Cari Blog Ini

17 Maret 2006

Persembahan Yang Sejati

Rom 12:1 Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.


Apa yang diharapkan dari seseorang yang baru lahir dalam Kristus? Yang pertama, biarlah dia menjadi anggota gereja. Ikut pelajaran, kemudian dibaptis. Yang kedua, biarlah dia boleh ikut dalam berbagai aktivitas gereja. Yang ketiga, biarlah dia boleh setia memberikan persembahan.


Persembahan apa? Tentu saja, uang persembahan. Kolekte di hari Minggu.
Persembahan bulanan. Persepuluhan.


Yang keempat, jika memang dia mau dan mampu, biarlah dia juga mengambil bagian dalam pekerjaan Gereja: jadi aktivis komisi, bagian dari panitia, jadi diaken atau kalau sudah cukup senior, menjadi majelis atau penatua.
Yang kelima, kalau memang dia mendapat panggilan, mungkin dia bisa menjadi penginjil atau jadi hamba Tuhan alias pendeta.


Begini, mungkin ada yang merasa bahwa bukan seperti ini yang diajarkan di Gereja. Dan tentu saja, hal-hal ini pun bukan sesuatu yang diajarkan berdasarkan doktrin tertentu, sama sekali bukan. Tetapi setelah mengamati dan mengalami, rasanya inilah yang terjadi di berbagai gereja dan menjadi seperti yang di atas. Marilah kita merenungkan hal-hal ini untuk sejenak.
Apakah terjadi dalam kehidupan kita dalam berjemaat dan bergereja?


Yang pertama, (hampir) seluruh gereja memikirkan tentang jumlah anggotanya.
Kita kagum dengan gereja yang jumlah anggotanya bertumbuh dengan pesat, dengan pembukaan pos dan bakal jemaat dan cabang di mana-mana. Kita belajar dan bertanya-tanya: bagaimana caranya? Walaupun mungkin kita sendiri tidak memikirkan secara sungguh-sungguh untuk menambahkan anggota gereja, tetap saja kita berpikir bahwa ini adalah hal yang penting. Dan jika ada seorang lahir baru, kita mengharapkannya untuk menjadi anggota gereja KITA.


Rasanya jarang sekali (atau tidak pernah?) kita menemukan ada pelayan Tuhan dari gereja A yang melayani seorang jemaat hingga ia lahir baru, lantas mengajurkannya untuk menjadi anggota gereja B yang letaknya lebih dekat dari rumah jemaat tersebut. Oh tidak, jika pendeta dari gereja A melayani seseorang, ia akan memintanya menjadi anggota jemaat gerejanya, betapa pun jauh jaraknya (dan betapa sukar memelihara hubungan dan pembinaan baginya).
Solusi dari hal ini adalah: bangunlah pos dan cabang di mana-mana, agar siapa pun senantiasa dekat untuk dilayani.


Tak heran, kita bisa menemukan adanya beberapa pos dan cabang dari beberapa gereja di SATU wilayah yang sama. Dan tak jarang pula kita jumpai adanya rasa kesal dan sebal karena jemaat berpindah gereja. "Dasar, pencuri domba orang!" bisik hati yang kesal. Mengapa marah melihat seseorang dapat dilayani dengan lebih baik dan bertumbuh di sana?


Yang kedua, hampir semua gereja juga memikirkan tentang jumlah peserta dari setiap program yang dilaksanakannya. Jika ada program pembinaan atau seminar, pertanyaan yang umum terlontar adalah "berapa pesertanya?" Bahkan tak urung, kesuksesan sebuah program atau acara ditentukan berdasarkan kehadiran. Jika pesertanya banyak, berarti acaranya sukses. Kalau sedikit, ada yang salah dengan kepanitiaan.


Karena hal ini, tak jarang gereja mengalokasikan waktu dan dana serta tenaga untuk publikasi, bahkan sampai memiliki penerbitan sendiri. Ilmu pemasaran bukan saja berguna untuk menjual produk dan jasa sekuler, tetapi juga penting untuk memasarkan suatu acara. Dibutuhkan banyak pemikiran dan upaya yang serius untuk melakukannya; bagaimana pun, ini adalah usaha untuk membagikan berkat dan berita dari Tuhan, bukan?


Tak ada yang salah dengan upaya publikasi yang baik, kecuali ketika jumlah kehadiran peserta menjadi lebih penting dari pesan yang mau disampaikan.
Ketika jumlah peserta sedemikian penting, sehingga acara gereja dengan sengaja di desain untuk menjadi populer, kalau perlu mengorbankan prinsip-prinsip penting. Pernahkah kita dengar ucapan seperti, "oh, kalau mau acaranya sukses, tidak usahlah membahas soal dosa. Bahas saja tentang prinsip-prinsip kemakmuran..."


Apakah gereja sedang mengajar jemaatnya, atau sedang memuaskan telinga mereka dengan memberi apa yang ingin mereka dengar?


Yang ketiga, inilah yang seringkali diharapkan oleh gereja: berikanlah persembahan. "Berikan yang terbaik," kata pengkhotbah dari atas mimbar, yang dapat ditafsirkan dengan "berikanlah lebih banyak uang." Urusan pemberian ini telah menjadi faktor umum di berbagai gereja, dan sepertinya uang telah menjadi alat persembahan yang paling disukai. Sampai ayat yang berbunyi, "siapa yang menabur, dia akan menuai" dikorelasikan secara langsung dengan
uang: siapa yang memberi banyak, akan menerima banyak.


Bukankah hal ini membuat gereja terdengar seperti mesin uang? Tetapi, tak sedikit orang yang 'menanamkan' uangnya di gereja dengan harapan Tuhan akan melimpahkan berkat berlipat kali ganda. Padahal, jika kita sungguh-sungguh mempelajari Alkitab, tak pernah ada bagian yang menyatakan Tuhan menjadi mesin uang bagi umat-Nya. Hidup yang berkelimpahan dalam Tuhan bukan berarti menjadi orang yang kaya raya oleh harta dunia.


Mungkin banyak di antara kita yang akan segera berkata, bahwa bukan begitu yang terjadi di gerejanya. Benar, bukan itu yang diajarkan dalam gereja, karena bukan itu satu-satunya motivasi dalam hal uang persembahan. Tetapi coba perhatikan pokok-pokok doa atas masalah dalam gereja; bukankah ujungnya seringkali mengharapkan dana? Dan lihatlah juga bagaimana upaya ekstra telah dilakukan agar jemaat bisa ikut ambil bagian dalam program misi dan penginjilan, yaitu, dengan cara memberi uang persembahan. Dengan motivasi yang berbeda, bukankah ujung dari berbagai upaya gereja bermuara pada hal yang sama: menerima persembahan berupa uang? Dan betapa pusingnya pengelola gereja jika uang persembahan semakin kecil!


Sekali lagi, tak ada yang salah dengan uang persembahan, kecuali ketika upaya nyata yang bisa dilakukan orang untuk memberi persembahan adalah hanya dengan uangnya. Memberi persembahan uang adalah baik dan benar --tak perlu
diragukan-- kecuali ketika SATU-SATUNYA bentuk persembahan yang diberikan adalah uang, dinilai dari seberapa besar jumlah yang bisa diberikan.


Apakah kita melihat masalahnya? Pokok persembahan yang sejati tidak mungkin uang, karena berapa pun jumlah uang diberikan bagi persembahan, jumlahnya senantiasa KECIL bagi Tuhan. Ia mau kita memberi persembahan yang hidup, yaitu tubuh kita, keberadaan kita, bukan hanya sepersekian uang yang kita miliki. Atau, kalau memang sungguh-sungguh ingin memberi harta kekayaan, maka berikanlah SEMUANYA. Inilah yang diajarkan Tuhan Yesus kepada anak muda yang kaya itu, bukan? Persembahan uang tidak bisa menggantikan persembahan diri kepada Tuhan. Uang hanya menjadi tanda, suatu simbol, dari kehidupan yang dipersembahkan bagi Allah. Apakah kita mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang kudus, yang hidup, dan yang berkenan kepada Allah?


Yang keempat, setelah seorang menjadi senior cukup lama, diharapkan dia juga mulai menjadi pelayan bagi orang lain. Tentang hal ini pun kita bisa merenungkan beberapa hal, antara lain kenyataan yang sering terjadi di mana seseorang menjadi penatua atau aktivis komisi atau jabatan gerejawi lain karena hubungan sosial yang dimilikinya. Ukuran diterimanya seseorang sebagai pejabat gereja bukan lagi berdasarkan seperti apa kekudusan hidupnya, sejauh mana pengenalannya akan Tuhan, seberapa besar ketaatannya dan hatinya bagi Tuhan, serta seberapa jauh keterampilan dan pengetahuannya.


Tak sedikit orang menjadi penatua karena ia supel, karena banyak temannya, atau karena ia senang dan pandai berbicara. Atau, sering juga terjadi, ia adalah seorang yang berpengaruh, menjadi seorang yang kaya sebagai seorang pengusaha... Sampai-sampai pernah ada kesan, bahwa jabatan 'majelis gereja'
adalah bagian eksklusif yang tersedia bagi para pemilik perusahaan besar yang cukup kaya, untuk meluangkan waktu mereka. Jika seseorang tidak punya status sosial yang cukup tinggi, agak malu juga jadi majelis. "Kamu apa, kok jadi majelis?" "Ah, saya hanya seorang guru..." *malu*


Setidaknya, penampilan seorang majelis harus lebih baik: gantilah mobil dan belilah setelan jas yang baru. Dan ubah juga gaya berjalan dan berkata-kata, kini harus tampil lebih 'resmi' dong! (Oops, jangan pakai kata 'dong' kalau jadi mj ya?)


Tentu, tak ada salahnya seorang pemilik perusahaan besar menjadi majelis, apalagi ia sungguh-sungguh punya hati bagi Tuhan. Tak ada yang keliru menerima seorang yang pandai dan kaya dan berpengaruh menjadi majelis, kecuali ketika jabatan itu tidak lagi menjadi pelayan, melainkan posisi yang harus dilayani oleh orang lain, bahkan oleh pendeta. Akan juga menjadi salah jika sikap kepemilikan yang kuat melekat turut ditabur dalam kemajelisan, serta membuat gereja tak ubahnya menjadi salah satu perusahaan lain yang dikelola, dan majelislah tuannya. TUHAN tidak lagi jadi Kepala, melainkan hanya jadi pelanggan yang disuruh duduk saja di kursi empuk dan menunggu layanan disediakan.


Yang kelima, semoga ada orang yang menjadi hamba Tuhan. INILAH yang penting, inilah yang terutama, sehingga seperti kata Paulus, "celakalah aku bila tidak bisa memberitakan Injil!" Inilah bagian yang diamanatkan oleh Kristus, menjadi pokok yang diutamakan oleh jemaat pada gereja awal, hingga berkembang seperti hari ini, dua ribu tahun kemudian.


Tahu masalahnya apa? Masalahnya, yang terpenting ini telah menjadi yang kelima. Dan bukan itu saja, bahkan di banyak gereja, menjadi pemberita Injil dan pengkhotbah bukan lagi sesuatu yang diharapkan untuk dilakukan oleh jemaat, karena itu adalah tugas pendeta. Jemaat diharapkan ambil bagian dalam kepanitiaan, dalam komisi, dalam majelis, dalam persekutan doa, dalam banyak hal, kecuali untuk turut memberitakan Injil kepada dunia. Jangan ambil alih pekerjaan pendeta, yah!


Pemberitaan Injil telah direduksi, menjadi wilayahnya "hamba-hamba Tuhan"
saja, yang ditafsirkan dengan jabatan pendeta. Apakah kita yang lain, yang bukan pendeta, bukanlah "hamba-hamba Tuhan" juga?


"Tidak," kata sebagian orang. Maka, semakin hari semakin banyak orang Kristen berkerumun untuk mendengarkan berita Injil dari pendeta ini atau pendeta itu, dan berbondong-bondong menghadiri kebaktian yang dipimpin pendeta yang besar dan terkenal. Setelah mendapat siraman berkat Firman Tuhan, jemaat lantas pulang dan merasa puas dan menyimpan berita itu sendiri dalam hatinya.


Membagikan berita itu? Yah, ada juga yang melakukannya, tetapi berapa banyak?


SUDAH WAKTUNYA kita memulai persembahan yang sejati, yang benar. Bukan uang yang diharapkan, walau uang memang penting. Bukan aktivitas dalam kepanitiaan yang disebutkan Tuhan, walau menjadi panitia acara juga diperlukan. Tetapi inilah yang diamanatkan oleh Kristus kepada kita:
beritakan dan ajarkan Injil! Jadikan semua bangsa menjadi murid-Nya, dan baptiskanlah mereka! Inilah agenda Tuhan, misi yang diberikan Tuhan, bukan hanya kepada pengurus gereja, bukan hanya pada pendeta, melainkan pada kita SEMUA. Termasuk saya. Termasuk Anda juga.


Seharusnya, hal ini juga menjadi misi kita, agenda kita. Pemberitaan Injil adalah bagian yang KITA semua harus lakukan, harus upayakan. Untuk itu, kita semua harus mau belajar dan berkorban, mau bersusah payah untuk belajar Injil -- karena bila kita sendiri tidak belajar, lantas apa yang mau kita sampaikan? Belajar sekarang, beritakan besok, dan mudah-mudahan lusa kita bisa bersorak sorai karena satu lagi jiwa dimenangkan bagi Tuhan. ITU adalah hal yang penting: tak pernah Sorga bersorak sorai karena ada persembahan uang yang bermilyar-milyar jumlahnya, tetapi seisi Sorga bersukacita karena seseorang tidak lagi celaka.


Tentu, tidak mudah untuk belajar Alkitab. Ada harga yang harus dibayar, ada tubuh yang harus dipersembahkan. Namun bila hal ini memang penting dan berharga di mata Allah, mengapa tidak dilakukan? Seharusnya gereja lebih banyak mengalokasikan waktu dan dana dan tenaganya untuk menyampaikan berita kepada lebih banyak orang. Ini sama sekali tidak mudah, apalagi di tengah kuasa kegelapan yang membenci Kristus dan terang-Nya. Kita sudah lihat bagaimana orang berdemonstrasi menutup gereja, bahkan merusakkannya. Bisa dibayangkan, betapa sulitnya menjangkau orang-orang yang berdemonstrasi itu, untuk memberitahu mereka bahwa jika mereka hari ini tidak bertobat dan percaya kepada Kristus, mereka tidak akan selamat. Aduh sulitnya!


JUSTRU karena sulit, maka dibutuhkan lebih banyak persiapan, lebih banyak pelatihan dan sarana dan waktu dan tenaga. Apakah kita sudah memberi diri kita dipersiapkan, agar kita sendiri memiliki berita dan pengetahuan, serta memiliki hubungan dengan Tuhan? Berapa banyak kita mengalokasikan sumber daya kita untuk penginjilan? Berapa banyak waktu yang telah kita berikan untuk memberitakan kebenaran, dengan cara yang baik dan dapat diterima, kepada teman dan saudara kita yang belum percaya?


Jangan salah paham: jika kita bisa mengambil bagian dalam penginjilan, bahkan jika kita bisa berhasil memberitakan Injil dan mendapatkan seorang lagi saudara dalam iman kepada Kristus, semua itu BUKAN jasa dan hasil pekerjaan kita. Itu adalah karya Roh Kudus yang beranugerah dalam kehidupan kita. Kita menerima anugerah Tuhan bila boleh mengambil bagian dalam pemberitaan Injil, dan teman atau saudara kita menerima anugerah Tuhan karena ia boleh mendengar dan menjadi percaya. Jangan salah mengerti, jika kita memperbaiki fokus kita, hal itu bukan karena pekerjaan Tuhan tergantung pada keputusan dan pekerjaan kita sekarang. Bukan sama sekali.


Kita perlu memperbaiki fokus dalam persembahan yang sejati, agar kita tidak menolak anugerah yang telah diberikan oleh Tuhan. Ingatkah kita pada perumpamaan tentang talenta yang dikisahkan Kristus? Lihatlah orang yang menerima satu talenta itu: ia tidak berfokus pada talenta yang diterimanya.
Ia berfokus pada pikirannya sendiri, pada kesimpulannya sendiri. Ia memikirkan dirinya sendiri; serta segala 'ketidakadilan' yang dialaminya karena hanya satu talenta saja yang ada di tangannya. Upayanya adalah upaya pemenuhan diri, memuaskan diri, menjadikan diri semakin nyaman, semakin kaya, dan semakin 'diberkati'.


Dengan melakukan hal itu, orang yang menerima talenta itu telah menolak anugerah tuannya, dan ia mengingkari tugas untuk memakai talenta itu demi kepentingan tuan yang telah memberikannya. Kita pun telah menerima talenta itu, berupa berita Injil yang kita miliki, walau pun mungkin kadarnya tidaklah besar. Apakah karena kita hanya memiliki sedikit saja pengetahuan tentang berita Injil, lantas kita berpikir lebih baik hal itu disimpan saja sendiri?


Seperti pagi atau malam ini mungkin, di mana kita telah bersaat teduh dan menerima sesuatu; tidakkah kita menerima sesuatu dari Tuhan? Apakah kita hanya menyimpannya saja sendiri, merasa bahwa hal itu hanya sebuah talenta kecil yang tidak akan mendatangkan hal besar bagi Tuhan, sebaliknya hanya menyusahkan diri sendiri saja? Kita lupa, talenta itu -- walau hanya satu -- adalah anugerah dari Tuhan, kesempatan dari Tuhan. Dia tidak membutuhkan satu talenta kita, tetapi Ia memberi karunia agar kita bisa mengambil bagian di dalam-Nya.


Tidakkah kita sekarang perlu bertanggung jawab kepada Dia yang telah beranugerah? Tuhan memberkati kita dengan berlimpah-limpah.


Terpujilah TUHAN! Amin.