Hari-hari ini bangsa Indonesia melihat pertunjukkan Pansus Century setiap hari di televisi. Melihat kegairahan – atau kegerahan? – mereka, tidak urung orang bertanya-tanya ada apa ini? Karena, orang cukup pandai untuk membedakan antara pertanyaan yang bermaksud mencari tahu dengan pertanyaan yang menuduh. Orang tahu ketika sang penanya bertanya dengan niat mengungkapkan, atau hanya memaksakan 'kebenaran' menurut apa yang mereka pikirkan. Yang ditanyai juga tidak bodoh, sebaliknya mereka ini sangat pandai – sekelas Pak Boediono dan Ibu Sri – demikian juga dengan pemirsa.
Hanya, tentu saja ada dua macam pemirsa: ada yang pandai dan ada yang kurang pandai. Yang pandai mengkritisi pertanyaan dan jawaban, mereka memikirkan hubungan yang satu dengan yang lain. Yang kurang pandai cenderung lebih melihat sosok penanya serta gegap gempita yang ada di jalanan. Lihat saja, bukankah sekarang ini di mana-mana ada berbagai macam kelompok, entah itu mahasiswa atau LSM, yang "menggugat untuk menuntaskan kasus Century"?
Ajaib benar permintaan itu – memangnya apa yang sedang dilakukan oleh Pansus?
Intinya, bangsa ini mengalami kebingungan yang besar, karena setelah pemilu berlalu masih ada pertunjukkan politik yang rasanya baru sekarang terjadi. Tidak pernah ada sebelumnya, kehebohan begitu besar padahal kalau dipikir kasusnya di jaman dahulu lebih dahsyat. Ingat peristiwa Trisakti? Ingat kerusuhan Mei 1998? Ingat kasus BLBI yang ratusan trilyun? Itu semua hebat, tetapi kalau dilihat dari intensitasnya, semua kalah oleh urusan Century.
Padahal, apa sih urusan Century ini? Kalau orang mengingat bagaimana krisis global menghantui seluruh dunia tahun 2008, mudah dipahami bahwa setiap pemerintahan, termasuk Indonesia, berusaha menampilkan negaranya sebagai tempat yang aman dan bebas dari masalah. Waktu Bank Century mulai bermasalah, tidak ada yang tahu bahwa implikasinya adalah angka 6,7 Trilyun. Talangan yang diperkirakan jumlahnya memang beberapa ratus milyar rupiah – tapi ini tidak seberapa dibandingkan dengan pergerakan investasi yang jumlahnya milyaran dollar. Tahu bedanya rupiah dan dollar saat itu? 10.000 kali!
Jadi, tidak sulit untuk mengerti bahwa waktu itu BI berusaha menyelamatkan pasar modal Indonesia dengan melakukan apa saja, selama bisa dijaga tidak muncul sentimen negatif. Saat itu Bursa Efek Indonesia masih pusing dengan kasus repo BUMI, yang menghancurkan portofolio banyak pihak. Untungnya Bumi adalah urusan tambang batu bara, bukan perbankan. Jangan sampai ada kesan bahwa perbankan di Indonesia juga bermasalah (seperti umumnya perbankan di negara-negara maju saat itu). Jadilah ada talangan buat Century, toh jumlahnya masih di bawah 1 Trilyun.
Yang entah bagaimana, baru belakang berkembang menjadi 6,7 Trilyun. Sayangnya, orang seringkali lupa mengenai kapan angka ini muncul dalam laporan.
Kehebohan ini menjadi berbahaya karena implikasinya kini tanpa disadari telah jauh lebih besar dari angka Rp. 6,7 Trilyun. Dengan ketidak-pekaannya, orang mulai berteriak untuk menurunkan Boediono – yang sampai sekarang tidak jelas apa kelirunya – dan juga Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Kalau mereka mendesak-desak, lama-lama ini menjadi pengadilan jalanan yang sama sekali tidak adil, tidak objektif, dan tidak berdasarkan fakta. Mereka kini mendesak Pak Presiden untuk "mengambil alih" – itu kata-katanya Bang Adnan. Dia mungkin ahli hukum, tapi dia tidak mengerti implikasinya.
