Kol 3:23 Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.
Gal 2:20 namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.
IDE Yang Salah
Berapa kali kita mendengar kata-kata ‘bijak’ seperti ini: “Kita harus menyeimbangkan antara hidup untuk Tuhan dan pekerjaan atau karir kita.”
Lalu berapa kali kita pernah mendengar permohonan maaf seperti ini: “Maaf ya, saya tidak ikut pelayanan persekutuan doa karena kemarin saya harus bekerja.”
Dan, kalau kita sendiri yang memohon maaf, berapa kali kita mendengar teguran seperti ini: “Bagaimana sih? Apakah kamu lebih mendahulukan pekerjaan daripada Tuhan?”
Ide-ide ini berangkat dari sebuah pemikiran yang sangat tua, bahwa tubuh ini merupakan penjara jiwa. Apa yang ‘rohani’ berbeda dari apa yang ‘daging’, dan orang harus berusaha untuk memenuhi rohaninya lebih dulu daripada tubuhnya. Salah satu penegasan tentang hal ini ‘dibuktikan’ dengan penjelasan bahwa manusia terdiri dari tubuh, jiwa dan roh (trikotomi) walau kalau melihat teologi bapa-bapa gereja, mereka hanya membagi berdasarkan tubuh dan roh (dikotomi).
Yang tidak orang sadari adalah, ide bahwa tubuh sebagai hal yang buruk bukan berasal dari Firman, melainkan dari budaya hellenis, Platonism. Mereka percaya bahwa Allah adalah sebuah sumber roh, di mana roh manusia merupakan pecahan dari roh Allah karena itu roh bersifat mulia dan kudus. Tetapi tubuh fisik merupakan bagian dari semesta yang lebih ‘rendah’, karena itu harus didisiplinkan untuk menampung roh. Pemikiran ini membuat orang tidak menikah dan bahkan mengebiri dirinya, seperti yang dilakukan oleh Origen, salah seorang bapa gereja awal (185-254AD?) yang berpengaruh di Alexandria. Pemikiran ini juga jelas mempengaruhi Augustinus dan Aquinas, serta mempengaruhi kekristenan di Abad Pertengahan.
Alkitab sendiri tidak pernah mengajarkan bahwa tubuh buruk. Dikotomi memang menjelaskan bahwa manusia dapat dilihat terdiri dari dua elemen, namun kedua-duanya jatuh dalam dosa dan harus dibinasakan. Hanya karena anugerah dan kasih Tuhan Yesus Kristus, maka manusia diselamatkan. Roh-Nya membawa kelahiran baru roh kita, sedangkan tubuh kita masih tetap sama. Tetapi, tidak berarti tubuh menjadi penjara jiwa, atau membagi kemanusiaan menjadi dua. Nyatanya, tubuh ini juga yang dipakai oleh Tuhan untuk memuliakan-Nya.
Alkitab juga tidak pernah mengajarkan untuk “menyeimbangkan” antara rohani dan pekerjaan. Apapun yang kamu perbuat secara tegas meliputi segala aspek perilaku di semua tempat setiap saat, dilakukan dengan segenap hati bagi Tuhan. Hidupku yang kuhidupi sekarang merujuk kepada seluruh kehidupan dari bangun sampai tidur, semuanya.
Satu hal lagi yang perlu kita perhatikan: segala buah-buah roh merupakan sesuatu yang dipahami dalam tindakan dan relasinya dengan orang lain. Inilah yang ditegaskan oleh rasul Paulus mengenai buah-buah roh: Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu. Tentu saja, hukum berlaku mengatur tindakan masyarakat.
Tindakan Yang Memuliakan: Yang Memberi
Bagaimana kita bisa menilai sebuah tindakan sebagai sesuatu yang memuliakan Tuhan, bagi Tuhan? Pertama-tama, kita perlu mengerti apa yang disebut ‘mulia’. Semua yang mulia adalah yang berharga. Logam yang mulia adalah logam yang sangat tinggi harganya. Batu mulia menjadi salah satu instrumen investasi yang nilainya tidak pernah turun. Manusia menilai sesuatu ‘mulia’ karena dua hal: karakteristik yang khusus dan dampak yang diberikannya bagi manusia.
Logam mulia mempunyai karakteristik tidak berubah dipengaruhi waktu. Emas tidak pernah berkarat, kehilangan kilaunya, atau larut dalam asam. Emas memberikan kestabilan; orang yang memiliki 1 ons emas hari ini dapat tetap memiliki 1 ons emas 10 tahun lagi (tentunya jika kalau emas itu tidak dicuri atau dijual).
Seorang raja mempunyai karakteristik kepribadian yang berkharisma; demikianlah seorang pangeran sejak kecil dididik untuk menjadi raja. Segala hal yang diputuskan oleh sang raja akan mempengaruhi kehidupan semua orang, damai atau perang, sejahtera atau kelaparan.
Manusia tidak bisa membuat emas menjadi emas. Ada orang yang tidak punya karakter raja, akhirnya menghancurkan kerajaannya seperti Rehobeam, anak raja Salomo yang penuh hikmat. Yang dapat manusia lakukan adalah menemukan apa yang mulia. Istilah ‘memuliakan’ berarti memberitahu, menyadarkan orang lain tentang sesuatu sebagai hal yang mulia.
Untuk memberitahu orang lain, maka harus ada dampak yang terjadi pada orang lain itu. Bagaimana seseorang dapat menimbulkan sesuatu bagi orang lain secara positif? Cara yang dikenal manusia adalah dengan memberi. Ketika kita memberi sesuatu, ada perubahan yang terjadi pada diri penerima – paling sedikit dari kondisi tidak memiliki menjadi memiliki. Namun dampaknya bisa lebih luas: mungkin kita membuat orang menjadi lebih sehat, lebih senang, lebih sejahtera, mempunyai kesempatan dan harapan, mengeluarkan orang dari situasi putus asa.
Inilah yang diingat dari perkataan Tuhan Yesus: Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima[1]. Kebahagiaan muncul dalam relasi, ketika kita melihat orang-orang yang kita kasihi berubah secara positif karena pemberian kita. Mereka kemudian akan bertanya-tanya, apa yang menjadi alasan dari pemberian itu?
Ketika orang mengerti bahwa alasan pemberian adalah karena kita telah memiliki Tuhan, maka kita memberitakan bahwa Tuhan sebagai sumber yang mengubah hidup kita sendiri, sehingga kita disanggupkan untuk memberi. Hal ini mengundang orang untuk turut memahami Tuhan sebagai sesuatu yang mulia – demikianlah kita memuliakan Tuhan.
Jadi tindakan yang memuliakan adalah tindakan memberi. Pertanyaannya, di masa yang penuh dengan kompetisi seperti saat ini, bagaimana kita dapat memberi secara signifikan?
Profesional: Memberi Yang Terbaik
Dalam sebuah pertandingan, ada dua macam pemenang. Pemenang yang amatir adalah mereka yang menang karena kesalahan lawan. Pemenang yang profesional adalah mereka yang menang karena lebih baik daripada lawan.
Profesional adalah sikap menjunjung profesi, artinya menguasai segala aspek untuk memberikan secara utuh dan sempurna. Gerakan terbaik dalam olahraga dilakukan para pemain profesional; siapa yang tidak tahu Michael Jordan dalam basket? Dia terkenal dengan “berjalan di udara”, melakukan gerakan yang spektakuler. Banyak orang berusaha menirunya, tetapi sedikit saja yang berhasil.
Apakah para profesional mendapatkan kemampuannya begitu saja? Tidak, mereka menempa diri dengan cara yang lain dibandingkan orang awam. Rasul Paulus juga mengajar orang untuk menjadi profesional, karena dia menggambarkan dirinya “Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul.[2]”
Latihan yang dilakukan Michael Jordan adalah setiap hari melemparkan bola beratus-ratus kali, dan ia tetap melakukannya sekalipun telah menjadi NBA Superstar. Dia tidak mengatakan, “oh saya sudah bisa, jadi sekarang saya mau duduk dan nonton televisi.” Itu adalah hal yang dilakukan oleh orang awam, bukan profesional.
Dengan menjadi profesional, seseorang memberikan yang terbaik dan mempengaruhi banyak orang. Michael Jordan telah menginspirasi banyak orang dan mempengaruhi – bahkan orang-orang yang ada diluar gelanggang basket. Dia memberikan lebih dari sekedar pertandingan yang indah dipandang dan enak diikuti; dia menunjukkan bagaimana seorang manusia bisa memberikan yang terbaik pada dirinya.
Jika kita berniat untuk memberi yang terbaik, apalagi yang terbaik itu adalah bagi Tuhan seperti yang kita nyanyikan, sebaiknya kita mulai melangkah dalam jalan seorang profesional. Ini bukan jalan yang mudah atau sederhana. Ini bukan sesuatu yang bisa dilakukan sembarangan saja. Namun pikirkanlah, perbuatlah dengan segenap hati sebagai sesuatu bagi Tuhan, bukan manusia.
Setiap anak Tuhan dipanggil untuk menjadi hamba-Nya dalam bidang yang Tuhan berikan. Memang, ada hamba Tuhan yang melayani pemberitaan Firman. Tetapi ada juga hamba Tuhan yang melayani bidang kesehatan. Ada yang melayani perdagangan. Ada yang melayani keuangan. Atau pendidikan. Atau perumahan. Di bidang apa kita hendak menjadi profesional?
Menjadi profesional bukan berarti menjadi orang yang menomor-satukan pekerjaan dan melupakan Tuhan. Kalau orang memang mau melupakan Tuhan, tidak perlu beralasan karena pekerjaan, atau mencari kambing hitam yang bernama ‘kesibukan’!
Menjadi profesional berarti menaruh semua konsentrasi dan usaha untuk menguasai sepenuhnya, untuk memberi yang terbaik kepada masyarakat, melakukannya bagi Tuhan. Bukankah dikatakan demikian oleh Firman: Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya[3]. Apapun yang kita kerjakan dengan baik, bukan karena kita sanggup sendiri, melainkan karena Allah sudah mempersiapkannya.
Tuhan sudah mempersiapkan. Tinggal kita sekarang: apakah kita mau melakukannya dengan profesional atau hanya amatiran saja? Dan apakah kita melakukannya untuk memuliakan Tuhan?
Terpujilah TUHAN!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar