Cari Blog Ini

31 Oktober 2008

Harus Melakukan Apa?

Dalam beberapa hari terakhir ini, saya berkali-kali menerima telepon dari teman dan nasabah yang bertanya, "sebaiknya saya bagaimana, Pak?"

Kepanikan memang tidak bisa dicegah, apalagi kemudian terjadi peristiwa yang mencemaskan di seluruh dunia. Bisa dibilang, ini adalah gelombang ketiga dari krisis ekonomi yang terjadi selama ini, yang merembet mulai dari surat hutang yang buruk, hingga menjatuhkan ekonomi global.

Gelombang ketiga terjadi akibat gelombang kedua ketika negara-negara berkembang mengalami kekacauan ekonomi akibat dua hal. Yang pertama, mereka kehilangan negara pembeli yang potensial. Yang kedua, di antara negara berkembang sendiri ada Brasil, Rusia, India, dan Cina yang selama ini pertumbuhan industrinya luar biasa, menghasilkan produk dalam jumlah luar biasa, yang segera mengalir mencari pasar-pasar yang masih bisa dimasuki. Kita patut memuji langkah Pemerintah yang segera mengetatkan impor, walaupun tidak bisa apa-apa kalau ternyata barang diselundupkan melalui perairan Indonesia yang luas dan banyak tidak terjaga ini :(

Negara-negara berkembang yang baru muncul (emerging markets) banyak mendapatkan sumber finansial dari negara-negara maju. Sekali lagi, rakyat Indonesia perlu bersyukur karena posisi kita saat ini sudah jauh lebih baik, tidak berhutang, dan tidak lagi disokong IMF. Tetapi banyak negara, terutama di Eropa Timur, yang bertumbuh karena hutang dari negara-negara di Eropa Barat. Sekarang, mereka mengalami gelombang kejut kedua dan kehilangan pasar Eropa dan Amerika, padahal negara Eropa Timur belum cukup lama berkembang untuk bisa menabung cukup banyak. Tabungan yang ada segera habis, dan negara-negara ini mengalami krisis moneter besar yang menjatuhkan mata uang mereka.

Perlu dipahami, yang disebut 'uang' jaman sekarang sebenarnya adalah surat utang yang dikeluarkan bank sentral, yang nilainya dijamin oleh kekuatan ekonomi negara itu -- beda dengan jaman dahulu, dimana uang dijamin oleh emas murni yang dimiliki negara. Jika ekonomi suatu negara runtuh, maka runtuh pula nilai dari uang yang diterbitkan. Gelombang keruntuhan ini membuat negara-negara pemberi hutang mengalami masalah, sedang mereka sendiri harus menghadapi kerugian akibat krisis investasi dan pasar modal serta likuiditas.

Bayangkanlah, seandainya banyak negara berkembang jatuh tidak sanggup bayar hutang (default), mereka membuat negara pemberi hutang turut runtuh karena besarnya nilai hutang yang diberikan. Kenapa hutang banyak diberikan ke negara berkembang? Karena beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi di negara maju sangatlah kecil, jauh lebih kecil daripada pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Kalau di negara sendiri mendapat bunga 2% sudah lumayan, di negara berkembang bisa diperoleh bunga 8% - 15% sebagai angka yang normatif, wajar. Akhirnya negara maju menggelontorkan lebih dari 50% dananya ke negara berkembang dengan harapan dana itu bisa bertumbuh dengan cepat dan mengembalikan bunga yang tinggi, jauh melebihi pertumbuhan ekonomi mereka sendiri.

Tapi krisis ini diluar perkiraan, dan hutangnya menjadi tidak dibayar. Negara pemberi hutang kehilangan uangnya secara masif. Mereka lantas juga kehilangan kemampuan untuk menalangi krisis investasi yang terjadi, seperti kalau ada bank yang bangkrut. Artinya, mereka kehilangan kemampuan untuk memberikan perlindungan finansial, yang membuat timbulnya ketidak-percayaan, lalu kepanikan. Masalahnya sekarang, jumlah uang yang dipinjamkan itu jumlahnya triliunan dollar US, jauh melebihi krisis pertama subprime mortgage yang waktu awal belum mencapai 1 triliun US$.

Masalahnya, negara-negara Eropa Barat dan Timur, juga banyak negara berkembang, adalah pasar yang dibutuhkan juga oleh Amerika untuk memulihkan keadaan ekonominya. Tetapi sekarang, dengan gelombang ketiga ini Amerika juga kehilangan pasar, sedang pasar domestiknya sendiri berada dalam masalah. Beban berat dirasakan terutama oleh industri AS, yang terpaksa harus memangkas biaya agar tetap bertahan. Sebuah kabar mengatakan pabrik Motorola di AS sudah merencanakan akan mem PHK 3000 orang karyawannya. Demikian juga dengan berbagai industri di Amerika, yang turut mengalami kesulitan dalam transaksinya. Hal-hal ini membuat para ahli ekonomi yang semula optimis, melihat bahwa kemungkinan AS masuk ke dalam resesi di kuartal keempat 2008 sampai pertengahan tahun 2009.

Bagaimana dengan Indonesia? Kalau benar terjadi resesi di Amerika, sebenarnya efeknya tidak langsung karena saat ini pun ekspor Indonesia tidak lagi mengalir ke sana. Sementara ekspor Indonesia masih ke asia timur dan tengah, kondisi industri kita masih cukup baik. Efeknya baru mulai akan terasa ketika gelombang kedua dan ketiga bersama-sama menurunkan perekonomian di negara-negara tujuan ekspor kita, yang mungkin bisa terjadi dalam satu atau dua bulan mendatang. Di dalam negeri pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi memberi dorongan bagi banyak industri untuk tetap meraup keuntungan. Pemerintah juga tetap mendorong pembangunan infrastruktur dan program-program peningkatan ekonomi. Semua ini kita harapkan dapat tetap membuka peluang, walaupun untuk sejumlah sektor seperti tekstil mengalami tekanan hebat karena hilangnya pasar ekspor.

Posisi industri yang kuat membuat emiten saham pada umumnya masih memberikan keuntungan. Earning Per Share (EPS) Indonesia secara rata-rata masih cukup tinggi dibandingkan bursa saham lain. Hari ini misalnya, ternyata laba BRI mengalami kenaikan sampai 17,13% atau jadi Rp. 4,238 Triliun pada triwulan ke 3 dibandingkan keuntungan pada periode sama tahun lalu. Ketika terjadi penurunan indeks, harga saham Indonesia menjadi luar biasa murahnya, dan dalam dua hari ini mulai terjadi pembelian-pembelian, sehingga kita lihat akhirnya indeks mulai mengalami kenaikan yang signifikan.

Kondisi makroekonomi yang baik, cadangan devisa yang cukup tinggi dan utang luar negeri yang terkendali, juga membuat pasar surat utang Indonesia masih cukup baik. Selain saham, obligasi juga mempunyai daya tarik yang cukup besar di tengah-tengah kondisi seperti ini. Memang belum kuat benar dan masih akan turun naik, tetapi kita lihat fundamental yang ada cukup tangguh untuk menghadapi kondisi sekarang.

Dengan fundamental yang baik, kita lihat nyatanya harga-harga, baik saham maupun obligasi, kini berada di tingkat yang sangat rendah. Kita percaya bahwa pasar modal di Indonesia masih berpeluang besar untuk meningkat, maka sekarang ini adalah saat yang baik untuk berinvestasi -- tentunya dengan tetap berhati-hati dan memilih penyedia investasi. Bagi yang sudah memiliki saham atau reksadana saham, sebaiknya jangan sampai dijual, sebaliknya justru ditambah. Kita melihat gerakan ini sudah dimulai oleh pihak asing, yang mulai mencari-cari saham yang undervalued di bursa efek Indonesia.

Hanya perlu dipahami, gelombang-gelombang ini sama sekali belum reda, sebaliknya satu kejatuhan memicu kejatuhan yang lain. Taruhan yang ada bukan lagi angka miliaran USD, melainkan triliunan. Masih banyak orang akan mengalami kesulitan dalam pekerjaan, kehilangan pasar, bahkan harus memulai lagi dari awal. Artinya, tidak ada solusi dalam jangka pendek yang bisa kita harapkan, atau keadaan membaik dalam waktu 1 tahun ke depan. Berharap tentu masih bisa, tapi mungkin tidak lagi cukup realistis.

Sekarang, kita berinvestasi untuk jangka panjang. Kita perlu memikirkan jangka panjang, saat-saat di mana kebutuhan memang muncul dan harus dipenuhi, seperti uang sekolah anak, atau uang pensiun. Jangan menunda atau mengorbankan tujuan-tujuan jangka panjang karena masalah jangka pendek. Lagipula, ketahanan fundamental harus dilihat sebagai efek jangka panjang, bukan? Ini bukanlah kemampuan teknikal untuk mendapat laba dalam jangka pendek, yang hari ini sama sekali tidak ketahuan ujung pangkalnya.

Jadi, tetaplah berinvestasi. Jika waktunya panjang sekali >10 th, pilihan saham bluechips atau reksa dana saham merupakan pilihan baik. Jika waktunya lebih pendek, reksa dana campuran menawarkan kombinasi yang menarik. Kalau waktunya kurang dari 3 tahun, pilihan obligasi atau reksa dana pendapatan tetap bisa dipertimbangkan. Untuk waktu di bawah 1 tahun, investasi yang disarankan hanyalah deposito, pilihlah di bank yang baik, artinya mempunyai cadangan modal yang cukup besar, melebihi persyaratan 8% yang ditetapkan BI dan tentunya pengelolaan yang profesional.

Dalam jangka pendek, persiapkanlah diri untuk lebih banyak menggarap pasar domestik, meraih kesempatan waktu kosong yang timbul karena barang impor berkurang. Sebaliknya, kita juga perlu lebih banyak memakai produk dalam negeri, menunda konsumsi produk impor atau tidak melakukan perjalanan keluar negeri. Jika kita bersama-sama bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi dengan produksi dan konsumsi dalam negeri, memanfaatkan jumlah rakyat yang besar, maka kita bisa berharap akan tetap menikmati pertumbuhan pada saat ekonomi dunia kembali membaik. Siapa tahu, justru pada saat itu kita benar-benar bisa menggantikan posisi negara maju yang saat ini malah kehabisan dana dan tenaganya.

Tentu saja, ini adalah harapan untuk masa depan Indonesia.

25 Oktober 2008

Di Tepi Resesi

Teman-Teman,

Minggu ini ditutup dengan kelam. Seperti yang saya tulis beberapa waktu lalu, guncangan tahap dua mulai nyata. Mungkin, memang bulan Oktober adalah masa yang menakutkan, mengingat dahulu depresi besar juga dimulai pada bulan Oktober. Di tahun 1929 itu, beban berat terjadi di pasar modal dan berlangsung jadi resesi hebat, yang berlangsung selama 10 tahun sebelum pulih lagi. Dari kerusakan ekonomi, perasaan frustasi melanda rakyat di banyak negara dan secara tidak langsung, jadi pemicu Perang Dunia II. Siapa sangka?

Mudah-mudahan, kali ini tidak menjadi seperti itu.

Masalahnya, walaupun OPEC sudah berusaha bertemu dan memangkas produksi minyak, harga minyak bumi jatuh ke bawah $64 /barrel dalam penutupan hari ini. Saham konglomerat raksasa dunia seperti GE dan Samsung bertumbangan. Inggris hari Jumat ini secara resmi menunjukkan kondisi ekonominya ditepi masa resesi. Kepala Treasury Inggris, Alistair Darling, mengatakan "Every business, every individual -- we have to live within our means," sambil menunjukkan bahwa bisnis apapun sedang mengalami penurunan atau kontraksi. Perhitungan sementara, sampai Desember pun kecenderungannya tetap turun. Kalau nanti memang demikian, artinya Inggris memang resesi, hal yang tidak pernah terjadi sejak 1991.

Posisi yang buruk sudah lebih dahulu ditunjukkan oleh Singapura yang menyatakan resesi. Definisi resesi secara teknis adalah terjadinya kontraksi PDB / penyusutan ekonomi selama dua kuartal berturut-turut. Kondisi ini menjadi epidemi di seluruh negara maju, dan rupanya hal ini berakar pada suatu sikap yang serba-optimis dan serba-meningkat yang menghinggapi banyak pebisnis dan pengelola modal di negara maju. Permulaannya sederhana saja: karena orang percaya pada teknologi dan komunikasi serta berbagai "peningkatan bisnis", maka seringkali suatu bisnis dihargai tinggi sebelum hasil sebenarnya muncul. Harapan ini diikuti oleh disimpannya sejumlah investasi, yang akhirnya menjadi suatu nilai yang bukan main besarnya jauh melampaui kemampuan sesungguhnya dari bisnis itu memberikan laba.

Dunia sebenarnya sudah berkali-kali melalui situasi yang serupa. Ketika internet mulai berkembang, saham dot.com begitu hebat membumbung, sampai akhirnya gelembung 'pecah' dan nyata bahwa teknologi internet tidak sedahsyat yang dibayangkan orang. Alan Greenspan waktu itu mengalihkan permainan ke bidang perumahan, yang lalu menjadi gelembung lain yang lebih besar dan pecahnya lebih bersifat merusak.

Kalau sudah begini, siapa yang dapat didengarkan sebagai sumber yang lebih baik daripada "kearifan pasar" yang terbukti tidak arif ini?

Kita beruntung karena masih ada tokoh dalam hal investasi yang masih bisa dipelajari -- walau nyatanya orang ini tidak pernah berbicara, tidak jadi motivator atau pembicara terkenal. Tetapi sekarang orang semua melihat apa yang ia lakukan, belajar apa prinsip-prinsip yang dipakainya, yang terbukti menyelamatkannya dari banyak masalah.

Dia adalah Warren Buffet. Dia berhasil lolos dari pecahnya gelembung dot.com -- sama sekali tidak ikut membeli saham itu karena "saya tidak paham". Nampaknya Warren Buffet juga tidak terjebak dengan Subprime Mortgage, dan sekarang dia masih jadi orang paling kaya di Amerika. Apa prinsipnya Warren Buffet?

Pertama-tama, perlu dipahami bahwa prinsip ini bukan datang dari Buffet sendiri, melainkan dari Benjamin Graham yang menjadi dosennya. Berlawanan dengan kebanyakan orang yang berjual beli saham sebagai dagangan, Graham berprinsip untuk membeli BISNIS yang mempunyai nilai intrinsik tinggi namun dijual dengan harga diskon. Bisnis yang menunjukkan potensi usaha besar di masa depan, namun sekarang harganya di bawah rata-rata pasar. Graham menekankan pada diskon harganya. Tetapi Buffet belakangan mengerti bahwa lebih penting lagi mengerti potensi usaha, sehingga belakangan ia berani membeli pada harga premium karena sudah memahami di masa depan keuntungannya akan jauh lebih besar lagi.

Pendekatan ini tidak populer karena dua hal. Yang pertama, untuk memahami bisnis tidaklah mudah. Orang harus bisa membaca laporan keuangan yang rumit, yang bahkan lulusan ekonomi pun banyak yang tidak menyukainya. Yang kedua, hal ini berarti harus berinvestasi dalam jangka waktu panjang, cukup memberi waktu hingga usaha yang diperkirakan berhasil meraih laba benar-benar bisa mewujudkan visinya. Orang masih lebih menginginkan yang serba mudah dan serba cepat menghasilkan. Dan terjadilah, gelembung demi gelembung pecah...

Apakah Indonesia di tepi resesi?

Satu hal pasti, prinsip Buffet juga bisa diterapkan di pasar modal Indonesia. Negara ini masih mempunyai keunggulan intrinsik, yang posisinya membuat perusahaan-perusahaan tetap menjanjikan hasil besar di masa yang akan datang.

1. Indonesia adalah negara berkembang. Artinya masih ada banyak sekali yang harus dibangun, ada banyak sekali pekerjaan untuk dibereskan, dan banyak sekali peluang untuk berbisnis dan memperoleh bagian laba dari peningkatan ekonomi yang terjadi.

2. Indonesia mempunyai penduduk yang bukan main besarnya, tahun ini sudah lebih dari 220 juta orang. Jumlah penduduk yang banyak memang mengancam ketahanan mata uang dan seringkali membuat inflasi yang lebih tinggi, ketika laju produksi tidak dapat mengimbangi laju permintaan. Tetapi di sisi lain, kemampu-labaan dari perusahaan di Indonesia masih besar. Bagi perusahaan yang sudah terbuka pun, nyatanya Earning Per Share dari emiten Indonesia tetap lebih tinggi daripada emiten di bursa-bursa modal lainnya di kawasan Asia.

3. Pasar di Indonesia belum sejenuh pasar di luar, dan untuk banyak bidang, perusahaan yang bergerak masih yang itu-itu juga. Karena mereka jadi perusahaan terbuka untuk memperoleh pendanaan, maka emiten di Indonesia juga tidak terlalu banyak, hanya ratusan. Di antaranya ada perusahaan BUMN yang masih serba monopoli, contohnya PT Telkom, yang memonopoli telepon kabel di Indonesia. Kalaupun tidak monopoli, perusahaan yang ada menjadi oligopoli.

4. Posisi keuangan Pemerintah Indonesia menjadi lebih baik, karena sekarang subsidi berkurang dan cadangan devisa masih cukup banyak, cukup membiayai 4,5 bulan impor. Nilai kurs bisa bertahan cukup stabil dalam 8 tahun terakhir -- baru dua bulan ini terasa tekanan besar pada Rupiah. Korupsi diberantas lebih keras, walau perjalanan masih panjang. Tapi, semuanya harus diakui, menjadi lebih baik.

5. Indonesia adalah negara dengan sumber alam yang luar biasa. Ketika orang tidak lagi bisa mengandalkan kekayaan intelektual, tidak lagi bisa berharap pada hasil industri yang melambat, hasil dari sumber-sumber alami tetap menjadi suatu produktivitas yang nyata. Walaupun sekarang terjadi penurunan, baik dalam sektor perkebunan maupun pertambangan, tetapi nilai sesungguhnya tidak berkurang karena selama manusia hidup tetap ada kebutuhan hasil perkebunan dan pertambangan.

Jadi, Indonesia mempunyai kesempatan yang lebih baik, jauh lebih besar daripada Singapura atau Malaysia, misalnya. Tapi, kalau begitu kenapa Indonesia masih juga mengalami keruntuhan pasar modal? Penutupan hari ini, IHSG ada pada 1,244.864, turun 6,91%. Kepanikan apa yang memicu turunnya bursa efek di Indonesia?

Perlu kita pahami, bahwa PEMAHAMAN adalah kunci penting. Pemahaman bahwa ada prinsip-prinsip yang berlaku, yang seharusnya tidak dilanggar. Karena nyatanya, pelaku bisnis di Indonesia masih terjebak dengan pat-gulipat, seperti dalam kasus Bakrie & Brother yang menggadaikan saham untuk membeli/repo saham yang sama, dengan keyakinan luar biasa bahwa sahamnya akan tetap tinggi. Ketika saham BUMI dan dua lainnya jatuh, grup ini justru terlibat masalah hutang yang pelik, yang akhirnya menjatuhkan seluruh nilai bisnis mereka. Ini adalah bentuk langsung dari kesalah-pahaman mengantisipasi pasar.

Pemahaman juga membuat pelaku pasar menjadi goyah, karena melihat bursa-bursa lain di dunia berguguran hari ini. Sinyalnya adalah "ayo kita jatuh" dan orang yang sebenarnya tidak perlu jatuh pun tergesa-gesa menjual sahamnya dengan harga yang dijatuhkan. Pelaku kita banyak yang mengikuti juga investor asing, yang saat ini banyak menarik dananya dari pasar berkembang (emerging market) karena harga minyak yang masih di bawah $70. Padahal, untuk apa? Mengapa harus ikut-ikutan?

Kembali lagi ke Warren Buffet, menarik untuk memperhatikan bahwa ia tidak menyatakan sedang membeli saham, melainkan membeli bisnis. Sebuah saham bukan soal surat yang harganya turun-naik, melainkan bisnis yang bisa berkembang dan menyusut. Itulah sebabnya Buffet menolak membeli saham yang "tidak saya mengerti". Ia tidak masuk keluar berdasarkan trend pasar, melainkan dari bisnis yang ditanganinya. Buffet tidak ikut-ikutan, karena dia paham.

Seberapa jauh orang Indonesia bisa bertahan, tergantung dari pemahaman bersama-sama tentang keadaan yang sesungguhnya dari bisnis di Indonesia, bukan soal pasar yang cenderung jual atau cenderung beli. Jika kesalah-pahaman diteruskan, kita tidak tahu berapa lama lagi waktunya sebelum orang Indonesia membongkari bisnisnya sendiri. Kini waktunya kita mengerti apa yang sedang kita kerjakan, menghargainya dan melihat potensinya secara utuh; memang ada masalah dan kekurangan, tetapi juga ada harapan dan sumber-sumber untuk digali.

Satu aspek lagi adalah adanya Pemilu yang akan dilangsungkan tahun depan, di mana pengalaman menunjukkan bahwa masa pemilu adalah masa masyarakat menerima kucuran dana yang jumlahnya cukup besar. Hal ini tentunya meningkatkan konsumsi dan perputaran uang -- terlepas dari apakah uang itu halal atau tidak -- dan walaupun buruk sekali bagi praktek politik, bagi ekonomi ini adalah hal yang baik. Tidak ada alasan untuk merasa bahwa ekonomi Indonesia akan mengalami resesi; kalaupun terjadi berarti harus dilihat dalam 6 bulan mendatang, karena selama 3 kuartal berturut-turut pertumbuhan ekonomi Indonesia ada di atas 6%.

Bagaimanapun, kita harus waspada. Dunia ada di tepi resesi, bagi kita sekarang adalah waktunya untuk melihat ke dalam, untuk menghargai segala produk buatan dalam negeri, dan kita harus bisa bergerak dengan dana kita sendiri. Pelajaran penting: jangan berhutang, tetapi marilah mulai saling berbagi dan mendukung pertumbuhan. Kalau dunia di sekitar kita jatuh dan runtuh, tak ada alasan untuk ikut-ikutan runtuh. Memang tidak mudah, tidak mungkin menganggap enteng atau menyederhanakan masalah, namun kita juga harus bisa melihat dengan dua mata, melihat dalam kedalaman.

Sementara itu, menarik melihat bahwa awalnya Warren Buffet meningkat dengan perusahaan Asuransi Jiwa. Melihat keadaan sekarang, kita perlu secara serius mempertimbangkan Asuransi Jiwa yang memadai untuk melindungi kesejahteraan keluarga, karena dunia finansial yang semakin tidak menentu menuntut adanya suatu perlindungan. Kondisi hari ini berbeda: jika dahulu terjadi kemalangan, keluarga masih bisa menanggung bebannya. Tetapi kondisi sekarang membuat daya dukung keluarga menjadi terbatas, sehingga kita harus menemukan sarana perlindungan yang lebih baik. Yang paling baik dari semuanya adalah: TUHAN. Dia jauh lebih baik daripada segala perlindungan yang bisa diberikan manusia, entah keluarga atau lembaga keuangan atau negara! Percayakanlah diri kepada-Nya. Lalu, jika kita berpeluang untuk merencanakan keuangan dengan bertanggung jawab, baiklah kita juga menghitung berapa asuransi yang kita perlukan. Kalau masih belum memahami, temuilah agen asuransi bersertifikat (dikeluarkan AAJI) yang dapat dipercaya untuk memberikan saran-saran terbaik mengelola perlindungan finansial.

Kiranya Tuhan memberikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia!

16 Oktober 2008

Shockwave Tahap 2

Beberapa hari ini para pelaku pasar modal bisa menarik nafas, sedikit. Beberapa orang malah merasa bahwa "krisis sudah berlalu" dan mulai bersiap-siap mengantisipasi loncatan dalam indeks saham, setelah beberapa minggu melalui jurang yang mengerikan. Nah, harapan memang menyenangkan, tetapi sebagai konsultan keuangan, kami harus jujur mengatakan bahwa masih ada kelanjutan masalah. Krisis belum berakhir.

Masih ingat apa yang menyebabkan krisis pertama kali? Masalahnya adalah soal hutang. Ada begitu banyak hutang di tangan rakyat Amerika (dan ternyata, Eropa juga) sehingga kemacetan yang terjadi begitu besar, menjatuhkan sejumlah firma keuangan besar yang berusia lebih dari seabad. Langkah-langkah yang dilakukan adalah untuk mengamankan posisi bank-bank yang terancam, dengan tujuan agar kepercayaan kepada bank tidak runtuh. Diharapkan ada uang pada bank, sehingga bank bisa mengalirkan kredit kembali, menjalankan roda perekonomian kembali, dan krisis berlalu. Itu harapannya.

Tapi masalahnya adalah: hutang tetap hutang, dan banyak orang di Amerika kehilangan kemampuan untuk membayar. Bayangkan saja, kemarin ini ada 159.000 orang pandai dan berpengalaman, orang-orang "kerah putih" yang kehilangan pekerjaan. Bagi kita di Indonesia, mungkin berita ini tidak terasa hebat, karena toh di sini juga buruh-buruh yang di PHK pada saat krismon dahulu jumlahnya kurang lebih sama. Kalau kita membandingkannya dengan cara begitu, marilah kita ingat bahwa dalam kasus ini, produktivitas ke 159.000 orang yang di PHK itu jauh lebih tinggi daripada produktivitas buruh di Indonesia. Secara total, PHK itu berarti hilangnya potensi produktivitas yang jumlahnya mencapai milyaran dollar per tahun, kalau dihitung pendapatan mereka umumnya di atas $25.000 per tahun. Gaji itu hanya indikator, karena dalam struktur biaya, gaji seseorang seharusnya lebih kecil daripada produktivitasnya. Jadi orang yang gajinya $25.000/tahun mungkin mempunyai produktivitas $100.000/tahun.

Bayangkan kehilangan potensi produktivitas di Amerika. Lalu apa hubungannya?

Hubungannya, produktivitas akan tersalurkan menjadi penghasilan, yang secara langsung mempengaruhi daya beli. Krisis kali ini bukan saja membuat perbankan di Amerika dan Eropa terancam, melainkan juga menurunkan daya beli, artinya nilai penjualan yang lebih kecil, artinya pertumbuhan ekonomi yang negatif. Efeknya, semua penyedia jasa dan barang tiba-tiba saja kehilangan pelanggan, dan itu juga membuat daya belinya menurun, pertumbuhan ekonominya negatif.

Sebagai contoh, Singapura kemarin ini telah mengumumkan negaranya ada dalam situasi resesi; ini berarti telah terjadi penurunan ekonomi selama 2 kuartal berturut-turut. Negara ini memang menjadi penyedia jasa, yang pelanggan utamanya adalah negara-negara G-7. Karena di negara G-7 terjadi kemunduran, Singapura juga terpaksa harus menelan ekonomi negatif selama 6 bulan terakhir. Pemerintahnya berusaha mendorong ekonomi dengan melonggarkan bank dalam memberikan kredit, tetapi hal ini tidak langsung berpengaruh karena masalahnya bukan soal uang melainkan soal pembeli. Kalau tidak ada pembeli, ada pinjaman pun buat apa?

Kondisi ini bukan hanya dihadapi Singapura sebagai penyedia jasa, tapi juga dialami banyak negara di Asia lain. Jepang, Hong Kong, Malaysia, dan tentu juga Cina dan India tiba-tiba kehilangan pasar yang biasanya selalu membeli apa saja yang ditawarkan. Kini tidak lagi; pasar yang biasa tidak lagi menerima semua penawaran. Penjualan-penjualan turun...jadi ke mana penjualan dilakukan? Setiap pabrik biasanya mempunyai beban harus memakai seluruh kapasitas produksinya agar terjadi efisiensi. Kalau kapasitas produksi terpasang tidak digunakan, dalam pembukuan terjadi kerugian karena depresiasi tetap dihitung. Menjalankan mesin tidak sukar, tapi hasilnya mau dijual kemana?

Maka, guncangan berikutnya adalah ketika sejumlah besar produk dan jasa beralih pasar, ke mana saja produk dan jasa itu bisa masuk. Sementara itu, di Amerika sendiri ada industri besar; industri perumahan dan otomotif, teknologi tinggi, peralatan rumah tangga, dan segala macam lain, yang mendapati pasar dalam negerinya merosot dan tidak kelihatan titik terang kebangkitannya kembali. Untuk menyelamatkan diri, baik produsen dari Amerika maupun dari negara-negara manufaktur di Asia melemparkan barangnya dengan diskon penuh; yang penting aset sediaan dapat cair dan menjadi uang lagi.

Siapa yang jadi tujuan pasar mereka? Ya, banyak negara yang masih stabil antara lain Indonesia juga. Efeknya mungkin mulai akan terlihat minggu-minggu ini; barang impor jadi murah. Buat yang suka belanja, mula-mula rasanya menyenangkan. Tetapi kemudian, barang-barang ini mematikan produsen lokal yang masih tetap menjual dengan harga normal, tidak banting-bantingan demi mencairkan uang. Kalau dari tahun lalu industri tekstil sudah merasakan kerasnya persaingan dengan produk luar yang harganya murah, sekarang ini industri lain juga mungkin mengalami hal serupa.

Sebenarnya, melihat hal seperti ini kita seharusnya senang jika dollar kuat. Dengan nilai dollar yang tinggi, barang impor tidak terlalu murah dan produsen dalam negeri bisa mendapat sedikit proteksi. Tetapi, di sisi lain ada kepentingan untuk menahan penguatan nilai tukar dollar, dan pagi ini kurs dollar kembali melemah, turun kembali ke Rp 9800-an per dollar. Semakin lemah dollar, semakin murah produk mereka, semakin mudah masuk, dan semakin berat dilawan pengusaha lokal. Tapi, orang Indonesia memang banyak yang cinta produk asing, semakin bergairah untuk melakukan impor. Kita lupa, masyarakat bisa membeli karena produktivitas yang tersalur melalui pengusaha lokal, bukan asing. Untuk itu, kita harus bisa memasarkan produk, lebih dari pemasaran produk asing. Istilah "Aku Cinta Buatan Indonesia" bukan lagi slogan, namun jadi syarat bagi keberhasilan jangka panjang.

Dalam hal ini, kuncinya adalah kebenaran dan keadilan yang kita jalankan, bukan hanya semangat untuk memperkaya diri sendiri. Masalah ekonomi yang tadinya nampak hanya di bursa modal, akan menjadi masalah di bursa nyata, waktu barang-barang kita harus bersaing dengan produk global. Dapatkah kita bertahan, apalagi dengan mentalitas meninggikan barang buatan luar negeri?

10 Oktober 2008

Analisa Pasar

Dear Friends,

Saat ini kondisi krisis ekonomi sudah berlangsung selama hampir 2 minggu. Tanda-tandanya sudah dimulai dari awal bulan September, tapi pada akhir September gelombang krisis mulai menerpa, dimulai dari pernyataan bangkrutnya Lehman Brothers, yang sudah berdiri sejak 1889. Ini adalah gelombang berikut dari krisis akibat subprime mortgage, surat gadai rumah yang kehilangan nilainya di Amerika.

Masalahnya bukan hanya subprime mortgage; ini adalah pemicu. Masalah yang lebih dalam adalah kehidupan rakyat Amerika yang ditopang oleh hutang, sampai hutang rakyatnya mencapai 100% PDB Amerika. Mereka berhutang untuk rumah, untuk mobil, untuk bayar sekolah, dan segala kebutuhan lain dengan kartu kredit. Dimulainya kira-kira di tahun 2000, yaitu setelah pasar saham jatuh karena krisis dot.com. Waktu itu, Alan Greenspan membuat suku bunga The Fed menjadi rendah sekali, sehingga dengan mudah orang mendapatkan pinjaman dan menjalankan kembali roda ekonomi Amerika dan dunia.

Pelajaran penting bagi Indonesia, yang rakyatnya juga suka berhutang: beli rumah pake kredit, beli mobil dikredit, uang sekolah, jalan-jalan ke luar negeri, atau beli panci pun kredit! Nyata benar bahwa kebutuhan MENABUNG bukan saja berguna bagi individu, tetapi juga bagi bangsa dan negara, lihat saja Jepang. Tetapi, mari kita lihat akibatnya lebih lanjut.

Di tahun 2000-an itu kredit rumah menjadi rendah, sedangkan jumlah rumah terbatas. Akibatnya, kenaikan harga rumah menjadi tinggi, mencapai 20% per tahun jauh di atas bunga kredit yang hanya 2%-an saja. Waktu itu membeli rumah merupakan tindakan yang dianggap 'cerdas', orang yang beli di awal tahun dengan bunga bank bisa menjualnya lagi di akhir tahun dengan keuntungan besar. Orang pun berlomba-lomba membeli rumah, membuat permintaan akan rumah baru dan kredit baru menjadi semakin besar. Keyakinan orang: yang namanya RUMAH pasti akan naik harganya. Keyakinan akan mendapat untung membuat orang juga berani membeli lebih awal, dengan keyakinan bahwa nanti hutangnya bisa dibayar oleh keuntungan investasi. Bukan hanya rumah, semua penjualan lain juga meningkat dan terjadilah pertumbuhan ekonomi yang mengesankan.

Siapa bilang rumah akan SELALU naik harganya?

Terjadilah, para developer berlomba-lomba membangun rumah. Untuk membiayai permintaan kredit rumah, subprime mortgage diluncurkan dan dibeli oleh hampir semua bank investasi di Amerika dan Eropa. Hutang dibuat semakin besar. Persaingan penjualan rumah terjadi, sehingga orang yang tidak pantas mendapat kredit pun bisa menandatangani KPR dan memperoleh rumah yang cukup mewah, yang normalnya tidak mungkin sanggup dibayarnya. Dan semakin hari, semakin banyak orang yang tidak layak menerima kredit, bisa menandatangani akad kredit. Sementara itu, lembaga rating seperti S&P memberi peringkat tinggi kepada subprime mortgage.

Masalah dimulai dengan pertumbuhan ekonomi China dan India yang hebat, menciptakan defisit perdagangan Amerika. Ini juga merupakan dampak globalisasi, ketika banyak perusahaan Amerika merelokasi pabriknya ke China, mencari tempat produksi yang lebih murah. India juga berkembang pesat, demikian pula Rusia dan Brasil. Itu yang berkembang ekonominya. Di sisi lain, sumber dana mulai bergeser. Dahulu, para investor dan pemilik dana besar adalah orang Amerika. Sekarang, orang Amerika semakin banyak (dan boros) menghamburkan uang, sedangkan pendapatan mereka menurun. Orang-orang Timur Tengah, para raja minyak, mempunyai dana dalam jumlah yang lebih besar, suatu kumpulan dana yang disebut Sovereign Wealth Fund yang berkuasa di bursa-bursa modal dunia, yang jumlahnya mencapai triliunan dollar. Selama masa booming ekonomi di awal abad 21, dana ini membuat pasar semakin bergairah dengan saham-saham yang secara statistik jauh lebih banyak naiknya daripada turun.

Bicara saham, sebenarnya yang jadi patokan bukan harga, melainkan P/E Ratio (price/earning ratio). Di bursa Wall Street, P/E bisa mencapai 30 sampai 40, artinya harga saham 40 kali dividen yang diterima. Orang masih mau beli karena yakin kenaikan harga sahamnya lebih tinggi daripada keuntungan dividen; maka P/E pun tidak lagi diperhatikan. Transaksi saham menjadi semakin cepat, dalam praktek yang disebut short selling -- orang bisa menjual saham yang belum dipegangnya dengan keuntungan yang lumayan!

Tapi defisit perdagangan menimbulkan ancaman inflasi (ada dua penggerak inflasi: demand-pull dan cost-push) karena meningkatnya biaya-biaya yang mendorong harga naik. Lagipula, Amerika masuk dalam dua front perang: perang di Afghanistan dan di Irak yang banyak memakan biaya, sekaligus membuat defisit perdagangan Amerika semakin parah. The Fed kemudian menaikkan tingkat suku bunganya. Di saat yang sama, harga rumah tidak lagi bisa naik terlalu tinggi, karena sekarang jumlah rumah semakin banyak sedangkan permintaan rumah menurun. Rakyat Amerika pun semakin sukar membayar bunga kredit dan hipotik/gadai, dan untuk kartu kredit mereka mulai terpaksa bayar sejumlah minimum.

Krisis subprime mortgage dimulai oleh laporan, bahwa lebih dari 1 juta rumah harus disita karena pembeli tidak sanggup membayar. Tiba-tiba saja, orang sadar masalah ini sangat besar karena nilai subprime mortgage sudah sangat tinggi. Bank-bank investasi di Amerika harus mempertanggungjawabkan surat gadai yang dikeluarkan, terpaksa menanggung kerugian. Ini terjadi pada bulan September 2007. Selain itu, banyak juga hutang-hutang lain yang menjadi default, tidak dibayar. Tiba-tiba saja orang juga sadar bahwa banyak harga saham di Amerika terlalu tinggi, karena didorong oleh impian terlalu muluk. Hasilnya, pasar saham pun jatuh.

Uang Sovereign Wealth Fund yang besar itu segera berpindah dengan cepat ke pasar lain, yaitu pasar komoditas. Di dalamnya, yang paling dicari adalah komoditas pertambangan/energi dan perkebunan. Segera saja harga minyak menjadi tinggi, begitu juga harga beras, gandum, jagung, juga kedelai. Apakah kita ingat bagaimana warung tegal bermasalah dengan tempe dan tahu karena harganya naik tinggi sekali? Pasar komoditas menjadi gila-gilaan, karena ada uang besar yang masuk, berebut membeli komoditas apapun dengan harga berapa pun, padahal jumlah komoditas terbatas. Harga minyak bumi juga meningkat dengan cepat, yang pada gilirannya membuat Indonesia juga kelimpungan dengan harga minyak bumi berkaitan subsidi.

Di Amerika, lembaga-lembaga mulai berguguran. Bulan Maret 2008, Bear Sterns tidak sanggup lagi berdiri, lalu diakuisisi oleh JP Morgan dengan bantuan The Fed. Sementara itu, krisis hutang sejak 2007 membuat bank di Amrik tidak lagi mau mengeluarkan kredit dengan kriteria biasa, membuat orang makin sulit meminjam. Krisis menjadi lebih hebat dengan bank yang berguguran semakin banyak, demikian juga lembaga investasi dan asuransi di Amerika. Pemerintah Amerika akhirnya mengeluarkan UU dana talangan / bailout dengan total $ 700 milyar. Tapi, sekarang ini masalahnya adalah kepercayaan, yang tidak bisa dibeli uang. Memang bank tidak sampai hancur, tetapi krisis hutang dan ketidak-percayaan pada ekonomi membuat saham terus berguguran.

Saham di Eropa dan Asia juga mengalami hal serupa, karena dua hal. Yang pertama, banyak investor di Asia adalah orang Eropa dan Amerika. Waktu mereka mengalami kerugian di negaranya, mereka butuh likuiditas untuk menutupi kerugian. Mereka lalu mencairkan investasi, menjual saham dan obligasi di Asia dalam jumlah besar. Tentu saja pasar Asia juga jatuh. Apakah orang-orang itu menjual pada posisi rugi? Tidak juga, karena selama beberapa tahun ini pertumbuhan bursa modal di Asia mengesankan. Bagi orang asing yang sudah berinvestasi sejak tahun 2000-an, walaupun pasar di Asia sekarang jatuh (diukur dari awal tahun), mereka masih tetap menerima pengembalian yang menguntungkan, lebih besar daripada suku bunga di Amerika atau Eropa.

Yang kedua, pemain di Indonesia banyak merupakan spekulan. Sebagian adalah orang-orang yang bermain sebagai pengikut, cara kerjanya adalah melihat bagaimana posisi pasar singapore strait times dan new york wallstreet kemarin, lalu mengikuti gerakannya. Kalau di sana jual, di sini jual. Di sana beli, di sini beli. Di sana hancur, di sini panik. Sebagian lain adalah orang-orang yang memainkan pasar... mereka sekarang mencairkan saham besar-besaran, lalu menyimpan dana di deposito bank, yang bunganya tinggi. Harapannya, kalau nanti pasar mulai pulih, harga saham bisa murah sekali untuk mereka borong, sehingga bisa dapat jumlah saham jauh lebih banyak daripada sebelumnya. Jual saham sekarang ramai-ramai, simpan dana di deposito 3 bulanan, bisa dapat bunga 3% (12% per tahun). Semakin hancur pasarnya sekarang, semakin baik karena harga saham semakin murah untuk dibeli lagi.

Secara garis besar, Amerika jatuh. Apakah Asia juga jatuh? Ya, pasar sahamnya. Apakah Indonesia jatuh?

Kemarin ada komentar tokoh partai yang sepertinya yakin Indonesia akan mengulangi tahun 1997-1998.

Lihatlah, nyatanya Indonesia mempunyai cadangan devisa yang jauh lebih besar. Walaupun dalam beberapa hari ini rupiah jatuh dan dollar melangit, kalau dilihat secara statistik dalam 6 bulan terakhir harga dollar relatif stabil. Dan kalau melihat dalam 3 triwulan ini pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,3%-6,4%, posisi Indonesia lebih baik daripada Singapore yang selama 6 bulan terakhir pertumbuhan ekonominya negatif.

Indonesia istimewa karena 2 hal ini. Yang pertama, negara kita adalah penghasil komoditas, yang sekarang ini harganya baik. Mau krisis bagaimana pun, kenyataannya kita tetap bisa memproduksi kebutuhan manusia secara riil. Yang kedua, pasar saham kita diisi oleh banyak perusahaan yang monopoli dan oligopoli, sehingga praktis perusahaan-perusahaan ini tidak pernah merugi. Yang ada adalah untung sekali dan untung sedikit, seperti Telkom, Tbk. Krisis ini menjatuhkan pasar saham, tetapi ini juga membuat P/E di Indonesia menjadi di bawah 10. Kalau dilihat dari posisi IHSG sekarang, mungkin sudah di bawah 8. Krisis bisa saja berjalan, tapi earning dari perusahaan kan tidak lantas berubah.

Kalau di Indonesia sekarang terasa sulit, penyebabnya lebih karena likuiditas yang seret, karena Pemerintah juga belum membelanjakan dananya, terhimpun ratusan triliun Rupiah di BI. Begitu dana ini mencair, tentunya likuiditas di Indonesia menjadi lebih baik. Dapatkah kita menduga seperti apa ekonomi kita kelak?

Perhatikanlah, bahwa kondisi sekarang ini dipicu oleh keadaan di luar negeri, khususnya Amerika dan Eropa. Untuk Asia, di sini ada India dan China, juga Indonesia sendiri, yang posisinya masih kuat, pertumbuhannya masih tinggi, jauh berbeda dengan Amerika. Kalau dana asing keluar, tidak berarti pasarnya buruk atau ekonominya buruk. Bank di Indonesia juga tidak mempunyai masalah seperti di luar negeri, masih tetap stabil dan malah berlomba-lomba menawarkan deposito dan kredit.

"Kehancuran" pasar saham bersifat semu, karena P/E yang rendah berarti pasar ini menjadi sangat-sangat atraktif. Ini pasti akan sangat menarik untuk dana SWF yang sekarang keluar dari bursa, yang kalau nanti balik masuk bursa modal lagi pasti mencari tempat yang menguntungkan seperti Indonesia.

Pertanyaannya, kapan dana mulai masuk lagi? Tentunya saat orang tidak lagi panik. Sekarang sebenarnya adalah waktu yang tepat untuk rakyat Indonesia membeli saham-saham Indonesia sendiri, mengapa membiarkan orang asing yang membeli dan memiliki perusahaan Indonesia? Krisis kali ini adalah krisis yang dipicu oleh psikologi investor. Jika sekarang kita semua tenang dan cepat-cepat membeli saham, pasti bursa modal Indonesia akan berbalik arah dengan cepat. Kita bisa berharap hasil yang menyenangkan tahun depan.

Tapi kalau kita semua terus-terusan panik tanpa alasan, panik melihat rumah tetangga terbakar, kemudian meruntuhkan rumah kita sendiri.... wah, kacau betul ya? Sekarang ini adalah waktu yang tepat untuk mulai membeli dan bertahan dengan apa yang ada. Masa depan Indonesia ada di tangan rakyatnya sendiri.