Ketika seluruh dunia terhubung menjadi satu pasar yang sangat besar, ada beberapa hal yang terjadi. Yang pertama, arus uang semakin cepat berpindah. Dana dari satu benua dapat berpindah ke benua lain dalam hitungan detik, dan beberapa jam kemudian dapat terus berpindah lagi. Yang kedua, arus barang pun berpindah dengan cepat. Hasil tambang, hasil hutan, hasil perkebunan dari Indonesia berpindah ke negara lain, ke benua lain dalam hitungan hari. Barang produksi dari Cina, dari India, dari Amerika Selatan, sekarang memenuhi pasar-pasar di Indonesia.
Bukan hanya uang dan barang, tetapi manusia pun berpindah. Tenaga kerja dari Indonesia kini sudah dikirim ke berbagai penjuru -- sayangnya dengan status sebagai pembantu. Sebaliknya, banyak para ahli dari luar negeri, para expatriates, dibayar mahal untuk bekerja di Indonesia. Perusahaan - perusahaan di Indonesia semakin banyak yang dimanajemeni orang asing, karena kepemilikan asing bertambah. Seperti di dalam perbankan, hari ini agak susah menemukan bank besar yang masih secara mayoritas dimiliki orang Indonesia, dengan manajer puncak orang Indonesia.
Dengan segala pertukaran-pertukaran itu, kita melihat roda ekonomi yang lebih cepat berputar. Pabrik-pabrik bekerja dengan kapasitas yang lebih tinggi. Jumlah transaksi penjualan meningkat. GNP dan GDP tiap tahun bertambah, bahkan di negara-negara berkembang pertumbuhan ekonominya secara konstan selalu di atas 5%. Di Cina, dalam beberapa tahun terakhir ini pertumbuhan industrinya hampir mencapai 30%, sangat besar! Kita bisa melihat bagaimana pertumbuhan infrastruktur di Cina -- jalan tol, gedung pabrik, kantor pencakar langit -- bertumbuhan dengan kecepatan yang tidak terbayangkan.
Dengan semua pertumbuhan, apakah kesejahteraan juga dibagi semakin merata? Sayang sekali. Tidak.
Globalisasi bukan meningkatkan pemerataan kesejahteraan, sebaliknya dalam globalisasi terjadi individualisasi. Ketika orang saling terhubung satu sama lain, semakin hari semakin kentara bahwa hubungan yang terjadi bukan hubungan setara. Perlahan tapi pasti, sumber-sumber daya tertarik -- seperti oleh gravitasi -- ke individu-individu yang mempunyai kelebihan di atas mayoritas. Di dalam satu atau dua bidang, orang bisa mencapai suatu posisi yang tinggi sekali, sehingga banyak orang lain mengikutinya. Kelebihan mereka menjadi inspirasi bagi orang lain; mereka bilang, "cara paling cepat untuk sukses adalah mengikuti dan meniru orang sukses." Mereka menjadi raja jaman sekarang, menjadi idol yang diikuti banyak orang. Kita bisa membaca satu artikel tentang orang-orang ini dalam majalah Newsweek, 29 Oktober 2007, "Power Brokers" oleh Diana Farrell dan Susan Lund.
Sekarang, apa bedanya antara tokoh-tokoh tadi dengan raja-raja di jaman dahulu kala, yang selama berabad-abad mengatur kehidupan orang? Para raja jaman dahulu menjadi penguasa atas segala hal dalam kehidupan rakyatnya. Mereka harus peduli, harus memikirkan segala aspek -- sumber penghasilan, hubungan sosial, agama, politik, kekuatan militer, pendidikan, kesehatan, teknologi... semua. Seorang raja atau ratu yang baik harus menjaga keseimbangan dalam segala sesuatu yang diaturnya. Ia bertanggung jawab mengendalikan hidup rakyat. Maka rakyatnya akan datang dan menyerahkan segala urusan untuk diatur oleh sang penguasa.
Tidak demikian halnya dengan "raja" jaman sekarang, yang menjadi penguasa dalam bidang tertentu. Di saat posisi 'raja' secara tradisional tidak lagi populer, orang ingin menjadi 'raja' dalam bidang yang lebih sempit. Ada raja minyak. Raja kayu. Raja mobil. Raja pasar saham. Juga raja rock n' roll! Tentu saja, sebutan 'raja' di sini hanya figuratif, suatu gambaran, bahwa orang ini berkuasa dan punya sumber yang lebih besar daripada kebanyakan orang biasa. Sebagai tokoh di bidangnya, ia tidak dituntut untuk menguasai hal lain. Tidak bertanggung jawab untuk hidup 'rakyatnya', para penggemar yang secara fanatik mengidolakan, atau memimpikan, sesuatu yang mereka sampaikan. Bukankah orang jaman sekarang banyak dihidupi oleh mimpi?
Kekuasaan yang timbul di sekitar diri seseorang atau sekelompok tertentu membuat semua hal lain hanya menjadi alat, menjadi objek, yang kegunaannya adalah sebatas kesanggupan mereka memenuhi keinginan sang penguasa. Tentu, di luarnya tidak dinyatakan secara eksplisit demikian; sebaliknya yang disampaikan adalah 'kebaikan bagi semua pihak'. Ya, memang baik bila semua pihak membantu sang penguasa, bukan? Jadi, yang menjadi pekerja akan bekerja membanting tulang, seringkali dengan suatu impian yang besar, untuk memenuhi apa yang diharapkan sang tokoh yang diidolakannya. Si 'pekerja' di sini bisa diganti dengan orang lain. Mungkin, ia adalah seorang tenaga penjual. Atau buruh. Atau petani. Atau nelayan. Atau pekerja tambang.
Atau, saya dan Anda. Dan kemungkinan besar, orang tidak menyadarinya karena kita semua ada di dalam 'sistem'. Kita ada di dalam 'sistem' untuk mencapai impian kita, sesuatu yang dipercaya menghasilkan apa yang kita harapkan, walaupun dalam kenyataannya yang sungguh-sungguh diuntungkan adalah sekelompok kecil orang 'tokoh' yang mungkin tidak pernah kita kenal. Tokoh yang begitu hebat, begitu mendunia... dan mungkin ia bahkan tidak tinggal di Indonesia. Dan kita masih berpikir bahwa globalisasi itu baik dalam banyak segi!
Dalam globalisasi, golongan yang paling tertekan sebenarnya adalah golongan kelas menengah. Kelompok ini terdiri dari orang-orang yang "ke atas belum punya kuasa, di bawah tidak lagi punya massa". Sementara ini, kebanyakan kelompok kelas menengah berharap kepada sistem yang digambarkan akan memberi 'kebaikan bagi semua pihak'. Karena itu, golongan ini dengan senang hati membantu tokoh-tokoh kelas atas memenuhi segala yang mereka inginkan, bahkan dengan sukarela berkolaborasi untuk menekan golongan kelas bawah. Mereka menjadi perisai bagi tokoh-tokoh 'besar' ini, bersedia setia dan taat sampai habis-habisan, dengan harapan bahwa 'sistem' yang ada akan menjamin kehidupan mereka kelak.
Saya dengan berat hati mengatakan, bahwa sangat mungkin harapan itu sia-sia.
Itulah sebabnya, sampai hari ini rakyat Indonesia masih berjungkir balik membanting tulang, sementara kelihatannya sistem yang ada masih belum memihak mereka. Ya, karena golongan menengah, termasuk yang duduk dalam pemerintahan, masih dengan setia menjadi bagian dan alat bagi tokoh-tokoh di negeri ini, yang barangkali nyaris tidak pernah disebut namanya di koran. Ya, karena kita pun yang menjadi golongan menengah ternyata di saat yang sama mengkritik sekaligus mendukung kondisi yang ada. Kita sudah lihat orang-orang yang semula mengkritik, ternyata turut melakukan apa yang dikritiknya ketika ia memangku jabatan.
Maka, agak terlalu jauh jika kita membahas bagaimana menyelesaikan masalah orang-orang yang diperalat, yang menjadi objek, yaitu kaum marginal yang ada di bawah. Kebanyakan kita berbicara tentang memberi mereka pendidikan yang lebih tinggi, karakter yang lebih baik, agar mereka bisa naik kelas menjadi golongan menengah... yang kemudian menjadi pengikut tokoh di atas, lantas berbalik menekan kaumnya, seperti kacang lupa kulitnya. Ironi, ketika seorang anak desa setelah menjadi pejabat malah berbalik menekan orang desa, demi mematuhi seorang tokoh di ibu kota yang tidak pernah menginjakkan kaki di desanya (dan tentu saja, sebenarnya tidak pernah peduli pada nasib orang desa yang tidak pernah dilihatnya).
Lantas, apa solusinya?
Sejujurnya, saya tidak melihat adanya sebuah solusi sederhana bagi sebuah masalah yang kompleks. Tapi, kalau kita bisa lebih baik mendefinisikan masalah maka kita sudah ada dalam arah yang benar untuk memperbaiki keadaan. Kemudian, yang lebih mungkin adalah membuat pengkajian yang lebih detil tentang situasinya, sehingga kompleksitasnya bisa dikurangi dengan melihat dalam skala yang lebih kecil, dalam sebuah konteks yang terlihat batasannya. Dan faktor kuncinya adalah menerapkan prinsip-prinsip yang benar, kebenaran yang absolut.
Peran orang Kristen, saya yakin, adalah menjadi pembawa kebenaran mutlak ini, karena hanya kita yang memiliki kebenaran. Dan, kebenaran itu akan membebaskan kita... Tuhan memberkati!
Salam kasih,
Donny
Powered by Qumana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar