Bulan Februari ini nampaknya ditutup dengan posisi yang tidak menggembirakan. Namun, kita harus bersiap diri, karena hari Kamis kemarin (19/02/2009), indeks Dow Jones di Wallstreet jatuh, bahkan melewati tingkat di bulan November 2008 yang oleh banyak orang diharapkan menjadi dasar alias bottom line dari pasar. Kejatuhan terendah dalam 6 tahun terakhir ini membuat guncangan secara psikologis, karena indeks Dow dipandang sebagai barometer perekonomian Amerika. Bagaimanapun, resesi Amerika telah berlangsung 14 bulan dan keadaan tidak nampak membaik, walaupun pemerintahan Obama sudah meluncurkan dua paket stimulus.
Di Indonesia sendiri, defisit APBN 2009 naik menjadi 2,6% (katanya "untuk menyelamatkan perekonomian nasional"). Asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia direvisi menjadi 4,5%. Nilai tukar Rupiah kini di kisaran Rp 11,900; meski pagi saat saya menulis ini sempat masuk ke angka Rp. 11,975. Bagusnya, cadangan devisa kita akhir januari 2009 masih US$ 50,87 Miliar. Sementara itu, pasar saham Indonesia masih bergerak menyamping, seperti terlihat pada chart berikut:
IHSG chart
Dari sini nampak bahwa investor di Indonesia masih bersikap menunggu, dengan nilai transaksi yang terbatas. Keadaan di Amerika dan Eropa yang tarik ulur antara resesi dengan paket stimulus membuat orang memilih untuk diam dan melihat hasil.
Dengan kondisi ini, secara umum segmen masyarakat bisa dikelompokkan dalam tiga bagian. Yang pertama adalah kelompok bawah yang tidak mempunyai sumber produktifitas dan cadangan dana, yang saat ini masih mengandalkan gaji bulanan untuk menunjang hidupnya. Bagi kelompok ini, sekalipun sekarang posisinya adalah manager, keamanan finansial mereka sangat terancam.
Yang kedua adalah kelompok yang masih punya dana dan masih tetap suka berinvestasi walaupun tingkat resiko tinggi. Tapi jumlah orang-orang seperti ini semakin sedikit. Terlihat transaksi di bursa forex belakangan semakin menurun.
Yang ketiga adalah kelompok masyarakat yang sekarang menahan dananya dan memilih untuk menunggu. Mereka mempunyai dana yang sekarang masih berdiam di perbankan (catatan akhir tahun BI: uang pihak ketiga di perbankan masih sekitar Rp. 1750 Triliun). Bank besar seperti Citibank baru-baru ini meluncurkan program obligasi dalam US$ untuk menjaring pelanggan semacam ini, dengan nominal minimal USD 50,000. Mungkin kelihatan besar, tapi nyatanya peminatnya ada juga, terutama dengan dasar "keamanan" karena obligasi pemerintah termasuk risk-free investment. Dengan tingkat yield mencapai 6%, tidak sedikit yang memilihnya -- apalagi produk ini jadi termasuk off-shore karena dilisting di luar negeri. Pilihan produk off-shore memang menarik. Pertanyaannya: apakah kita sendiri tidak lantas berusaha juga memperoleh bagian dari pasar ini?
Pasar seperti ini relatif lebih tertutup untuk kelas-kelas investasi semacam unit link yang unsur biayanya tinggi oleh premi asuransi. Pilihan yang lebih disukai saat ini adalah yang sepenuhnya asuransi; karena ada kebutuhan untuk mengamankan diri dari resiko. Di saat seperti ini, resiko harus dihadapi dengan lebih sukar tanpa pengamanan yang memadai. Bagi pemilik dana yang menginginkan tingkat keamanan lebih tinggi, pilihan seperti asuransi memberikan kepastian. Disamping itu, pengelola dana yang berkompeten seperti Schroders memberikan kenyamanan lebih baik daripada semua penawaran unit link lain yang masih dikelola perusahaan asuransi sendiri, dengan total aset kelolaan yang lebih kecil. Aset kelolaan yang kecil mempunyai tingkat resiko yang lebih tinggi, karena diversifikasi yang lebih terbatas.
Pilihan lainnya adalah membuat perencanaan jangka panjang. Kita mengenal teknik dasar dalam berinvestasi seperti pemerataan - unit averaging. Karena orang tidak tahu seperti apa keadaan besok, jadi lebih baik berinvestasi secara teratur untuk memperoleh jumlah unit lebih banyak jika terjadi penurunan NAB. Sementara, jika terjadi kenaikan NAB, orang tetap bisa mendapatkan keuntungan dari unit yang sudah diperoleh sebelumnya. Memang perhitungan itu nampaknya tidak menarik dalam situasi di mana NAB selalu naik, seperti yang terjadi dalam 5 tahun terakhir.
Dalam situasi seperti sekarang, di mana nilai unit turun, nampaknya strategi investasi ini lebih baik dan mudah diterima. Kita bisa menawarkan untuk menyajikan perhitungan dengan jumlah top-up terjadwal yang jauh lebih besar. Sayangnya, illustrasi yang ada tidak mungkin menggambarkan keadaan ini, karena illustrasi dibuat dengan asumsi kenaikan yang terus menerus dari hasil investasi, seperti perhitungan bunga bank. Illustrasi semacam ini sama sekali tidak mendekati realita investasi yang sebenarnya. Seperti yang sering saya katakan, hati-hatilah dengan illustrasi karena apa yang digambarkan di sana PASTI SALAH dan tidak sesuai kenyataan. Dalam kenyataannya, investasi sama sekali tidak menjanjikan tingkat bunga tertentu, bahkan yang paling stabil dari bank pun akan turun naik dalam kurun waktu yang panjang.
Ketika kita berinvestasi, atau mengajak nasabah berinvestasi, ingatlah bahwa jangka waktu investasi adalah jangka panjang. Untuk jangka pendek, kita bisa menawarkan pilihan-pilihan switching ke cash fund -- hanya dalam waktu singkat untuk mempertahankan nilai unit dalam periode terbatas terhadap penurunan drastis. Saat ini, kita mengharapkan tidak melihat lagi penurunan drastis nilai unit, karena itu berarti penurunan drastis IHSG yang sudah turun rendah. Hanya bagi orang yang sudah lama berinvestasi, jenis cash fund menjadi 'sekoci penyelamat' dari kehilangan nilai. Bagi orang yang baru berinvestasi, pilihan terbaik tetap ada di equity (kalau orangnya agresif) dan managed (kalau orangnya moderat-konservatif).
Kunci lain dari investasi adalah diversifikasi. Ada baiknya orang diberi pilihan untuk melakukan diversifikasi sendiri, mengambil beberapa jenis fund, bahkan mengambil dua polis; yang satu unit link dan yang lain asuransi yang konvensional. Pilihan-pilihan ini membagi resiko, sehingga terhindar dari kondisi yang fatal dari kesalahan investasi secara total di satu tempat.
Bagaimana ekonomi Indonesia beberapa waktu ke depan? Tidak ada yang tahu. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk bergegas meraih peluang, cepat-cepat memberikan penawaran -- sebelum nasabah jatuh dalam kepanikan ekonomi yang bisa terjadi jika terjadi pengelolaan keuangan yang keliru dari pemerintah. Sesuatu yang harus dipertimbangkan, berkaitan dengan pemilu yang menyita perhatian pengambil keputusan dari situasi global yang tidak menentu.
Dan yang penting, tetaplah berdoa.
Donny A. Wiguna, ST, MA, CFP® QWP® AEPP® QFE. Perencana Keuangan Profesional. Pengajar Keuangan. Pengikut Kristus.
Cari Blog Ini
20 Februari 2009
04 Februari 2009
Manajemen Masa Sulit
Akhir dari bulan Januari 2009 ditutup dengan berita dari BPS, bahwa di bulan ini terjadi deflasi sebesar 0.07%. Ini adalah angka yang lebih besar daripada deflasi Desember, sebesar 0.04%. Beberapa orang bersorak karena deflasi berarti harga-harga turun. Akhirnya! Penurunan harga ini tentunya juga akan menurunkan BI Rate lebih lanjut lagi, sehingga suku bunga kredit turun. Berita baik untuk mereka yang sedang mencicil rumah atau mobil, atau mereka yang ingin mengambil kredit untuk biaya pendidikan. Lebih bagus, karena dengan tingkat suku bunga yang menurun, tentunya lebih mudah dan murah mendapatkan apa yang kita inginkan.
Di sisi lain, berita-berita tentang pemutusan hubungan kerja mulai menjadi perhatian. Di Amerika, Wall Street turun setelah diungkapkan ada lebih dari 500 ribu orang di PHK, dengan estimasi tahun ini lebih dari 3 juta orang kehilangan pekerjaan. Kita dengar perusahaan yang semula sangat kuat seperti Microsoft pun memangkas 5000 orang tenaga kerjanya. Di Eropa, tingkat pengangguran mencapai 8%. Di Jepang, perusahaan NEC dan Hitachi memutuskan 27000 karyawan, menambah deretan panjang penganggur -- sekarang ini orang Jepang mulai mencari pekerjaan di Cina. Namun di Cina pun terjadi penutupan banyak -- puluhan ribu -- perusahaan yang tutup karena tidak lagi mendapatkan order dari AS dan Eropa. Banyak perusahaan di Cina mempunyai masalah dengan kapasitas besar yang tidak terpakai di industri mereka.
Semua hal ini berkaitan dengan penurunan Produk Domestik Bruto (GDP) dari AS yang sangat parah, demikian juga Jepang, Uni Eropa, Singapura, New Zealand, dan sejumlah negara lain. Di balik angka-angka ini, yang kita lihat adalah menghilangnya produktivitas dari masyarakat negara maju. Hal ini terjadi karena tidak ada lagi 'pengungkit' (leverage) yang selama ini tinggi dan berlebihan atas produk dan jasa. Segala sesuatu yang semula bisa dijual dengan harga premium dengan margin keuntungan tinggi, sekarang harus menerima kenyataan bahwa harga wajar tidaklah setinggi itu. Artinya harus ada pemangkasan margin, sehingga nilai produktivitas usaha menurun.
Masalahnya, dalam banyak hal perencanaan keuangan dibuat dengan asumsi margin tertentu dan perputaran tertentu. Ketika harga turun, biaya-biaya tidak bisa serta merta diturunkan. Gaji pegawai, biaya sewa, dan biaya jasa tidak bisa langsung dipangkas. Langkah pengurangan biaya dengan memangkas biaya dan tenaga kerja akan menghilangkan banyak keunggulan inti, yang mengurangi kemampuan usaha untuk kembali bangkit di masa depan. Tetapi toh nyatanya pemutusan hubungan kerja masih terus terjadi. Untuk sementara, memang tindakan ini membuat posisi neraca dan rugi laba perusahaan menjadi lebih baik dan berakibat kenaikan sahamnya. Kita melihat efek-efek ini terjadi di hari-hari ini.
Sementara itu, pukulan kepada sektor riil menjadi lebih keras dan sukar untuk diatasi. Bagi para pelaku usaha yang konvensional dan tidak memiliki keunggulan yang spesifik, terutama yang berorientasi ekspor, krisis global kali ini terasa sangat berat. Pasar kita masih terselamatkan dengan adanya konsumsi domestik yang besar, walaupun sekarang ini mengalami penurunan daya beli. Bagaimana kita dapat memanajemen bisnis selama masa sulit seperti sekarang ini?
Pertama-tama, kita melihat bahwa di antara berbagai pasar dunia, pasar komoditas masih tetap aktif. Produk komoditas merupakan produk fundamental yang tetap dibutuhkan, walaupun keadaan finansial buruk. Indonesia menerima anugerah dengan banyaknya komoditas yang dihasilkan, sehingga memungkinkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Dari produk komoditas pertanian dan pertambangan, kita masih bisa mengharapkan pertumbuhan PDB di tahun 2009. Selain itu, kegiatan pembangunan juga masih sangat banyak -- justru masalahnya adalah daerah yang terlambat membangun, sehingga dana pembangunan bertumpuk di SBI. Jika pengelolaannya diperbaiki, pembangunan yang dilakukan akan meningkatkan perputaran ekonomi. Masih ada peluang pengembangan domestik yang besar.
Yang kedua, untuk mendorong pertumbuhan usaha domestik, Bank Indonesia telah melonggarkan kebijakan pemberian kredit. Sinyal yang diberikan adalah agar orang kembali mengambil kredit usaha untuk menggerakkan perekonomian - walaupun di sisi lain bank sekarang sangat berhati-hati menyalurkan kreditnya. Dalam usaha menengah - kecil, seringkali yang dijadikan jaminan adalah diri pribadi pemilik beserta kekayaannya. Dari sini kita dapat lihat bahwa kebutuhan pengelolaan resiko menjadi semakin penting, karena menentukan bagaimana dana dapat diperoleh dari sumber-sumber finansial.
Yang ketiga, dengan UU Pajak yang baru, kini semua pihak perlu memikirkan pengelolaan kekayaannya dan menghindari pungutan pajak yang berlebihan, terutama untuk masa depannya. Untuk jangka panjang yang pasti, sarana yang diberikan asuransi memungkinkan orang untuk menabung demi masa depan dengan tidak dikenai pajak, sehingga dapat melebihi inflasi yang mungkin terjadi. Manajemen di masa sulit kini tidak bisa terlepas dari produk asuransi yang memberikan perlindungan dan kebebasan dari pajak, dengan cara yang sah dan diijinkan.
Manajemen masa sulit membawa kita pada berbagai potensi-potensi yang ada di wilayah, dan mungkin mulai dari sekarang kita perlu memperhatikan pertumbuhan ekonomi di sentra-sentra produksi komoditas. Pertumbuhan ini akan dipacu lebih cepat dengan aliran dana kredit usaha dan dana pembangunan daerah. Orang-orang akan semakin membutuhkan produk asuransi dan investasi untuk menyeimbangkan hasil dan resiko usahanya.
Selain itu, bisnis juga membutuhkan jaringan kerja sama yang lebih luas, di mana usaha harus dikerjakan dengan kerja tim. Semakin besar wilayahnya, semakin banyak pula orang yang harus terlibat. Itu berarti dibutuhkan komunikasi yang baik, yang dimungkinkan oleh teknologi. Kondisi sulit membutuhkan juga produk yang memberikan jaminan dan kepastian -- berarti lebih banyak produk asuransi whole life. Jika orang masih menginginkan juga pertumbuhan yang baik, produk ini bisa dikombinasi dengan unit link yang preminya tunggal (misalnya, dalam Sequislife ada Smart Investor dan Investor Plus).
Kita perlu secara aktif melihat kebutuhan-kebutuhan para investor di Indonesia dan orang-orang yang mulai mengelola perusahaan mereka. Dengan memberikan perlindungan yang baik, mereka dapat berusaha lebih baik melalui masa sulit. Sebaliknya, jika mereka tidak mempunyai perencanaan yang memadai serta proteksi untuk menghadapi musibah yang mendadak terjadi, justru orang-orang yang memulai usaha akan menjadi semakin sukar karena tidak mempunyai banyak cadangan yang bisa menanggung beban kehidupan mereka. Dengan kebijakan pemerintah, kita melihat kesempatan yang justru semakin besar di tahun 2009 ini.
Pertanyaannya: apakah dengan adanya krisis ini kita melihat segala sesuatu dengan kacamata pesimis, atau justru kita bisa memandang terbukanya kesempatan-kesempatan yang tidak pernah muncul dalam situasi biasa?
Di sisi lain, berita-berita tentang pemutusan hubungan kerja mulai menjadi perhatian. Di Amerika, Wall Street turun setelah diungkapkan ada lebih dari 500 ribu orang di PHK, dengan estimasi tahun ini lebih dari 3 juta orang kehilangan pekerjaan. Kita dengar perusahaan yang semula sangat kuat seperti Microsoft pun memangkas 5000 orang tenaga kerjanya. Di Eropa, tingkat pengangguran mencapai 8%. Di Jepang, perusahaan NEC dan Hitachi memutuskan 27000 karyawan, menambah deretan panjang penganggur -- sekarang ini orang Jepang mulai mencari pekerjaan di Cina. Namun di Cina pun terjadi penutupan banyak -- puluhan ribu -- perusahaan yang tutup karena tidak lagi mendapatkan order dari AS dan Eropa. Banyak perusahaan di Cina mempunyai masalah dengan kapasitas besar yang tidak terpakai di industri mereka.
Semua hal ini berkaitan dengan penurunan Produk Domestik Bruto (GDP) dari AS yang sangat parah, demikian juga Jepang, Uni Eropa, Singapura, New Zealand, dan sejumlah negara lain. Di balik angka-angka ini, yang kita lihat adalah menghilangnya produktivitas dari masyarakat negara maju. Hal ini terjadi karena tidak ada lagi 'pengungkit' (leverage) yang selama ini tinggi dan berlebihan atas produk dan jasa. Segala sesuatu yang semula bisa dijual dengan harga premium dengan margin keuntungan tinggi, sekarang harus menerima kenyataan bahwa harga wajar tidaklah setinggi itu. Artinya harus ada pemangkasan margin, sehingga nilai produktivitas usaha menurun.
Masalahnya, dalam banyak hal perencanaan keuangan dibuat dengan asumsi margin tertentu dan perputaran tertentu. Ketika harga turun, biaya-biaya tidak bisa serta merta diturunkan. Gaji pegawai, biaya sewa, dan biaya jasa tidak bisa langsung dipangkas. Langkah pengurangan biaya dengan memangkas biaya dan tenaga kerja akan menghilangkan banyak keunggulan inti, yang mengurangi kemampuan usaha untuk kembali bangkit di masa depan. Tetapi toh nyatanya pemutusan hubungan kerja masih terus terjadi. Untuk sementara, memang tindakan ini membuat posisi neraca dan rugi laba perusahaan menjadi lebih baik dan berakibat kenaikan sahamnya. Kita melihat efek-efek ini terjadi di hari-hari ini.
Sementara itu, pukulan kepada sektor riil menjadi lebih keras dan sukar untuk diatasi. Bagi para pelaku usaha yang konvensional dan tidak memiliki keunggulan yang spesifik, terutama yang berorientasi ekspor, krisis global kali ini terasa sangat berat. Pasar kita masih terselamatkan dengan adanya konsumsi domestik yang besar, walaupun sekarang ini mengalami penurunan daya beli. Bagaimana kita dapat memanajemen bisnis selama masa sulit seperti sekarang ini?
Pertama-tama, kita melihat bahwa di antara berbagai pasar dunia, pasar komoditas masih tetap aktif. Produk komoditas merupakan produk fundamental yang tetap dibutuhkan, walaupun keadaan finansial buruk. Indonesia menerima anugerah dengan banyaknya komoditas yang dihasilkan, sehingga memungkinkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Dari produk komoditas pertanian dan pertambangan, kita masih bisa mengharapkan pertumbuhan PDB di tahun 2009. Selain itu, kegiatan pembangunan juga masih sangat banyak -- justru masalahnya adalah daerah yang terlambat membangun, sehingga dana pembangunan bertumpuk di SBI. Jika pengelolaannya diperbaiki, pembangunan yang dilakukan akan meningkatkan perputaran ekonomi. Masih ada peluang pengembangan domestik yang besar.
Yang kedua, untuk mendorong pertumbuhan usaha domestik, Bank Indonesia telah melonggarkan kebijakan pemberian kredit. Sinyal yang diberikan adalah agar orang kembali mengambil kredit usaha untuk menggerakkan perekonomian - walaupun di sisi lain bank sekarang sangat berhati-hati menyalurkan kreditnya. Dalam usaha menengah - kecil, seringkali yang dijadikan jaminan adalah diri pribadi pemilik beserta kekayaannya. Dari sini kita dapat lihat bahwa kebutuhan pengelolaan resiko menjadi semakin penting, karena menentukan bagaimana dana dapat diperoleh dari sumber-sumber finansial.
Yang ketiga, dengan UU Pajak yang baru, kini semua pihak perlu memikirkan pengelolaan kekayaannya dan menghindari pungutan pajak yang berlebihan, terutama untuk masa depannya. Untuk jangka panjang yang pasti, sarana yang diberikan asuransi memungkinkan orang untuk menabung demi masa depan dengan tidak dikenai pajak, sehingga dapat melebihi inflasi yang mungkin terjadi. Manajemen di masa sulit kini tidak bisa terlepas dari produk asuransi yang memberikan perlindungan dan kebebasan dari pajak, dengan cara yang sah dan diijinkan.
Manajemen masa sulit membawa kita pada berbagai potensi-potensi yang ada di wilayah, dan mungkin mulai dari sekarang kita perlu memperhatikan pertumbuhan ekonomi di sentra-sentra produksi komoditas. Pertumbuhan ini akan dipacu lebih cepat dengan aliran dana kredit usaha dan dana pembangunan daerah. Orang-orang akan semakin membutuhkan produk asuransi dan investasi untuk menyeimbangkan hasil dan resiko usahanya.
Selain itu, bisnis juga membutuhkan jaringan kerja sama yang lebih luas, di mana usaha harus dikerjakan dengan kerja tim. Semakin besar wilayahnya, semakin banyak pula orang yang harus terlibat. Itu berarti dibutuhkan komunikasi yang baik, yang dimungkinkan oleh teknologi. Kondisi sulit membutuhkan juga produk yang memberikan jaminan dan kepastian -- berarti lebih banyak produk asuransi whole life. Jika orang masih menginginkan juga pertumbuhan yang baik, produk ini bisa dikombinasi dengan unit link yang preminya tunggal (misalnya, dalam Sequislife ada Smart Investor dan Investor Plus).
Kita perlu secara aktif melihat kebutuhan-kebutuhan para investor di Indonesia dan orang-orang yang mulai mengelola perusahaan mereka. Dengan memberikan perlindungan yang baik, mereka dapat berusaha lebih baik melalui masa sulit. Sebaliknya, jika mereka tidak mempunyai perencanaan yang memadai serta proteksi untuk menghadapi musibah yang mendadak terjadi, justru orang-orang yang memulai usaha akan menjadi semakin sukar karena tidak mempunyai banyak cadangan yang bisa menanggung beban kehidupan mereka. Dengan kebijakan pemerintah, kita melihat kesempatan yang justru semakin besar di tahun 2009 ini.
Pertanyaannya: apakah dengan adanya krisis ini kita melihat segala sesuatu dengan kacamata pesimis, atau justru kita bisa memandang terbukanya kesempatan-kesempatan yang tidak pernah muncul dalam situasi biasa?
Langganan:
Postingan (Atom)