Hari-hari ini diisi dengan kebingungan di Amerika Serikat. Pasalnya, di dalam pemilihan wakil senat dari Massachusset, pemenangnya adalah Scott Brown dari Partai Republik. Ini merupakan kejutan, karena sebelumnya Massachusset diwakili oleh Ted Kennedy, basis kuat Partai Demokrat. Ada apa ini? Rupanya rakyat Amerika mulai gerah dengan sepak terjang pemerintahan Obama yang masih sibuk dengan reformasi sistem kesehatan. Sebuah reformasi yang 'ajaib' karena praktis membuat orang membayar pajak lebih besar untuk mendanai asuransi kesehatan yang dilakukan tanpa underwriting.
Prinsip dari asuransi adalah mengambil alih resiko – tapi itu berarti keadaan sakit belum terjadi. Jika sudah terjadi, maka sifatnya bukan lagi asuransi melainkan perlindungan sosial. Berapa banyak dana yang dibutuhkan? Kalau siapa saja tanpa dilihat kondisi sebelumnya dapat memperoleh asuransi kesehatan, maka siapa saja yang sudah sakit akan masuk dan mengambil jatah dari mereka yang masih sehat. Dana asuransi akan dengan cepat tersedot habis, kecuali Pemerintah kemudian menambahkan angkanya dengan mengambil lebih banyak pajak dari rakyat.
Tapi kalau begitu, Amerika dengan cepat berubah dari negara demokrasi individualis terbesar menjadi negara sosialis terbesar – itu sesuatu yang bahkan kaum Demokrat pun tidak menginginkannya. Bagaimana reaksi pemerintahan Obama?
Mereka bereaksi dengan menunjuk pada keadaan ekonomi yang bermasalah akibat perbankan, yang berkinerja buruk namun ada banyak pengurusnya, para CEO, yang mendapatkan gaji setinggi langit. Oleh karena itu, pemerintah Obama membuat penegasan: tidak boleh lagi bank dan lembaga keuangan bekerja tanpa kendali. Dibuatlah serangkaian aturan baru, yang membatasi gerak perbankan sekaligus mengurangi pendapatan bank. Bank Investasi harus terpisah dari Bank Komersial yang menyimpan dana nasabah. Ini akan menghantam bank besar seperti JP Morgan, Bank of America, dan Citigroup Inc.
Akibatnya? Nilai saham perbankan yang kemarin mulai pulih kini kembali menurun. Buum…nilai rata-rata Dow Jones turun 213 poin dan terus tergerus, menghilangkan keuntungan yang menandai tahun 2010. Ini tanda-tanda suram bagi perbaikan ekonomi Amerika, di tengah pidato Presidennya tentang tekad untuk berjuang memulihkan kembali ekonomi negara. Yang kasihan adalah Tim Geithner, yang bersusah payah mengharmoniskan kerja sama antara Pemerintah dengan Perbankan. Tentu saja, kalangan perbankan tidak mendukung rencana pemisahan yang merugikan institusi mereka sedemikian rupa.
Kesulitan muncul dari kenyataan bahwa tidak semua tindakan Pemerintah dilandasi keinginan untuk membawa kebaikan. Beberapa pengamat mulai melihat adanya usaha-usaha populis dari Obama untuk menarik simpati dari para pemilih yang marah terhadap bank. Logikanya: yang penting dalam pemilihan Presiden mendatang Obama kembali populer dan terpilih, karena sekarang ini popularitasnya melorot turun. Politik sudah campur tangan di sini, dan dalam pertarungan mendapatkan simpati pemilih, pihak yang kurang populer dan kurang dipahami rakyat awam bisa dikorbankan – betapapun sebenarnya dalam posisi amat penting untuk memulihkan ekonomi. Biarlah ekonomi runtuh, yang penting jadi penguasa… (MUNGKIN begitu, siapa tahu?)
Secara global, kesimpulan dari keadaan ini adalah kenyataan bahwa pemulihan ekonomi dunia tidak akan bermula dari Amerika Serikat, juga tidak dari Eropa. Pemulihan akan datang dari pertumbuhan ekonomi Asia, dengan pertumbuhan PDB China yang mencapai 8,7% selama 2009. Dalam kerangka ini, ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) mempunyai peran penting karena menghubungkan dua negara dengan pertumbuhan PDB yang positif selama masa krisis. Artinya, kinerja ekonomi yang terbentuk tidak mungkin ditarik balik, ditunda apalagi dibatalkan. Interaksi ekonomi antara negara-negara Asia akan menjadi motor penggerak ekonomi yang besar. Pertanyaannya, seperti apa peran kita di dalam kinerja ekonomi ini?
Masalahnya adalah korupsi dan inefisiensi yang menghantui Asia, baik Indonesia maupun China. Karena besarnya tekanan dan regulasi yang dibutuhkan, ada hambatan besar untuk meningkatkan inovasi dan penemuan-penemuan baru. Nyatanya, sumber teknologi dunia masih dominan berasal dari negara maju, ditambah Jepang, Taiwan, dan Korea – semuanya berafiliasi dekat dengan Amerika. Krisis ekonomi juga berpengaruh dengan pendanaan penelitian dan penemuan teknologi baru, terutama yang lebih ramah lingkungan. Kenyataannya, ekonomi Asia masih berkembang dengan teknologi yang belum ramah lingkungan.
Menjadi ramah dengan lingkungan – menekan pencemaran karbon dan lebih efisien memakai energi – menjadi kata kunci yang penting bagi dunia masa depan. Sayangnya, pertumbuhan tinggi di China membuat negara-negara penghasil minyak bersorak-sorak gembira, mereka meningkatkan prediksi konsumsi minyak di tahun-tahun yang akan datang, disertai dengan peningkatan harga minyak bumi yang kemarin ini sempat tembus US$ 80 per barrel, kemudian turun lagi. Itu menandai belum ada perubahan yang signifikan dari pemakaian bahan bakar minyak, yang berarti belum ada pengurangan emisi karbon yang berarti untuk menjaga kelestarian bumi.
Kalau dalam kuartal ke-IV 2009 PDB China naik lebih dari 10%, bukan berarti Pemerintah China senang dengan kondisi ini. Mereka juga khawatir dengan ekonomi yang meningkat terlalu cepat, karena bisa menimbulkan inflasi yang membesar (disebut juga inflasi spiral) yang bersifat menghancurkan. Mereka khawatir dengan gelembung ekonomi yang bisa meletus dengan banyak korban. Maka, Pemerintah China mengerem pengucuran kredit dan mengurangi jumlah uang yang beredar.
Kembali ke Indonesia: pada kita ada pertumbuhan yang relatif 'sehat', tidak terlalu panas atau tinggi, juga tingkat inflasi yang rendah. Ini adalah peluang bagi rakyat Indonesia untuk berusaha lebih keras lagi, mengambil kesempatan untuk maju dengan lompatan-lompatan. Pertumbuhan bisa mengikuti pola Kaizen – continuous improvement – bisa juga merupakan 'Quantum Leap' yang muncul dari rekayasa bisnis secara total. Lompatan jauh untuk langsung ada di muka, meninggalkan pesaing dalam seketika.
Siapa yang bisa? Biarlah Amerika runtuh…masa depan kita ada di Indonesia, bukan?