Donny A. Wiguna, ST, MA, CFP® QWP® AEPP® QFE. Perencana Keuangan Profesional. Pengajar Keuangan. Pengikut Kristus.
Cari Blog Ini
30 April 2005
Renungan Sehari
Pembaca bisa join melalui web, bisa juga dengan mengirimkan email kosong ke renungan-sehari-subscribe@yahoogroups.com
Salam kasih,
Donny
Perpuluhan: Apakah Harus?
Kita bisa belajar dari Paulus tentang sasaran dari Hukum Taurat: 1 Tim 1:9 ...yakni dengan keinsafan bahwa hukum Taurat itu bukanlah bagi orang yang benar, melainkan bagi orang durhaka dan orang lalim, bagi orang fasik dan orang berdosa, bagi orang duniawi dan yang tak beragama, bagi pembunuh bapa dan pembunuh ibu, bagi pembunuh pada umumnya,...
Gal 3:24 Jadi hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang, supaya kita dibenarkan karena iman.
Dari sini, dengan cepat kita bisa mengikuti pengajaran bahwa Kristus telah menggenapi Hukum Taurat, telah menyelesaikan Perjanjian Lama antara Allah dengan bangsa Israel. Kini adalah masa Perjanjian Baru, suatu tatanan baru yang tersedia bagi semua orang, segala bangsa, yang dengan tulus dan kesungguhan bersedia percaya kepada Kristus. Hukumnya bukan lagi Hukum Taurat yang justru membuat orang jadi berdosa, melainkan hukum Roh yang menyelamatkan manusia melalui iman. Tentang ini, saya dan teman-teman di kantor pun setuju dengan suara bulat.
Kemudian, kami membicarakan akibatnya. Apa akibat yang terjadi setelah ada Perjanjian Baru? Apa arti Kitab Taurat bagi orang Kristen?
Ketika kita membaca Kitab Taurat, di dalamnya kita menemukan penuturan tentang diri TUHAN, Allah pencipta. Kita belajar tentang karakter-Nya, tentang apa yang Ia suka dan tidak suka. Kita belajar tentang konsistensi-Nya, kekudusan-Nya, keadilan-Nya, juga belas kasih-Nya. Bukankah Allah yang membinasakan semua orang yang tidak menjaga kekudusan adalah juga Allah yang menyuruh orang Israel menolong keledai musuh yang masuk rebah karena terlalu banyak beban (Kel 23:5)?
Jadi, walaupun Hukum Taurat sudah digenapi dan tidak menjadi patokan lagi, karakter Allah yang dinyatakan melalui Hukum itu tetap berlaku. Ia tetap menginginkan kesungguhan hati, menjaga kekudusan, juga kesetiaan. Ia tetap menginginkan hubungan sosial yang saling menjaga dan memelihara, juga mempertahankan moralitas yang sempurna. Tentang hal-hal ini, Allah tidak berubah; Ia tetap sama, dahulu, sekarang, sampai selama-lamanya. Hanya, aturan ibadah yang berpusat pada korban sebagai penjaga hubungan antara manusia dengan Allah telah digantikan dan dipenuhi dengan sempurna oleh Tuhan Yesus Kristus, jadi tidak perlu lagi dilakukan. Jalan itu kini telah terbuka lebar, tirai penutup telah terkoyak besar, terbelah dari atas sampai ke bawah.
Karena itu, tidak lagi dibutuhkan para imam yang secara rutin mempersembahkan korban. Tidak lagi dibutuhkan orang-orang Lewi yang bergiliran bertugas di Bait Allah; kini KITA adalah Bait Allah. Dan kita adalah anak-anak Allah, karena kita kini bisa memanggil dengan sebutan Bapa kepada Allah kita di Surga. Bukankah sangat mengherankan, juga amat indah, bisa memanggil Bapa kepada-Nya?
Lalu, karena aturan korban tidak lagi dijalankan dan orang Lewi tidak lagi dibutuhkan, maka bagaimana tentang PERPULUHAN? Jika kita mempelajari Alkitab, kita dapat mengetahui bahwa perpuluhan adalah bagian dari Hukum Taurat yang menjamin kehidupan suku bangsa Lewi yang tidak memiliki tanah pusaka. Beginilah yang dituliskan dalam Kitab Bilangan:
Bil 18:21 Mengenai bani Lewi, sesungguhnya Aku berikan kepada mereka segala persembahan persepuluhan di antara orang Israel sebagai milik pusakanya, untuk membalas pekerjaan yang dilakukan mereka, pekerjaan pada Kemah Pertemuan.
Bil 18:24 sebab persembahan persepuluhan yang dipersembahkan orang Israel kepada TUHAN sebagai persembahan khusus Kuberikan kepada orang Lewi sebagai milik pusakanya; itulah sebabnya Aku telah berfirman tentang mereka: Mereka tidak akan mendapat milik pusaka di tengah-tengah orang Israel."
Ketika bangsa Israel masuk ke tanah perjanjian, persembahan persepuluhan itu menjadi sumber sukacita bagi mereka di hadapan TUHAN:
Ul 12:17-18 Di dalam tempatmu tidak boleh kaumakan persembahan persepuluhan dari gandummu, dari anggurmu dan minyakmu, ataupun dari anak-anak sulung lembu sapimu dan kambing dombamu, ataupun sesuatu dari korban yang akan kaunazarkan, ataupun dari korban sukarelamu, ataupun persembahan khususmu. Tetapi di hadapan TUHAN, Allahmu, haruslah engkau memakannya, di tempat yang akan dipilih TUHAN, Allahmu, engkau ini, anakmu laki-laki dan anakmu perempuan, hambamu laki-laki dan hambamu perempuan, dan orang Lewi yang di dalam tempatmu, dan haruslah engkau bersukaria di hadapan TUHAN, Allahmu, karena segala usahamu.
Kalau begini, jelas bahwa persepuluhan -- atau disingkat perpuluhan -- adalah bagian dari hukum Taurat. Dan, sebagaimana hukum itu telah digenapi dan berlalu, maka demikian pula aturan persepuluhan sudah berlalu. Tidak lagi berlaku.
Sampai di sini, teman-teman ada yang protes. "Mana bisa! Sudah jelas bukan, bahwa kita semua HARUS memberikan perpuluhan?" Dia membuka sebuah ayat, demikian:
Im 27:30 Demikian juga segala persembahan persepuluhan dari tanah, baik dari hasil benih di tanah maupun dari buah pohon-pohonan, adalah milik TUHAN; itulah persembahan kudus bagi TUHAN.
Im 27:32 Mengenai segala persembahan persepuluhan dari lembu sapi atau kambing domba, maka dari segala yang lewat dari bawah tongkat gembala waktu dihitung, setiap yang kesepuluh harus menjadi persembahan kudus bagi TUHAN.
Di sini jelas disebutkan, bahwa segala sepersepuluh hasil dari tanah dan ternak adalah milik TUHAN. Harus dipersembahkan kepada TUHAN, sebagai persembahan kudus. Tetapi kita bisa melihat bahwa semua ini adalah perintah TUHAN kepada Musa di Gunung Sinai untuk disampaikan kepada orang Israel. Di dalamnya terkandung pengertian yang kekal bahwa bumi dan segala isinya adalah milik TUHAN. Tetapi, peraturan persembahan itu sendiri adalah bagian dari hukum Taurat.
Dan hukum Taurat sudah digenapi, sudah selesai. Sudah finish. Tidak dibuka lagi, tidak diungkit lagi. Karena jika kita mau membuka kembali Perjanjian Lama, maka kita harus mengenakan tanda fisik dari Perjanjian Lama, yaitu tanda perjanjian antara Abraham dengan Allah: tanda sunat. Tetapi,
Gal 5:2 Sesungguhnya, aku, Paulus, berkata kepadamu: jikalau kamu menyunatkan dirimu, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagimu.
Artinya, kalau kita masih mempermasalahkan persepuluhan sebagai kewajiban dan syarat untuk berhubungan dengan Tuhan, maka Kristus sama sekali tidak akan berguna bagi kita! Apakah yang dapat dicapai oleh manusia dengan memberikan persepuluhan? Bagaimana mungkin kita masih terikat untuk persembahan persepuluhan, sama seperti orang Israel yang diikat Hukum Taurat?
Jadi, saya yakin 100%, bahwa aturan persepuluhan itu sudah berlalu. Tidak ada lagi keharusan untuk memberikan sepersepuluh, apalagi menjadi syarat untuk berhubungan dengan Allah. Kita adalah orang-orang yang sudah ditebus dan diangkat sebagai ANAK, dan di mana ada anak yang berkewajiban memberi sepersepuluh dari pendapatannya untuk tetap menjadi seorang anak? Sebaliknya, Tuhan sudah membayar kita lunas dari semua hutang dosa, dengan darah yang amat mahal! Masihkah memberi atau tidak memberi sepersepuluh penghasilan menjadi suatu urusan yang membatasi hubungan kita dengan TUHAN?
Sampai di sini, terjadilah sedikit kehebohan. Saya tidak tahu, apakah saudara sekalian juga sedikit merasa heboh? Ah, si donny ini macam-macam saja, kata temanku yang Batak itu. Pendeta di banyak gereja sudah begitu sering berkotbah dan menekankan keharusan memberi perpuluhan, apa si donny mau menantang Pendeta?
Ah, bukan menantang, Bang. Tetapi bagi saya Firman Allah berbicara dengan jelas dan tegas, dan tidak ada Pendeta atau siapa pun juga yang bisa bersuara lebih keras dari ayat-ayat ini. Lagipula, acapkali terjadi keributan karena uang perpuluhan itu begitu besar dan menggiurkan, sehingga diselewengkan oleh Pendeta dan pejabat gereja. Tidak sedikit gereja yang memasukkan semua uang perpuluhan ke dalam satu tangan Pendeta, tanpa ada audit atau laporan penerimaan dan pengeluaran. Dan akibatnya pula, tidak sedikit orang yang skeptis dan mencurigai setiap ajakan Pendeta untuk memberi persembahan perpuluhan, karena disangkanya Pak Pendeta sedang berusaha memperkaya dirinya sendiri(sampai sini, saya jadi ingat Mang Ucup yang jeli menyoroti hamba duit).
Lantas bagaimana? Kalau begitu, apakah persembahan tidak perlu lagi dilakukan? Wahai kawan, jangan begitu cepat merasa senang. Ingatlah, bahwa Kristus tidak membatalkan Taurat, melainkan Ia MENGGENAPInya. Membuatnya menjadi sempurna.
Jika kita belajar Injil baik-baik, kita menemukan bahwa Kristus sebenarnya MENINGKATKAN tuntutan-tuntutan Hukum Taurat. Coba lihat, misalnya:
Mat 5:20 Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.
Siapa orang Farisi dan ahli Taurat? Mereka orang yang habis-habisan berusaha memenuhi hukum Taurat dengan sempurna. Tetapi, mereka tidak cukup baik. Orang harus LEBIH baik lagi. Hal ini diwujudkan dalam berbagai perbuatan, misalnya:
Mat 5:22 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.
Mat 5:28 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.
Mat 5:32 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.
Mat 5:34-37 Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali bersumpah, baik demi langit, karena langit adalah takhta Allah, maupun demi bumi, karena bumi adalah tumpuan kaki-Nya, ataupun demi Yerusalem, karena Yerusalem adalah kota Raja Besar; janganlah juga engkau bersumpah demi kepalamu, karena engkau tidak berkuasa memutihkan atau menghitamkan sehelai rambutpun. Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.
Kalau sudut pandang kita masih seperti orang Farisi atau ahli Taurat, maka sebenarnya standar kita masih rendah di hadapan-Nya. Menjadi pengikut Kristus berarti mengenakan standar Kristus: standar ilahi yang sempurna. Kita harus melihat dari tempat yang lebih tinggi, memperhatikan lebih mendalam. Kalau kita masih berpikir tentang persembahan hanya berupa uang dan harta, nampaknya kita harus melangkah lebih jauh lagi.
Aturan perpuluhan sudah berlalu, sudah lewat. Sebagai gantinya adalah hukum yang lebih sempurna, menurut standarnya Allah. Inilah nasehat rasul Paulus tentang persembahan:
Rom 12:1 Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.
Saya bisa mengatakan, bahwa TUHAN tidak mengharapkan persembahan persepuluhan. Yang Ia inginkan adalah persembahan SERATUS PERSEN. SELURUH TUBUH sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah. Kepemilikan diri kita bukanlah di tangan kita lagi, melainkan di tangan Tuhan yang sudah lunas membayar:
1 Kor 6:19-20 Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, --dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!
Kita bisa menemukan bahwa Tuhan Yesus secara konsisten mengajarkan bahwa tuntutan-Nya adalah SELURUH kehidupan, bukan hanya sepersepuluh dari penghasilan. Orang harus siap untuk melepaskan seluruh hartanya demi Kerajaan Sorga:
Mat 13:44 "Hal Kerajaan Sorga itu seumpama harta yang terpendam di ladang, yang ditemukan orang, lalu dipendamkannya lagi. Oleh sebab sukacitanya pergilah ia menjual seluruh miliknya lalu membeli ladang itu.
Mat 19:21 Kata Yesus kepadanya: "Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku."
Dan Tuhan jelas menghargai keseluruhan hidup, yang nilainya melebihi nilai dari persembahan itu sendiri. Kita menemukan hal tersebut ketika Tuhan Yesus mengamati seorang janda yang memberi persembahan:
Mar 12:43-44 Maka dipanggil-Nya murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya."
Siapakah yang bersedia memberikan SELURUH NAFKAHNYA bagi Tuhan?
Ada kesaksian orang yang memberikan 90% pendapatannya bagi Tuhan, sedangkan ia sendiri hanya mengambil 10%; memang ia seorang yang berhasil sehingga jumlah 10% itu masih cukup untuk hidup dengan makmur dan sejahtera. Tetapi, rasanya tidak banyak yang sanggup melakukan hal seperti itu. Untuk memberikan persepuluhan saja orang merasa berat, apalagi semuanya!
Tetapi di saat yang sama, pemberian itu bisa berarti seluruh kehidupan. SELURUH KEHIDUPAN KITA adalah bagi Tuhan, di mana kita sepenuhnya menjalani hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Apa yang kita pikirkan, apa yang kita katakan, dan apa yang kita lakukan; semuanya ada dalam konteks penyerahan diri kepada Tuhan. Ia tidak menginginkan uang kita, tetapi Ia menginginkan keberadaan kita bagi-Nya. Dia ingin kita taat kepada-Nya, setia kepada-Nya. Dia ingin agar kita hidup dalam pekerjaan baik yang telah dipersiapkan-Nya:
Ef 2:10 Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.
Bapa yang di Surga telah memberikan kita hari ini makanan kita yang secukupnya; Ia yang memelihara kita, anak-anak-Nya. Yang diharapkan dari seorang anak adalah hormat dan taat kepada orang tuanya, bukan? Apakah kita menghormati Tuhan? Apakah kita tunduk kepada Tuhan? Apakah kita menaruh hal-hal yang penting bagi Bapa di tempat yang paling utama dalam kehidupan kita?
Persepuluhan tidak sepenting ketaatan kita untuk hidup mengikuti-Nya. Tidak ada artinya memberikan persepuluhan, jika kita memperoleh penghasilan kita melalui korupsi dan mencuri. Tidak ada artinya perpuluhan, bila kita tidak peduli dengan saudara sendiri yang sedang susah, menutup hati terhadap teman yang membutuhkan. Apa artinya persembahan, bila di luar gereja kita sedang berseteru berebut harta sampai ke pengadilan? Inilah yang diajarkan oleh Tuhan Yesus:
Mat 5:23-25 Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu. Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara.
TUHAN menghendaki kehidupan kita bagi-Nya. Untuk itu, kita bisa mulai belajar untuk memberi sepersepuluh penghasilan kita secara teratur, tetapi ini hanya suatu latihan kecil. Sebuah latihan untuk mengajar kita melepas harta, agar hati kita tidak jatuh cinta kepada uang. Tuhan sendiri tidak menginginkan uang, yang Ia inginkan adalah kasih:
Mat 22:37-39 Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."
Jadi, persepuluhan bukan keharusan. Bukan itu tuntutan bagi kita, melainkan kehidupan kita sekalian. Kehidupan yang sepenuhnya mengasihi Allah, kehidupan yang mengasihi sesama. Bila kita bisa memberi, jangan hanya memberi sepersepuluh kalau sanggup memberi lima persepuluh. Tetapi sebaliknya untuk memberi persepuluhan, kadang kehidupan begitu keras sehingga sukar dan berkekurangan. Akan menjadi sikap yang tidak mengasihi, bila demi memberi perpuluhan maka tetangga sebelah rumah tidak bisa dibantu untuk makan sehari lagi. Akan menjadi sikap yang tidak mengasihi, bila demi memberi perpuluhan maka saudara yang sedang sakit tidak dibantu berobat. Tetapi orang tidak pernah kekurangan kasih, kalau ia mau memberikannya dengan tulus. Kasih itu tidak akan pernah habis, tidak akan pernah mengering. Maukah kita memberikannya? TUHAN yang akan menyanggupkan kita, Dialah yang memelihara kita sekalian.
Terpujilah TUHAN!
22 April 2005
Menjadi Saksi Kristus
Kis 1:6-11 Maka bertanyalah mereka yang berkumpul di situ: "Tuhan,
maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?" Jawab-Nya:
"Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan Bapa
sendiri menurut kuasa-Nya. Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh
Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem
dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." Sesudah Ia
mengatakan demikian, terangkatlah Ia disaksikan oleh mereka, dan awan
menutup-Nya dari pandangan mereka. Ketika mereka sedang menatap ke
langit waktu Ia naik itu, tiba-tiba berdirilah dua orang yang berpakaian
putih dekat mereka, dan berkata kepada mereka: "Hai orang-orang Galilea,
mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke
sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama
seperti kamu melihat Dia naik ke sorga."
Bahan bacaan di atas menjadi acuan ketika saya diminta berbicara di
antara teman-teman dalam persekutuan kami. Karena saat ini adalah
waktu-waktu menjelang peringatan kenaikan Tuhan Yesus Kristus, rasanya
memang sudah seharusnya kami membicarakan topik ini. Mulanya biasa saja,
bagian bahan yang rasanya tidak terlalu istimewa. Tapi, itu sebelum saya
benar-benar memperhatikannya.
Ternyata, setiap bagian dari Firman Tuhan sesungguhnya istimewa. Kita
saja yang belum tahu relevansinya.
Kami mulai membahasnya dengan mendiskusikan bagaimana kehidupan di jaman
sekarang ini. Seperti apa kualitas kehidupan? Apakah menjadi semakin
baik atau semakin buruk? Dan kami harus melihat bahwa ternyata dunia
tidaklah sebaik yang diinginkan. Memang benar, ada kemajuan di sana sini
tetapi kemerosotan nampaknya lebih cepat terjadi. Sementara sebagian
kecil orang menjadi semakin makmur, sebagian besar manusia di muka bumi
mengalami kesusahan yang besar. Masalah muncul dalam berbagai bentuk:
pertikaian politik, kemunduran ekonomi, masalah kesehatan, masalah
kemanusiaan, sampai datangnya bencana alam yang luar biasa.
Kehidupan naik turun seperti roller-coaster: mula-mula terasa naik
perlahan-lahan, lalu tiba-tiba meluncur dengan cepat ke bawah. Bedanya,
jika dalam permainan roller-coaster orang menjerit ngeri sambil merasa
senang, dalam peristiwa yang mengerikan seperti bencana gempa di Nias,
orang menjerit ngeri sambil memandang kematian. Kehancuran. Baru saja
rasanya aman, selamat dari bencana tsunami sehingga bisa mulai menata
hidup, tiba-tiba semuanya runtuh dalam guncangan yang amat keras di
malam hari.
Kehidupan orang Kristen tidak terluput dari kesukaran. Adakah yang
mendengar berita, pada tanggal 1 April yang lalu di desa Kerala, India?
Sekelompok muslim dan hindu baru saja membakar habis sebuah rumah doa
dan menyerang tiga anggota gerejanya. Dua hari kemudian, ketika
pendetanya -- Paul Ciniraj Mohammed, yang berlatar belakang muslim --
berbicara kepada orang desa tentang penyerangan tersebut, ia dan
asistennya turut mengalami penganiayaan.
Apa yang dilakukan oleh pendeta Paul? Ketika asistennya sedang dipukuli,
ia berlutut dan berdoa, memohon agar Tuhan menyelamatkan mereka dan juga
mengampuni para penyerang mereka itu. Seorang wanita desa menyaksikan
bagaimana pendeta Paul berdoa dan tersentuh oleh kerendah-hatiannya,
serta merta meminta kepada para penyerang untuk berhenti. Bukan saja
berhenti, tetapi juga meminta maaf kepada pendeta itu! Paul Ciniraj
Mohammed tidak mengadukan penyerangan ini kepada polisi karena mereka
telah meminta maaf. Rumah Doa itu sendiri habis oleh api, tidak
terselamatkan, tetapi orang-orang Kristen di desa itu tetap bertekad
untuk bersekutu dalam doa dan pemahaman Alkitab di rumah-rumah mereka.
Berita-berita semacam ini muncul dari segala penjuru dunia, termasuk
dari Indonesia di mana penganiayaan seakan-akan dilakukan bergilir di
seluruh tempat di negeri ini. Sementara itu, gerakan-gerakan
fundamentalis Islam bersuara semakin keras, menunjukkan kekuatannya.
Belum lama berselang, mereka menekan kalangan Islam Liberal dan
mengacungkan 'vonis' pemurtadan, sambil menyerukan sikap yang keras.
Sedemikian rupa kerasnya, sehingga tokoh-tokoh muslim sendiri merasa
khawatir. Nampaknya, semakin tepat kaum muslim mengikuti kebenaran kitab
sucinya, semakin keras sikap mereka terhadap orang-orang yang tidak
seiman.
Di luar urusan religius, kita juga dikejutkan dengan masalah moralitas.
Rupanya pornografi sudah begitu kuat mencengkram alam pikir anak-anak
kita, sehingga dua orang remaja bisa memperkosa seorang bocah berumur 6
tahun, membunuhnya, lalu membakarnya tanpa merasa bersalah. Setelah
melakukan kebejatan, mereka masih sempat main bola. Ketika kedua remaja
itu ditangkap, mereka sedang bersantai-santai, sama sekali tidak nampak
ketakutan atas perbuatan keji yang baru mereka lakukan. Kelihatannya,
kombinasi antara kecabulan dan kejahatan sudah membuat manusia lebih
jahat dari binatang buas, melampiaskan nafsu hanya demi nafsu.
Ada orang Kristen yang tidak peduli -- dan itulah masalah besarnya.
Bagaimana mungkin, seorang Kristen tidak peduli atas dunianya yang
semakin lama semakin memburuk? Tetapi dia hanya mengangkat bahu sambil
berkata, "biarlah terjadi apa yang akan terjadi, toh Tuhan pasti
menolong." Ya, Tuhan pasti menolong, tetapi orang Kristen ini sama
sekali tidak mau ikut campur. Ada orang Kristen yang ketakutan, lantas
berseru-seru dalam doa dan doa dan doa memohon pemulihan. Tetapi selain
berdoa, mereka juga tidak melakukan banyak hal lain, kecuali
mencari-cari jawaban atas masa dan waktu. Kita sudah menemukan kelompok
jemaat Pondok Nabi yang meyakini hari kedatangan Kristus, yang terbukti
keliru. Namun orang tidak berhenti mencari tahu kapan waktu
kedatangan-Nya, kapan waktu pemulihan itu.
Dan dipikir-pikir, mungkin beginilah kira-kira keadaan murid-murid
Kristus pada masa hidup mereka. Ada keresahan yang besar, penganiayaan
yang luar biasa. Penindasan oleh penjajah Romawi yang kejam, yang
sedemikian kejam sehingga memberi hukuman salib. Tidak sedikit orang
yang dihukum salib seperti Tuhan Yesus, bahkan jumlahnya menurut
sejarawan telah mencapai ribuan orang. Tangan Romawi adalah tangan besi,
yang menghancurkan Yerusalem di tahun 70 M karena mereka memberontak.
Nampaknya, orang Romawi bahkan lebih jahat daripada orang Babilonia yang
dahulu juga menyerbu Yerusalem dan menghancurkan Bait Allah.
Wajar saja, ketika murid-murid itu menyuarakan pertanyaan "Tuhan, maukah
Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?" Mereka telah tahu
bahwa Yesus adalah Tuhan, yang tidak diragukan lagi sanggup memulihkan
kerajaan bagi Israel. Itulah yang menjadi impian tiap orang Israel:
mendapatkan kerajaan mereka kembali, dalam pemulihan yang ilahi. Mereka
menginginkan kehidupan berjalan seperti semula, mendefinisikan "PULIH"
sebagaimana yang manusia pikirkan.
Tetapi apa jawab Tuhan? "Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu,
yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya. Tetapi kamu akan
menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan
menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan
sampai ke ujung bumi."
ENGKAU TIDAK PERLU TAHU. Bukan urusan murid untuk mengetahui tentang
masa dan waktu. Bukan urusan kita untuk meributkan dan memusingkan kapan
pemulihan akan terjadi. Sebagai ganti dari jawaban atas masa dan waktu
pemulihan, Tuhan Yesus memberi suatu kepastian: KAMU AKAN MENERIMA
KUASA. Kuasa apa? Kuasa untuk menjadi saksi Tuhan di seluruh dunia.
Tuhan bukannya menghibur murid-murid-Nya dengan memberi penjelasan
tentang nubuat-nubuat dan peristiwa-peristiwa yang akan datang,
melainkan Ia menegaskan tentang pokok yang harus dilakukan, untuk
menjadi saksi-Nya mengabarkan Injil. Dalam kata-kata Matius, "Karena itu
pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam
nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala
sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai
kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."
Inilah urusan kita, tugas kita. Keadaan mungkin nampak buruk, situasi
kelihatan buruk sehingga tak ada harapan lagi, tetapi urusan kita adalah
menjadi saksi Kristus, memberitakan Injil, dan menjadikan semua bangsa
murid Kristus. Bagian kita bukan hanya berdoa -- jangan salah, berdoa
adalah yang paling penting untuk dilakukan, tetapi bukan satu-satunya
yang bisa dikerjakan.
Dahulu ada seorang rekan segereja yang berkomentar, betapa konyolnya
membawa alkitab untuk menolong orang yang sedang susah. Sekarang keadaan
sedang terjepit, yang dibutuhkan adalah jalan keluar, solusi instan.
Cepat! Mana ada waktu untuk bicara tentang hal-hal seperti keselamatan
dalam Kristus? Lagipula, betapa tidak pantasnya. Beberapa teman di
mailing list mencela sikap orang-orang Kristen yang berusaha
memberitakan Injil kepada orang-orang Aceh yang baru terkena bencana
Tsunami. Kalau memberikan bantuan kemanusiaan, berikanlah tanpa
embel-embel Injil!
Tetapi, sebenarnya Injil adalah faktor utama yang dibawa untuk
menyelamatkan orang. Kebenaran Kristus yang datang menyelamatkan dunia
menjadi dasar bagi usaha untuk menolong siapa pun yang membutuhkan,
bahkan ketika keadaan menjadi sangat sukar dan tidak masuk akal untuk
memberikan pertolongan apa pun. Jika orang melakukan usaha kemanusiaan,
upaya itu dibatasi oleh sifat manusia. Jika terlalu sukar, atau terlalu
berbahaya, orang akan berhenti sambil mengangkat bahunya, "Tidak bisa."
Sebaliknya, upaya memberitakan Injil adalah komitmen untuk memenuhi
panggilan Tuhan, melakukan pekerjaan yang Allah berikan.
Amat keliru jika memikirkan pemberitaan Injil adalah kotbah atau memaksa
orang mendengar dan mengaku percaya demi mendapatkan sekotak makanan.
Berita Injil disampaikan terlebih dahulu melalui perbuatan, bukan
kata-kata. Tuhan Yesus melakukannya dengan menyembuhkan dan memulihkan
kehidupan orang-orang, bukan hanya bicara dan bicara.
Saya sangat tersentuh ketika membaca bukunya Franklin Graham, "Living
Beyond The Limits" (terjemahan Indonesia: Hidup Melampaui Batas-batas,
penerbit Nafiri Gabriel, Jakarta). Dia memberi kesaksian tentang
bagaimana dirinya serta orang-orang yang setia kepada Tuhan bekerja
dalam keadaan yang rusak di Angola, Bosnia, Libanon, dan juga kepada
narapidana di penjara. Kehidupan yang rusak dipulihkan oleh Firman
Allah, dan bantuan kemanusiaan adalah perangkat-perangkat-Nya. Ibaratnya
seperti peralatan medis, semua yang dibutuhkan untuk menolong seorang
pasien yang sakit. Peralatan-peralatan itu berguna sekali di tangan
seorang dokter, tetapi hanya menimbulkan kesulitan di tangan awam (walau
bukan berarti tidak bisa dipakai sama sekali). Yang menyembuhkan adalah
dokter, bukan peralatannya. Ia yang tahu apa kegunaan setiap alat,
bagaimana memakainya dengan efektif.
Untuk semua kesusahan, Graham membawa Firman Allah dengan
perangkat-perangkat yang disiapkan oleh Samaritan's Purse, organisasi
pelayanannya. Ia mendirikan atap-atap bagi orang di Bosnia, memberikan
seekor sapi yang menolong Panglima Mohammed melalui musim dingin yang
sukar. Tetapi semua itu menjadi bagian dari pemberitaan Injil: tindakan
pertolongan itulah yang menjadi Injil yang diberitakan. Pertolongan yang
dibutuhkan manusia bukan sekedar cara untuk makan hari ini saja,
melainkan pemulihan kehidupan secara utuh, secara menyeluruh. Orang
harus ditolong untuk melalui masa-masa yang sukar dan menjalani hidup
yang baru, yang kekal di dalam Tuhan.
Pemberitaan Injil menjadi usaha pertolongan yang dibutuhkan itu; isinya
bukan hanya sekedar membicarakan Firman, melainkan melakukannya. Orang
terlebih dahulu melihat apa yang dilakukan, bukan apa yang diucapkan.
Memang sangat penting untuk menjaga agar perilaku senantiasa sesuai
dengan ucapan, tetapi jika kita tidak bisa menjaga ucapan kita dari
kata-kata yang jahat dan kotor, sebaiknya kita tidak berkata apa-apa.
Apakah semua ini hanya perlu dilakukan tanpa suatu arah, tanpa suatu
tujuan akhir? Tidak begitu. Perhatikanlah kembali apa yang terjadi
setelah Tuhan Yesus naik ke Surga. Ia telah memberikan amanat-Nya untuk
memberitakan Injil. Murid-murid diharapkan untuk segera menyebar dan
mempersiapkan diri menerima kuasa seperti dijanjikan-Nya. Jadi, begitu
Kristus naik, sudah selesai, bukan? Tugas sudah diberikan. Briefing
sudah selesai. Sekarang, bubar!
Tetapi, Tuhan tidak berhenti di kenaikan. Ketika murid-murid masih
memandang ke langit, ada dua orang berpakaian putih memberi penjelasan
penting ini: "Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat
ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan
datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke
sorga."
Setelah kenaikan-Nya, ada berita lain yang tak kalah pentingnya: Tuhan
akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kenaikan-Nya ke Sorga.
TUHAN AKAN DATANG KEMBALI. Ini perlu ditulis dengan huruf besar-besar,
agar kita semua ingat. Pemberitaan Injil bukan hanya suatu proses satu
arah, seperti yang dilakukan oleh banyak tokoh agama. Mereka semua
menuju ke satu titik puncak, setelah itu masuk ke alam surgawi dan tidak
pernah kembali lagi. Tetapi, Tuhan Yesus akan datang kembali. Memang
kita tidak tahu tentang waktu dan masa, tetapi kita tahu pasti akan
kedatangan-Nya.
Pemberitaan Injil mengarahkan orang untuk menghadapi masa itu, saat-saat
kedatangan-Nya. Entah kita masih hidup, atau kita sudah mati, kita semua
akan bangkit untuk menyongsong-Nya. Pemberitaan Injil bukan sekedar
mengajar orang untuk berbalik dari jalan hidup mereka yang menuju
kebinasaan, melainkan mempersiapkan orang bertemu dengan Tuhan dalam
kemuliaan-Nya. Orang belajar untuk mengenal Tuhan, merasakan kasih
karunia Tuhan, agar selanjutnya bisa membagikan kasih itu kepada orang
lain. Ini adalah proses yang bertumbuh, sehingga setiap orang dapat
menggunakan segala daya dan upayanya untuk menjangkau orang lain, dan
akhirnya kelak bersama-sama akan bertemu muka dengan Tuhan.
Karena sifatnya yang menyongsong ini, waktunya terbatas. Pilihannya pun
terbatas. Jika seseorang mau menerima Injil Yesus Kristus, dia akan
diselamatkan. Jika ia tidak mau menerima, orang ini tidak akan selamat
di hadapan Tuhan yang datang kelak. Dan waktunya tidak panjang: mungkin
kematian akan lebih dahulu mengambil kesempatan bertobat. Mungkin pula,
besok Tuhan datang dan tidak ada lagi kesempatan. Di tengah-tengah
bencana dan kesusahan, siapa yang tahu berapa lama lagi waktunya akan
habis?
Ketika saat-Nya tiba, bukankah mereka yang masih belum mengenal Dia akan
celaka? Karena itu, betapa pentingnya memberitakan Injil. Beritakanlah
dengan perbuatan kita pada dunia, beritakanlah dengan kesaksian kita
tentang Kristus dalam hidup kita, dan beritakanlah dengan ucapan kita
yang menjelaskan kasih karunia-Nya.
Satu hal, sebagai penutup: untuk memberitakan Injil, kita terlebih
dahulu harus mengetahui Injil. Kita harus belajar Firman, belajar dengan
tekun dan setia. Kalau tidak belajar, apa yang dapat kita sampaikan?
Jangan dengarkan orang-orang yang masih sibuk meributkan tentang
otoritas Alkitab, atau tentang kritik-kritik Alkitab. Mereka yang
meributkan itu tentu tidak akan menerima Alkitab sebagai Firman Allah
yang berotoritas yang harus segera diberitakan kepada banyak orang.
Kemanusiaan menjadi hal yang terpisah dari Firman, dan ketika
kemanusiaan dilaksanakan tanpa Tuhan, keadaannya seperti alat bedah di
tangan seorang awam. Bukannya menyembuhkan, sebaliknya bisa mematikan!
Belajar Firman hanya dapat dimulai dengan merendahkan diri di bawah
otoritas Allah, tunduk kepada Firman-Nya. Dibutuhkan dedikasi dan
komitmen untuk merenungkan Firman, menemukan kebenaran-kebenaran mutlak
yang dibutuhkan untuk kehidupan. Kita tidak bisa begitu saja membaca
Alkitab lalu mendapatkan semuanya, seperti memungut batu di pinggir
jalan. Dan dibutuhkan lebih banyak lagi upaya untuk menjadikan
kebenaran-Nya menjadi prinsip yang menghidupi kita, yang terwujud dalam
segala perkataan, perbuatan, bahkan pikiran kita. Semua ini adalah
proses yang terus menerus, pembaharuan budi yang terus menerus menjadi
manusia yang Allah inginkan, serta memberi kehidupan pada dunia.
Kiranya, kita mengerti bahwa kenaikan Tuhan Yesus Kristus adalah awal
dari pemberitaan Injil, yang mengajak kita sekalian untuk mengambil
bagian di dalamnya.
Terpujilah TUHAN!
07 April 2005
EMPAT METERAI PERTAMA
(Donny A. Wiguna)
Menulis renungan adalah satu hal yang unik. Di satu sisi, ada keterbatasan manusia, sehingga tidak mungkin orang dapat menyelami Firman Tuhan tanpa pertolongan Roh Kudus. Di sisi lain, Tuhan memberi hikmat dan pengertian serta akal budi kepada manusia untuk membaca dan mengerti apa yang disampaikan oleh Tuhan. Kedua hal ini berjalan bersama-sama beriringan.
Namun, ketika pembahasan tertuju pada nubuat dan wahyu, apalagi tentang akhir jaman, kesulitan menjadi lebih tinggi. Di dalamnya ada intensitas yang tinggi, baik dari Firman maupun dari akal budi. Pikiran manusia terlatih untuk melihat dan menganalisa alam di sekitarnya, tetapi siapa yang bisa melihat masa depan? Sebaliknya, Firman diberikan dalam bentuk simbol-simbol yang penuh arti, dan betapa sukar untuk menemukan artinya! Ada yang mengatakan, bahwa simbol-simbol dalam Wahyu hanya dapat benar-benar dipahami oleh orang yang hidup pada masa itu saja, masa Rasul Yohanes menulis di pulau Patmos. Jadi, tidak bisa dipahami oleh kita sekarang ini, yang hidup ribuan tahun sesudahnya.
Tetapi jika memang tidak bisa dipahami, lalu untuk apa dituliskan? Kenyataan bahwa Tuhan memerintahkan Yohanes untuk menulis dan menyampaikan, serta kenyataan bahwa tulisannya itu tetap terpelihara hingga saat ini menunjukkan, bahwa pesan Yohanes berlaku bagi kita juga. Simbol-simbol Yohanes berlaku untuk kita juga, orang yang hidup ribuan tahun sesudahnya. Dan artinya, ada satu cara bagi kita untuk memahami arti simbol-simbol yang diberikannya.
Satu ciri khas dari kitab Wahyu adalah kedekatannya dengan bagian-bagian dari Perjanjian Lama. Simbol-simbol yang digunakan tidak asing, beberapa seperti mengambil begitu saja dari tulisan para nabi. Perhatikan: kitab Wahyu dituliskan hampir lima ratus tahun setelah kitab terakhir dari Perjanjian Lama -- kitab Maleakhi. Artinya, simbol yang digunakan Yohanes tidak unik pada jamannya, karena ia memakai simbol yang sudah muncul ratusan tahun sebelumnya. Artinya pula, simbol-simbol itu tetap, tidak berubah oleh waktu, sehingga bisa dikatakan bahwa saat ini pun berlaku bagi kita.
Dan masalahnya sekarang: apa artinya?
Baik, kita perlu membatasi masalahnya. Saat ini, mari kita perhatikan kitab Wahyu. Bagaimana kitab ini dituliskan? Jika kita membaca Wahyu 1:1-3, kita menemukan penegasan tentang penulis kitab Wahyu dan arti spesifik dari kitab ini, yaitu menyampaikan nubuat. Tidak ada bagian lain dari Perjanjian Baru yang secara spesifik mengatakan bahwa inilah nubuat yang waktunya sudah dekat, seperti ktia baca di ayat ketiga: "Berbahagialah ia yang membacakan dan mereka yang mendengarkan kata-kata nubuat ini, dan yang menuruti apa yang ada tertulis di dalamnya, sebab waktunya sudah dekat."
Bagian berikutnya sepanjang 3 pasal adalah tujuh surat kepada tujuh jemaat. Isinya jelas ditujukan secara spesifik untuk memberi petunjuk pada jemaat-jemaat di Asia Kecil di masa itu, bahkan spesifik pada permasalahannya. Ada banyak sekali pembahasan dan penggalian dari ketujuh surat, yang memberikan karunia pengertian rohani yang mendalam bagi kita. Tetapi kali ini mari kita lewatkan pengertiannya, dan masuk dalam fakta bahwa ketujuh surat itu adalah nubuat dalam waktu pendek, yang benar-benar segera terjadi. Tiga pasal pertama kitab Wahyu berlangsung dalam masa Yohanes hidup, dua millenium lalu.
Mulai di pasal ke empat, penglihatan Yohanes beralih ke Surga, ia melihat pintu Surga terbuka. Perhatikanlah, mulai dari pasal 4, apa yang dilihat Yohanes merupakan gambaran surgawi. Dalam satu pengertian, kita tahu bahwa manusia yang hidup di bumi yang fana tidak bisa mengerti gambaran tentang Surga menurut apa adanya. Kita tidak mempunyai pengetahuan apa pun tentang itu, juga bahasa manusia tidak bisa menjelaskan Surga seperti apa adanya. Maka, Yohanes menunjukkan segala sesuatunya dalam metafora, memakai kiasan yang maknanya serupa dengan apa yang ada di bumi, supaya kita bisa paham.
Jadi, bila dikatakan ada pintu terbuka di Surga, tentu bukan pintu seperti yang kita kenal, pintu dari kayu atau besi di bumi. Tetapi memang ada sesuatu yang terbuka, dari tadinya tertutup dan tidak bisa dilalui, menjadi bisa dilewati. Yohanes dipanggil untuk naik, agar bisa menyaksikan apa yang HARUS terjadi sesudah ini (4:1). Mulai dari titik ini, Yohanes melihat rangkaian peristiwa berlalu dengan cepat dihadapannya.
Sampai di sini, kita juga menyadari bahwa manusia sebenarnya tidak mampu mengenali SELURUH rangkaian peristiwa sampai ke detil-detilnya. Jika orang berusaha meneliti detil, ia malah kehilangan pandangan pada keseluruhan. Tetapi, bagaimana pula orang mampu memahami seluruh peristiwa, apalagi di seluruh penjuru dunia? Maka kembali Tuhan menggambarkan peristiwa yang terjadi dengan simbol-simbol yang bisa dipahami, metafora dari makna keseluruhan peristiwa yang terjadi.
Pasal 4 pada intinya adalah penyembahan kepada Allah yang Maha Kudus. Ini menjadi sebuah penegasan, bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah di bawah otoritas Allah. Seluruh isi Surga terpusat pada Allah, menyembah-Nya sepanjang waktu. Inilah sikap yang pertama dan terutama, yaitu menyembah Allah. Semua peristiwa selanjutnya terjadi di dalam kemuliaan-Nya melalui kuasa-Nya.
Sekarang, kita beralih ke pasal 5. Ini adalah pasal pengungkapan, atau wahyu Allah. Di tangan Allah ada gulungan, yang dibuat oleh Allah. Cara menggambarkannya serupa dengan penyerahan keputusan oleh Kaisar, dalam bentuk gulungan yang dimeterai. Artinya, Allah sudah membuat rencana untuk segala sesuatu, tertulis di situ sebagai ketetapan dengan 7 meterai. Ini ketetapan yang sangat kuat, yang tidak bisa dibuka oleh sembarang orang. Ketetapan yang pasti terjadi, sekaligus menunjukkan akibat yang luar biasa sehingga disegel seperti itu.
Masalahnya, siapa yang berhak untuk membukanya? Jika akibatnya begitu hebat, siapa yang sanggup menanggung resikonya? Maka di sini kita menemukan sosok Anak Domba Allah, yang juga adalah singa dari suku Yehuda, yaitu tunas Daud yang telah menang. Inilah Tuhan Yesus Kristus, Tuhan kita. Perhatikan: di sini ketiga Pribadi Allah berkumpul. Ada Roh yang menguasai manusia (Yohanes) dan membawanya naik (lih. 4:2), ada Allah yang duduk di tahta (lih 4:2-3), dan ada Anak Domba Allah (5:6), yaitu Yesus Kristus. Inilah Allah Tritunggal yang senantiasa bersama-sama, dan di waktu yang khusus ini seluruhnya berkumpul di Surga, disaksikan oleh Yohanes.
Dalam pasal 5 ini kita juga menemukan kuasa Kristus berlaku untuk seluruh bumi, karena darah-Nya telah menebus setiap anak Tuhan dari setiap suku, bahasa, kaum dan bangsa. Tidak dikatakan semua orang, melainkan ada orang-orang yang ditebus dari setiap suku, bahasa, kaum dan bangsa. Hal ini memberi petunjuk, bahwa apa yang terjadi adalah pada masa di mana berita Injil telah disiarkan ke seluruh dunia, tidak lagi eksklusif bagi bangsa Yahudi saja. Seluruh dunia memuji dan menyembah Kristus: "Dan aku mendengar semua makhluk yang di sorga dan yang di bumi dan yang di bawah bumi dan yang di laut dan semua yang ada di dalamnya, berkata: "Bagi Dia yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba, adalah puji-pujian dan hormat dan kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya!" (5:13)
Kita tahu, bahwa sejak masa Yohanes, para Rasul telah mengabarkan Injil ke seluruh pelosok dunia yang masih bisa mereka capai. Sampai saat ini pun, kita menemukan bekas-bekas penginjilan mereka di India, bahkan juga di Cina. Selama berabad-abad sejak Kristus naik ke Surga, berita Injil di salin dan di siarkan ke mana saja, juga disambut dengan berbagai macam cara. Proses itu berlangsung terus, bahkan hingga hari ini. Sekarang, Injil praktis bisa mencapai setiap penjuru bumi, karena ada teknologi komunikasi yang membuat jarak tidak berarti lagi.
Oke, mari kita kembali ke Anak Domba Allah. Ia telah menerima gulungan itu dan layak membuka meterainya. Apa yang terjadi?
Satu hal, kita perhatikan baik-baik: saat 7 meterai dibuka, gulungan itu sendiri belum dibuka. Meterai adalah segel dari keputusan, membuka meterai belum membuka keputusan itu sendiri (baca Wah 6:1-8:1). Baru setelah ketujuh meterai itu dibuka, segala keputusan Allah terjadi atas manusia -- kuasa ilahi yang menghancurkan bumi. Rangkaian itu dinyatakan dalam rangkaian tiupan 7 sangkakala, seperti memberi tanda mula-mula bahwa inilah saat terakhir kekuasaan iblis dan manusia di bumi(baca 8:2-11:19). Dan berikutnya terjadi sesuai dengan keputusan Allah, yaitu murka Allah (7 cawan murka, baca 15:1-16:21) dan penegakan kuasa Kristus, serta bumi dan langit yang baru.
Nampaknya, hampir tidak mungkin untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa ini dengan tepat. Kita hanya bisa melihat bagaimana peristiwa-peristwa terjadi, dan baru kemudian bisa mengerti hubungannya. Namun, dari wahyu ini kita bisa mengerti setidaknya tiga hal:
1. Seluruh peristiwa yang digambarkan adalah peristiwa yang khusus. Tidak pernah terjadi dalam sejarah, dan tidak akan terjadi lagi. Mungkin ada hal-hal yang menyerupai peristiwa itu, tetapi skalanya jauh lebih kecil.
2. Peristiwa yang terjadi akan meliputi seluruh dunia, atau mempengaruhi seluruh dunia. Peristiwa yang terjadi akan memicu reaksi dari seluruh dunia, tentu dalam berbagai tingkatan. Ini bukan peristiwa yang hanya bersifat lokal -- atau malah hanya diketahui secara lokal saja.
3. Dalam setiap peristiwa, ada unsur-unsur yang khas, yang menjadi padanan dari simbol-simbol pada wahyu. Jika hanya melihat peristiwanya saja mungkin kita tidak mengerti apa hubungannya dengan Allah, tetapi ketika simbol-simbol pada wahyu itu diberikan, kita bisa mengenali analoginya -- menjelaskan simbol itu.
Dan kini, mari kita lihat lagi kitab Wahyu, mulai dari pasal 6. Inilah awal dari pembukaan meterai. Saat ini belum ada celaka besar yang dari Allah, tetapi menunjukkan peristiwa yang ada di bumi, yang menandai akhir jaman. Saya percaya, karena meterai-meterai ini sifatnya mengawali, padanannya adalah peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu cukup panjang. Kita tidak bisa menentukan kapan persisnya dimulai dan kapan persisnya selesai, sehingga bisa dikatakan bahwa setiap meterai lebih menunjukkan pada satu periode tertentu, bukan peristiwa. Inilah masa-masa dalam sejarah manusia.
Masa yang khusus, tidak pernah terjadi, mempunyai akibat pada seluruh dunia, dan ada unsur-unsur yang khas sesuai simbol pada wahyu.
Kalau kita baca Wahyu 6:2, meterai pertama ditandai dengan ini: "Dan aku melihat: sesungguhnya, ada seekor kuda putih dan orang yang menungganginya memegang sebuah panah dan kepadanya dikaruniakan sebuah mahkota. Lalu ia maju sebagai pemenang untuk merebut kemenangan."
Baiklah... apa yang kita lihat? Seekor kuda putih. Memegang panah. Ada mahkota, lambang kerajaan. Maju sebagai pemenang, merebut kemenangan. Masa apa yang bisa dilambangkan dengan hal-hal ini?
Ada yang menghubungkan kuda putih dengan Knight of Sword, yaitu para ksatria Templars yang dibentuk setelah akhir Perang Salib I. Mereka adalah para ksatria yang melindungi jalan ke Yerusalem, dengan jubah putih dengan tanda salib terjahit di baju. Tidak sedikit pula yang menafsirkan bahwa kuda putih ini menjadi simbol dari para penginjil yang maju dan merebut kemenangan. Gambaran yang menarik, tetapi rasanya tidak tepat. Ada tiga alasan: yang pertama, peristiwa itu tidak khusus. Penginjilan terjadi sepanjang jaman, sedang perang salib itu sendiri berlangsung berkali-kali, dan semakin lama semakin brutal -- jauh dari maksud penginjilan. Yang kedua, perang salib tidak mempunyai akibat ke seluruh dunia. Memang seluruh eropa terguncang oleh perang salib, tetapi tidak ada kaitannya dengan tempat lain di dunia. Yang ketiga, gambarannya tidak pas: yang putih adalah penunggangnya, bukan kudanya. Lagipula digambarkan memegang sebuah panah (maksudnya: busur panah, a bow), menerima mahkota, dan menjadi pemenang. Kita tahu, dalam sejarah, penginjil tidak menjadi pemenang seperti itu!
Gambaran yang lebih cocok dapat kita temukan pada masa penjajahan. Filosofi imperialisme. Bila dikatakan "kuda putih", bukankah kita bisa melihat gambaran kapal-kapal galleon dengan layar-layarnya yang besar dan putih itu seperti kuda yang membawa penjajah kulit putih ke seluruh penjuru dunia?
Mereka membawa sebuah busur -- suatu panah. Mengapa tidak disebut membawa pedang, seperti pada umumnya ksatria? Bukankah anak-anak Tuhan, para ksatria Allah, digambarkan membawa pedang, yaitu pedang Roh? Kenapa yang dibawa adalah busur? Perhatikanlah sifat busur: senjata ini menyerang dari jarak jauh. Kedatangannya mendahului penyerangnya, tidak terduga. Para penjajah dahulu pun membawa senjata yang menyerang dari jarak jauh; bukan busur kayu melainkan bedil. Teknologi ini tidak terduga, sehingga tidak ada yang dapat menahannya. Mereka bukan saja membawa bedil, tapi juga membawa meriam, yang tidak dapat ditahan orang.
Para penjajah ini, dengan perlengkapan dan senjatanya, masuk dan menjajah seluruh dunia. Tidak pernah terjadi seperti ini dalam sejarah, bahkan lebih dari yang pernah dicapai oleh kekaisaran Romawi atau penaklukan oleh Jenghis Khan. Pengaruhnya dialami seluruh dunia. Orang Eropa masuk ke seluruh 5 benua (Asia, Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Australia) dan mengklaim sebagai bagian dari kerajaan -- entah itu Inggris, Perancis, Spanyol, Portugis, atau Belanda. Mereka benar-benar menjadi pemenang yang merebut kemenangan. Inilah masa yang cocok dengan meterai pertama: masa kolonialisme. Pada masa ini pula, agama Kristen turut terbawa ke seluruh penjuru, di bawa oleh penjajah ke segala bangsa.
Tentu ini suatu pencocokan...adakah yang mempunyai gambaran yang lain?
Meterai yang kedua adalah tentang pembunuhan, "Dan majulah seekor kuda lain, seekor kuda merah padam dan orang yang menungganginya dikaruniakan kuasa untuk mengambil damai sejahtera dari atas bumi, sehingga mereka saling membunuh, dan kepadanya dikaruniakan sebilah pedang yang besar. " Apa yang kita lihat di sini? Perang. Kuda merah ini, bukankah mengingatkan kita pada api yang berkobar-kobar, menyala-nyala? Orang menunggangi (baca: memakai) api untuk mengambil damai sejahtera dari atas bumi; ini adalah perang yang penuh dengan api, bukan perang dengan pedang dan tombak. Jelas bukan perang jaman dahulu, melainkan perang jaman modern dengan senjata apinya.
Perang sudah terjadi dari jaman dahulu kala. Perang sudah lama merampas damai sejahtera dan membunuh manusia. Lalu perang apa dalam sejarah yang terjadi SESUDAH masa kolonialisme, yang tidak pernah terjadi dalam sejarah, yang pengaruhnya mempengaruhi seluruh dunia?
Tentu, yang terpikir oleh kita sekarang: PERANG DUNIA. Masa 40 tahun di mana terjadi perang dunia adalah masa yang luar biasa kejamnya, yang tidak pernah terjadi dalam sejarah. Tak pernah ada kota yang hancur dalam sekejap mata, membunuh ratusan ribu penduduknya, oleh sebuah bom A seperti Hiroshima dan Nagasaki. Tak pernah ada sebelumnya, dan semoga tidak akan pernah ada lagi. Dan pengaruh perang dunia ini mencakup seluruh dunia; tidak ada bagian dunia yang bebas dari akibatnya. Semuanya cocok dengan gambaran meterai itu, bukan? Damai sejahtera diambil, manusia saling membunuh, dan kepada pembawa peperangan ini diberikan sebilah pedang yang besar -- pedang algojo yang membunuh tanpa pandang bulu, tanpa ampun.
Saya hampir merasa pasti, bahwa pedang besar itu tak lain dari bom atom yang dahsyat. Sungguh mengerikan. Tetapi ini bukan kengerian dari Tuhan, melainkan dari tangan manusia sendiri.
Meterai yang ketiga adalah tentang ekonomi, dikatakan, "Dan aku melihat: sesungguhnya, ada seekor kuda hitam dan orang yang menungganginya memegang sebuah timbangan di tangannya. Dan aku mendengar seperti ada suara di tengah-tengah keempat makhluk itu berkata: "Secupak gandum sedinar, dan tiga cupak jelai sedinar. Tetapi janganlah rusakkan minyak dan anggur itu." Apa maksudnya?
Kuda hitam melambangkan masa-masa yang hitam. Ingatkah dengan sebutan "Black Thursday" tahun 1929 di Amerika, saat harga saham anjlok dan perekonomian hancur? Tetapi yang disebut di wahyu bukan hanya sesuatu yang lokal di Amerika, melainkan melanda seluruh dunia dengan keadaan serupa: hancurnya harga saham, rontoknya perekonomian. Krisis moneter global, yang tidak pernah terjadi sebelumnya, dan berpengaruh pada semua negara.
Perhatikan apa yang terjadi dengan orang yang menunggangi kuda hitam ini. Ia memegang timbangan, lambang ekonomi (selain lambang hukum). Secupak gandum dihargai sedinar, mahal sekali! Asal tahu saja, sedinar adalah istilah untuk upah orang bekerja satu hari penuh. Bayangkan, setelah kerja seharian hanya bisa membeli gandum secupak, atau segenggaman tangan. Untuk makan sendiri saja tidak cukup! Seperti itulah keadaannya, orang-orang menjadi miskin luar biasa karena harga-harga tinggi sekali. Ini namanya inflasi -- satu momok yang cukup menakutkan bagi pengelola keuangan negara.
Apakah kita bisa menyebut satu masa di mana terjadi krisis moneter yang hebat, tidak pernah terjadi sebelumnya, dan mengganggu seluruh dunia? Ya, kita mungkin masih ingat, bukan? Ada kiris moneter yang dimulai dari Asia, tetapi pengaruhnya berantai hingga mempengaruhi seluruh dunia. Indonesia termasuk yang terkena dampak paling keras, harga-harga melonjak tinggi sekali. Apakah cuma Indonesia yang kena? Tidak, perhatikanlah bahwa sejak krisis itu, kondisi keuangan di Eropa juga tidak baik. Perekonomian Jepang hancur dalam badai kredit macet. Di Amerika, lembaga cadangan federal melakukan tindakan-tindakan drastis.
Di mana-mana terjadi krisis, orang-orang kehilangan pekerjaannya. Di seluruh dunia banyak perusahaan yang tutup, karena ekonomi global telah menjadi jalinan yang saling mempengaruhi. Tidak pernah terjadi hal seperti ini sebelumnya! Biasanya gangguan ekonomi senantiasa bersifat lokal, seperti depresi besar yang terjadi di Amerika tahun 1929. Tetapi depresi itu hanya melanda Amerika saja; tidak bisa dibandingkan resesi global yang terjadi beberapa tahun lalu.
Dapatkah kita mengatakan, bahwa resesi global yang lalu itu tak lain dari kuda hitam dan penunggangnya yang membawa kemelaratan?
Meterai keempat lebih membingungkan, karena bunyinya demikian: "Dan aku melihat: sesungguhnya, ada seekor kuda hijau kuning dan orang yang menungganginya bernama Maut dan kerajaan maut mengikutinya. Dan kepada mereka diberikan kuasa atas seperempat dari bumi untuk membunuh dengan pedang, dan dengan kelaparan dan sampar, dan dengan binatang-binatang buas yang di bumi. "
Yang pertama, perhatikanlah warna kudanya: hijau kuning. Warna apa ini? Apa di bumi ini yang dicirikan oleh warna hijau dan kuning? Dan perhatikan pula, tidak seperti penunggang lainnya, kali ini nama penunggang kuda ini disebutkan namanya: MAUT. Rupanya bukan kudanya yang menjadi pokok perhatian, melainkan penunggangnya. Ada maut yang menjalar atas seperempat dari bumi. Mengerikan. Tetapi apa maknanya? Masa apa yang cocok dengan gambaran ini?
Dan ingatlah, bahwa peristiwanya adalah peristiwa yang khusus, tidak ada presedennya, serta akibatnya mencakup seluruh dunia. Apa yang kita ketahui tentang ini?
Di dunia ini, tidak banyak kelompok yang gambarannya diwakili oleh warna hijau dan kuning. Sebenarnya warna-warna ini mengingatkan pada warna belerang dan fosfor, yang baunya adalah bau busuk mematikan. Tetapi kita juga bisa menggambarkan ini pada satu kelompok yang suka dengan warna hijau dan kuning... warna Islam. Saya melihat di sini ada beberapa hal yang nampaknya tidak saling berhubungan, kecuali bahwa semuanya mendatangkan kematian.
Hal yang pertama adalah terorisme oleh Islam radikal, kelompoknya Al-Qaeda. Sejak peristiwa 11 Sept 2001, gema terorisme melanda seluruh dunia, dan hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Ada kematian akibat terorisme di mana-mana, entah itu di Amerika atau di Eropa atau di Thailand baru-baru ini. Kita tidak tahu bagaimana kelanjutannya....mungkin sekali, masih akan ada banyak kematian karena teror. Ada suatu kecemasan, bahwa akhirnya teroris memperoleh senjata pemusnah masal, bom atom. Sebuah bom atom, jika diledakkan di tengah-tengah kota besar, cukup untuk membunuh jutaan jiwa dalam sekejap mata. Itulah yang dikatakan "membunuh dengan pedang"
Hal yang kedua adalah serangan penyakit. Dalam beberapa waktu terakhir, kita mengalami wabah penyakit yang luar biasa, yaitu sindrom saluran pernafasan akut, alias SARS. Sebelumnya sudah ada AIDS, tetapi penularan AIDS bersifat lebih spesifik. Kalau penularan SARS adalah melalui udara, dan jangkauannya luas padahal belum ada obatnya. Entah ada berapa banyak kematian oleh SARS, korbannya ada di seluruh dunia. Memang, di negara maju yang tingkat layanan kesehatannya tinggi, penyakit ini tidak sukar dikendalikan, berbeda di negara-negara asia yang baru berkembang. Ada lagi satu petunjuk...ingatlah, bahwa SARS berasal dari Cina, negara tirai bambu. Ingat warna bambu? Hijau dan kuning, bukan?
Hal yang ketiga adalah warna hijau dan kuning melambangkan gunung berapi, yang penuh fosfor dan belerang. Kita tidak tahu bagaimana persisnya, tetapi kita tahu bahwa gunung berapi bisa mendatangkan maut. Tetapi gunung berapi apa yang terjadi baru-baru ini, yang peristiwanya khusus dan akibatnya mencapai ke seluruh dunia? Saya tidak bisa memikirkannya. Nampaknya sampai sejauh ini tidak ada. Mudah-mudahan saya salah sama sekali, dan tidak pernah ada terjadi letusan gunung berapi yang mempengaruhi seluruh dunia.
Kita juga tidak tahu bagaimana hijau dan kuning bisa diasosiasikan dengan binatang-binatang buas. Kita tahu, bahwa saat ini binatang buas di muka planet bumi ini tidak lagi menjadi raja; orang sudah menaklukkan semua binatang buas yang masih ada, bahkan harus melindungi mereka dari kepunahan. Tetapi tentu binatang buas di sini juga merupakan simbol...entah simbol apa. Bisakah gunung berapi disimbolkan dengan binatang buas?
Kita berhenti di sini, karena meterai kelima nampaknya belum terjadi. Atau kalau pun terjadi, kita tidak tahu...karena yang digambarkan adalah jeritan jiwa orang yang mati karena firman Allah dan oleh karena kesaksian yang mereka miliki. Meterai kelima adalah meterai ketidaksabaran, rasa penasaran yang aneh.
Sebagai penutup, kita semua turut berduka karena tsunami di Aceh, lalu baru saja terjadi gempa bumi di Nias. Jika diperhatikan, tekanan dari gerakan tektonik ini mengarah ke selatan, yang kemarin dikonfirmasi dengan adanya gempa di Mentawai. Kecemasan lanjutannya bukan hanya gempa tektonik, melainkan tekanan yang timbul akan membuat terjadinya letusan gunung berapi yang besar di Sumatra. Seorang professor dari Monash University, Dr. Ray Cas mengungkapkan kemungkinan letusan volkanik yang amat besar, yang terjadi sekali dalam ribuan tahun, dan jangkauannya mencapai seluruh dunia. Letusannya konon akan terjadi di Pulau Sumatra. Bukan berita baik...
Apa artinya ini bagi kita? Saya menemukan, bahwa semuanya ada dalam rancangan Tuhan, yang sudah diwahyukan pada kita. Tentu kita tidak bisa mengetahui bagaimana kelanjutannya, atau bagaimana segala sesuatu terjadi secara persis, kecuali jika TELAH terjadi. Tetapi apapun yang nanti akan terjadi, gambaran dalam wahyu adalah gambaran yang suram. Setelah meterai-meterai dibuka, berikutnya adalah celaka demi celaka atas umat manusia.
Saya yakin ini mendorong kita untuk lebih giat lagi, lebih tekun lagi dalam Tuhan dan mengerjakan pekerjaan-Nya. Waktu yang tersedia semakin sempit, padahal ada begitu banyak kesesatan, orang yang tidak mau kenal Tuhan. Tetapi sekarang masih ada waktu, masih ada kesempatan. Inilah waktu yang berharga, yang harus kita pakai sebaik-baiknya. Berita wahyu bukan berita untuk membuat orang semakin tertutup dan sibuk menyelamatkan diri sendiri, melainkan berita yang memanggil orang-orang untuk segera bertobat, meninggalkan kebiasaan lamanya dan berbalik mencari Tuhan serta kebenaran-Nya.
Terpujilah TUHAN!
Salam kasih,
Donny