Pemilihan Presiden alias pilpres akan berlangsung dua hari lagi. Kalau dihitung dalam ukuran jam, sekitar 34 jam lagi terhitung sejak tulisan ini mulai diketik. Kehebohan semakin terasa, dengan keputusan MK yang begitu "menyegarkan" (baca:menyengsarakan) KPU. Dengan putusan itu, DPT menjadi tidak lagi relevan karena orang bisa memilih dengan hanya membawa KTP. Tetapi di lain pihak, Bawaslu sudah wanti-wanti untuk berjaga-jaga atas banyaknya KTP dadakan yang dibuat oleh tim sukses masing-masing capres. Entah bagaimana caranya mengorganisasikan perubahan dalam waktu sesingkat itu ke seluruh pelosok Indonesia!
Sekarang juga adalah saat di mana pertanyaan umum yang diajukan adalah: "Kamu mau pilih siapa?"
Lantas, kalau dijawab, "saya mau pilih yang nomor dua." Ada saja yang mengernyit dan tidak setuju. Beberapa yang lain bisa sampai marah dan menggebrak meja. Hari ini, saya baru terima email yang menceritakan pengalaman seperti ini.
Dalam pengalaman saya juga, upaya untuk menjelaskan pilihan ini menjadi sesuatu yang berbenturan dengan pendapat orang lain, yang juga berusaha menjelaskan bahwa pilihan itu adalah sesuatu yang salah. Tentunya, ada yang menulis tentang "Asal Bukan SBY" mempunyai suatu dasar pemikiran -- dan tiba-tiba situasi menjadi tidak enak ketika saya menunjukkan bahwa bagi saya pemikiran itu tidak masuk akal, karena tidak secara objektif melihat apa yang sudah menjadi catatan sejarah dari calon lainnya. Sama sekali tidak ada rasa tidak hormat atau menganggap rendah, tetapi perbedaan itu sendiri tiba-tiba menjadi dinding yang membatasi kerukunan.
Merenungkan hal ini, ada beberapa yang terpikirkan, dan ingin saya bagikan sebagai hal yang perlu kita semua pikirkan.
Pertama-tama adalah, kita tidak bisa melupakan realitas baik secara ekonomi, politik, atau kondisi sosial. Apapun yang terjadi saat ini merupakan kulminasi dari berbagai proses sebelumnya, di mana tidak ada seorang pun yang dapat menjadi penguasa atas segalanya. Indonesia menganut demokrasi di mana rakyat adalah pemegang kekuasaan terbesar, dan sekarang situasinya semakin nyata dengan menguatnya peran Parlemen disamping Presiden. Sampai satu titik, muncul sedikit kebingungan atas arah politik: apakah Indonesia mulai menuju kepada kekuasaan di tangan Parlemen (DPR/MPR)?
Artinya, siapapun yang akhirnya dipilih menjadi Presiden, dia tidak dapat bertindak sebebasnya. Ia mungkin bisa berinisiatif untuk satu dan lain hal, tetapi keputusan akhir tidak semata-mata ada di tangannya sendiri. Kalau bicara soal perda, soal UU apapun, soal kebijakan nasional -- semuanya harus melalui kesepakatan semua pihak. Presiden tidak bisa memaksakan kehendaknya kepada DPR, yang sama-sama juga dipilih oleh rakyat melalui Pemilihan Legislatif.
Yang kedua, kita juga harus memahami bahwa pilihan yang diambil bukan sesuatu yang terlepas dari diri kita sendiri. Pemilihan Presiden bukan ajang memilih Pembantu yang paling siap sedia melakukan apa yang kita mau. Sebaliknya, kita memilih PEMIMPIN, artinya kita sendiri bersedia untuk dipimpin olehnya. Orang yang dipimpin bukanlah orang yang pasif dan duduk, sebaliknya bersedia untuk bangkit, mendengarkan, dan mentaati. Kita perlu bersama-sama membangun negeri ini, demikianlah kita membutuhkan pemimpin.
Sudut pandang ini: pembantu dan pemimpin, direfleksikan dari cara orang menaruh harapan kepada pilihannya. Yang satu berharap bahwa Presiden akan menghapuskan perda yang bermasalah, menghapus kemiskinan, dan segala hal yang menyenangkan -- ini adalah satu bentuk memandang Presiden sebagai Pembantu yang mau melakukan apa saja demi "rakyat" (karena, yang berkontrak dengan mereka tidak mewakili seluruh rakyat Indonesia). Tetapi, tentu saja dalam prakteknya ada lebih banyak hal terlibat, sehingga orang yang kritis mulai bertanya-tanya bagaimanakah 'pembantu' ini bisa memenuhi semua keinginan itu tanpa mencederai integritas dan fundamental negara?
Satu lagi menaruh harapan pada Presiden yang bisa menunjukkan apa yang harus dilakukan, atau apa yang tidak dilakukan, sehingga bisa bekerja dengan lebih baik, lebih keras, dan dalam banyak hal siap berkonflik dengan mereka yang beroposisi. Bicara perda yang tidak sesuai, kita melihat lampu hijau dinyalakan untuk melakukan tindakan perlawanan secara hukum, dari Presiden yang memahami garis besar masalah. Bagian dari kita yang punya kepentingan adalah bertindak dan melakukan gugatan. Kita harus berdiri untuk membela diri, karena kita bukan orang yang lemah dan kita mempunyai Pemimpin yang mengerti, bahwa niat kita semua sama: membangun bangsa dan negara yang kita cintai.
Begitulah kita juga bekerja sama untuk memberantas kemiskinan, membela rakyat kecil tanpa menina-bobokannya. Keadilan harus ditegakkan: orang yang tidak mau bekerja, hendaknya ia tidak makan! Tetapi, pada kita ada tugas untuk menyediakan lapangan pekerjaan, untuk bersedia membagi pengetahuan dan pengalaman agar mereka yang punya tekad dapat mewujudkan kehidupannya yang lebih baik. Pemerintah tidak bisa menghapus kemiskinan, kalau rakyatnya menyukai kemiskinan karena bisa menerima Bantuan Langsung Tunai. Ingatkah betapa orang yang mampu ternyata turut mendaftar agar bisa menerima BLT?
Pada akhirnya, pemilihan Presiden hanya benar-benar berarti jika setiap orang yang memilih mempunyai kesadaran untuk membuat Perbedaan. Ini bukan hanya bagian atau pekerjaan Presiden dan Legislatif dan Yudikatif. Ini adalah bagian kita semua, untuk melakukan sesuatu dan memperjuangkan sesuatu, termasuk mengawasi Presiden dan Legislatif serta semua pihak di dalam Pemerintahan, agar mereka bekerja dengan baik dan tidak korupsi.
Tentu saja, kita sendiri tidak boleh korupsi, manipulasi, atau mencari segala macam jalan pintas untuk mendapatkan sesuatu yang tidak berhak kita dapatkan. Ini termasuk, memilih calon Presiden yang kita lihat bisa dimanipulasi, atau paling tidak membiarkan kekacauan terjadi sesuai dengan yang kita harapkan. Peringatan ini terasa buruk, tapi realitanya adalah tidak semua orang menyukai disiplin dan keteraturan, bukan? Selalu ada yang lebih suka jalan pintas, karena di sana mereka bisa cepat menjadi kaya dan sejahtera tanpa kerja keras atau kompetisi seperti yang dialami banyak orang lain.
Maka, pertanyaan penutupnya adalah: apakah kita memang sungguh-sungguh ingin membuat perbedaan? Bukan perbedaan yang dilakukan oleh Presiden atau Wakil Presidennya -- ini adalah perbedaan yang kita lakukan sendiri. Dan pastinya bukan sekedar perbedaan yang menyenangkan dan memenuhi kepentingan kita sendiri, melainkan perbedaan nyata yang bermanfaat bagi kepentingan semua orang, dengan cara yang benar dan adil.
Kalau mau melakukannya, maka marilah kita memilih, berharap yang terbaik, dan setelah itu kita sama-sama bekerja lagi untuk membangun bangsa dan negara ini, di mana kita tinggal di dalamnya.
Kiranya TUHAN memberkati kita sekalian!