Di saat globalisasi telah menjadi kenyataan, pertanyaan penting yang sering ditanyakan adalah "apa sikap orang Kristen?" Di satu sisi, pertanyaan ini berkonotasi bahwa seharusnya orang-orang Kristen memberikan respon yang berbeda. Seharusnya orang yang mengaku "Tuhan beserta saya" dapat memiliki sikap yang lain dalam menghadapi globalisasi. Kalau sikapnya masih sama saja, lalu apa makna dari keberadaan Tuhan di sampingnya itu? Lagipula, seharusnya ada rejeki lebih, rahmat lebih, berkat lebih dimiliki oleh orang-orang Kristen -- semuanya menjadi alasan bagi orang Kristen untuk berperan lebih banyak. Maka, tidak sedikit orang yang menaruh harapan lebih tinggi kepada mereka yang mengaku Kristen, apalagi pernah membagikan Firman Tuhan atau menyampaikan renungan. Seharusnya orang Kristen menjadi sumber rejeki (baca: uang) yang menjadi jalan keluar kesulitan masyarakat.
Pandangan ini mempunyai dua kesalahan yang mendasar. Yang pertama, kekayaan material bukan alasan dari penyertaan Tuhan. Orang tidak menjadi Kristen agar mendapatkan kekayaan material -- dapat uang, mobil, rumah, kemajuan usaha, peningkatan laba -- sebaliknya justru ada tuntutan bagi pemilik kekayaan untuk memakainya demi Tuhan. Kita menemukan tuntutan ini ketika Tuhan Yesus bertemu dengan orang muda yang kaya raya:
Luk 18:22 Mendengar itu Yesus berkata kepadanya: "Masih tinggal satu hal lagi yang harus kaulakukan: juallah segala yang kaumiliki dan bagi-bagikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku."
Perhatikanlah, orang muda ini telah menjadi pemimpin dan kekayaannya luar biasa. Ia juga telah melakukan semua tuntutan religius, sehingga di mata kebanyakan orang Israel, ia adalah teladan yang baik. Tapi Tuhan Yesus menunjukkan bahwa kekayaan orang itu menghalanginya masuk Kerajaan Allah. Isu ini begitu mencemaskan para murid -- kalau begitu, siapa yang bisa diselamatkan? Jawaban Tuhan Yesus berdasarkan pada kekuasaan Allah: "Apa yang tidak mungkin bagi manusia, mungkin bagi Allah." Hanya oleh kuasa Allah, maka kekayaan tidak menghalangi orang mendapat hidup kekal, karena itu tidak mungkin kekayaan menjadi tujuan orang percaya.
Kesalahan yang kedua terletak pada penyebab perubahan: bukan orang Kristen yang membuat kehidupan lebih baik. Kalau ada sesuatu hal yang dihasilkan oleh seorang Kristen, maka hal itu membuktikan bahwa Tuhan berkuasa, Dia hidup dan berkarya. Orang Kristen itu sendiri tidak memiliki kemampuan lebih dari apa yang sudah diberikan, sebagai manusia ia tetap memiliki kelemahan dan melakukan kesalahan. Penyertaan Tuhan tidak membuat seseorang menjadi seperti Tuhan, atau mempunyai otoritas yang merupakan hak prerogatif Allah sendiri.
Kita perlu memahami bahwa rancangan Allah jauh ada di luar rancangan manusia. Allah bisa menolak orang muda yang kelihatannya begitu baik, teladan yang luarbiasa, hanya karena kekayaannya sangat banyak. Tetapi Allah juga bisa memilih orang yang berdosa, yang menyetujui kekerasan dan aniaya, bahkan menangkapi orang-orang Kristen sehingga namanya cukup untuk menterror orang yang mendengarnya. Orang jahat semacam ini pantasnya mati, tetapi seperti yang pernah dinubuatkan oleh nabi Yesaya:
Yes 55:7-9 Baiklah orang fasik meninggalkan jalannya, dan orang jahat meninggalkan rancangannya; baiklah ia kembali kepada TUHAN, maka Dia akan mengasihaninya, dan kepada Allah kita, sebab Ia memberi pengampunan dengan limpahnya. Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.
Saulus dahulu menjadi orang semacam itu, tetapi ia kemudian dipakai oleh TUHAN, selanjutnya berganti nama menjadi Paulus. Rasul Paulus. Pada diri orang ini ada semua ilmu, semua pengetahuan yang telah dipakai untuk menyiksa umat Tuhan. Tetapi dengan rancangan TUHAN, segala yang dipahaminya menjadi sesuatu yang luarbiasa baik dalam mengembangkan Kerajaan Allah. Sekali lagi, bukan Paulus yang dapat menepuk dada atas segala kemampuannya. Ia sendiri menyatakannya demikian:
2 Kor 3:4-5 Demikianlah besarnya keyakinan kami kepada Allah oleh Kristus. Dengan diri kami sendiri kami tidak sanggup untuk memperhitungkan sesuatu seolah-olah pekerjaan kami sendiri; tidak, kesanggupan kami adalah pekerjaan Allah.
Kalau Allah bisa memakai seorang Saulus menjadi Paulus, maka Ia juga dapat memakai segala hal yang semula nampak buruk, mengancam, menjadi suatu kebaikan. Yang penting adalah kita tidak melupakan apa yang paling penting: kita tidak mengejar kekayaan (dan memakai 'tangan Tuhan' sebagai alat untuk mendapatkannya) dan kita mengakui bahwa semua yang ada dapat dipakai oleh TUHAN untuk melaksanakan maksud-Nya. Kita tidak berotoritas untuk menentukan apa kehendak Tuhan -- kalau melakukan seperti demikian, apa bedanya kita dengan dukun-dukun mistik yang bisa memakai 'kekuatan gaib' untuk mewujudkan apa yang mereka kehendaki? Sebaliknya, kita mengikuti jalan yang terbuka di depan kita, sambil tetap berpegang kepada prinsip-prinsip yang Tuhan berikan, memakai ukuran kebenaran yang berasal dari Firman Allah untuk memutuskan.
Jadi, bagaimana kita melihat tangan Allah bekerja dalam globalisasi? Satu hal yang tidak boleh kita lupakan adalah perintah Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya:
Mat 28:18-20 Yesus mendekati mereka dan berkata: "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."
Perintah ini berkaitan dengan globalisasi. Kata-kata "jadikanlah semua bangsa murid-Ku" telah merobohkan tembok-tembok pembatas, tidak ada lagi satu pun bangsa yang tidak layak atau tidak berhak menjadi murid Kristus. Perintah ini telah membawa Injil ke seluruh dunia, hingga saat ini kira-kira sepertiga umat manusia di bumi adalah orang yang mengaku sebagai pengikut Kristus, walau ada banyak sekali denominasi dan aliran dan agama. Tetapi, ini baru satu bagian pertama dari pesan-Nya. Bagian kedua adalah tentang pembaptisan -- suatu pernyataan seseorang telah meninggalkan kehidupan lamanya dan memasuki hidup baru serta menjadi anggota gereja. Bagian ketiga adalah penerapan standar perilaku yang Tuhan Yesus berikan, "ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu."
Dalam banyak aspek, kita bisa melihat bahwa apa yang terjadi dalam globalisasi sebenarnya cocok dengan jalan Tuhan. Seperti dahulu orang Romawi telah membuat jaringan jalan yang baik sehingga memajukan penyebaran Injil di seluruh kekaisaran Romawi, demikianlah hubungan yang tercipta dalam globalisasi memungkinkan kerja sama dan pengerjaan yang dahulu tidak pernah terpikirkan. Bayangkan, sekarang ini orang-orang dari berbagai tempat yang sangat berjauhan dapat berkolaborasi untuk mengadakan proyek penginjilan bersama. Teknologi komunikasi dan informasi membuat orang dapat mengirimkan pengajaran Kristen kepada berjuta-juta orang, dalam bentuk berita elektronik yang disebarkan melalui mailing list. Kerja sama juga memudahkan koordinasi terjadi, menyelaraskan aktivitas di berbagai-bagai belahan dunia secara instan. Sangat cepat dan langsung, karena sekarang orang dapat saling berkirim sms dari satu hp ke hp lain di negara dan benua yang berbeda.
Dalam globalisasi, memang dapat muncul individu-individu yang mempunyai pengaruh yang secara ekstrim mempengaruhi dunia, terutama di bidang ekonomi. Sekali lagi, kita perlu mengingat bahwa TUHAN sanggup menyentuh orang-orang semacam itu dan memakai mereka sesuai kehendak-Nya. Jadi, ketika sebagian orang merasa ngeri memikirkan bahwa globalisasi telah membuat beberapa orang menjadi 'raja' yang besar, kita dapat dengan yakin berpegang bahwa Tuhan dapat memakai 'raja' itu untuk melakukan apa yang Dia mau. Ini bukan sesuatu yang baru, sebenarnya kita sudah melihat bagaimana Allah memakai raja-raja besar jaman dahulu.
Ezr 1:1 Pada tahun pertama zaman Koresh, raja negeri Persia, TUHAN menggerakkan hati Koresh, raja Persia itu untuk menggenapkan firman yang diucapkan oleh Yeremia, sehingga disiarkan di seluruh kerajaan Koresh secara lisan dan tulisan pengumuman ini:
Pikirkanlah keunikan dari pernyataan ini: betapa seorang Koresh (Cyrus) penguasa kerajaan Persia yang besar dipakai TUHAN untuk menggenapkan firman seorang nabi dari sebuah bangsa yang kecil, yang tidak sampai sepersepuluh luas kerajaan Persia saat itu. Tidak ada alasan untuk meragukan kuasa Tuhan di atas semua penguasa-penguasa ini, maka Tuhan juga dapat diandalkan untuk mengendalikan para 'raja' di jaman sekarang, baik untuk memberkati maupun untuk mengutuki. Baik untuk memberi maupun untuk menghukum. Meninggikan atau merendahkan.
Mungkin kita bertanya-tanya, kenapa Tuhan membiarkan manusia menjadi susah karena globalisasi? Tetapi untuk pertanyaan ini, dapat juga ditanyakan, "mengapa tidak?" Ketika globalisasi terjadi, prestasi satu bangsa dengan bangsa lain dipertandingkan. Bangsa yang satu telah berusaha dengan lebih keras, lebih disiplin, lebih kreatif, bersedia memberikan lebih banyak. Bangsa yang lain bekerja lebih malas, lebih kacau, bekerja 'asal bapak senang', dan bersikap pelit serta penuh hitung-hitungan. Wajar bukan, jika bangsa yang pertama lebih berhasil daripada bangsa yang terakhir disebut?
Kita tidak bisa mengatakan, "Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung," karena kita tidak tahu hari esok. Kita tidak tahu, apakah kita masih dapat tetap hidup sehat serta berusaha sampai tahun depan. Kita tidak tahu, apakah kita dapat berdagang dan betul-betul menerima keuntungan. Bagaimana jika kita meninggal nanti malam? Bagaimana jika ternyata ada pesaing dari negara lain, yang mustahil kita lawan karena mempunyai struktur harga yang jauh berbeda? Tetapi satu hal yang dapat kita pegang adalah: tanggung jawab kita adalah melakukan apa yang seharusnya kita lakukan. Kita harus melakukan perbuatan baik yang dapat kita lakukan, karena:
Yak 4:17 Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa.
Di saat kita menerapkan nilai-nilai yang Tuhan berikan, maka kita telah mempunyai kunci untuk menjangkau seluruh dunia karena di sanalah ada kuasa Tuhan, sesuai dengan perintah-Nya. Ambil saja contoh tentang kesetaraan, misalnya. Isu kesetaraan telah lama menjadi isu global, antara negara-negara utara dan negara-negara selatan, antara ras kulit putih dan ras kulit berwarna, dan kalau disarikan dari semuanya: antara si kaya (utara, kulit putih) dan si miskin (selatan, kulit berwarna).. Firman Tuhan melalui Yakobus menegaskan bahwa pemisahan seperti itu merupakan pelanggaran:
Yak 2:9 Tetapi, jikalau kamu memandang muka, kamu berbuat dosa, dan oleh hukum itu menjadi nyata, bahwa kamu melakukan pelanggaran.
Kita lihat, Firman Tuhan sudah lebih dahulu memberikan prinsip untuk bersikap. Ketika sikap ini dilakukan dalam konteks global, maka banyak hal yang muncul. Saat ini hampir semua teori-teori kesuksesan yang benar-benar teruji ternyata berkaitan dengan prinsip Firman Tuhan. Dalam pemasaran misalnya, kita mengenal High Trust Selling, oleh Todd Duncan. Dengan mudah kita menghubungkan teorinya dengan prinsip-prinsip Alkitab. Tak heran jika tokoh Kristen seperti John C. Maxwell telah menjadi pengajar Pemimpin yang terkemuka di dunia, di mana caranya bukan saja dipakai oleh orang Kristen, melainkan oleh semua kalangan. Prinsip Firman Allah itu benar dan efektif, nilai-nilainya meningkatkan hakekat dari segala sesuatu yang berhubungan.
Saya percaya, untuk mengatasi efek buruk dari globalisasi, orang Kristen justru harus masuk dan memanfaatkan semua hal. Orang Kristen harus bersedia masuk dalam perdagangan global, memasuki politik global, turut menangani isu-isu global. Orang Kristen dapat melakukan banyak hal baik dalam globalisasi, dan sudah semestinya kita melakukan apa yang Tuhan mau! Mungkin ada yang berkata, bahwa dalam globalisasi ada banyak yang tidak melakukan hal-hal benar, sebaliknya penuh tipu muslihat dan kejahatan. Benar, tapi tidak ada yang mengharuskan orang bertindak buruk dalam globalisasi. Orang yang percaya dapat menerapkan standar nilainya sendiri! Tidak ada yang dapat memaksa kita untuk melakukan diskriminasi, misalnya, atau mengharuskan kita mengambil untung berlebihan, atau menyuruh kita melakukan dumping harga untuk merebut pangsa pasar yang lebih besar. Semua adalah keputusan kita sendiri. Kita dapat berkawan dengan mereka yang menyimpang, tetapi kita pun dapat melawan mereka yang berbuat kejahatan.
Apakah mudah dan sederhana? Tidak, kompleksitas globalisasi membuat segala hal saling berhubungan secara rumit. Banyak pertimbangan yang harus dilakukan, tidak jarang yang terjadi adalah pilihan "yang terbaik di antara yang jelek-jelek". Namun, sekali lagi bukan kita yang menjadi penentu, bukan kita yang sanggup sendiri berjuang. Karena kesanggupan kita adalah pekerjaan Allah, maka selama kita berkomitmen untuk memenuhi prinsip dan nilai dari Tuhan, Dia akan menyediakan segala yang kita perlukan, termasuk hikmat untuk mengatasi segala persoalan. Jadi, tidak ada masalah tentang kesanggupan -- dan dengan begitu, masalahnya tinggal ini: Apakah kita mau melakukannya?
Kalau mau, mari belajar bersama-sama, mari berjuang bersama-sama!
Salam kasih,
Donny
Powered by Qumana