirinya "ahli" sekarang ini? Hadapilah kenyataan, bahwa kini kita membutuhkan pemahaman atas diri kita, atas tujuan-tujuan kita, dan pilihan yang bisa kita ambil demi diri kita sendiri. Kalau pemahaman itu belum ada, mintalah bantuan orang-orang yang bisa mempelajari situasi, Perencana Keuangan yang dapat dipercaya untuk memberi nasehat yang sesuai, bukan hanya ikut-ikutan.

Resiko dan kendali – itulah yang kita perlu pikirkan sekarang!

20 September 2009

Tsunami Ekonomi Berikutnya...

Seluruh dunia terpukul oleh tsunami ekonomi yang terjadi. Dimulai dari krisis subprime mortgage, pecahnya gelembung ini ternyata menjadi reaksi berantai yang mengubah seluruh peta ekonomi global. Sama seperti tsunami yang melanda, apa yang tertinggal ada dalam keadaan yang berbeda. Tidak ada lagi hal yang sama, bahkan ketika pemulihan mulai terjadi. Yang pasti, di berbagai negara terjadi pemutusan hubungan kerja dalam skala besar, termasuk di negara maju yang dahulu menjanjikan suatu bentuk keamanan. Yah, tidak ada lagi yang aman sekarang.

Yang menarik dari pemulihan adalah prediksi-prediksi bahwa pusat ekonomi global akan berpindah dari AS dan Eropa ke Asia. Analisa-analisa dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa jika trend pemulihan tetap seperti sekarang, China akan menjadi negara dengan PDB terbesar di dunia dan nilai ekonomi yang melebihi semua negara lainnya. Indonesia juga tidak ketinggalan, karena sekarang saja bursa efek Indonesia merupakan yang terbaik kinerjanya. Sungguh menyenangkan! Sekarang ini, dana-dana mulai mengalir deras ke berbagai negara di Asia. Bursa efek di Asia bergairah, mata uangnya menguat – kecuali di negara yang justru menjaga agar mata uangnya tetap lemah untuk mempertahankan daya saing ekspor. Singkatnya, Asia bergairah!

Tentu saja kita senang dengan pertumbuhan ini. Jika data-data makro ekonomi bisa merefleksikan apa yang terjadi di sektor riil, seharusnya semua orang bergembira. Tetapi, kenyataan berbicara sedikit berbeda. Petunjuknya muncul dari kondisi pasar menjelang Lebaran, yang menunjukkan daya beli masyarakat. Apakah meningkat? Kita mempunyai beberapa parameter, antara lain adalah inflasi. Inflasi Agustus 2009 besarnya 0,56. Bandingkan dengan inflasi di bulan September 2008 (yaitu, sebulan menjelang lebaran) yang besarnya 0,97. Inflasi yang rendah memang menyenangkan, tetapi ini juga menunjukkan bahwa jumlah uang yang beredar juga tidak melonjak banyak, nampak dari perbandingan uang beredar antara bulan Juli dengan bulan Agustus, yang peningkatannya relatif kecil. Uang Primer yang beredar di bulan Agustus 2009 lebih sedikit dibandingkan uang primer yang beredar di bulan September 2008.

Apakah orang Indonesia kali ini berlebaran dengan cara yang sama seperti tahun-tahun yang lampau? Di mana penjual kain dan baju tertawa senang karena stok mereka dibeli sampai habis, demikian juga dengan pengusaha elektronik dan peralatan rumah tangga? Memang masih ada toko dan grosir yang mengalami lonjakan penjualan, tetapi jumlahnya menjadi lebih sedikit. Daya beli masyarakat domestik masih rendah, demikian juga dengan pasar ekspor yang masih belum pulih. Di tempat seperti ini, bursa sahamnya melonjak dengan dahsyat, dan menjadi nomor satu. Tapi ini bukan fenomena Indonesia saja; di banyak negara Asia hal yang serupa muncul juga. Nah, apa yang terjadi?

Jika sesuatu berkembang dengan pesat berdasarkan harapan, tanpa ada landasan yang jelas dan kuat, maka kita menemukan sebuah gelembung ekonomi. Kita mengenal ini dari krisis tahun 1998, di mana Hermawan Kartajaya dan Philip Kotler telah menulis buku "Repositioning Asia: From Bubble to Sustainable Economy" (2000). Apa yang menyebabkan krisis? Selama tahun 1980-1990, Asia mengalami peningkatan yang sangat, sangat mengagumkan. Semua orang berpikir bahwa inilah 'keajaiban Asia', dengan Jepang sebagai lokomotif dahsyat terbesarnya. Tetapi yang tidak disadari adalah banyak hal dibangun dengan berlandaskan pada hutang, yang bisa diperoleh dengan tingkat bunga yang sangat rendah. Banyak infrastruktur dibangun dan perusahaan didirikan, demikian juga bank-bank bermunculan bersama lembaga pembiayaan lainnya.

Hutang, dalam kenyataannya, tidak cukup lama bertahan dalam iklim yang serba tertutup, banyak korupsi, dan penuh dengan permainan kekuasaan. Ekonomi dan politik di Asia mempunyai ikatan yang mendalam; keputusan-keputusan ekonomi mencerminkan pergolakan politik yang ada di latar belakang. Beberapa keputusan merupakan propaganda demi mendorong popularitas pihak tertentu, beberapa yang lain bertujuan melanggengkan kekuasaan, atau menjadi 'upeti' bagi penguasa yang lebih tinggi. Di luarnya yang nampak adalah ekonomi yang bersemangat dan terus bertumbuh. Di bawahnya, sebagaimana banyak perusahaan dari Asia mempunyai beberapa pembukuan, demikian juga para penguasa memilih apa yang perlu diperlihatkan dan apa yang disembunyikan.

Gelembung ini pecah menjadi krisis 1997-1998, di mana kenyataan yang disembunyikan ini melanda Asia, sehingga semua terpuruk – termasuk Jepang. Ekonomi tumbang, maka tumbang pula sejumlah penguasa politik. Di Indonesia, kita melihat itulah awalnya reformasi – atau lebih tepat pertarungan kekuasaan setelah sang jenderal jatuh dari singgasana. Di Jepang, perubahan kepemimpinan masih terjadi, bahkan sekarang ini pun masih belum stabil, karena gelembung lain meletus di Amerika dan Eropa, membawa krisis yang lebih besar di tahun 2007-2008.

Jadi, menarik sekali kalau kita memikirkan bahwa saat ini para analis kembali berpaling kepada Asia dan menunjukkan bahwa dalam sekian dekade, Asia, dipimpin oleh China, akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi global. Rasanya kita harus belajar dari sejarah dan melontarkan satu pertanyaan: apakah saat ini China tidak sedang mengulangi "kesuksesan" Jepang, dalam skala yang beberapa kali lebih besar, yang pada suatu waktu kelak akan menjadi gelembung ekonomi lain yang meletus dengan dahsyat?

Bagaimana kita bisa membedakan suatu gelembung dengan bukan gelembung? Pelajaran tentang ini kita dapatkan dari krisis yang baru lalu. Di mana asal muasalnya krisis subprime mortgage terjadi? Dalam struktur keuangan di Barat, transparansi telah menjadi suatu keharusan. Namun orang mempunyai berbagai metode dalam berinvestasi, dan kalau ditelusuri ternyata banyak investor tidak mempunyai gambaran yang utuh tentang subprime mortgage, sekalipun nama ini sudah menunjukkan adanya suatu tingkat resiko yang lebih tinggi. Ini bukan investasi yang prima, ini adalah sesuatu yang dibawah prima. Seberapa bawah? Tidak ada yang tahu – tapi orang berpikir positif dan optimis karena berbagai lembaga pemeringkat seperti S&P memberi rating yang menunjukkannya sebagai sesuatu yang layak.

Ketidak-transparanan ini menyembunyikan bom waktu, yang ketika meledak menjadi tsunami ekonomi yang merambat pada berbagai rahasia lainnya, termasuk skema ponzi dari Madoff. Jadi, tsunami ekonomi sebenarnya mempunyai pola yang sederhana: nampak bagus di luar, mempunyai hal-hal yang tersembunyi, dan tiba-tiba saja kenyataan tiba serta menghilangkan kepercayaan semua orang yang menimbulkan kepanikan luar biasa. Panik, karena apa yang semula dipercaya ternyata adalah kebohongan.

Masalah besarnya adalah: kalau dibandingkan, kejujuran di Barat masih lebih nyata dibandingkan dengan di Timur. Kejujuran dan integritas adalah nilai-nilai yang ditinggikan di Barat, bukan di Timur, di Asia. Bukan berarti di Barat tidak ada kebohongan – tetapi di sana kebohongan adalah masalah besar. Di Asia, kebohongan masih bisa ditoleransi, bahkan dilupakan. Orang-orang yang menjadi Pejabat dapat melontarkan sesuatu kepada publik, yang kemudian ternyata adalah bohong, tetapi ia masih dapat mencalonkan diri untuk pemilihan umum berikutnya. Kebohongan adalah bentuk yang lebih buruk dari menutup-nutupi, menciptakan berbagai citra dan opini, dan dengan begitu membuat gelembung demi gelembung.

Kalau dipikirkan, bukankah ekonomi Indonesia juga mengalami berbagai letusan gelembung kecil, di saat orang sangat berharap pada sesuatu, yang ternyata tidak pernah terlaksana seperti yang digembar-gemborkan? Korupsi masih terjadi, dan didukung oleh permainan kekuasaan untuk meneruskannya. Itulah sebabnya KPK tidak pernah dapat berjalan dengan bebas – ia harus berperang melawan koruptor dan juga menghadapi kekuasaan para koruptor, yang celakanya menjadi tangan yang bisa menghantam para pemimpinnya. Sadarilah satu hal: apa yang terjadi di Indonesia bukan hanya milik Indonesia. Bagi Asia, ini menjadi suatu fenomena kultur, yang berakar jauh dan panjang dalam sejarah.

Sekarang kita melihat bahwa dunia global sedikit banyak menuntut keterbukaan dan integritas dari para pelakunya – ini adalah apa yang didiktekan oleh kultur Barat yang lebih dahulu menjadi 'negara maju'. Negara Asia tentunya menyatakan mengikuti kultur ini, namun dalam prakteknya tidak menyeluruh. Salah satu pemikiran adalah agar tidak didikte oleh orang asing, orang-orang kulit putih yang dahulu pernah menjajah Asia. Tetapi di balik itu, ada juga kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan dan pengaruh, di samping berbagai pemasukan yang dinikmati pejabat-pejabat negara. Pertanyaannya sekarang: seberapa jauh permainan kekuasaan bersedia tunduk kepada kultur keterbukaan dan integritas dari para pelaku ekonomi global?

Kita sudah melihat bagaimana tuduhan-tuduhan diberikan kepada penganut pasar bebas: neo-liberalism, neo-kapitalism, dan yang buruknya adalah antek-antek asing. Pernyataan-pernyataan diberikan, termasuk analisa yang dengan keras menggugat keputusan yang diambil. Di sini ada satu fenomena yang menarik: ketika tuduhan itu dilancarkan, dasarnya antara lain adalah ketertutupan informasi yang mengganggu. Ambil contoh kasus Bank Century, bukankah publik melihat ada misteri di balik talangan Rp 6,7 Triliun yang dilakukan? Di sini terjadi suatu kontradiksi: jika memang para pelakunya adalah penganut ekonomi neo-liberalism, maka transparansi menjadi prinsip dasar. Ketertutupan ini jelas bukanlah karakter dari penganut neo-liberalisme. Di sisi lain, caranya para analis menggugat juga dapat dipertanyakan, karena mereka mempunyai sumber-sumber sendiri yang tidak selalu jelas dan transparan. Bagaimana orang bisa mengambil kesimpulan bahwa suatu keputusan adalah keliru, kalau tidak mempunyai sumber data yang akurat?

Masalah informasi telah mengangkat banyak kasus menjadi tidak dapat dikendalikan para penguasa. Kenyataannya, hari ini pemerintah China telah menyatakan maksud mereka untuk menyensor internet – sarana terbesar pertukaran informasi. Teknologi dipakai untuk melawan teknologi; bagaimana mereka dapat menjalankan maksud ini masih berupa tanda tanya. Satu tujuan yang terungkap, yang diupayakan adalah mencegah informasi-informasi yang tidak diinginkan masuk. Tetapi ada tujuan lain yang tidak diungkapkan, adalah upaya untuk mencegah informasi-informasi keluar. Bayangkan, jika kebenaran-kebenaran yang ditutupi bisa dipublikasikan melalui forum internet atau suatu blog. Bahaya yang paling jelas adalah ancaman terhadap gelembung yang sedang dibuat penguasa, yang bisa meletus diluar skenario.

Apa yang akan menjadi Tsunami ekonomi berikutnya, sesuai dengan kesimpulan tulisan ini, adalah gelembung yang besar dan beragam, yang timbul ketika seluruh dunia berharap pada Asia sebagai lokomotif pemulihan ekonomi global. Satu hentakan dalam meletuskan gelembung-gelembung itu secara berantai, dan bayangkan akibatnya bagi dunia yang baru mulai bangkit dari krisis. Masalah kepercayaan menjadi masalah kronis, yang tidak dapat diatasi hanya dengan suntikan-suntikan dana talangan. Ini adalah masalah yang harus dijawab oleh integritas dan keterbukaan – termasuk integritas penulis dan pembaca blog ini, dan bertindak sebelum semuanya terlambat.

Karena sekarang, dengan teknologi komunikasi dan komputer, hal-hal yang manipulatif lebih sukar ditutupi dan ketidak-percayaan lebih mudah merambat tanpa henti, hanya dalam waktu jam-jaman. Kalau begini, rasanya kuatir juga kalau memikirkan bahwa Tsunami ekonomi berikutnya tidak menunggu 10 tahun lagi, tetapi akan datang segera. Sangat segera.

15 September 2009

20%, 80%

Ketika kemarin ini mengikuti acara pelatihan yang disebut Basic Management Program (Sequislife BMP, Cisarua-Puncak, 8-10 Sept 2009) satu hal yang dijelaskan adalah prinsip Pareto, 20% - 80%. Nah, yang banyak orang ketahui adalah prinsip yang menyatakan bahwa 80% hasil ekonomi dalam suatu organisasi diberikan oleh 20% dari pelakunya. Jadi, kalau di dalam sebuah perusahaan ada 100 orang salesman yang memberikan hasil 100 juta, analisa akan menunjukkan bahwa hasil 80 juta diberikan oleh 20 orang salesman. 20 jutanya lagi berasal dari 80 orang salesman sisanya.

Pertimbangkanlah implikasi dari prinsip ini. Jika Anda menjadi manajer atau pemimpin dari 100 orang salesman, pilihan Anda adalah menemukan dan memperkuat produktivitas dari 20 orang, sambil berusaha agar tidak mengganggu atau menyinggung yang 80 orang sisanya. Begitulah penerapan dari prinsip Pareto. Alhasil, kita menemukan ada Manajer yang memperhatikan sebagian orang, sambil agak mengabaikan orang yang lainnya.

Yang banyak orang tidak ketahui, prinsip ini diberikan oleh seorang pemikir orang Italia, nama lengkapnya Vilfredo Pareto (1848 – 1923). Walaupun dia lahir di tengah keluarga Italia, sebenarnya Pareto dilahirkan di kota Paris, kemudian belajar di Universitas Turin. Mulanya dia menjadi insinyur dan mengurusi kereta api, tapi belakangan ia mulai menulis hal-hal dalam bidang ekonomi dan mempelajari politik serta filosofi. Tahun 1893 dia diangkat sebagai Profesor di Universitas Lausanne di Swiss, dan tetap di sana sampai akhir hayatnya. Pada tahun 1916 ia menulis buku yang terkenal, Mind and Society, di mana ia membahas tentang perilaku individu dan sosial. Ia secara luas dikenal dengan teorinya yang kontroversial tentang keunggulan kelas elite, di mana teorinya secara umum dikaitkan dengan bangkitnya fasisme di Italia.

Bagi mereka yang mengikuti prinsip Pareto, secara sadar atau tidak terjatuh dalam pemikiran elitisme. Dalam pemikiran yang demikian terjadi standar ganda, yaitu dalam perbedaan menilai dirinya sendiri dan menilai diri orang lain. Begini kejadiannya.

Jika seseorang ditanya, "sudah tahu prinsip Pareto?" kemungkinan ia mengangguk mengiyakan. Ia merasa tidak ada masalah, karena sebagai bagian dari organisasi, ia melihat bahwa dirinya termasuk dalam kategori yang 20% itu. Bagus, bukan? Jadi ia tidak perlu protes. Lain halnya ketika ia melihat "anak buahnya", matanya mulai mencari-cari tanda yang membedakan antara orang yang mampu dan tidak mampu, yang berprestasi dan tidak berprestasi. Mencari mana yang termasuk "kaum elite" untuk ditangani lebih serius, sambil menjaga agar sisanya jangan terlalu patah hati dan patah semangat.

Masalahnya, orang yang mencari bibit unggul sedemikian rupa cenderung membagi dua anak buahnya dalam kelompok 20% dan kelompok 80%. Perlahan-lahan muncul sikap yang berbeda, lalu kultur yang berbeda. Itulah fasisme: bangunnya suatu kelas sosial baru, yang didasarkan pada asumsi keunggulan absolut dari suatu masyarakat dibandingkan masyarakat lain. Karena unggul, maka menerima banyak fasilitas, kelebihan, dan keringanan, sehingga menjadi lebih produktif daripada yang 80%. Ketika hal ini dilakukan, hasilnya mempertegas teori Pareto bahwa yang 20% memang menghasilkan 80% dari total penerimaan.

Pertanyaannya: mengapa teori Pareto benar? Ada asumsi-asumsi yang melandasi teori ini. Yang pertama, kita melihat bahwa Pareto menuliskan teorinya saat dunia ada dalam perkembangan industri, dari modernisasi yang pesat. Di tahun 1916, waktu Pareto meluncurkan Mind and Society, tahun itu juga Albert Einstein mempublikasikan teori Relativitas Umum. Dunia bergerak dengan kapitalisme pasar, pembagian pekerjaan, dan sistem distribusi. Pemikir bisnis yang mengangkat teori Pareto ini – namanya Joseph M. Juran – juga melihat dunia bisnis dalam gerakan yang sama, yaitu gerakan modern. Inilah jaman modern!

Hanya saja, jaman berubah. Sebelum jaman modern, orang tidak mengenal pemikiran tentang 20/80, karena kehidupan kebanyakan orang berdasarkan pertanian, perikanan, dan hasil hutan, hidup dari alam. Setelah jaman modern – yaitu jaman post-modern – apakah pemikiran tentang 20/80 masih tepat?

Kesulitannya, jaman tidak berubah secara drastis. Lihatlah, bukankah saat ini pun masih ada masyarakat agraris, yang ketinggalan jaman? Mereka bercocok tanam, dan tidak berpikir bahwa 80% hasil panen diberikan oleh 20% bibit atau lahan tanam. Di saat yang sama, ada juga orang-orang yang sudah memasuki fase baru yang meninggalkan prinsip-prinsip bisnis modern. Dengan teknologi komunikasi dan komputer saat ini, dengan adanya Web 2.0, bangkitnya generasi Net, munculnya revolusi ekonomi dan sosial, di sana pun pikiran 20/80 tidak muncul.

Ada dimanakah kita sekarang berada? Jika kita masih berdiri dan berjalan di alam modern, dengan sistem ekonomi abad 19 dan 20 masih berjalan, maka kita akan menemukan teori Pareto menjadi prinsip yang "universal" di segala aspek kehidupan modern. Orang merasa bahwa itu adalah "kebenaran" yang mutlak dan tidak perlu dipikirkan lagi. Tetapi, ketika kita mulai melangkah dalam tatanan ekonomi baru yang timbul sekarang ini, asumsi dasar teori ini telah berubah dan kebenarannya bisa dipertanyakan.

Lihat saja, bagaimana dunia menjadi terbuka (openness), dimana hubungan bukan lagi atasan-bawahan melainkan rekan-rekan (peering), di mana orang saling berbagi (sharing), dan semuanya berkolaborasi menghasilkan sesuatu. Kita sudah melihat munculnya Wikipedia.org, sebuah ensiklopedi yang saat ini paling banyak diakses melampaui ensiklopedi lainnya. Kita melihat adanya Flickr.com, yang menyediakan dan membagikan foto-foto berkualitas profesional. Kita juga melihat InnoCentive.com, dimana masalah dibagikan dan solusi diadu dan dihargai setiap hari. Dalam dunia baru ini, banyak asumsi tidak lagi berlaku. Orang tidak lagi menjadi bagian dari "tokoh" utama yang menghasilkan 80%, karena sekarang hasil diberikan oleh kolaborasi banyak pihak yang bebas satu sama lain.

Seperti apa perbandingannya di dunia baru? Kita tidak dapat mengatakannya; kemungkinan besar dalam model baru ini tidak ada lagi perbandingan. Karena dalam model baru, yang disebut "pelanggan" juga bisa menjadi "penjual", dan "hasil" adalah upaya kolaborasi bersama yang terus menerus diperbaharui untuk kepentingan bersama. Tidak ada lagi kelas elite. Kesetaraan terjadi di mana-mana; tak ada cara untuk menentukan siapa yang menghasilkan apa secara individual, ketika semuanya adalah hasil kolektif.

Kita perlu memikirkan ulang tentang apa yang kita kerjakan, apa yang akan kita raih dan bagaimana mencapainya. Jika kita masih berpikir dalam kerangka individualisme jaman modern, kemungkinan besar prinsip Pareto masih tetap berlaku, ketika kita mempunyai armada 100 orang salesman seperti contoh di atas. Namun lihatlah bahwa jaman berubah, siapa tahu sekarang ini yang menjadi penjual adalah pelanggan – hasil memberikan hasil, dikendalikan oleh sistem yang berlandaskan teknologi Web 2.0.

Satu pertanyaan terakhir: masihkah kita dapat mengatakan bahwa 20% dari pembaca artikel ini menjadi pelaku yang menghasilkan 80% perubahan? Hanya Tuhan yang tahu...