Mat 25:21 Maka kata tuannya itu kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.
Setiap orang menginginkan hidup yang lebih baik. Kalau ditanya pada saya atau pada Anda, kita semua dengan spontan akan mengangguk mantap mengatakan, "ya, saya mau hidup lebih baik." Kebanyakan dari kita mengartikan bahwa kita ingin hidup lebih sejahtera, lebih makmur, atau lebih kaya. Sebagian orang lagi mengartikannya bahwa kita ingin memiliki hidup yang lebih bermakna, ada artinya.
Karena, mungkin saja selama ini kita bergumul dengan masalah keseharian: bagaimana mencari makan hari ini? Bagaimana cara membayar uang kontrakan, atau uang sekolah anak? Bagi sebagian orang lain, hal-hal itu bukan suatu beban yang terlalu sulit, tetapi hidupnya pun terasa begitu-begitu saja, seperti putaran roda sepeda yang dibalik. Berputar cepat, tetapi tidak melaju kemana-mana. Kita melalui masa-masa baik dan masa-masa buruk, mengerjakan sesuatu dengan mudah namun kemudian menjadi susah, atau sebaliknya. Kita bergumul dengan banyak masalah, tapi setelah semuanya berlalu, kita sampai di mana? Untuk sesaat kita menemukan ketenangan, lalu kemudian kembali lagi dalam persoalan dan kesulitan lain.
Setelah setahun atau dua tahun atau tiga tahun, semuanya lantas menjadi suatu rutinitas. Tak ada yang baru di bawah matahari, kata Pengkotbah. Yang sekarang ada dahulu pernah ada, dan nanti akan ada lagi. Kalau begitu, bagaimana kita dapat mengatakan bahwa kita benar-benar menginginkan hidup yang lebih baik? Jika pada akhirnya kita hanya melakukan sesuatu yang berulang, dengan hasil yang kurang lebih tidak banyak berbeda, lantas apa yang berubah?
Maka, kata-kata "saya ingin hidup lebih baik," tak lebih dari slogan belaka. Itu hanya ide dalam pikiran, suatu ekspresi yang kita ungkapkan bagi diri sendiri dan orang lain, tanpa pernah benar-benar kita inginkan, benar-benar kita usahakan. Karena pada dasarnya kita tidak ingin melakukan hal-hal yang lain atau berbeda, kita tidak berani melangkah keluar dari apa yang sudah biasa membatasi kita -- bahkan ketika pagarnya sudah dicabut dan bekasnya tidak ada lagi. Kita dibelenggu oleh pikiran kita sendiri, atas nama kebiasaan dan tradisi yang mungkin kita tidak tahu lagi apa artinya. Kita hanya melakukan hal-hal yang biasanya kita lakukan. Itu saja.
Tuhan Yesus memberikan perumpamaan tentang Kerajaan Sorga, seperti seorang Tuan yang pergi ke luar negeri dan mempercayakan hartanya kepada hamba-hambanya.
Bagaimana jika hamba-hambanya itu adalah kita? Mari renungkan. Jika kita adalah orang-orang yang biasa melakukan sesuatu sesuai tradisi, seperti kebiasaan, maka kita akan menjadi hamba yang terbiasa duduk menunggu perintah dari Tuan. Jika kita tidak diberi perintah, kita tidak bergerak. Jika kita tidak mendapat penegasan akan tugas dan wewenang, kita memilih untuk duduk diam. Itu kebiasaan kita. Itu kebiasaan banyak orang, bahkan di jaman Tuhan Yesus dahulu.
Kita, dari segala orang lain di atas muka bumi ini, mendapat karunia karena TUHAN berkenan memilih kita, mengaruniakan segala berkat dan kasih karunia. Kita memperoleh hadiah terbesar dan terbaik dan termahal yang dapat dibayangkan: menerima darah Kristus yang menyelamatkan kita. Oh, betapa mahalnya! Betapa besarnya! Betapa baiknya! Ini memungkinkan kita keluar dari penjara perbudakan dosa, menjadi orang yang benar-benar merdeka karena Anak telah memerdekakan kita.
Bukan itu saja, kita juga menerima berbagai karunia yang diperlukan untuk hidup dengan benar. Rasul Paulus menulis kepada jemaat di Efesus, "Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya." (Ef 2:10). Ya, ini bagian kita. Kemerdekaan yang kita terima juga membawa beban tanggung jawab untuk melakukan apa yang seharusnya kita lakukan, bahkan untuk segala hal yang tidak biasa kita lakukan.
Sekarang, Tuhan Yesus telah memberikan darah-Nya, daging-Nya, dan nyawa-Nya bagi kita. Kita bebas. Kita menerima talenta, karunia yang diberikan-Nya tanpa kita minta. Apakah kita lantas bersikap diam? Apakah kita mengatakan, bahwa kita sudah biasa begini dan tidak ada yang memerintah, maka sebaiknya kita begini-begini saja, diam saja? Lalu, kita menyembunyikan talenta yang kita terima itu, sambil merasa marah terhadap Allah?
Berapa lama kita sudah merayakan Jumat Agung dan Paskah? Berapa banyak kita sudah membaca dan merenungkan tentang penderitaan Kristus, diikuti oleh kebangkitan-Nya yang luar biasa? Tidakkah kita setiap tahun diingatkan, bahwa kita menerima talenta yang LUAR BIASA berharga, secara cuma-cuma?
Namun, kita duduk saja. Kita hanya melakukan hal-hal yang biasanya kita lakukan. Itu saja.
Belajarlah dari hamba-hamba sang Tuan! Ketika ia menerima talenta itu, ia tidak menerima visi atau target yang harus ia capai. Ia hanya tahu, bahwa ia bertanggung jawab atas harta yang dipercayakan kepadanya. Maka, ia melakukan sesuatu. Ia berusaha. Ia berpikir, merencanakan, mengerjakan, menghidupi. Ia mendapat 5 talenta, ia berusaha agar sedikitnya ia mendapat 5 talenta juga. Yang lain mendapat 2 talenta, berusaha agar sedikitnya mendapat 2 talenta juga. Perhatikan: tidak ada perintah di sana. Sang Tuan ada di luar negeri, tidak memberi instruksi spesifik tentang apa yang harus dicapai. Ini hanya masalah tanggung jawab, yang menimbulkan tekad untuk melakukan hal-hal yang lain, yang memberi hasil.
Kalau kita menerima yang luar biasa dari TUHAN, bukankah kita pun seharusnya mengerjakan keselamatan yang TUHAN sudah berikan? Atau kita lebih senang diam dalam kedamaian dan ketenteraman, bebas dari masalah dan hiruk pikuknya dunia? Tuhan sudah menyelamatkan kita sedemikian rupa, tidakkah kita pun seharusnya tergerak untuk sungguh-sungguh hidup dalam pekerjaan baik yang telah Allah persiapkan sebelumnya?
Hidup yang lebih baik adalah hidup memenuhi cita-cita, hidup yang bertanggung jawab. Tuhan Yesus sudah memberikan KEMENANGAN atas dosa dan maut, dan seharusnya hidup kita berpadanan dengan kemenangan itu. Kita lebih besar dari dosa, lebih atas dari kuasa maut; siapa yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus?
Hidup ini bukan ban sepeda yang ditaruh terbalik, yang berputar cepat di udara. Bukan! Kita sedang menapaki suatu jalan, dan di sana ada tantangan, ada resiko, ada kesulitan. Pikirkanlah, bukankah hamba yang mengerjakan 5 dan 2 talenta itu dapat dengan mudah menghasilkan sejumlah yang sama? Tidak. Perhatikan jawaban hamba yang disebut jahat dan malas, bahwa ternyata hamba-hamba yang lain harus bersusah payah menabur dan menuai, menanam dan memungut. Bisakah kita bayangkan bagaimana resiko yang dihadapi hamba-hamba yang baik dan setia ini? Bisa saja, ladang mereka diserang hama, dimakan belalang. Bisa saja, ada banjir besar yang merusakkan ladang. Barangkali juga mereka harus rela menanggung kerugian-kerugian yang terjadi, karena usaha manusia ada jatuh dan bangunnya.
Pemberian hamba-hamba kepada Tuannya adalah saat-saat kemenangan, bahwa inilah hasil dari jerih payah kami, kesusahan kami, juga kerja keras kami. Inilah tanggung jawab yang kami berikan atas harta yang telah dititipkan, di mana semuanya berkembang 100%. Untuk itu mereka harus berani mengambil langkah, mengerjakan hal-hal baru, menghadapi tantangan baru. Itulah yang dihargai oleh Tuan. Itulah sebabnya, kata-kata Tuan itu terdengar penuh rasa haru, "Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu." Oh ya, betapa bahagianya Sang Tuan! Betapa bahagianya sang hamba!
Seperti para hamba, kita pun pada mulanya hanya orang yang tidak punya apa-apa, yang berputaran di bawah matahari dunia. Tapi Tuhan sudah memilih kita, mengangkat kita, memberi kita kepercayaan. Paskah kali ini, apa yang berbeda yang kita berikan?
Sudah waktunya kita melangkah keluar dengan penuh keberanian. Rakyat di negeri ini masih banyak yang buta dan tuli akan Tuhan, masihkah kita ragu mengetuk pintu dan memberitakan Kabar Baik? Rakyat di negeri ini masih banyak yang hidupnya kacau dan melarat, bahkan mereka tidak bisa mengelola harta mereka sendiri. Masihkah kita mau mendidik orang dan mengajarkan tentang kebenaran dan keadilan serta cara-cara yang lebih bijak untuk mengelola kehidupan? Masihkah kita peduli bahwa ada banyak anak bangsa yang jatuh dalam dosa, yang terbelenggu oleh kuasa-kuasa roh jahat dunia? Masihkah kita peduli bahwa TUHAN memberikan kita banyak karunia, bukan hanya untuk bersenang-senang di balik dinding-dinding gereja?
Besok kita merayakan Perjamuan Kudus, di hari Jumat Agung. Lusanya, kita merayakan Paskah, kebangkitan Kristus. Kemenangan kita. Kita merayakannya dengan meriah, dengan khidmat, dengan akbar, dengan megah. Kita mencari kebaikan bagi kita, kedamaian bagi kita, keselamatan bagi kita. Di luar itu, kita mengerjakan segala sesuatu seperti apa adanya. Yang bekerja dengan manipulasi, tetap memanipulasi. Yang melayani dengan tinggi hati, tetap tinggi hati. Kita mempersiapkan Paskah seperti juga tahun-tahun yang lalu, dengan Paduan Suara dan Drama dan kotbah yang menggetarkan, tapi kita masih saja tetap sama.
Saatnya, Paskah kali ini kita benar-benar berdiri, bergerak, karena ada banyak pekerjaan baik yang harus kita lakukan. Sudah waktunya kita berhenti dari kebiasaan kita, seperti kebiasaan meributkan urusan-urusan kecil dan soal tersinggung dan harga diri, agar kita bisa mengangkat wajah dan memandang ladang yang sudah menguning. Marilah kita bekerja, meninggalkan segala beban kita dengan pandangan dan tujuan yang terarah pada Kristus Yesus, Tuhan kita.
Selamat Paskah!
Powered by Qumana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar