Cari Blog Ini

12 November 2007

Kebenaran Dalam Arena Globalisasi

Ketika ekonomi dihubungkan dengan kekristenan, pertanyaan yang seringkali muncul adalah: "Apa konsep ekonomi yang paling sesuai dengan iman Kristen?" Ada begitu banyak pendapat, masing-masing berusaha menggali dari Alkitab, di mana kadang-kadang pendapat yang (katanya) berasal dari tafsir Alkitab itu ternyata saling bertolak belakang. Lagipula, jika diperhatikan ternyata banyak pendapat itu tidak hanya berkaitan dengan ekonomi, tetapi banyak berisi tentang etika sosial dan lebih spesifik lagi, politik. Yang dikemukakan adalah berbagai peristiwa politik, berkaitan dengan banyak kepentingan dan kompetisi memanfaatkan kesempatan demi berbagai keuntungan -- termasuk keuntungan ekonomi.

Kenapa teori ekonomi -- teori ekonomi klasik, Keynesian, atau neo-klasik -- dikemukakan? Ketika Adam Smith meluncurkan Wealth of Nations di tahun 1776, ia merangkumkan apa yang mulai terjadi pada masanya. Ia melihat bagaimana industri bergerak, menyadari adanya upah, biaya sewa, dan kapital -- berbeda dengan sistem feodal yang berlaku sebelumnya. Teori Adam Smith menginspirasi banyak kawasan lain untuk mewujudkan pasar bebas, dengan tujuan lebih mensejahterakan masyarakat. Tapi apakah memang teori ini berlaku secara universal?

Keynes berusaha mengkoreksi dengan memakai analisa matematika ekonomi yang lebih lengkap. Sebaliknya dari pasar bebas, ia menganjurkan peran Pemerintah yang lebih besar. Tujuannya? Sama, yaitu agar lebih mensejahterakan masyarakat. Tapi Keynes pun mulai di "koreksi", lalu orang kembali ke teori pasar bebas namun dengan analisa matematika ekonomi. Kita mengenalnya sekarang dengan teori ekonomi neo-klasik, yang sekarang menjadi berbagai parameter untuk melihat perekonomian nasional. IMF dulu datang dan memakai parameter-parameter ini, berdasarkan teori neo-klasik, untuk membenahi perekonomian Indonesia. Hasilnya? Indonesia bercerai dari IMF karena tidak ada sesuatu perubahan nyata.

Jadi kita lihat, bahkan para ekonom pun tidak dapat memastikan hasil suatu perekonomian dari teori-teori ekonomi yang ada. Bagaimana orang Kristen dapat mengkaitkan Alkitab sebagai sebuah sumber teori ekonomi? Yang pertama, Alkitab jelaslah bukan buku sumber ilmu ekonomi modern. Tafsiranlah yang menghubungkan Alkitab dengan ekonomi, dan dalam hal ini ada kemungkinan besar sekali tafsiran itu diramu bukan hanya dari Alkitab, tetapi juga dari pemahaman penafsir tentang ekonomi, sosial, dan politik. Yang kedua, suatu teori ekonomi selalu terbatas pada keadaan tertentu dalam kerangka waktu dan tempat, karena manusia hidup dalam cara yang berbeda-beda. Begitu sebuah teori ekonomi dijadikan patokan universal, itulah permulaan dari kejatuhan teori ekonomi tersebut, karena gagal terlaksana di kondisi yang berbeda.

Keberbedaan ini semakin mengemuka, justru karena adanya globalisasi. Proses globalisasi telah menciptakan "benturan" di mana orang menyadari perbedaan-perbedaan. Sebaliknya dari berusaha bersikap "rasional" yang cenderung membuat hanya satu jawaban bisa diterima, justru kini perbedaan dirayakan, diterima sebagai hal yang menguntungkan. Dalam konteks perekonomian, ini berarti memudarnya otoritas teori ekonomi apapun, digantikan dengan hal-hal yang berlaku di waktu dan tempat, sesuai dengan orang-orang yang ada, untuk bersepakat bersama-sama meningkatkan kesejahteraan masyarakat di situ. Semua ini cocok, pas dengan filosofi post modern yang masuk ke masyarakat sebagai pandangan hidup kontemporer. Bukan berarti bahwa semua peristiwa atau kondisi ini muncul karena adanya filsafat kontemporer; saya kira justru kedua hal ini muncul secara bersamaan dan saling memperkuat. Orang menemukan bahwa yang paling penting adalah "beradaptasi" di mana ia mengikuti lingkungan di mana ia berada. Perbedaan bukan lagi sesuatu yang berada di luar manusia, melainkan ada dalam dirinya sendiri.

Apakah memang post modernisme memberikan suatu cara hidup yang terbaik, sehingga pada akhirnya kita pun selayaknya senantiasa beradaptasi? Apa salahnya menjadi konservatif di Gereja, sementara di kantor meluncurkan pemasaran yang amat liberalis ke pasar? Tapi, bagaimana dengan prinsip-prinsip Alkitab -- atau memang Alkitab sama sekali tidak relevan, seperti yang dinyatakan oleh sekularisme?

Dalam kenyataannya, ekonomi terjadi di pasar. Itu bisa berarti toko saya atau Anda, berarti penjual di mall atau shopping center, berarti transaksi antar-warga yang terjadi di rumah, berarti aktivitas produksi dan penjualannya di pusat-pusat grosir, distribution center, dan lain sebagainya. Ekonomi dibangun pada apa yang benar-benar terjadi antara penjual dan pembeli, dan dari sana berkembang ke berbagai hal -- dalam permodalan, ada pasar modal, dalam komoditi ada bursa komoditi, dan sebagainya. "Kecanggihan" sistem ekonomi seolah-olah dapat membuat adanya pemisahan, misalnya antara pasar riil dengan pasar modal, antara makro ekonomi dengan mikro ekonomi. Untuk sesaat nampaknya begitu, sampai kita melihat bahwa yang "makro" itu seperti gelembung sabun dan bisa pecah berderai ketika terjadi krisis moneter.

Herannya, orang masih tetap suka dengan gelembung. Hari ini dana di SBI (sertifikat Bank Indonesia) telah mencapai Rp 200 Triliun, dengan tingkat bunga yang besar, hari ini saja beban bunga BI mencapai Rp 17 Triliun. Ini sebuah masalah; entah kapan akan terjadi saat di mana gelembungnya menjadi besar, sampai mungkin mencapai Rp 1000 Triliun, lalu BI menyerah karena tidak sanggup membayar bunganya? Entah apa yang terjadi jika instrumen moneter seperti SBI mengalami default!

Yang sungguh-sungguh nyata ada dalam 2 hal. Yang pertama adalah PENYEDIAAN. Yang kedua adalah NILAI TAMBAH. Sebuah transaksi terjadi karena kedua hal ini: ada transaksi yang membeli barang atau jasa yang tersedia, ada juga transaksi karena nilai tambah. Suatu ketersediaan muncul dari kreativitas manusia yang menciptakan sesuatu yang diinginkan karena dibutuhkan manusia lain. Ini biasanya muncul sebagai "barang baru" -- penentu keberhasilannya adalah sejauh mana hal itu diinginkan banyak orang. Apakah barang tersebut mempunyai nilai tambah? Mungkin ya, mungkin tidak. Ada barang yang dibeli hanya karena ia baru, bukan karena nilai apa pun yang diberikannya. Ini mungkin telah menjadi pendorong besar ekonomi di era industri, di mana nampaknya sebagian besar barang yang muncul di pasar adalah barang baru.

Di dunia yang sudah serba-ada, transaksi lebih ditujukan kepada nilai tambah. Sekarang penentunya adalah informasi tentang nilai tambah apa yang disediakan, di mana disediakannya, dan bagaimana cara memperoleh nilai tambah itu. Dan di sini kita melihat adanya kebingungan tentang nilai. Kalau sesuatu dikatakan "bernilai tambah", bagaimana persisnya menentukan bahwa sesuatu itu benar-benar bernilai tambah? Apa cara mengukurnya?

Penentu dari nilai dalam segala sesuatu yang ditransaksikan, pada akhirnya, adalah manusia. Masalahnya, (1) manusia itu bermacam-macam dan (2) waktu dapat mengubah nilai-nilai yang dijadikan patokan mengukur. Post modernisme menerima segala nilai yang berlaku antara banyak orang di banyak waktu dan tempat, seraya menolak fondasionalisme yang mengabsolutkan suatu standar dasar penilaian. Manusia memang bertumbuh: dari lahir, bayi, remaja, dewasa, tua, dan renta hingga meninggal, di mana dapat muncul nilai-nilai berbeda sebagai hasil dari interaksi dalam seluruh kehidupannya. Sampai di sini, nampaknya kita memang harus mengakui bahwa filosofi post modern benar. Ada banyak nilai, dalam banyak situasi dan kondisi, yang dapat dipegang oleh seseorang selama hidupnya. Menolak untuk berubah adalah suatu kesalahan, demikian juga mengabsolutkan suatu nilai dapat mendatangkan "kerugian" -- walau yang disebut "kerugian" pun harus dilihat cara mengukurnya.

Namun, menurut saya post modern mempunyai dua kelemahan mendasar. Yang pertama, penilaian yang benar-benar bermakna adalah apa yang terjadi dalam jangka panjang, bukan jangka pendek. Penilaian post modern cenderung mengukur segala sesuatu dalam kurun waktu yang pendek, apa yang "baik" adalah yang bagus pada saat itu saja. Karena nilai-nilai dalam post modernisme selalu ada dalam relativitas, maka makna hanya diterima dalam satu periode waktu, yang biasanya singkat. Tapi manusia tidak hidup sependek itu, dan apa yang "baik" dalam waktu yang singkat dapat menjadi hal yang 'buruk" dalam jangka panjang, bahkan menjadi bencana dalam sekian tahun terakhir kehidupan orang. Kesenangan sesaat dapat menjadi kutukan yang menghantui orang di sepanjang sisa hidupnya, bahkan dalam kekekalan. Sesuatu yang bernilai tambah seharusnya memiliki nilai jangka panjang, bukan jangka pendek.

Yang kedua, manusia itu sendiri dalam keberadaannya tidak berubah, seperti yang dari semula telah diciptakan oleh Tuhan. Apa yang menjadi sifat manusia, kelemahannya dalam dosa dan kelebihannya dalam kemampuan, tidak berubah. Yang berubah adalah pengetahuannya, pengalamannya, dan kondisi yang melingkupinya. Sekarang orang mempunyai teknologi yang jauh-jauh-jauh lebih maju daripada seabad lalu. Sekarang orang mempunyai pengalaman globalisasi. Sekarang jumlah manusia di seluruh dunia ada begitu banyak, dan setiap tahun jumlahnya tidak berkurang. Tapi dahulu yang banyak adalah penduduk di negara maju, sekarang yang banyak adalah penduduk di negara berkembang. Semua ini saling mempengaruhi, tapi lihatlah bahwa manusia itu sendiri, pada dirinya sendiri, tidak berubah. Karena tidak berubah, maka tidak relatif. Jadi, teori postmodern tidak tepat, karena ada suatu kebenaran mutlak yang permanen tentang diri manusia.

Lihatlah. Apa yang dicari orang dunia masih soal uang, kekuasaan, dan seksualitas. Masalah orang masih tentang membunuh, mencuri, berzinah, berdusta, menginginkan milik sesama, dan karakter buruk lainnya. Yang dihargai orang dan diterima masih tentang kasih, sukacita, damai sejahtera, kebaikan, kesabaran, kemurahan, kesetiaan, kelemah lembutan, dan penguasaan diri. Kita lihat: ketika bicara tentang nilai yang manusia hargai, apa yang dahulu dan sekarang masih tetap sama. Masalahnya sama. Penyelesaiannya juga sama.

Saya berpendapat, Alkitab bukan bicara tentang ilmu ekonomi. Tetapi Alkitab menyatakan apa yang benar-benar bernilai, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek, sesuai dengan apa yang Tuhan --Pencipta manusia-- nyatakan tentang ciptaan-Nya. Dan dalam hal ini, nilai-nilai dari Alkitab adalah nilai yang mutlak, absolut karena Tuhan tidak berubah dan hakekat manusia pun masih tetap sama. Maka, Alkitab memang tidak menjadi landasan hukum ekonomi, tetapi memberikan apa yang menjadi nilai tambah yang perlu diberikan. Kebenaran yang mutlak adalah benar di mana pun, kapan pun, dan bagi siapa pun adanya.

Demikianlah: nilai-nilai dari Firman Tuhan seharusnya menjadi nilai tambah dari segala aktivitas ekonomi orang Kristen, yang tidak diukur dalam jangka pendek saja tetapi juga dalam jangka panjang. Dengan begitu, kebenaran meningkatkan kehidupan orang -- karena itulah maksudnya menambah nilai -- yang mempengaruhi seluruh relasi dalam masyarakat. Sementara post modernisme menerima segala hal sebagai relatif sehingga nilai-nilai muncul dan musnah dalam berjalannya waktu, kebenaran dari Firman menetapkan nilai-nilai yang bersifat kekal.

Kebenaran tidak tergantung pada teori ekonomi yang digunakan untuk membentuk kemasyarakatan. Entah teori klasik atau Keynesian atau neo-klasik, apa yang benar-benar berharga tetap sama bagi manusia. Entah digunakan dalam lingkup domestik-lokal seperti wilayah terpencil di Indonesia atau dalam lingkup global yang melintasi berbagai negara, apa yang dimuliakan tetap sama mulia. Nilai-nilai ini mungkin tidak hanya muncul dari kekristenan; sebenarnya kita juga bisa menemukan nilai-nilai diberikan oleh banyak kepercayaan lain, agama lain. Mungkin dari sana kita menemukan notasi, "semua agama sama" ketika berbicara tentang kebaikan yang dapat dibuat manusia: kejujuran, kenyamanan, kedamaian...

Alkitab bicara tentang menguji roh, menguji nilai-nilai. Tidak semua yang dirasa baik itu benar serta tetap dirasa baik di masa depan. Pengujian juga mensyaratkan bahwa ada yang cocok dan tidak cocok, benar dan tidak benar dalam terang Firman Tuhan. Ketika nilai-nilai yang benar dibawakan dalam semua barang dan jasa yang diberikan -- dalam pengertian yang lebih luas: "pelanggan ada di proses berikutnya" -- dorongannya akan mempengaruhi bagian lain, bahkan menjadi suatu inspirasi global. Penilaiannya bukan dalam relativitas terhadap pandangan lain seperti pada post modern. Itulah kebenaran dalam arena globalisasi.

Seberapa jauh komunitas Kristen menyatakan identitas kekristenannya ketika meluncurkan suatu hal ke dunia global? Karena sekularisme, banyak hal yang berasal dari kekristenan kehilangan identitas kristennya. Namun dengan cepat kita bisa melihat dan memahami notasi-notasi kristen di dalamnya, bahkan ketika pembawanya sama sekali bukan orang kristen. Amerika adalah negara Kristen, banyak produk dan jasa dan metode yang diwarnai kekristenan, tapi sekarang dikatakan bahwa itu adalah hal-hal yang umum: kualitas, pelayanan lebih baik, pengorbanan, dedikasi, dan sebagainya. Amerika tidak dibangun oleh teori-teori ekonomi tertentu, melainkan produk dan jasa yang diberikannya!

Itulah yang membuat negara Amerika kuat. Saya percaya, itu juga yang dapat membangun negara ini. Bukan teori ekonomi ini atau itu, melainkan bagaimana orang Indonesia memberikan hasil dengan nilai tambah yang sesuai dengan kebenaran, yang bernilai dalam kekekalan. Semua hal yang sungguh riil, nyata, bukan hanya wacana dan diskusi melainkan diwujudkan. Nilai-nilai ini pula dapat menyembuhkan "penyakit" yang mendera bangsa dan negara ini, dan dengan pengaruhnya mengikis sifat korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sudah seperti kanker stadium akhir, merasuk di mana-mana.

Sayangnya, nilai tambah sesuai kebenaran mutlak ini hanya bisa diberikan oleh orang yang benar-benar memahaminya, artinya orang itu harus mau mempelajari Alkitab. Dan untuk mampu memahami Alkitab, ia harus berangkat dari satu landasan iman -- percaya Tuhan Yesus Kristus. Bukan filosofi post modern yang bisa menolong ekonomi yang dalam kesulitan, melainkan pemahaman iman Kristen yang diwujudkan dalam produktivitas riil, dalam semua produk dan jasa serta metode yang benar dan penuh hikmat. Post modernisme tidak bisa diperangi, tetapi bisa digantikan oleh sesuatu yang memang dalam hakekatnya lebih baik, lebih tepat, dan tetap berlaku di masa depan.

Pertanyaannya: apa yang telah kita berikan, sebagai umat Kristen?


Powered by Qumana

Tidak ada komentar: