Belum lama ini, ada fenomena menarik dalam sebuah milis seputar sikap seseorang terhadap salah satu kandidat presiden. Waktu itu memang masa kampanye, jadi lontaran demi lontaran pendapat tentu terjadi. Tapi satu hal yang menarik di sini adalah: ada satu orang yang sangat kokoh-keras mendukung salah satu kandidat, padahal ia sendiri beberapa kali mengklaim dirinya sebagai seorang yang mengikuti pluralisme. Saya jadi berpikir: di mana sifat pluralismenya di saat ia begitu kokoh dengan pendiriannya? Lalu apa pula yang disebut dengan pluralisme itu?
Satu kenyataan hidup saat ini adalah masyarakat yang pluralistik. Dalam satu lingkungan, katakanlah sebuah kota kecil, kita dengan mudah dapat menjumpai berbagai macam orang. Indonesia yang begitu kaya dengan suku bangsa, memiliki beragam etnis yang berkumpul di satu wilayah. Mereka terdiri dari berbagai macam agama, berbagai macam golongan, profesi, pendidikan -- pendeknya, segala macam orang dan sifat. Karena perbedaan karakteristik yang begitu beragam dalam masyarakat, maka masalah yang muncul kemudian adalah bagaimana dapat menyusun kehidupan yang baik di dalam masyarakat yang pluralistik seperti itu.
Masalah yang pertama adalah bagaimana menangani konflik yang terjadi. Dalam masyarakat yang pluralistik, dapat terjadi banyak sekali perbedaan kepentingan dan kebutuhan yang saling bertentangan satu sama lain, sedemikian rupa sehingga ada potensi konflik yang besar. Repotnya, seringkali terjadi juga perbedaan prinsip antara satu dengan yang lainnya, sehingga sukar untuk mendapatkan jalan keluar yang memuaskan semua pihak. Orang bisa saja mengalah dan menelan kerugian material untuk menyelesaikan konflik, tapi sukar sekali untuk mengkompromikan prinsip-prinsip hidup, terutama yang berdasarkan kepercayaan atau agama. Kalau yang pertama urusannya hanya sekedar untung-rugi duniawi, yang kedua masalahnya adalah ketaatan kepada kepercayaan yang dianut, yang tidak jarang merupakan masalah dunia-akhirat. Masalah menjadi sangat kompleks ketika kedua unsur konflik ini tercampur; tidak jarang orang memanipulasi alasan-alasan religius demi mendapatkan keuntungan material.
Masalah yang kedua adalah bagaimana mengarahkan masyarakat untuk bekerja sama, demi mencapai keuntungan dan pertumbuhan bersama? Perbedaan karakter akan diikuti oleh perbedaan respon yang diberikan oleh golongan-golongan yang berbeda. Satu seruan yang sama dapat dianggap menghibur oleh satu kelompok masyarakat dan dianggap menghina oleh satu kelompok lainnya. Lalu bagaimana pemerintah dapat mengkomunikasikan pesan dengan tepat kepada masyarakat yang pluralistik? Seringkali akhirnya harus dibuat pesan yang ditulis secara berbeda untuk komunitas yang berbeda, dengan isi makna pesan yang sama. Hal seperti ini sangat dirasakan oleh para pemasar yang harus mengkomunikasikan produknya (Ada sebuah iklan yang bagus telah dibuat oleh HSBC yang menggambarkan hal ini.)
Permasalahan yang terjadi menjadi pokok yang penting, terutama ketika seluruh komponen masyarakat sedang menghadapi tekanan atau ancaman yang menyeluruh. Ketika terjadi krisis moneter di akhir tahun 1997, kita semua merasakan bagaimana tekanan secara nasional menuntut kerja sama semua orang; waktu hal ini gagal dilakukan, Indonesia jatuh dalam pusaran krisis yang tidak ada habis-habisnya. Saya ingat benar bagaimana para ahli menunjuk kepada Korea Selatan dan Thailand yang sudah lumayan pulih, sementara Indonesia masih terpuruk dalam kesulitan. Waktu itu semua menunjuk pada fakta kegagalan orang Indonesia untuk bekerja sama, sebaliknya malah berseteru dalam kemelut politik yang panjang. Bagaimana menyikapi kondisi yang pluralistik menjadi kunci penting untuk menyelesaikan masalah bangsa.
Di sinilah kita menemukan pluralisme; suatu sikap untuk menangani kondisi yang pluralistik. Dalam pengertian ini, pluralisme adalah suatu cara hidup di antara keberagaman manusia, sedemikian rupa sehingga dapat membawa kebaikan bagi semua orang. Keberagaman bukanlah sesuatu yang buruk atau harus dijauhi, bukan sesuatu yang harus diupayakan untuk hilang dan menjadi seragam. Keberagaman adalah kekayaan, suatu potensi dalam masyarakat untuk menghadapi berbagai variasi tantangan yang dihadapi. Keberagaman adalah kekayaan yang dimiliki masyarakat; itu adalah suatu keuntungan yang perlu digali, bukan kerugian yang harus dihindari. Demikianlah pluralisme menjadi suatu cara hidup yang baik.
Sayangnya, kenyataan menunjukkan hal yang berbeda. Pemerintah dan masyarakat nampaknya tidak menyukai keberagaman. Coba perhatikan: sejak kecil, anak-anak dididik untuk menjadi seragam dalam banyak hal. Seragam dalam cara berpakaian. Seragam dalam cara mengerjakan soal-soal. Seragam dalam cara bergaul. Orang harus hidup menurut suatu pola tertentu; di luar pola itu ia tidak dihargai. Orang yang berani tampil berbeda merupakan orang yang buruk, sehingga dibutuhkan suatu keberanian dan tekad yang besar untuk tampil beda (ironisnya, ini menjadi iklan juga: berani tampil beda). Sifat singular (kebalikan dari plural) nampak dalam trend, yang anehnya justru mengemukakan tentang keberanian untuk tampil beda dari generasi sebelumnya. Lihat juga anak muda yang merasa diri berani tampil 'beda' dengan gaya funky, yang jelas berbeda dari orang tua mereka. Coba perhatikan: jika ada seorang pemuda/pemudi yang tampil berbeda dari teman-temannya yang funky, ia dijauhi. Dianggap 'nerd' atau 'weird' atau 'aneh'. Ironis, sementara para anak muda berusaha berbeda dari orang tua mereka, ternyata mereka sendiri menjauhi sesama pemuda/pemudi yang tampil berbeda! Akhirnya, 'tampil beda' menjadi ilusi -- yang sebenarnya terjadi adalah pergeseran selera dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam satu generasi yang sama, perbedaan itu sendiri tidaklah disukai. Ketika hal ini dilihat dalam konteks yang lebih besar, kita akan temukan bahwa ternyata pluralisme juga adalah suatu ilusi. Orang sesungguhnya tidak menyukai keberagaman!
Pengertian lain dari pluralisme adalah bagaimana sikap hidup saling bertoleransi, sehingga antara dua orang yang berbeda prinsip atau pandangannya dapat terjalin suatu kerja sama yang baik dan terus menerus. Pluralisme tidak membuat setiap orang harus melepaskan apa yang diyakininya, melainkan bagaimana setiap orang dengan tetap memegang prinsipnya sendiri dapat bekerja sama dengan orang lain yang berprinsip lain. Prinsip boleh saja berbeda, namun setiap orang memiliki martabat dan harus dihormati. Toleransi adalah suatu bagian yang berkembang dalam masyarakat di mana setiap orang dapat berinteraksi dengan orang lainnya tanpa harus mengkompromikan prinsip masing-masing. Toleransi di dorong oleh suatu tujuan bersama yang telah disepakati, berlandaskan pada etika yang dapat diterima secara umum. Contohnya, dalam sebuah perusahaan tidak boleh dilakukan pembatasan penerimaan karyawan menurut agama, ras, atau preferensi politik. Semua orang dalam perusahaan itu harus tunduk kepada Peraturan Perusahaan serta etika bisnis yang baik. Mungkin dalam keyakinan atau prinsip ada perbedaan yang cukup besar antara satu karyawan dengan karyawan lain, namun dalam toleransi mereka dapat bekerja sama sebagai satu tim yang menghasilkan kemajuan bagi perusahaan.
Sayangnya pula, kenyataan tidak mengungkapkan hal seperti itu. Orang tidak bertoleransi, sebaliknya yang dituntut dari mereka adalah kompromi. Kita menemukan banyak perusahaan yang menerapkan syarat pemilihan karyawan berdasarkan keyakinan agama tertentu, bahkan melakukan operasi usahanya juga berdasarkan aturan agama tertentu. Orang yang masuk dalam perusahaan atau institusi itu harus bersedia berkompromi dengan keyakinan/prinsip/pandangan mayoritas, kalau tidak, mereka harus keluar. Untuk bekerja sama, orang dituntut menjadi seragam. Di Indonesia, setiap orang harus menerima Pancasila sebagai ideologi yang utama, sampai-sampai penataran P4 menjadi program yang diwajibkan. Di sinipun kita menemukan suartu ironi, karena ketika Pancasila mengutamakan musyawarah untuk mencapai suatu kesepakatan, penerapan Pancasila itu sendiri jauh dari sikap bermusyawarah. Dengan berbagai penjelasan dan butir-butir digambarkan bahwa Pancasila itu baik dan kehidupan bertoleransi itu nyata, namun justru dalam pelaksanaannya, para penganut Pancasila menunjukkan sikap intoleran yang mengarah pada anihilasi orang yang belum mau menerima Pancasila sebagai ideologi hidupnya! Jadi sekali lagi kita lihat juga bahwa pluralisme dalam bentuk toleransi menjadi ilusi, karena sementara orang mengaku mengikuti pluralisme, mereka menunjukkan sikap yang intoleran. Orang dituntut harus hidup dalam paham pluralisme, jika tidak maka akan menghadapi sikap intoleran dari para pengikut pluralisme yang mengaku toleran itu.
Di sinilah kita menemukan pluralisme dalam pengertiannya yang ketiga, yaitu sebagai salah satu bentuk pendirian filosofis. Dalam pengertian ini, pluralisme menempatkan diri sebagai suatu bentuk mutlak yang harus berdiri di atas segala bentuk lainnya, terutama dalam hal religius. Di sini dikatakan bahwa semua agama dan keyakinan adalah setara, sehingga tidak ada satu pun yang berhak untuk menyatakan memiliki kebenaran yang mutlak. Hanya ada satu kebenaran yang mutlak yang dapat diterima, yaitu dalam pluralisme menyatakan bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak. Setiap ide, apapun itu, harus dianggap mempunyai nilai yang sama. Orang yang menyatakan diri memiliki kebenaran universal dan absolut akan dianggap sebagai seorang yang berpikiran sempit.
Dalam pengukuhan diri pluralisme sebagai pendirian filosofis, para pengikutnya secara sistematis menolak segala bentuk ajaran lain yang bertentangan. Mereka menggunakan satu istilah untuk menggambarkan 'lawan' dari pandangan pluralisme ini, yaitu istilah 'fundamentalisme'. Para pengikut pluralisme melihat bahwa segala ajaran adalah sama absahnya, segera menolak segala bentuk doktrin atau pengajaran yang menampilkan klaim khusus atas kebenaran. Bagi mereka hanya ada satu klaim tentang kebenaran yang dapat diterima, yaitu klaim pluralisme mereka sendiri. Ini pun menjadi suatu ironi, ketika mereka menutup diri dari segala kemungkinan-kemungkinan adanya kebenaran yang mutlak demi menampilkan ajaran bahwa orang harus membuka diri terhadap segala macam ajaran. Sementara mereka mencerca berbagai pihak sebagai pelaku fundamentalisme yang tertutup, sikap mereka sendiri sesungguhnya menunjukkan suatu fundamentalisme dogmatik yang kaku.
Kita melihat bagaimana pengikut pluralisme telah bersikap dogmatik demi menentang orang yang mengikuti dogma. Di Amerika mereka bersikap bermusuhan, sehingga kelompok-kelompok Kristen yang tradisional (dan karena itu dicap sebagai fundamentalis) merasa perlu bersatu di dalam gerakan bawah tanah demi suatu upaya untuk tetap bertahan (selengkapnya, lihat http://www.christian-underground.com). Di Indonesia, ada gerakan dari para teologian yang mengikuti pluralisme untuk menolak kerja sama dengan segala pihak lain yang masih berpegang teguh pada Injil dan berbagai doktrin tradisional yang sudah ada dalam kekristenan selama berabad-abad. Mereka mengatakan bahwa semua pikiran lama itu harus ditanggalkan, ditinggalkan -- melupakan bahwa jika orang dapat disuruh meninggalkan semua pengajaran yang telah berabad-abad, bukankah orang yang sama juga dapat meninggalkan ajaran yang baru muncul dalam beberapa tahun terakhir? Kenapa harus selalu mendengarkan dan mengikuti apa yang baru hanya karena itu baru? Sungguh, ternyata ajaran yang berangkat dari pendirian filosofis pluralisme adalah suatu ilusi juga, karena pada hakekatnya filosofi pluralisme melakukan sendiri semua ajaran dan perilaku yang ditentangnya!
Saya ingin mengajak Anda sekalian untuk melihat, bagaimana pluralisme bisa lahir. Ajaran apa yang mengijinkan filosofi seperti pluralisme boleh muncul ke permukaan? Di mana ajaran ini mulai mendapatkan tempatnya? Jika kita telusuri, maka kita menemukan bahwa pemikiran-pemikiran yang bebas seperti pluralisme lahir dari komunitas Kristen, tepatnya di Eropa dan Amerika Utara. Jika ada suatu ajaran yang dapat dikatakan sungguh-sungguh bersifat pluralis, maka mungkin ajaran itu adalah ajaran Kristen yang telah mengijinkan timbulnya pluralisme. Kekristenan menonjolkan kemerdekaan; setiap manusia diterima sebagai mahluk yang bermartabat, sebagai ciptaan Tuhan yang mengandung gambaran Allah walaupun telah dirusak oleh dosa. Dalam kekristenan orang menemukan konteks tumbuhnya demokrasi dan sosialisme, walaupun kemudian demokrasi dan sosialisme itu sendiri berbalik menentang kekristenan. Hanya dalam kekristenan terdapat cukup kebebasan untuk menerima berbagai pandangan dan membentuk pluralisme. Hanya dalam kekristenan orang dapat sungguh-sungguh menerima keberagaman sebagai potensi dan karunia, memiliki toleransi berdasarkan ajaran dan prinsip Kasih, serta menerima keberadaan orang lain walaupun lebih lemah imannya.
Kenapa bisa demikian? Karena kekristenan berangkat dari karya Kristus yang bersifat membebaskan, bukan mengikat. Hanya Kristus saja satu-satunya nama yang ada dalam dunia, yang olehnya manusia dijamin keselamatannya. Kehidupan Kristen adalah kehidupan yang memberi, bukan kehidupan yang mencari. Upaya dan tindakan yang dilakukan adalah merupakan respon, bukan merupakan inisiatif. Semua ini tertuang secara sistematis dalam berbagai doktrin, mulai dari doktrin tentang Alkitab, doktrin tentang Allah, tentang dosa dan manusia, tentang Gereja dan Roh Kudus, dan sebagainya; masing-masing terkait satu sama lain. Mungkin bagi mereka yang mempercayai pluralisme akan melihat semua doktrin itu sebagai ajaran yang harus dihapuskan, tetapi betapa mereka tidak menyadari bahwa sekali doktrin-doktrin itu dihilangkan, maka eksistensi pluralisme pun akan segera lenyap.
Tidak ada pluralisme dalam pemikiran kaum muslim. Tidak ada pluralisme dalam pemikiran kaum hindu atau buddha. Semua ajaran agama memberikan tuntutan pada pemeluknya untuk hidup mengikuti satu jalan saja, yaitu jalan mereka. Orang harus melakukan banyak tuntutan untuk mencari keselamatan atau pahala, segala penyimpangan akan berhadapan dengan hukuman keras. Itulah sebabnya, maka pemikiran pluralisme hanya ada dalam lingkungan kristen saja, baik itu di negara Kristen atau komunitas Kristen. Hilangkan komunitas Kristen, maka tidak ada lagi tempat bagi pluralisme. Ironisnya, pluralisme justru berusaha untuk menghilangkan klaim khusus dari kekristenan! Inilah ilusi pluralisme.
Jika Anda berpikir bahwa pluralisme itu benar dan baik, pikirkan kembali baik-baik.
Bahan bacaan yang jadi referensi saya antara lain: D.A. Carson, "Kesaksian Kristen di Zaman Pluralisme" dalam buku "God and Culture", ed. D.A. Carson dan John D. Woodbridge.
1 komentar:
Ijinkan saya mengutip tulisan anda: "Tidak ada pluralisme dalam pemikiran kaum muslim. Tidak ada pluralisme dalam pemikiran kaum hindu atau buddha. Semua ajaran agama memberikan tuntutan pada pemeluknya untuk hidup mengikuti satu jalan saja, yaitu jalan mereka."
Tampaknya anda hanya melihat fenomena ini hanya dari kacamata anda. Anda membuat statement superfisial tanpa mengetahui apa dan bagaimana ajaran Hindu dan Buddha. Karena memang anda sama sekali tidak mengerti apa yang diajarkan Hindu dan Buddha tentang apa itu tujuan hidup.
Saya sangat mengajurkan anda untuk membaca "Bhagavad Gita, Sacred Hindu's Holy Book", sebelum anda menulis statement di atas. Saya sangat menganjurkan anda untuk membaca tulisan-tulisan Nurcholis Madjid atau tulisan tentang dirinya(http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/n/nurcholis-madjid/index.shtml) sebelum anda men-generalisasi fenomena yang anda lihat secara sepintas saja.
Teruslah menulis. Saya sangat menikmati tulisan anda.
Posting Komentar