Cari Blog Ini

26 September 2010

Salomo

Pengkhotbah adalah raja Israel. Terlahir sebagai yang belakangan dari anak-anak raja Daud, ia mengenal semua perjuangan ayahnya. Ia tahu apa artinya penyertaan TUHAN, Allah semesta alam bagi kehidupan manusia. Ia tahu kisah tentang perjuangan, dan bahkan kegagalan ayahnya karena ibunya sendiri. Ia mengenal Tuhan.

Maka, ia memulai perannya sebagai raja Israel dengan sebuah karunia yang dimintanya sendiri: hikmat sebagai hakim, menerima kebijaksanaan yang terbesar di antara umat manusia. Hal lainnya datang menyertai hikmat: kekayaan, kedudukan dan penghormatan tinggi, kemewahan hidup, dan wanita. Sang raja di masa mudanya menulis kidung agung, tulisan yang indah tentang cinta dan birahi antara lelaki dan perempuan. Ia juga menulis amsal dan kata-kata hikmat, yang tetap bermakna dan mengajar manusia, bahkan hingga saat ini.

Apakah semua itu memuaskannya? Adakah segala hal yang dicapai itu sungguh-sungguh bermakna baginya, dia yang paling bijaksana di antara manusia?

Sang raja berkhotbah, dan isinya adalah kenyataan pahit atas hidup: kesia-siaan. Apa hal yang diupayakan manusia, yang sungguh berarti? Itu adalah usaha menjaring angin; Tuhan hanya memberi semua tugas itu untuk menyusahkan manusia!

Dalam hikmatnya, Pengkhotbah tahu bahwa ada hal yang salah, karena dalam akhir kehidupan justru manusia menghadapi pengadilan Allah.

Di saat itu, Tuhan berada jauh, di dalam ruang yang maha kudus dan terpisah. Manusia tidak dapat mendekat; ada kematian bagi dia yang berani menyentuh kekudusan Allah. Jadi hidup ini adalah beban, usaha menjaring angin, dan diujungnya ada pengadilan. Tidakkah itu berarti sia-sia, yang menimbulkan putus asa? Sekalipun berhikmat, Sang Pengkhotbah tidak menemukan jalan keluar. Dia berusaha menyenangkan dirinya, tapi itupun kesia-siaan.

Situasinya akan tetap demikian, jika manusia tidak takut akan Tuhan. Terpujilah TUHAN, karena Ia menyelesaikan masalah ini dengan melakukan apa yang tidak bisa dilakukan manusia: merobek tirai pemisah itu. Ada salib dan kematian sebagai penebusan dosa, suatu harga yang sangat mahal. Harga yang tidak bisa dibayar manusia.

Di dalam Tuhan, apa yang kita kerjakan tidak sia-sia. Ini bukan karena apa yang kita mampu lakukan, melainkan pekerjaan Allah dalam kehidupan kita. Ia tidak mengerjakan hal yang percuma belaka. Di dalam Tuhan, jerih payah tidak sia-sia. Terpujilah Tuhan!
Published with Blogger-droid v1.5.9

19 September 2010

Mampu

Kita semua mengalami kedua perasaan ini: perasaan mampu dan perasaan tidak mampu. Sedari kecil, kita merasa mampu merangkak, lalu berjalan, lalu berlari. Selagi merangkak, kita melihat yang berlari itu hebat. Selagi berjalan, kita lihat yang berlari sambil melompat itu hebat. Setelah besar dan bisa berlari sambil melompat, kita melihat yang main sepak bola piala dunia itu luar biasa. Kita merasa mampu berlari, tapi merasa tidak mampu bermain sepak bola sekelas piala dunia. Kalau hanya main di lapangan sebelah rumah, ya bisalah.

Bagaimana dengan pekerjaan? Orang sekolah bertahun-tahun untuk merasa mampu bekerja. Bukan berarti setiap orang yang punya ijazah pasti mampu bekerja, tapi bagi pemilik ijazah, kelulusan itu bermakna, memberi rasa mampu. Sebaliknya, banyak yang tidak berijazah merasa tidak mampu.

Bagaimana dengan pelayanan? Apa yang memungkinkan orang untuk memberitakan bahwa Yesus adalah Tuhan? Apakah kemampuan fisik? Kemampuan intelektual? Kemampuan finansial?

Tidak, tanpa Roh Tuhan, manusia tidak bisa mengakuinya. Bahkan, semua hal lain yang mengikuti pernyataan ini, hanya lahir dari Roh yang esa, Allah Roh Kudus.

Jangan bingung dengan bakat. Ada orang yang berbakat menyanyi. Dia bisa menyanyi di suatu reality show televisi, bahkan menjadi juara. Apakah dia juga sama baiknya dalam menyampaikan nyanyian tentang Tuhan? Kalau ukurannya adalah keindahan bernyanyi, semua lagu bisa dinyanyikan sama indahnya. Tetapi bagaimana lagu itu menyentuh jiwa yang terhilang, di sana hanya terjadi oleh Roh Tuhan. Satu Roh yang sama, entah kita bernyanyi atau menulis atau berkotbah.

Maka, jangan sombong. Jangan minder. Sebaliknya, layanilah Tuhan!
Published with Blogger-droid v1.5.9

05 September 2010

Pekerjaan

Yeremia yang masih muda ini tidak memilih sendiri pekerjaannya. Bukankah setiap orang muda pada satu saat harus memikirkan apa yang mau dikerjakannya? Beberapa mempunyai tekad yang cukup kuat untuk menjadi orang yang lebih besar. Beberapa yang lain tidak seteguh itu, sehingga mereka puas dengan apa saja yang ada. Lumayan, daripada jadi pengangguran. Tetapi, Yeremia menerima panggilan besar dari Tuhan, sedemikian hebatnya sehingga mendadak ia merasa tidak sanggup. Mana bisa?

Ada banyak hal yang rasanya mustahil dikerjakan. Kita memang tidak dalam situasi yang sama seperti Yeremia, tidak ada raja yang harus dilawan atau rakyat yang berkhianat pada Tuhan. Tetapi ada banyak masalah dalam masyarakat kita, yang bermula dari karakter yang buruk dan kebiasaan yang jelek. Sudah begitu lama, begitu banyak, mana bisa diubah? Lebih bqik mencari kesuksesan sendiri. Lebih baik memanfaatkan apa yang ada. Begitu, bukan?

Tapi, Tuhan masih memanggil dan mengutus ana-anak-Nya. Apakah yang mau kita katakan, bahwa kita terlalu muda dan kecil, tidak sanggup? Tuhan yang memberi kesanggupan! Tidak peduli apakah Yeremia masih muda dan tidak pandai, Tuhan mampu membuatnya berdiri dan menentang raja, imam, dan rakyat Yehuda yang menjadi sesat dan melanggar Perjanjian yang kudus. Tidak peduli apapun situasi kita, Tuhan bisa menempatkan kita dalam situasi yang mustahil, hanya karena Tuhan yang memberikannya.

Pertanyaannya, maukah kita? Apakah kita bersedia untuk dipakai Tuhan, melebihi pikiran kita tentang diri sendiri? Apakah kita cukup mempercayai-Nya dan sepenuhnya bergantung pada-Nya?

http://pikiran-donny.blogspot.com
Published with Blogger-droid v1.5.8