Catatan dari milis Doakan HKBP
Yang saya lihat, sebenarnya pembahasan soal "relatif" atau "mutlak" sebenarnya adalah diskusi tentang KENDALI dalam kehidupan manusia. Bagaimanapun, manusia ingin mengendalikan realitas hidupnya. Manusia ingin bisa menentukan sendiri nasibnya. Manusia ingin menentukan sendiri apa yang baik dan apa yang jahat.
Bukankan dulu Hawa dan Adam sudah memakan buah pengetahuan baik dan jahat? Manusia merasa sudah TAHU apa yang baik dan yang jahat.
Jadi, manusia ingin menetapkan sendiri sesuai pengetahuannya itu. Masalahnya, kalau TUHAN menjadi mutlak dan menentukan apa benar secara mutlak, maka hal itu secara langsung bertentangan dengan kendali yang ingin manusia miliki. Manusia ingin kawin, ingin cerai, ingin punya istri banyak -- intinya, mengendalikan sendiri hidupnya, tanpa harus mengikuti aturan dari pihak lain di luar manusia.
Karena manusia jumlahnya banyak, maka dibutuhkan satu kesepakatan tentang apa yang harus menjadi aturan -- di situlah muncul hukum positif, yang dihasilkan badan legislatif dan eksekutif dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Tentang kesepakatan itu, manusia berjuang, bergumul dalam politik, antara berbagai-bagai pandangan yang berebut pengaruh. Kendali adalah inti dari kekuasaan, politik adalah permainan kekuasaan. Dalam permainan ini, semua kartu harus ada di tangan manusia, merupakan pilihan manusia. Bahkan, jika ada TUHAN yang "dimainkan" di sana, kendalinya tetap ada pada manusia. Ketuhanan menjadi komoditas politik.
Itu realita yang ada. Sangat dimaklumi kalau orang yang berada dalam permainan politik -- dan dari politik menjadi permainan ekonomi juga -- akhirnya melihat bahwa semua konotasi tentang ketuhanan tidak lain adalah alat dalam komunikasi, suatu wacana mendapatkan pengaruh dan reputasi. Filsuf seperti Michael Foucault melihat bahwa kekuasaan berada di atas semua, bahkan di atas kebenaran. Foucault mengikuti Nietszche yang mengatakan bahwa Allah sudah mati, sudah mati pula makna dari pengikut Allah. Kebebasan sejati adalah kebebasan dalam mengendalikan kekuasaan. Sebagaimana halnya segala sesuatu yang bebas dan bergerak sendiri, maka semuanya relatif, tergantung pada kekuasaan. Bersama dengan pemikir lain seperti Jacques Derrida (dekonstruksi teks) dan Richard Rorty (relativisme), dibangunlah suatu struktur filsafat yang sangat kompleks, rumit, yang berusaha menjelaskan ulang segala hakekat dalam kehidupan. Suatu usaha oleh manusia yang telah "dicerahkan" melalui dua perang dunia dan pertumbuhan global yang tidak pernah ada sebelumnya.
Tetapi, jika mau dilihat secara sederhana, isunya kembali pada soal kendali. Tuhan yang menciptakan alam semesta, kenyataannya masih mengendalikan dan berkuasa atas segala sesuatu. Tuhan bekerja dalam realita, dalam kehidupan nyata, bukan sekedar ide atau keyakinan. Apa yang dinyatakan oleh Alkitab adalah kenyataan, mulai sejak Adam dan Hawa. Pencatatan mengenai realita ini mungkin tidak selengkap atau sesuai standar jurnalisme modern (masalahnya adalah manusia yang belum mampu berbahasa lebih lengkap), namun tetap mengungkapkan kenyataan. Tuhan Yesus benar-benar berjalan mengelilingi Yudea dan Galilea, benar-benar mati disalib, dan benar-benar bangkit serta naik ke Sorga.
Realita kedatangan Tuhan Yesus membuka pengetahuan tentang keilahian, karena Dia sanggup mengungkapkan Bapa-Nya yang di Sorga, mengungkapkan Rumah Bapa, juga mengungkapkan tentang dunia orang mati -- bukan lagi sekedar ide atau bayangan, melainkan benar-benar kenyataan. Nyata. Bukan khayalan. Bersama kenyataan ini, datang pula prinsip-prinsip, dan Perjanjian antara Tuhan dan manusia -- maka kita menyebut kitab suci dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Sebagaimana Perjanjian Lama dahulu mengikat bangsa Israel dan pekerjaan Tuhan bersama mereka, demikian pula Perjanjian Baru mengikat orang yang percaya pada Tuhan Yesus Kristus dan pekerjaan Roh Kudus bersama kita sekalian.
Masalahnya bagi orang yang mau mengatur sendiri semaunya semuanya, ikatan itu tidak membebaskan, tidak sesuai. Dalam sosial dan ekonomi, ada hal yang benar dan salah di mata Tuhan. Bahkan jika seluruh manusia bersepakat tentang aturan yang melanggar prinsip Tuhan, berharap "suara terbanyak" memenangkan prinsip yang ditetapkan-Nya, maka Tuhan tetap menentukan sendiri sesuai kehendak-Nya. Itu adalah hakekat dari kemutlakan: Tuhan sepenuhnya berdaulat.
Apakah kemudian manusia bisa mengetahui apa yang Tuhan kehendaki? Tidak, jika hanya dari manusia itu sendiri. Tetapi TUHAN sanggup berkomunikasi dan menyatakan kebenaran serta standar-standar-Nya. Mujizat tetap terjadi, namun yang sebenarnya paling utama adalah bagaimana manusia tetap mendahulukan prinsip Tuhan di atas kepentingan dan pendapat manusia. Dalam hal ini, kemutlakan Tuhan tidak dapat diganggu gugat oleh manusia. Kendali ada di tangan-Nya.
Orang bisa memilih jalan hidupnya, namun tidak dapat menolak konsekuensinya -- sedang konsekuensi itu sendiri tergantung pada kendali atas situasi dan keadaan. Orang yang sanggup mengendalikan situasi, sanggup mengendalikan konsekuensi hidup di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar