Cari Blog Ini

20 Mei 2012

Kaya dan Miskin

Tuhan itu kaya. Apakah artinya? Ada yang bilang karena dahulu Yesus adalah tukang kayu, maka Dia itu kaya. Yang khotbah di mimbar pagi ini menjelaskan, karena dahulu orang tua Yesus hanya mempersembahkan burung, maka itu tanda kemiskinan. Dan nampaknya tidak ada yang ingat bahwa saat itu orang Israel dalam keadaan dijajah Romawi sehingga kondisi mereka memang tidak sejahtera. Yesus lahir di tengah bangsa yang tertindas! Jadi, Apakah Tuhan terlahir dalam Kekayaan?


Pertama, apa artinya kaya? Sejauh mana batasan bisa disebut kaya?


Kaya tidak selalu berarti memiliki banyak. Dalam pengelolaan keuangan, pendapatan harus diukur bersama dengan pengeluaran. Kekayaan dilihat sebagai semua aset dikurangi semua liabilitas, atau kewajiban. Ini disebut nilai kekayaan bersih atau net worth value. Ada dua macam liabilitas, yaitu liabilitas yang sudah muncul alias hutang, dan liabilitas yang akan datang, yaitu hal yang kelak harus dibayar. Orang hanya bisa disebut kaya jika sanggup membayar semua yang harus dibayarnya, memenuhi semua liabilitas dalam hidupnya.


Liabilitas yang terbesar adalah dosa. Siapa yang sanggup membayar dosanya? Orang mengeluarkan banyak sekali uang, waktu, dan tenaga untuk mengalahkan agama, untuk membayar dosanya. Hanya Tuhan yang sanggup membayar, menebus doa manusia, yaitu yang paling mahal harus dibayar manusia. Sungguh, Tuhan itu kaya! Tapi tidak dalam pemahaman konsumerisme dan hedonis banyak orang sekarang.


Sebaliknya, kemiskinan adalah kegagalan untuk menghasilkan, ketidakmampuan memberi. Orang tidak jadi miskin karena tidak memiliki sesuatu, melainkan karena tidak mampu menghasilkan sesuatu yang bernilai. Itulah sebabnya kemiskinan sukar diberantas. Jika masalahnya adalah tidak memiliki, seperti tidak punya modal, tidak sukar untuk menyediakannya. Tapi, jika orang tidak menghasilkan, seperti garam yang tidak lagi ain, bagaimanakah caranya agar ia memberikan hasil? Bagaimana mengasinkan garam yang kehilangan rasa ain? Tidak ada gunanya, selain dibuang dan diinjak orang.


Tuhan lahir dengan kehilangan sebagian kemampuan ilahinya, sehingga bisa dibilang menjadi miskin dibandingkan sebelumnya. Tetapi dalam kemanusiaan, Yesus jauh lebih mampu dibandingkan manusia manapun yang pernah ada di muka bumi ini. Ini bukan tentang jumlah harta atau kepemilikan barang di dunia, melainkan keadaan sebagai manusia seutuhnya.


Bagaimana dengan Kita yang menjadi pengikut Kristus, yaitu orang Kristen? Apakah kita kaya? Apakah kita miskin? Apakah Kita bertanggung jawab untuk membayar semua yang harus Kita bayar? Apakah Kita menghasilkan Hal yang sungguh bernilai?


Salam kasih,

Donny


Published with Blogger-droid v2.0.4

26 Februari 2012

Diskusi tentang Mutlak dan Relatif

Catatan dari milis Doakan HKBP


Yang saya lihat, sebenarnya pembahasan soal "relatif" atau "mutlak" sebenarnya adalah diskusi tentang KENDALI dalam kehidupan manusia. Bagaimanapun, manusia ingin mengendalikan realitas hidupnya. Manusia ingin bisa menentukan sendiri nasibnya. Manusia ingin menentukan sendiri apa yang baik dan apa yang jahat.


Bukankan dulu Hawa dan Adam sudah memakan buah pengetahuan baik dan jahat? Manusia merasa sudah TAHU apa yang baik dan yang jahat.


Jadi, manusia ingin menetapkan sendiri sesuai pengetahuannya itu. Masalahnya, kalau TUHAN menjadi mutlak dan menentukan apa benar secara mutlak, maka hal itu secara langsung bertentangan dengan kendali yang ingin manusia miliki. Manusia ingin kawin, ingin cerai, ingin punya istri banyak -- intinya, mengendalikan sendiri hidupnya, tanpa harus mengikuti aturan dari pihak lain di luar manusia.


Karena manusia jumlahnya banyak, maka dibutuhkan satu kesepakatan tentang apa yang harus menjadi aturan -- di situlah muncul hukum positif, yang dihasilkan badan legislatif dan eksekutif dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Tentang kesepakatan itu, manusia berjuang, bergumul dalam politik, antara berbagai-bagai pandangan yang berebut pengaruh. Kendali adalah inti dari kekuasaan, politik adalah permainan kekuasaan. Dalam permainan ini, semua kartu harus ada di tangan manusia, merupakan pilihan manusia. Bahkan, jika ada TUHAN yang "dimainkan" di sana, kendalinya tetap ada pada manusia. Ketuhanan menjadi komoditas politik.


Itu realita yang ada. Sangat dimaklumi kalau orang yang berada dalam permainan politik -- dan dari politik menjadi permainan ekonomi juga -- akhirnya melihat bahwa semua konotasi tentang ketuhanan tidak lain adalah alat dalam komunikasi, suatu wacana mendapatkan pengaruh dan reputasi. Filsuf seperti Michael Foucault melihat bahwa kekuasaan berada di atas semua, bahkan di atas kebenaran. Foucault mengikuti Nietszche yang mengatakan bahwa Allah sudah mati, sudah mati pula makna dari pengikut Allah. Kebebasan sejati adalah kebebasan dalam mengendalikan kekuasaan. Sebagaimana halnya segala sesuatu yang bebas dan bergerak sendiri, maka semuanya relatif, tergantung pada kekuasaan. Bersama dengan pemikir lain seperti Jacques Derrida (dekonstruksi teks) dan Richard Rorty (relativisme), dibangunlah suatu struktur filsafat yang sangat kompleks, rumit, yang berusaha menjelaskan ulang segala hakekat dalam kehidupan. Suatu usaha oleh manusia yang telah "dicerahkan" melalui dua perang dunia dan pertumbuhan global yang tidak pernah ada sebelumnya.


Tetapi, jika mau dilihat secara sederhana, isunya kembali pada soal kendali. Tuhan yang menciptakan alam semesta, kenyataannya masih mengendalikan dan berkuasa atas segala sesuatu. Tuhan bekerja dalam realita, dalam kehidupan nyata, bukan sekedar ide atau keyakinan. Apa yang dinyatakan oleh Alkitab adalah kenyataan, mulai sejak Adam dan Hawa. Pencatatan mengenai realita ini mungkin tidak selengkap atau sesuai standar jurnalisme modern (masalahnya adalah manusia yang belum mampu berbahasa lebih lengkap), namun tetap mengungkapkan kenyataan. Tuhan Yesus benar-benar berjalan mengelilingi Yudea dan Galilea, benar-benar mati disalib, dan benar-benar bangkit serta naik ke Sorga.


Realita kedatangan Tuhan Yesus membuka pengetahuan tentang keilahian, karena Dia sanggup mengungkapkan Bapa-Nya yang di Sorga, mengungkapkan Rumah Bapa, juga mengungkapkan tentang dunia orang mati -- bukan lagi sekedar ide atau bayangan, melainkan benar-benar kenyataan. Nyata. Bukan khayalan. Bersama kenyataan ini, datang pula prinsip-prinsip, dan Perjanjian antara Tuhan dan manusia -- maka kita menyebut kitab suci dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Sebagaimana Perjanjian Lama dahulu mengikat bangsa Israel dan pekerjaan Tuhan bersama mereka, demikian pula Perjanjian Baru mengikat orang yang percaya pada Tuhan Yesus Kristus dan pekerjaan Roh Kudus bersama kita sekalian.


Masalahnya bagi orang yang mau mengatur sendiri semaunya semuanya, ikatan itu tidak membebaskan, tidak sesuai. Dalam sosial dan ekonomi, ada hal yang benar dan salah di mata Tuhan. Bahkan jika seluruh manusia bersepakat tentang aturan yang melanggar prinsip Tuhan, berharap "suara terbanyak" memenangkan  prinsip yang ditetapkan-Nya, maka Tuhan tetap menentukan sendiri sesuai kehendak-Nya. Itu adalah hakekat dari kemutlakan: Tuhan sepenuhnya berdaulat.


Apakah kemudian manusia bisa mengetahui apa yang Tuhan kehendaki? Tidak, jika hanya dari manusia itu sendiri. Tetapi TUHAN sanggup berkomunikasi dan menyatakan kebenaran serta standar-standar-Nya. Mujizat tetap terjadi, namun yang sebenarnya paling utama adalah bagaimana manusia tetap mendahulukan prinsip Tuhan di atas kepentingan dan pendapat manusia. Dalam hal ini, kemutlakan Tuhan tidak dapat diganggu gugat oleh manusia. Kendali ada di tangan-Nya.


Orang bisa memilih jalan hidupnya, namun tidak dapat menolak konsekuensinya -- sedang konsekuensi itu sendiri tergantung pada kendali atas situasi dan keadaan. Orang yang sanggup mengendalikan situasi, sanggup mengendalikan konsekuensi hidup di dunia.


Published with Blogger-droid v2.0.4

15 Januari 2012

Berbuah bagi Kristus

Rasul Paulus menulis Surat Filipi dari balik penjara. Bukan sekedar dipenjara, ia juga tahu ancaman kematian sudah dekat. Jika kita berada dalam situasi demikian, apa yang memenuhi pikiran kita?

Kebanyakan orang berpikir tentang menyelamatkan diri sendiri. Apa yang jadi ukuran adalah hal yang kita dapatkan. Tapi, bukan itu yang Paulus pikirkan.

Ia memikirkan tentang bersaksi bagi Tuhan. Keselamatan adalah hasil dari pertolongan Tuhan, bukan perbuatan manusia. pemenjaraan Paulus justru mendatangkan kemajuan Injil!

Kita perlu memahami tiga hal. Pertama, saat itu kekuasaan Romawi menganggap kekristenan sebagai kejahatan. Ide dari kekristenan menentang banyak kebiasaan dan kepercayaan Romawi dan Yunani, yang mencari kenikmatan hidup. Dalam kacamata Kristen, itu adalah Gaya Hidup yang tidak bermoral. Dalam pandangan Kaisar, itu adalah kebanggaan dan lambang status. Sejarah menunjukkan bahwa Gaya Hidup itu menghancurkan Kekaisaran Romawi. Namun saat Paulus dipenjara, mereka tidak tahu racun kehidupan sedang mereka teguk setiap hati. Injil adalah Jalan yang jauh lebih baik.

Kedua, jemaat Kristen berakar pada Berita keselamatan berdasarkan penderitaan, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus. Mereka mempunyai pengalaman nyata, bukan sekedar keyakinan atau cerita atau legenda masa lalu. Mungkin kalau dibandingkan, serupa dengan berita tentang kerusuhan bulan Mei tahun 1998, serta turunnya Presiden Soeharto, yang bukan cerita melainkan berita yang tidak terlupakan. Penderitaan adalah bagian yang menyatu dalam inti Berita Injil, diikuti dengan kemenangan atas maut. Mengikuti Kristus berarti mengikuti Jalan derita untuk mendapat kehidupan kekal. Tapi, inilah harga yang sangat mahal untuk dibayar manusia.

Ketiga, Rasul Paulus adalah pemimpin jemaat. Orang memandang kehidupan Paulus dan meneladaninya. Jika pemimpin bersedia membayar harga, maka pengikut juga bersedia bayar harga. Ketika Paulus dipenjara, justru ada kesempatan untuk menunjukkan pada jemaat apa artinya menderita mengikuti salib Kristus. "sehingga telah jelas aku dipenjara karena Kristus"

Ada alasan bagi jemaat untuk mengikuti Jalan yang serupa. Ada alasan bagi kita juga untuk memberikan hidup bagi Kristus, sekalipun melalui penderitaan. Berbuah bagi Kristus bukan sekedar beraktivitas atau menghasilkan sesuatu, melainkan mengikuti Kristus sepenuhnya, seperti cabang mengikuti pokok anggurnya.

Published with Blogger-droid v2.0.3