Cari Blog Ini

20 Februari 2009

"Breaking" News - Siap-Siap Sajalah Dan Berdoa

Bulan Februari ini nampaknya ditutup dengan posisi yang tidak menggembirakan. Namun, kita harus bersiap diri, karena hari Kamis kemarin (19/02/2009), indeks Dow Jones di Wallstreet jatuh, bahkan melewati tingkat di bulan November 2008 yang oleh banyak orang diharapkan menjadi dasar alias bottom line dari pasar. Kejatuhan terendah dalam 6 tahun terakhir ini membuat guncangan secara psikologis, karena indeks Dow dipandang sebagai barometer perekonomian Amerika. Bagaimanapun, resesi Amerika telah berlangsung 14 bulan dan keadaan tidak nampak membaik, walaupun pemerintahan Obama sudah meluncurkan dua paket stimulus.

Di Indonesia sendiri, defisit APBN 2009 naik menjadi 2,6% (katanya "untuk menyelamatkan perekonomian nasional"). Asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia direvisi menjadi 4,5%. Nilai tukar Rupiah kini di kisaran Rp 11,900; meski pagi saat saya menulis ini sempat masuk ke angka Rp. 11,975. Bagusnya, cadangan devisa kita akhir januari 2009 masih US$ 50,87 Miliar. Sementara itu, pasar saham Indonesia masih bergerak menyamping, seperti terlihat pada chart berikut:

IHSG chart

Dari sini nampak bahwa investor di Indonesia masih bersikap menunggu, dengan nilai transaksi yang terbatas. Keadaan di Amerika dan Eropa yang tarik ulur antara resesi dengan paket stimulus membuat orang memilih untuk diam dan melihat hasil.

Dengan kondisi ini, secara umum segmen masyarakat bisa dikelompokkan dalam tiga bagian. Yang pertama adalah kelompok bawah yang tidak mempunyai sumber produktifitas dan cadangan dana, yang saat ini masih mengandalkan gaji bulanan untuk menunjang hidupnya. Bagi kelompok ini, sekalipun sekarang posisinya adalah manager, keamanan finansial mereka sangat terancam.

Yang kedua adalah kelompok yang masih punya dana dan masih tetap suka berinvestasi walaupun tingkat resiko tinggi. Tapi jumlah orang-orang seperti ini semakin sedikit. Terlihat transaksi di bursa forex belakangan semakin menurun.

Yang ketiga adalah kelompok masyarakat yang sekarang menahan dananya dan memilih untuk menunggu. Mereka mempunyai dana yang sekarang masih berdiam di perbankan (catatan akhir tahun BI: uang pihak ketiga di perbankan masih sekitar Rp. 1750 Triliun). Bank besar seperti Citibank baru-baru ini meluncurkan program obligasi dalam US$ untuk menjaring pelanggan semacam ini, dengan nominal minimal USD 50,000. Mungkin kelihatan besar, tapi nyatanya peminatnya ada juga, terutama dengan dasar "keamanan" karena obligasi pemerintah termasuk risk-free investment. Dengan tingkat yield mencapai 6%, tidak sedikit yang memilihnya -- apalagi produk ini jadi termasuk off-shore karena dilisting di luar negeri. Pilihan produk off-shore memang menarik. Pertanyaannya: apakah kita sendiri tidak lantas berusaha juga memperoleh bagian dari pasar ini?

Pasar seperti ini relatif lebih tertutup untuk kelas-kelas investasi semacam unit link yang unsur biayanya tinggi oleh premi asuransi. Pilihan yang lebih disukai saat ini adalah yang sepenuhnya asuransi; karena ada kebutuhan untuk mengamankan diri dari resiko. Di saat seperti ini, resiko harus dihadapi dengan lebih sukar tanpa pengamanan yang memadai. Bagi pemilik dana yang menginginkan tingkat keamanan lebih tinggi, pilihan seperti asuransi memberikan kepastian. Disamping itu, pengelola dana yang berkompeten seperti Schroders memberikan kenyamanan lebih baik daripada semua penawaran unit link lain yang masih dikelola perusahaan asuransi sendiri, dengan total aset kelolaan yang lebih kecil. Aset kelolaan yang kecil mempunyai tingkat resiko yang lebih tinggi, karena diversifikasi yang lebih terbatas.

Pilihan lainnya adalah membuat perencanaan jangka panjang. Kita mengenal teknik dasar dalam berinvestasi seperti pemerataan - unit averaging. Karena orang tidak tahu seperti apa keadaan besok, jadi lebih baik berinvestasi secara teratur untuk memperoleh jumlah unit lebih banyak jika terjadi penurunan NAB. Sementara, jika terjadi kenaikan NAB, orang tetap bisa mendapatkan keuntungan dari unit yang sudah diperoleh sebelumnya. Memang perhitungan itu nampaknya tidak menarik dalam situasi di mana NAB selalu naik, seperti yang terjadi dalam 5 tahun terakhir.

Dalam situasi seperti sekarang, di mana nilai unit turun, nampaknya strategi investasi ini lebih baik dan mudah diterima. Kita bisa menawarkan untuk menyajikan perhitungan dengan jumlah top-up terjadwal yang jauh lebih besar. Sayangnya, illustrasi yang ada tidak mungkin menggambarkan keadaan ini, karena illustrasi dibuat dengan asumsi kenaikan yang terus menerus dari hasil investasi, seperti perhitungan bunga bank. Illustrasi semacam ini sama sekali tidak mendekati realita investasi yang sebenarnya. Seperti yang sering saya katakan, hati-hatilah dengan illustrasi karena apa yang digambarkan di sana PASTI SALAH dan tidak sesuai kenyataan. Dalam kenyataannya, investasi sama sekali tidak menjanjikan tingkat bunga tertentu, bahkan yang paling stabil dari bank pun akan turun naik dalam kurun waktu yang panjang.

Ketika kita berinvestasi, atau mengajak nasabah berinvestasi, ingatlah bahwa jangka waktu investasi adalah jangka panjang. Untuk jangka pendek, kita bisa menawarkan pilihan-pilihan switching ke cash fund -- hanya dalam waktu singkat untuk mempertahankan nilai unit dalam periode terbatas terhadap penurunan drastis. Saat ini, kita mengharapkan tidak melihat lagi penurunan drastis nilai unit, karena itu berarti penurunan drastis IHSG yang sudah turun rendah. Hanya bagi orang yang sudah lama berinvestasi, jenis cash fund menjadi 'sekoci penyelamat' dari kehilangan nilai. Bagi orang yang baru berinvestasi, pilihan terbaik tetap ada di equity (kalau orangnya agresif) dan managed (kalau orangnya moderat-konservatif).

Kunci lain dari investasi adalah diversifikasi. Ada baiknya orang diberi pilihan untuk melakukan diversifikasi sendiri, mengambil beberapa jenis fund, bahkan mengambil dua polis; yang satu unit link dan yang lain asuransi yang konvensional. Pilihan-pilihan ini membagi resiko, sehingga terhindar dari kondisi yang fatal dari kesalahan investasi secara total di satu tempat.

Bagaimana ekonomi Indonesia beberapa waktu ke depan? Tidak ada yang tahu. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk bergegas meraih peluang, cepat-cepat memberikan penawaran -- sebelum nasabah jatuh dalam kepanikan ekonomi yang bisa terjadi jika terjadi pengelolaan keuangan yang keliru dari pemerintah. Sesuatu yang harus dipertimbangkan, berkaitan dengan pemilu yang menyita perhatian pengambil keputusan dari situasi global yang tidak menentu.

Dan yang penting, tetaplah berdoa.

Tidak ada komentar: