Pada mulanya tidak ada hal yang baru. Usaha-usaha dilakukan dalam cara dan kebiasaan yang sudah berjalan lama, diwariskan dari negeri seberang. Begitulah industri keuangan di Indonesia berjalan sebagaimana adanya. Sebagaimana di seluruh dunia hal itu dilakukan dengan berhasil, beginilah juga yang dilakukan di Indonesia .
Apakah lantas ada keberhasilan dalam hal keuangan? Dilihat dari satu sudut pandang, jika ukurannya adalah kekayaan yang diperoleh pelaku bisnis keuangan, jelaslah ada yang sukses dan berhasil. Ada yang menjadi milyuner, baik di bank atau asuransi jiwa atau sekuritas. Yang bekerja di dalam keuangan menikmati kompensasi yang lebih tinggi dibandingkan tempat lain.
Persoalannya menjadi berbeda ketika kita melihat perubahan di masyarakat sebagai hasil dari kinerja industri. Sampai sekarang, perbankan masih berusaha mengajarkan tentang memahami manfaat, mengerti resiko, dan mengetahui biaya, dalam sosialisasi tentang “Ayo ke Bank”. Berapa banyak persentase masyarakat yang mengerti, walaupun mereka sudah menjadi nasabah?
Dalam hal asuransi jiwa, situasinya tidak jauh berbeda. Persentase jumlah pemegang polis dan tertanggung adalah yang terendah di Asean, tidak sampai 10% jumlah penduduk. Dari jumlah yang sedikit itu, tidak semuanya benar-benar memahami manfaat produk keuangan ini. Parahnya, bahkan muncul suara yang cukup keras menentang Asuransi Jiwa, berdasarkan banyaknya pengalaman buruk yang terjadi di masyarakat.
Mengenai sekuritas; siapakah yang memahaminya? Fakta menunjukkan adanya keterpisahan antara sektor riil dengan pasar modal. Upaya mengamankan transaksi keuangan – itulah yang dilakukan sekuritas – menjadi hal yang ‘canggih;’ dan hanya diminati golongan tertentu. Bagi banyak orang lainnya, berinvestasi di pasar modal tidak beda jauh dengan berjudi.
Jadi, dalam 20 tahun terakhir, belum bisa dibilang bahwa industri keuangan di Indonesia benar-benar berhasil. Kasus Bank Century hanyalah lanjutan dari krisis perbankan yang muncul sejak tahun 1998. Itulah saat orang mulai menyadari bahwa ada resiko dalam segala produk keuangan, tanpa mengetahui bagaimana mengukur atau menyikapi resiko tersebut. Dalam prakteknya, hanya sedikit saja yang tahu soal manajemen resiko.
Apa yang dapat diusahakan oleh kita, sebagai bagian dari masyarakat? Situasi ini mirip dengan kasus pengobatan kaki gajah di Kabupaten Bandung , yang menghebohkan karena ada yang meninggal. Ini adalah situasi di mana obat sebagai produk tersedia, untuk diberikan secara bebas tanpa diagnosa. Dalam kasus terkontrol, obat yang diberikan cukup aman – tapi saat diberikan secara massal tanpa kendali, dapat membuat orang meninggal. Jadi bukan obatnya yang salah atau berbahaya atau kurang baik, melainkan cara memberikannya.
Begitu juga dengan keuangan. Produk keuangan sudah banyak, baik dari bank, asuransi, sekuritas, atau lembaga lain. Tetapi yang mampu memberikan diagnosa yang tepat belum banyak, sehingga akhirnya jatuh korban, seperti nasabah Bank Century. Produk dan hukum yang melandasinya sudah cukup, tapi dalam praktek dibutuhkan sikap cermat dan hati-hati. Kalau orang mau memperhatikan sejarah kinerja Bank ini, mereka akan tahu bahwa Century adalah hasil merger 3 bank yang tidak sehat, yang bahkan setelah itupun laporan keuangannya tetap tidak sehat. Ada resiko operasional yang serius di sini. Mengapa masih mau menitipkan uang milyaran rupiah di bank semacam itu?
Dalam hal asuransi jiwa, situasinya lebih pelik. Begini: Asuransi Jiwa pada dasarnya adalah produk yang mengambil alih resiko dari nasabah, yaitu kemungkinan meninggal dini, mengalami cacat tetap total, mengalami sakit yang berat, dan hidup terlalu lama. Karena mengambil resiko dari nasabah, seharusnya produk ini tidak membebani resiko kepada nasabah. Namun, hal ini berubah tatkala asuransi digabungkan dengan investasi, dimana resikonya sepenuhnya ditanggung nasabah. Penjelasan dari agen yang tidak memadai telah membuat orang berpikir bahwa produk unit link memberikan kepastian, sekaligus tingkat keamanan dan kepastian seperti produk asuransi jiwa sebelumnya. Berapa banyak agen asuransi yang memahami tingkat resiko dari investasi yang dipasarkannya?
Pemahaman yang benar dibutuhkan secara utuh. Dalam pilihan-pilihan investasi, ada yang mempunyai peringkat ‘A’ tapi juga ada yang berperingkat tidak layak sebagai wahana investasi. Perhitungannya bukan hanya melihat berapa besar hasil yang diberikan, melainkan bagaimana dana dikelola dalam jangka waktu yang cukup panjang.
Orang Indonesia gagal untuk memahami hal-hal ini, karena minimnya pendidikan yang memadai. Karena itu dibutuhkan peran Perencana Keuangan, sebagai pihak yang mampu mencocokkan antara profil nasabah dan pilihan yang ada. Sayangnya, di negara ini Perencana Keuangan masih sebatas retorika – siapa yang sungguh-sungguh memberikan Perencanaan Keuangan?
Sampai saat ini, jumlah pemegang sertifikat sebagai perencana keuangan masih sedikit, dibandingkan jumlah agen asuransi, pelayan nasabah bank, atau agen reksadana. Apalagi kalau dibandingkan dengan jumlah penduduk, hitungannya sangat minim. Bagaimana kita dapat melihatnya sebagai hal yang vital untuk dilakukan?
Negara ini membutuhkan lebih banyak perencana keuangan, dengan kemampuan yang menyeluruh, bukan sekedar tahu tentang satu bidang saja. Bagi agen asuransi, terutama dengan investasi, kemampuan profesional ini sangat penting.
Di sisi lain, masyarakat juga perlu disadarkan tentang Perencanaan Keuangan dan mengapa mereka membutuhkannya. Bersama-sama, kita bisa membawa kesejahteraan. Mau?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar