Cari Blog Ini

18 Desember 2005

Pilihan & Perubahan

"I need Thee, o I need Thee; ev'ry hour I need Thee; o bless me now my
Saviour, I come to Thee"

Lirik lagu ini terngiang-ngiang. Berulang-ulang. Ada saatnya, ketika jalan
kehidupan membelok dengan tajam, rasanya seperti mau terlempar keluar. Saat
itu yang paling dibutuhkan adalah pegangan yang kuat, yang tidak bergeser
atau berderik-derik, yang tetap menempel pada jalan walau lajunya cepat pada
tikungan tajam. Kita semua mungkin sudah merasakannya, bukan?

Tetapi, saya bukan sedang berbicara tentang pengalaman mengendarai mobil.
Ini adalah tentang perjalanan hidup, dalam realitas di mana ada kesempatan
dan masalah, ada dorongan dan hambatan yang harus kita hadapi setiap hari,
setiap jam. Tidakkah kita semua merasakannya? Coba baca koran hari ini, dan
lihat bagaimana ulasan ekonom terhadap perekonomian Indonesia dalam 6 bulan
ke depan. Coba baca tentang masalah PHK yang terjadi pada lebih dari seratus
ribu orang, itu pun hanya yang tercatat. Coba baca tentang kenaikan suku
bunga kredit dan tekanan neraca pembayaran. Itu yang bisa dibaca di koran.

Dalam realitasnya, kekacauan nilai-nilai terjadi lebih jauh, bukan hanya
masalah ekonomi. Dalam keadaan yang sulit seperti ini, masih banyak orang
yang cukup kaya untuk membuat sebuah masalah yang rasanya terlalu
mengada-ada, tetapi nyatanya ada. Oh ya, hal ini saya alami sendiri
akhir-akhir ini. Tiap orang dalam sistem yang (katanya) merdeka memiliki hak
dan kesempatan untuk memilih dan berubah, namun dalam beberapa situasi
ternyata sistem itu jadinya tidak masuk akal. Bingung? Coba baca sedikit
gambaran yang umum berikut ini.

Seperti banyak perusahaan di Indonesia, bayangkanlah ada sebuah perusahaan
tekstil (atau kayu, atau industri makanan, atau apa pun yang ingin
dibayangkan). Karena ini perusahaan keluarga, maka pendirinya adalah suami
istri, dengan modal warisan serta semangat wiraswasta yang besar. Setelah
beberapa tahun berlalu, akhirnya suami istri ini menurunkan usaha mereka
kepada anak-anak, mungkin ada dua orang, atau tiga orang, atau lima orang.
Bukan untuk dipecah, melainkan untuk dikelola bersama.

Bayangkan pula, dalam satu keluarga selalu saja ada perbedaan karakter dari
anak-anak. Yang tertua menjadi seorang yang strategis, berpikiran manajerial
dan jauh ke depan, dan tentu saja otoriter terhadap adik-adiknya. Yang lebih
muda, ada yang menjadi orang yang supel, suka bermain dan serba praktis.
Yang lebih muda lagi memfokuskan dirinya untuk menggali ilmu pengetahuan,
karena toh ia tidak bisa menjadi manajer seperti kakaknya yang sulung atau
menjadi anak gaul seperti kakaknya nomor dua. Jadilah si bungsu menjadi ahli
dalam bidang teknik dan akademik.

Ketika perusahaan itu berpindah tangan dari orang tua kepada anak-anak,
dengan sendirinya kakak tertua menjadi Presiden Direktur. Anak kedua menjadi
Direktur Marketing, sebab secara alami ia menjadi salesman yang hebat dan
tahu bagaimana caranya menghadapi segala macam orang. Anak ketiga menjadi
Direktur Produksi, sebab ia memang menguasai segala macam teknik industri
dan seluk beluknya. Tiga bersaudara bekerja sama, menjadikan perusahaan
orang tua mereka dengan waktu tidak lama berkembang pesat dan cepat dan
mereka pun menjadi orang-orang kaya. Apalagi dalam masa-masa 'gelembung
sabun' Indonesia, yang dimulai sejak Pakto 1988 yang membuat bank-bank di
mana-mana berdiri hingga pertengahan tahun 1997 dengan pertumbuhan ekonomi
hampir 7% setahun. Itulah saat di mana orang rasanya bisa menjual apa saja
dan mendapatkan untung cukup besar, sehingga seluruh dunia memandang dengan
kagum pada Indonesia yang kelihatannya dapat tinggal landas dengan sukses.
Sedikit lagi saja, akan jadi negara maju di kawasan Asia Tenggara.

Sayangnya, gelembung sabun itu pecah, dan kenyataannya negara ini berdiri di
atas hutang yang sekarang kelihatan seperti lumpur hisap yang mengerikan.
Ketika krisis moneter terjadi, barulah kita menyadari bahwa kita tidak ada
di atas tanah keras. Bahwa semua yang dibangun dan 'berhasil' itu adalah
hasil rekayasa dan proteksi, dan ternyata orang Indonesia tidak se-produktif
kelihatannya. Apa yang terjadi dengan ketiga bersaudara ini?

Sebentar. Jika ANDA yang menjadi salah satu dari ketiga bersaudara ini, apa
yang akan Anda lakukan di saat-saat sukar seperti krisis moneter? Kalau
membaca keadaan yang sukar, secara logis dan mudah, seperti dalam sebuah
keluarga yang kompak, semua saudara saling berpegang semakin erat satu sama
lain. Semakin terbuka, semakin berusaha bersama-sama menggali
kemungkinan-kemungkinan, memilih jalan keluar yang lebih baik untuk
menyelamatkan apa yang sudah dibangun bersama-sama. Begitu, bukan?

Namun nyatanya tidak demikian. Ini bukan peristiwa khusus yang terjadi di
satu perusahaan saja (dan karena itu, tidak perlu mencari-cari perusahaan
apa yang sedang disinggung dalam artikel ini), melainkan hal yang terjadi di
mana-mana. Kakak bertengkar dengan adik. Atau dengan paman. Atau dengan
sepupu. Bukannya semakin berjabat tangan erat, sebaliknya masing-masing
saling mengepalkan tangan. Si bungsu yang selama ini hanya menjadi 'anak
bawang' merasa tidak tahan lagi dengan sikap otoriter kakak tertuanya,
lantas ia dengan membawa keterampilan tekniknya terus pergi keluar dari
perusahaan keluarga, untuk mendirikan usahanya sendiri. Memang ia bisa
menjalankan industri, tetapi ia tidak memiliki kebijaksanaan sang kakak yang
--walaupun menyebalkan karena otoriter-- memang tajam dan tepat. Hanya
dibutuhkan satu konflik dan ledakan amarah untuk mendorongnya pergi
memisahkan diri.

Setelah ledakan masalah itu, dua saudara yang tersisa kini membagi tugas,
tetapi masalahnya tidak ada yang benar-benar menguasai teknik industri. Sang
kakak yang lebih menguasai manajemen kini memantau jalannya usaha melalui
laporan-laporan keuangan dan kontrol atas manajemen manusia. Sang adik yang
lebih menguasai pasar kini membenamkan diri menghadapi persaingan yang
semakin sengit. Tetapi, tiba pula waktunya di mana manajemen keuangan
berbenturan dengan manajemen pemasaran. Memang tidak sejalan, apalagi tanpa
pemahaman tentang teknik industri, yang membuat mereka bergantung pada
beberapa karyawan yang memang ahli di bidang teknik.

Kondisinya menjadi semakin tidak masuk akal, karena karyawan tetaplah
karyawan, dan di Indonesia ini ada budaya yang membuat para Direktur merasa
diri mereka tidak boleh dibantah oleh karyawannya. Tidak masuk akal
sebenarnya, karena para karyawan yang ahli ini dibayar untuk keahliannya
tapi kemudian pendapatnya harus disesuaikan dengan keinginan Direktur yang
memberikan direksi alias pengarahan. Kalau memang begitu, untuk apa lagi
mereka dibayar? Untuk apa ada General Manager, ada Marketing Manager, ada
Operational Manager, dan ada sederetan Manager lain, kalau akhirnya semua
pendapat, pilihan, dan keputusan yang diambil haruslah seperti yang
diinginkan Direktur, sementara mereka tidak tahu apa yang sebenarnya
terjadi?

Dan terjadi pula hal-hal yang semakin tidak masuk akal. Direktur Marketing
menaikkan target pemasaran, sementara Direktur Keuangan mengetatkan
pembelian dan memangkas budget biaya produksi. Direktur Operasional
menargetkan pembukaan cabang-cabang baru, sementara Direktur Personalia
memangkas jumlah karyawan di setiap bagian, termasuk di cabang-cabang.
Direktur Penjualan mengharuskan tiap salesman menjual dua kali lebih besar,
sementara Direktur Produksi menurunkan tingkat produksi dibandingkan
proyeksi tahun lalu -- padahal di tahun lalu pun masih banyak pesanan yang
tidak dipenuhi karena produksi kurang banyak!

Masalahnya, karena di dalam masa sukar ini pada akhirnya semua orang
menginginkan yang aman dan tepat untuk bagiannya sendiri saja, dan dengan
segala kekuatan dan kekuasaan akan menekan pihak lain. Tapi kalau para
Direktur adalah kerabat dalam satu keluarga, bisa dibayangkan bahwa
'pertarungan' yang terjadi adalah perang antara karyawan yang satu dengan
yang lain. Orang pemasaran berseteru dengan orang produksi. Orang keuangan
berseteru dengan staff operasional.

Apakah Anda mengalami hal-hal semacam ini? Jangan heran, karena sudah saya
katakan, ini bukan hal yang khusus. Ini hal menyedihkan yang terjadi di
mana-mana di Indonesia. Dan jika Anda adalah salah seorang dari saudara
Pimpinan, saya tidak bermaksud menjelekkan usaha keluarga. Sebaliknya, sudah
terbukti bahwa ada usaha keluarga yang dapat berdiri dengan solid, kuat,
tangguh, di Asia. Tetapi, mereka tidak mengambil pilihan dan perubahan
seperti yang digambarkan di atas.

Baiklah, lantas apa hubungannya dengan kekristenan? Mengapa saya menulis
artikel ini?

Mari kita bayangkan kembali, apa bedanya bila ketiga bersaudara di atas
adalah benar-benar orang yang mengikuti Kristus dan taat pada Firman-Nya.
Yang pertama, mereka akan menilai hubungan keluarga lebih tinggi daripada
usaha keluarga. Sebesar-besarnya usaha, katakanlah bahwa nilai modal dan
aset sudah mencapai ratusan miliar rupiah, itu tidak lebih berarti
dibandingkan hubungan kasih antara suami dan istri, orang tua dan anak, dan
kakak dan adik. Dasarnya adalah kasih, karena dalam kasih itu pula hubungan
seseorang dengan Tuhan diukur dan dinilai. Itulah sebabnya, maka Yohanes
menuliskan Firman Allah seperti ini:

1 Yoh 3:14 Kita tahu, bahwa kita sudah berpindah dari dalam maut ke dalam
hidup, yaitu karena kita mengasihi saudara kita. Barangsiapa tidak
mengasihi, ia tetap di dalam maut.

Lihatlah, kasih itu menjadi tanda ukuran bahwa kita sudah berpindah dari
dalam maut ke dalam hidup. Dan jika dibandingkan dengan hidup (atau maut),
apalah arti dari segala kekayaan itu, yang tidak akan mengikuti manusia
keluar dari dunia yang fana ini? Orang bisa saja mendirikan perusahaan
multi-nasional, tetapi ketika ia meninggal, tak ada satu pun yang dibawanya
serta. Orang bahkan bisa saja menjadi raja diraja dunia, tetapi ketika ia
mati, ia masuk ke dalam sebuah peti. Tetapi anak-anak Tuhan mengasihi
saudaranya, menjadi tanda bahwa kehidupan telah dimilikinya.

Jadi, jika kita melihat seorang Direktur yang mengaku Kristen ternyata
sedang membenci saudaranya sendiri, jangan cepat-cepat percaya bahwa ia
telah memiliki hidup, telah berpindah dari maut.

Baiklah, jadi ketika orang berada dalam hidup, ia mengasihi saudaranya, dan
tidak perlu ada pertengkaran hebat yang begitu melukai dan memisahkan
mereka. Kasih senantiasa lebih besar daripada benci, walaupun orang lebih
mudah untuk membenci daripada mengasihi. Tetapi kasih itu, bila telah ada
dalam hati, sanggup untuk menutupi segala kesalahan dan dosa, mampu untuk
mengampuni semua perkataan dan perbuatan salah yang dilakukan. Bahkan bukan
hanya mengampuni, tetapi juga melupakan sama sekali, terlempar jauh ke dasar
lautan yang tidak akan lagi diingat orang.

Yang kedua, orang-orang dalam Kristus akan menilai kebenaran dan keadilan
lebih tinggi daripada usaha keluarga. Sebesar-besarnya usaha, yang lebih
utama adalah apa yang memang benar dan adil dan patut untuk dilakukan.
Keuntungan bukanlah segala-galanya, karena pada akhirnya kita harus mengakui
bahwa semua keuntungan itu berasal dari luar manusia. Bisa dari Tuhan,
tetapi bisa juga dari iblis. Bedanya, Tuhan memberi keuntungan sebagai
berkat yang mendewasakan manusia, tetapi iblis memberi keuntungan yang
menjerumuskan orang dalam dosa. Bagi seorang Kristen, melakukan kebenaran
adalah suatu prinsip, suatu kewajiban. Orang yang mengaku berada dalam
Kristus, wajib menjalani hidupnya seperti Kristus. Mari kita membaca kembali
Firman melalui Yohanes:

1 Yoh 2:6 Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup
sama seperti Kristus telah hidup.

Masalahnya, pernahkah kita memikirkan bagaimana Kristus telah hidup?
Jelaslah bahwa Tuhan Yesus pun mengasihi saudara-saudara-Nya, tetapi Ia
tidak mengkompromikan kebenaran karena kasih-Nya itu. Ia tidak menurunkan
standar-Nya karena hubungan saudara, tidak mengurangi kebenaran-Nya karena
mereka berkerabat dekat. Hal ini penting, bahkan dalam bisnis yang
sepenuhnya sekular. Tetapi, orang pada umumnya tidak memiliki kuasa atau
kemampuan untuk memilih kebenaran; orientasi pada profitabilitas seringkali
membutakan mata dari apa yang benar-benar penting dan berharga. Ini bukan
soal keinginan, melainkan memang tidak mampu untuk melakukan apa yang benar
dan yang adil, karena dengan begitu rasanya akan rugi, rugi, rugi.

Masalahnya pula, orang hanya mau benar dan adil kalau hal itu tidak
merugikan dirinya. Bukankah begitu?

Tapi dalam Kristus, tidak apa-apa mengalami kerugian. Atau mungkin lebih
tepat: tidak mendapatkan untung sebesar-besarnya, karena ada harga yang
harus dibayar pada waktunya. Tak apa-apa, karena lebih penting melakukan
kewajiban untuk hidup seperti Kristus, daripada mencari untung
sebesar-besarnya dan menjadi buruk dan bodoh di hadapan Allah. Mungkin ada
pula yang berkilah, kan Allah tidak melarang orang untuk menjadi kaya?
Betul, tetapi Allah melarang orang untuk berlaku curang, tidak benar, atau
tidak adil.

Dapatkah kita melihat benang merahnya? Sebelumnya sudah kita temukan
bagaimana perusahaan dijalankan dengan kebijakan yang aneh dan tidak masuk
akal. Tetapi yang lebih tepat lagi adalah, bahwa sebenarnya orang tidak
mampu untuk menjalankan usaha dengan benar dan masuk akal, jika ia hanya
mengandalkan dirinya sendiri. Hanya karena Tuhan campur tangan, maka orang
dimampukan untuk memilih dan berubah menjadi benar, menjadi baik.

Tanpa Tuhan, secara alami orang akan bertindak dan berlaku keliru, dan
secara wajar justru akan berpikir dengan tidak wajar, penuh ketakutan, dan
penuh lika liku. Jangan berpikir bahwa orang memiliki kehendak bebas; para
pelaku bisnis kawakan tentu tahu betul bagaimana pasar bisa mendikte setiap
pemain-pemain di dalamnya. Betapa absurd melakukan debat tentang kehendak
bebas secara teologis, sementara secara praktis orang tahu bahwa kehendak
bebas itu sudah lama tidak ada lagi.

Tetapi dalam Tuhan, ada kebenaran, dan kebenaran itu sungguh-sungguh
memerdekakan. Jika Anda berada dalam situasi di mana diri Anda terjepit di
antara pertentangan dua Direktur yang sama-sama memiliki Perusahaan, apa
yang Anda akan lakukan? Saya memilih untuk tidak lagi bekerja di sana.

Benar, dan sejak awal Desember 2005, saya tidak lagi berstatus karyawan.
Lalu mau apa sekarang? Bagaimana menyambung kehidupan? Mengapa begitu saja
meninggalkan keamanan penghasilan, keluar dari daftar gaji yang biasanya
diterima setiap bulan?

Namun pilihan saya adalah pilihan yang masuk akal, karena ada hal ketiga
yang ingin saya katakan di sini. Yang ketiga adalah bahwa orang-orang dalam
Kristus akan dipelihara oleh Tuhan, bukan oleh usaha keluarga atau usaha
bisnis apa pun. Betul, Tuhan akan memberkati bisnis yang kita lakukan,
tetapi ingatlah bahwa semua bisnis itu hanya alat di tangan Tuhan, alat
untuk memberkati hidup kita. Dan karena ini semua hanyalah alat, kita
harusnya selalu ingat bahwa di balik alat itu ada Pemakainya yang berkuasa.
Bisnis kita berada di tangan Allah, Dia akan menentukan ke mana
perjalanannya nanti.

Tuhan mempunyai cara untuk menyediakan segala yang kita butuhkan, termasuk
menyediakan bisnis yang bisa berjalan dan menopang kehidupan. Jika orang
belum mengenal Allah, akan terasa aneh dan tidak masuk akal. Tetapi bagi
kita yang mengenal-Nya, jaminan atas kehidupan ini adalah hal yang sangat
masuk akal, sangat wajar untuk dilakukan Allah yang mengasihi umat-Nya.
Hanya kita sendiri pun harus tahu, bahwa tidak semua yang kita inginkan
dapat terkabul, atau hidup akan senyaman yang kita mau. Tidak demikian,
bukan begitu.

Hidup akan berjalan terus, dan kita akan tetap dipelihara-Nya, sesuai
rencana dan rancangan-Nya.

Terpujilah TUHAN!

Tidak ada komentar: