Cari Blog Ini

22 April 2005

Menjadi Saksi Kristus

Kis 1:6-11 Maka bertanyalah mereka yang berkumpul di situ: "Tuhan,
maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?" Jawab-Nya:
"Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan Bapa
sendiri menurut kuasa-Nya. Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh
Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem
dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." Sesudah Ia
mengatakan demikian, terangkatlah Ia disaksikan oleh mereka, dan awan
menutup-Nya dari pandangan mereka. Ketika mereka sedang menatap ke
langit waktu Ia naik itu, tiba-tiba berdirilah dua orang yang berpakaian
putih dekat mereka, dan berkata kepada mereka: "Hai orang-orang Galilea,
mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke
sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama
seperti kamu melihat Dia naik ke sorga."

Bahan bacaan di atas menjadi acuan ketika saya diminta berbicara di
antara teman-teman dalam persekutuan kami. Karena saat ini adalah
waktu-waktu menjelang peringatan kenaikan Tuhan Yesus Kristus, rasanya
memang sudah seharusnya kami membicarakan topik ini. Mulanya biasa saja,
bagian bahan yang rasanya tidak terlalu istimewa. Tapi, itu sebelum saya
benar-benar memperhatikannya.

Ternyata, setiap bagian dari Firman Tuhan sesungguhnya istimewa. Kita
saja yang belum tahu relevansinya.

Kami mulai membahasnya dengan mendiskusikan bagaimana kehidupan di jaman
sekarang ini. Seperti apa kualitas kehidupan? Apakah menjadi semakin
baik atau semakin buruk? Dan kami harus melihat bahwa ternyata dunia
tidaklah sebaik yang diinginkan. Memang benar, ada kemajuan di sana sini
tetapi kemerosotan nampaknya lebih cepat terjadi. Sementara sebagian
kecil orang menjadi semakin makmur, sebagian besar manusia di muka bumi
mengalami kesusahan yang besar. Masalah muncul dalam berbagai bentuk:
pertikaian politik, kemunduran ekonomi, masalah kesehatan, masalah
kemanusiaan, sampai datangnya bencana alam yang luar biasa.

Kehidupan naik turun seperti roller-coaster: mula-mula terasa naik
perlahan-lahan, lalu tiba-tiba meluncur dengan cepat ke bawah. Bedanya,
jika dalam permainan roller-coaster orang menjerit ngeri sambil merasa
senang, dalam peristiwa yang mengerikan seperti bencana gempa di Nias,
orang menjerit ngeri sambil memandang kematian. Kehancuran. Baru saja
rasanya aman, selamat dari bencana tsunami sehingga bisa mulai menata
hidup, tiba-tiba semuanya runtuh dalam guncangan yang amat keras di
malam hari.

Kehidupan orang Kristen tidak terluput dari kesukaran. Adakah yang
mendengar berita, pada tanggal 1 April yang lalu di desa Kerala, India?
Sekelompok muslim dan hindu baru saja membakar habis sebuah rumah doa
dan menyerang tiga anggota gerejanya. Dua hari kemudian, ketika
pendetanya -- Paul Ciniraj Mohammed, yang berlatar belakang muslim --
berbicara kepada orang desa tentang penyerangan tersebut, ia dan
asistennya turut mengalami penganiayaan.

Apa yang dilakukan oleh pendeta Paul? Ketika asistennya sedang dipukuli,
ia berlutut dan berdoa, memohon agar Tuhan menyelamatkan mereka dan juga
mengampuni para penyerang mereka itu. Seorang wanita desa menyaksikan
bagaimana pendeta Paul berdoa dan tersentuh oleh kerendah-hatiannya,
serta merta meminta kepada para penyerang untuk berhenti. Bukan saja
berhenti, tetapi juga meminta maaf kepada pendeta itu! Paul Ciniraj
Mohammed tidak mengadukan penyerangan ini kepada polisi karena mereka
telah meminta maaf. Rumah Doa itu sendiri habis oleh api, tidak
terselamatkan, tetapi orang-orang Kristen di desa itu tetap bertekad
untuk bersekutu dalam doa dan pemahaman Alkitab di rumah-rumah mereka.

Berita-berita semacam ini muncul dari segala penjuru dunia, termasuk
dari Indonesia di mana penganiayaan seakan-akan dilakukan bergilir di
seluruh tempat di negeri ini. Sementara itu, gerakan-gerakan
fundamentalis Islam bersuara semakin keras, menunjukkan kekuatannya.
Belum lama berselang, mereka menekan kalangan Islam Liberal dan
mengacungkan 'vonis' pemurtadan, sambil menyerukan sikap yang keras.
Sedemikian rupa kerasnya, sehingga tokoh-tokoh muslim sendiri merasa
khawatir. Nampaknya, semakin tepat kaum muslim mengikuti kebenaran kitab
sucinya, semakin keras sikap mereka terhadap orang-orang yang tidak
seiman.

Di luar urusan religius, kita juga dikejutkan dengan masalah moralitas.
Rupanya pornografi sudah begitu kuat mencengkram alam pikir anak-anak
kita, sehingga dua orang remaja bisa memperkosa seorang bocah berumur 6
tahun, membunuhnya, lalu membakarnya tanpa merasa bersalah. Setelah
melakukan kebejatan, mereka masih sempat main bola. Ketika kedua remaja
itu ditangkap, mereka sedang bersantai-santai, sama sekali tidak nampak
ketakutan atas perbuatan keji yang baru mereka lakukan. Kelihatannya,
kombinasi antara kecabulan dan kejahatan sudah membuat manusia lebih
jahat dari binatang buas, melampiaskan nafsu hanya demi nafsu.

Ada orang Kristen yang tidak peduli -- dan itulah masalah besarnya.
Bagaimana mungkin, seorang Kristen tidak peduli atas dunianya yang
semakin lama semakin memburuk? Tetapi dia hanya mengangkat bahu sambil
berkata, "biarlah terjadi apa yang akan terjadi, toh Tuhan pasti
menolong." Ya, Tuhan pasti menolong, tetapi orang Kristen ini sama
sekali tidak mau ikut campur. Ada orang Kristen yang ketakutan, lantas
berseru-seru dalam doa dan doa dan doa memohon pemulihan. Tetapi selain
berdoa, mereka juga tidak melakukan banyak hal lain, kecuali
mencari-cari jawaban atas masa dan waktu. Kita sudah menemukan kelompok
jemaat Pondok Nabi yang meyakini hari kedatangan Kristus, yang terbukti
keliru. Namun orang tidak berhenti mencari tahu kapan waktu
kedatangan-Nya, kapan waktu pemulihan itu.

Dan dipikir-pikir, mungkin beginilah kira-kira keadaan murid-murid
Kristus pada masa hidup mereka. Ada keresahan yang besar, penganiayaan
yang luar biasa. Penindasan oleh penjajah Romawi yang kejam, yang
sedemikian kejam sehingga memberi hukuman salib. Tidak sedikit orang
yang dihukum salib seperti Tuhan Yesus, bahkan jumlahnya menurut
sejarawan telah mencapai ribuan orang. Tangan Romawi adalah tangan besi,
yang menghancurkan Yerusalem di tahun 70 M karena mereka memberontak.
Nampaknya, orang Romawi bahkan lebih jahat daripada orang Babilonia yang
dahulu juga menyerbu Yerusalem dan menghancurkan Bait Allah.

Wajar saja, ketika murid-murid itu menyuarakan pertanyaan "Tuhan, maukah
Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?" Mereka telah tahu
bahwa Yesus adalah Tuhan, yang tidak diragukan lagi sanggup memulihkan
kerajaan bagi Israel. Itulah yang menjadi impian tiap orang Israel:
mendapatkan kerajaan mereka kembali, dalam pemulihan yang ilahi. Mereka
menginginkan kehidupan berjalan seperti semula, mendefinisikan "PULIH"
sebagaimana yang manusia pikirkan.

Tetapi apa jawab Tuhan? "Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu,
yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya. Tetapi kamu akan
menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan
menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan
sampai ke ujung bumi."

ENGKAU TIDAK PERLU TAHU. Bukan urusan murid untuk mengetahui tentang
masa dan waktu. Bukan urusan kita untuk meributkan dan memusingkan kapan
pemulihan akan terjadi. Sebagai ganti dari jawaban atas masa dan waktu
pemulihan, Tuhan Yesus memberi suatu kepastian: KAMU AKAN MENERIMA
KUASA. Kuasa apa? Kuasa untuk menjadi saksi Tuhan di seluruh dunia.

Tuhan bukannya menghibur murid-murid-Nya dengan memberi penjelasan
tentang nubuat-nubuat dan peristiwa-peristiwa yang akan datang,
melainkan Ia menegaskan tentang pokok yang harus dilakukan, untuk
menjadi saksi-Nya mengabarkan Injil. Dalam kata-kata Matius, "Karena itu
pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam
nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala
sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai
kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."

Inilah urusan kita, tugas kita. Keadaan mungkin nampak buruk, situasi
kelihatan buruk sehingga tak ada harapan lagi, tetapi urusan kita adalah
menjadi saksi Kristus, memberitakan Injil, dan menjadikan semua bangsa
murid Kristus. Bagian kita bukan hanya berdoa -- jangan salah, berdoa
adalah yang paling penting untuk dilakukan, tetapi bukan satu-satunya
yang bisa dikerjakan.

Dahulu ada seorang rekan segereja yang berkomentar, betapa konyolnya
membawa alkitab untuk menolong orang yang sedang susah. Sekarang keadaan
sedang terjepit, yang dibutuhkan adalah jalan keluar, solusi instan.
Cepat! Mana ada waktu untuk bicara tentang hal-hal seperti keselamatan
dalam Kristus? Lagipula, betapa tidak pantasnya. Beberapa teman di
mailing list mencela sikap orang-orang Kristen yang berusaha
memberitakan Injil kepada orang-orang Aceh yang baru terkena bencana
Tsunami. Kalau memberikan bantuan kemanusiaan, berikanlah tanpa
embel-embel Injil!

Tetapi, sebenarnya Injil adalah faktor utama yang dibawa untuk
menyelamatkan orang. Kebenaran Kristus yang datang menyelamatkan dunia
menjadi dasar bagi usaha untuk menolong siapa pun yang membutuhkan,
bahkan ketika keadaan menjadi sangat sukar dan tidak masuk akal untuk
memberikan pertolongan apa pun. Jika orang melakukan usaha kemanusiaan,
upaya itu dibatasi oleh sifat manusia. Jika terlalu sukar, atau terlalu
berbahaya, orang akan berhenti sambil mengangkat bahunya, "Tidak bisa."
Sebaliknya, upaya memberitakan Injil adalah komitmen untuk memenuhi
panggilan Tuhan, melakukan pekerjaan yang Allah berikan.

Amat keliru jika memikirkan pemberitaan Injil adalah kotbah atau memaksa
orang mendengar dan mengaku percaya demi mendapatkan sekotak makanan.
Berita Injil disampaikan terlebih dahulu melalui perbuatan, bukan
kata-kata. Tuhan Yesus melakukannya dengan menyembuhkan dan memulihkan
kehidupan orang-orang, bukan hanya bicara dan bicara.

Saya sangat tersentuh ketika membaca bukunya Franklin Graham, "Living
Beyond The Limits" (terjemahan Indonesia: Hidup Melampaui Batas-batas,
penerbit Nafiri Gabriel, Jakarta). Dia memberi kesaksian tentang
bagaimana dirinya serta orang-orang yang setia kepada Tuhan bekerja
dalam keadaan yang rusak di Angola, Bosnia, Libanon, dan juga kepada
narapidana di penjara. Kehidupan yang rusak dipulihkan oleh Firman
Allah, dan bantuan kemanusiaan adalah perangkat-perangkat-Nya. Ibaratnya
seperti peralatan medis, semua yang dibutuhkan untuk menolong seorang
pasien yang sakit. Peralatan-peralatan itu berguna sekali di tangan
seorang dokter, tetapi hanya menimbulkan kesulitan di tangan awam (walau
bukan berarti tidak bisa dipakai sama sekali). Yang menyembuhkan adalah
dokter, bukan peralatannya. Ia yang tahu apa kegunaan setiap alat,
bagaimana memakainya dengan efektif.

Untuk semua kesusahan, Graham membawa Firman Allah dengan
perangkat-perangkat yang disiapkan oleh Samaritan's Purse, organisasi
pelayanannya. Ia mendirikan atap-atap bagi orang di Bosnia, memberikan
seekor sapi yang menolong Panglima Mohammed melalui musim dingin yang
sukar. Tetapi semua itu menjadi bagian dari pemberitaan Injil: tindakan
pertolongan itulah yang menjadi Injil yang diberitakan. Pertolongan yang
dibutuhkan manusia bukan sekedar cara untuk makan hari ini saja,
melainkan pemulihan kehidupan secara utuh, secara menyeluruh. Orang
harus ditolong untuk melalui masa-masa yang sukar dan menjalani hidup
yang baru, yang kekal di dalam Tuhan.

Pemberitaan Injil menjadi usaha pertolongan yang dibutuhkan itu; isinya
bukan hanya sekedar membicarakan Firman, melainkan melakukannya. Orang
terlebih dahulu melihat apa yang dilakukan, bukan apa yang diucapkan.
Memang sangat penting untuk menjaga agar perilaku senantiasa sesuai
dengan ucapan, tetapi jika kita tidak bisa menjaga ucapan kita dari
kata-kata yang jahat dan kotor, sebaiknya kita tidak berkata apa-apa.

Apakah semua ini hanya perlu dilakukan tanpa suatu arah, tanpa suatu
tujuan akhir? Tidak begitu. Perhatikanlah kembali apa yang terjadi
setelah Tuhan Yesus naik ke Surga. Ia telah memberikan amanat-Nya untuk
memberitakan Injil. Murid-murid diharapkan untuk segera menyebar dan
mempersiapkan diri menerima kuasa seperti dijanjikan-Nya. Jadi, begitu
Kristus naik, sudah selesai, bukan? Tugas sudah diberikan. Briefing
sudah selesai. Sekarang, bubar!

Tetapi, Tuhan tidak berhenti di kenaikan. Ketika murid-murid masih
memandang ke langit, ada dua orang berpakaian putih memberi penjelasan
penting ini: "Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat
ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan
datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke
sorga."

Setelah kenaikan-Nya, ada berita lain yang tak kalah pentingnya: Tuhan
akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kenaikan-Nya ke Sorga.
TUHAN AKAN DATANG KEMBALI. Ini perlu ditulis dengan huruf besar-besar,
agar kita semua ingat. Pemberitaan Injil bukan hanya suatu proses satu
arah, seperti yang dilakukan oleh banyak tokoh agama. Mereka semua
menuju ke satu titik puncak, setelah itu masuk ke alam surgawi dan tidak
pernah kembali lagi. Tetapi, Tuhan Yesus akan datang kembali. Memang
kita tidak tahu tentang waktu dan masa, tetapi kita tahu pasti akan
kedatangan-Nya.

Pemberitaan Injil mengarahkan orang untuk menghadapi masa itu, saat-saat
kedatangan-Nya. Entah kita masih hidup, atau kita sudah mati, kita semua
akan bangkit untuk menyongsong-Nya. Pemberitaan Injil bukan sekedar
mengajar orang untuk berbalik dari jalan hidup mereka yang menuju
kebinasaan, melainkan mempersiapkan orang bertemu dengan Tuhan dalam
kemuliaan-Nya. Orang belajar untuk mengenal Tuhan, merasakan kasih
karunia Tuhan, agar selanjutnya bisa membagikan kasih itu kepada orang
lain. Ini adalah proses yang bertumbuh, sehingga setiap orang dapat
menggunakan segala daya dan upayanya untuk menjangkau orang lain, dan
akhirnya kelak bersama-sama akan bertemu muka dengan Tuhan.

Karena sifatnya yang menyongsong ini, waktunya terbatas. Pilihannya pun
terbatas. Jika seseorang mau menerima Injil Yesus Kristus, dia akan
diselamatkan. Jika ia tidak mau menerima, orang ini tidak akan selamat
di hadapan Tuhan yang datang kelak. Dan waktunya tidak panjang: mungkin
kematian akan lebih dahulu mengambil kesempatan bertobat. Mungkin pula,
besok Tuhan datang dan tidak ada lagi kesempatan. Di tengah-tengah
bencana dan kesusahan, siapa yang tahu berapa lama lagi waktunya akan
habis?

Ketika saat-Nya tiba, bukankah mereka yang masih belum mengenal Dia akan
celaka? Karena itu, betapa pentingnya memberitakan Injil. Beritakanlah
dengan perbuatan kita pada dunia, beritakanlah dengan kesaksian kita
tentang Kristus dalam hidup kita, dan beritakanlah dengan ucapan kita
yang menjelaskan kasih karunia-Nya.

Satu hal, sebagai penutup: untuk memberitakan Injil, kita terlebih
dahulu harus mengetahui Injil. Kita harus belajar Firman, belajar dengan
tekun dan setia. Kalau tidak belajar, apa yang dapat kita sampaikan?
Jangan dengarkan orang-orang yang masih sibuk meributkan tentang
otoritas Alkitab, atau tentang kritik-kritik Alkitab. Mereka yang
meributkan itu tentu tidak akan menerima Alkitab sebagai Firman Allah
yang berotoritas yang harus segera diberitakan kepada banyak orang.
Kemanusiaan menjadi hal yang terpisah dari Firman, dan ketika
kemanusiaan dilaksanakan tanpa Tuhan, keadaannya seperti alat bedah di
tangan seorang awam. Bukannya menyembuhkan, sebaliknya bisa mematikan!

Belajar Firman hanya dapat dimulai dengan merendahkan diri di bawah
otoritas Allah, tunduk kepada Firman-Nya. Dibutuhkan dedikasi dan
komitmen untuk merenungkan Firman, menemukan kebenaran-kebenaran mutlak
yang dibutuhkan untuk kehidupan. Kita tidak bisa begitu saja membaca
Alkitab lalu mendapatkan semuanya, seperti memungut batu di pinggir
jalan. Dan dibutuhkan lebih banyak lagi upaya untuk menjadikan
kebenaran-Nya menjadi prinsip yang menghidupi kita, yang terwujud dalam
segala perkataan, perbuatan, bahkan pikiran kita. Semua ini adalah
proses yang terus menerus, pembaharuan budi yang terus menerus menjadi
manusia yang Allah inginkan, serta memberi kehidupan pada dunia.

Kiranya, kita mengerti bahwa kenaikan Tuhan Yesus Kristus adalah awal
dari pemberitaan Injil, yang mengajak kita sekalian untuk mengambil
bagian di dalamnya.

Terpujilah TUHAN!

Tidak ada komentar: