Salam dalam kasih Kristus,
Di ibadah hari Minggu yang cerah ini, saya mendapatkan sesuatu yang
mengesankan. Ya, kotbah hari ini dipimpin oleh Pdt. Caleb Tong, dan seperti
biasanya beliau penuh ketajaman dalam menyampaikan pesan. Kotbahnya sendiri
memang mengesankan, berbicara tentang kemurahan hati dan bagaimana Gereja
yang Injili juga dapat memberi sumbangan besar bagi korban bencana,
bagaimana hati yang digerakkan Injil bukan hanya berbicara tentang doktrin
tetapi lebih dari itu: melakukannya. Tapi, selain pemberitaan Firman yang
menggugah ini, ada hal lain yang mengesankan.
Hal yang terasa berkesan itu adalah: bahwa sebenarnya, tadi pagi darah masih
mengucur dari hidung Pak Caleb. Beliau mengalami musibah beberapa hari lalu,
dan kalau mengikuti saran dokter seharusnya Pak Caleb tidak berkotbah.
Matanya masih belum fokus, bicaranya pun masih terganggu. Tetapi hatinya
lebih mengutamakan pemberitaan Firman, kepentingannya lebih condong pada
melayani Tuhan, maka pagi-pagi ia sudah mempersiapkan diri. Dan Pak Caleb
tidak setengah-setengah dalam menyampaikan kotbah; ia menyampaikannya dengan
penuh, lengkap, tanpa dikurangi. Waktunya bahkan lebih lama daripada
pengkotbah lain, yang lebih muda dan sehat, untuk suatu bahasan yang
menyeluruh.
Saya menemukan kesiapan semacam ini merupakan hal yang mengesankan, satu
pelajaran sendiri yang saya terima pagi ini. Dan sikap seperti ini bukan
pertama kali saya jumpai dalam diri para pemimpin Gereja. Saya sebelum ini
menemukannya pada diri Ibu Dorothy I. Marx, pada diri Pak Joseph Tong, dan
juga --walau tidak secara langsung-- pada diri Pak Stephen Tong. Sikap untuk
memberikan diri secara total, dan menunjukkan diri sebagai teladan. Dan
sikap ini bukan baru sekarang, karena Alkitab sudah menunjukkan sikap ini
sejak lama, dalam diri Rasul Paulus. Coba simak suratnya kepada jemaat di
Korintus:
~~~~~~~~~~~
1 Kor 4:9:16 Sebab, menurut pendapatku, Allah memberikan kepada kami, para
rasul, tempat yang paling rendah, sama seperti orang-orang yang telah
dijatuhi hukuman mati, sebab kami telah menjadi tontonan bagi dunia, bagi
malaikat-malaikat dan bagi manusia. Kami bodoh oleh karena Kristus, tetapi
kamu arif dalam Kristus. Kami lemah, tetapi kamu kuat. Kamu mulia, tetapi
kami hina.
Sampai pada saat ini kami lapar, haus, telanjang, dipukul dan hidup
mengembara, kami melakukan pekerjaan tangan yang berat. Kalau kami dimaki,
kami memberkati; kalau kami dianiaya, kami sabar; kalau kami difitnah, kami
tetap menjawab dengan ramah; kami telah menjadi sama dengan sampah dunia,
sama dengan kotoran dari segala sesuatu, sampai pada saat ini. Hal ini
kutuliskan bukan untuk memalukan kamu, tetapi untuk menegor kamu sebagai
anak-anakku yang kukasihi.
Sebab sekalipun kamu mempunyai beribu-ribu pendidik dalam Kristus, kamu
tidak mempunyai banyak bapa. Karena akulah yang dalam Kristus Yesus telah
menjadi bapamu oleh Injil yang kuberitakan kepadamu. Sebab itu aku
menasihatkan kamu: turutilah teladanku!
~~~~~~~~~~~
Jemaat di Korintus mungkin membanggakan diri dengan kemegahan dan kemakmuran
mereka, segala kemuliaan yang dapat dibayangkan orang. Tetapi jika
kesejahteraan menjadi ukuran, maka para rasul tidak mempunyai tempat! Bagi
para rasul, keberadaan mereka bahkan "telah menjadi sama dengan sampah
dunia," yang sama sekali tidak berarti bagi dunia. Tetapi oleh para rasul,
kekristenan disemai dan bertumbuh, bahkan hingga menjadi besar saat ini.
Tentu saja, keadaan Pak Caleb Tong tidaklah separah para rasul. Kita tidak
dapat mensejajarkannya dengan para rasul. Ia tidak perlu lapar, haus,
telanjang, dipukul dan hidup mengembara, dan seterusnya. Ia masih bisa
menikmati keberadaannya sebagai pemimpin gereja yang besar, masih menikmati
pelayanan dari banyak orang. Namun kita tidak perlu memikirkan
perbandingan-perbandingan kesusahan atau 'kebesaran' mereka, tetapi lihatlah
pokok utama yang mereka tunjukkan: "Turutilah teladanku!"
Ini adalah kepemimpinan spiritual, sebuah kepemimpinan yang menggerakkan
orang lain secara spiritual. Pokoknya bukanlah perilaku apa yang harus
diikuti, tidak seperti keteladanan moral dan sikap yang pada umumnya dibahas
orang. Di dalam kepemimpinan spiritual ini, ada ajakan, dorongan, himbauan,
bagi orang lain untuk mencapai tingkat spiritual yang serupa. Dengan tingkat
spiritual itu, orang dapat melakukan hal-hal yang secara esensial serupa
dengan teladan yang diberikan oleh sang pemimpin, walau dalam konteks yang
berbeda.
Maka, pada pagi hari ini saya tergerak untuk mengikuti teladan spiritual
dari Pak Caleb, dalam konteks yang saya hadapi. Saya tergerak untuk
menyisihkan kesusahan sendiri, agar bisa membagikan kemurahan pada orang
lain. Saya tergerak untuk menyangkali kemalasan sendiri, agar bisa
menuliskan hal-hal ini dan menggerakkan orang lain juga. Tentu saya tidak
mempunyai konteks kehidupan Pak Caleb, tetapi saya bisa melakukan hal-hal
yang secara esensial serupa dalam konteks saya, misalnya melalui internet
dan milis, seperti yang Anda baca ini. Karena, saya sebenarnya tidak dalam
keadaan cukup baik. Saya masih harus mengusahakan agar beban-beban finansial
keluarga kami terpenuhi. Saya masih harus memikirkan bagaimana bisnis kami,
agar besok kami masih bisa makan. Dan saya masih harus mengerjakan beberapa
hal yang cukup mendesak di pertengahan bulan Juni 2006 ini.
Spiritual leadership yang saya alami selama ini telah mendorong saya untuk
mengambil sikap. Bukan hal yang mudah, karena di mata sebagian orang, apa
yang saya lakukan bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan. Begini, saya
telah berhenti bekerja di akhir tahun lalu, dan sejak itu saya berusaha
sendiri. Tetapi keadaan ekonomi memang tidak begitu baik, jadi usaha baru
yang dirintis juga tidak selancar yang dibutuhkan. Akibatnya, kami mengalami
tekanan finansial yang cukup besar belakangan ini. Kalau saya bilang "no
problem" maka tentu saya berdusta, karena hal itu menjadi masalah nyata
sekarang.
Dalam keadaan bermasalah di keuangan ini, saya dan istri menemukan peran
baru, sebagai konsultan keuangan. Heran? Sebenarnya, itu adalah istilah bagi
agen asuransi -- disebut "Financial Consultant" karena kami dibekali
sejumlah produk yang mampu membantu orang lain untuk menyelesaikan masalah
finansial mereka di masa depan. Produk itu adalah kombinasi antara asuransi
dan investasi, dengan tingkat pengembalian yang tinggi dan menguntungkan
nasabah.
Masalahnya dengan produk asuransi: komisi yang diterima oleh agen dihitung
dari besarnya premi dasar asuransi yang diterima, bukan dari besaran
investasinya. Jadi, kalau kami menginginkan komisi lebih besar, kami harus
mengatur agar premi dasar asuransi diperoleh sebesar-besarnya. Tapi hal ini
berarti memperkecil investasi, dan ujung-ujungnya merugikan nasabah.
Sekarang bagaimana? Masalah finansial seharusnya telah mendorong kami untuk
mengusahakan sebesar-besarnya premi dasar asuransi, dengan demikian kami
memperoleh komisi lebih besar dan selamat dari tekanan finansial ini. Namun
bukan itu yang kami lakukan. Pada akhirnya kami tetap menghitung
sebesar-besarnya investasi, agar memberikan keuntungan maksimum kepada
nasabah. Itulah yang terjadi dengan polis-polis yang kami hasilkan.
Di ujungnya, kami memenuhi apa yang sesungguhnya ditawarkan oleh asuransi:
keuntungan nasabah. Bodohkah, kalau lantas kami sendiri masih tertekan
secara finansial?
Saya tidak merasa bodoh, karena inilah kepemimpinan spiritual yang saya
ikuti. Nah, sampai sini mohon jangan keliru memahami; saya tidak sedang
menawarkan apa pun kepada teman-teman sekalian. Saya hanya ingin
menunjukkan, seperti itulah yang ada dalam konteks kehidupan saya sekarang.
Tentu, tiap orang dapat memiliki konteks yang berbeda, tetapi secara
esensial melakukan hal serupa. Membagikan kebaikan secara total. Hidup dalam
kebenaran dan keadilan. Menunjukkan kerendahan hati, belas kasihan, dan
kelemah-lembutan.
Bagaimana dengan gereja kita? Apakah ada Spiritual Leadership di sana? Ada
gereja yang berdiri dengan fondasi yang terpancang di atas batu karang
legalisme. Philip Yancey dalam bukunya "Gereja: Mengapa Dirisaukan?"
(terjemahan dari "Church Why Bother?"), menuliskan tentang gereja masa
kecilnya: "Mereka berbicara tentang anugerah tetapi sesungguhnya mereka
hidup dengan hukum, mereka berbicara tentang kasih tetapi sesungguhnya
mereka memperlihatkan tanda-tanda kebencian." Namun, bukankah deskripsi ini
dapat diterapkan juga dalam lingkungan-lingkungan kita? Bukankah kita pun
menemukan bagaimana orang-orang berseteru dalam gereja, bahkan sampai
membawanya ke pengadilan negeri?
Mengapa harus seperti itu? Coba hitung, berapa banyak orang Kristen yang
tidak lagi pergi ke gereja? Mereka di masa mudanya mendapatkan lingkungan
yang penuh disiplin dan aturan, mula-mula terasa baik dan melindungi, tetapi
kemudian menjadi hambar. Menyebalkan. Tidak ada kepemimpinan spiritual di
sana; yang ada hanyalah aturan dan hukuman bagi pelanggarnya. Kalau tidak
dihukum sekarang (dengan misalnya, 'siasat gerejawi'), kelak akan dihukum
masuk neraka. Dengan semua ancaman, tidak ada motivasi lain untuk melakukan
hal ini atau itu selain menghindari hukuman. Apa maknanya bersikap baik,
jika pendorong utamanya adalah agar tidak dicela orang lain?
Betul, orang bisa digerakkan oleh ancaman, tetapi tidak dalam waktu panjang.
Pada akhirnya ancaman itu akan kehilangan taringnya dan orang mulai bersikap
apatis. "Peduli amat!" "Emangnya gua pikirin?" Serta merta melanggar semua
aturan dan kekangan, apalagi jika ternyata "melanggar itu enak euy!"
Dibutuhkan motivasi lain untuk menggerakkan jemaat, untuk membuat orang
dapat melepaskan bajunya dan berkeringat membangun bersama-sama. Itulah
spiritual leadership yang ditunjukkan, yang diikuti dengan seruan "turutilah
teladanku!"
Sekarang, mengapa pula orang harus mengikuti suatu kepemimpinan dalam
bergereja? Pada kenyataannya, ada saja orang yang menyetarakan gereja dengan
hiburan. Apa bedanya pergi ke gereja dengan nonton di bioskop? Orang merasa
perlu terlayani di sana, menjadi penonton dari berbagai acara atau liturgi
gereja. Di gereja protestan, aktor utamanya adalah pendeta di atas mimbar.
Jemaat menjadi penonton dan pendengar; dan kalau pendetanya tidak menarik,
ada saja orang yang mendengkur. Bagi mereka yang hadir sebagai penonton,
tentu saja kepemimpinan tidak terlalu berarti. Toh orang hanya datang,
duduk, memberi duit, lalu pergi lagi.
Coba pikirkan lagi: dalam setiap ibadah, siapa yang sesungguhnya menjadi
pelaku, dan siapa penontonnya? Tuhan tidak menciptakan dunia ini agar Ia
menjadi Aktor sementara manusia-manusia bodoh menjadi penonton. Sebaliknya!
Tuhan mengawasi kita sekalian, dan kitalah yang menjadi pelaku-pelaku
kehidupan. Bisa dikatakan, urusan terpenting yang dihadapi manusia adalah
bagaimana tampil dengan baik di hadapan Sang Penonton, dan untuk itu kita
membutuhkan kepemimpinan. Di Gereja kita hadir untuk menyembah Dia yang
mengawasi kita, dengan sorot mata seperti seorang Bapa memandang
anak-anak-Nya.
Karena itu, urusan kita adalah mendengar Rasul Paulus berkata "Turutilah
teladanku!" maka kita memberkati ketika dimaki, sabar ketika dianiaya, dan
menjawab dengan ramah ketika difitnah. Dan Rasul Paulus sendiri malah
meneladani Tuhan Yesus, yang juga memberikan teladan-Nya bagi kita. Bukankah
tujuan hidup kita di dunia ini adalah untuk menjadi serupa seperti Kristus?
Baiklah kita hidup di dalam Dia yang menghidupkan. Terpujilah TUHAN!
Salam kasih,
Donny