Saat ini, bangsa Indonesia menghadapi ACFTA – Asean China Free Trade Area. Perdagangan bebas! Di luar dari pengamatan orang-orang yang disibukkan oleh Century, para pengusaha Indonesia menjerit karena dihabisi oleh barang-barang yang lebih murah sekaligus lebih bagus mutunya. Negara ini sebenarnya sedang menghadapi serudukan banteng, bukan banteng tapi naga, yang besar namun orang-orangnya meributkan pakaian sang matador!
Industri tekstil yang berteriak duluan, diikuti oleh meubel. Kemarin, berita keluhan muncul dari industri jamu herbal. Kalau orang tidak tahu, kita ini mengalami masalah dalam tiga hal. Yang pertama adalah ekonomi biaya tinggi, dari segala pungutan dan retribusi dan pungli yang masih terjadi dan membebani pengusaha. Yang kedua adalah disintegrasi industri, karena orang Indonesia suka membuat barang jadi dan tidak menyediakan industri bahan baku yang memadai. Sekarang, semua bahan baku harus diimpor dan harganya menjadi lebih mahal – itulah yang membuat industri di China bisa lebih murah. Yang ketiga adalah tenaga kerja yang tuntutannya tinggi, minta gajinya besar, tetapi produktivitasnya tidak sepadan.
Dengan ancaman seperti ini, yang dibutuhkan adalah kestabilan dan ketenangan, karena orang-orang sudah mulai panik. Ibaratnya, gedung bernama "NKRI" ini sedang ada kebakaran, tetapi di dalamnya para penghuni masih sibuk mendemo manajer gedung – mereka yang mengerti dan harusnya berfokus mengatur untuk menyelamatkan gedung ini dari lautan api. Kalau diteruskan mendemo dan mereka tidak bekerja, siapa yang akan menyelamatkan saat semuanya terbakar? Bagaimana lagi orang bisa menyelamatkan diri?
Kita harus berfokus pada produktivitas. Sekarang ini tidak ada lagi banyak waktu; sekarang juga ekonomi biaya tinggi harus dihentikan, pungutan – resmi maupun liar – distop, pejabat-pejabat bekerja dengan benar, dan infrastruktur serta industri yang dibutuhkan dibangun secepatnya. Orang harus bekerja lebih giat, lebih cerdas – tidak lagi cukup sekedarnya menjahit atau memotong, menjadi sekedar buruh yang melakukan hal yang sama, melakukan hal yang benar dan salah secara terus menerus tanpa peningkatan atau perbaikan.
Kita mengalami krisis yang lebih besar daripada krisis ekonomi, yaitu krisis manajemen-diri. Kita tidak tahu apa yang harus dilakukan, berharap masih bisa sedikit bermalas-malasan, menolak untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar. Bertahun-tahun lamanya banyak orang menganggap masalah ekonomi dan pendapatan adalah sesuatu yang datang begitu saja, kebutuhan sehari bisa dipenuhi oleh kerja sehari, atau paling-paling menabung dua atau tiga tahun saja cukup. Sekarang, semua itu tidak lagi memadai. Kalau tidak meningkatkan diri, orang harus bekerja tiga hari untuk makan satu hari. Untuk sesuatu yang besar dan penting seperti biaya masuk perguruan tinggi atau dana pensiun yang memadai, orang harus menabung sepanjang ia masih bisa bekerja.
Itu pun, kalau menabungnya tanpa pertimbangan yang matang dan tempat menabung yang benar, hasil jerih payah menabung tidak sebanding dengan pengorbanannya. Sekarang ini, orang harus mengerti bahwa tanggung jawab memilih dan menentukan cara yang paling sesuai dalam mengelola keuangan adalah tanggung jawabnya sendiri. Kalaupun ada bantuan, mungkin dari Perencana Keuangan, sifatnya adalah konsultasi – hanya nasehat. Karena, Perencana Keuangan tidak mungkin mengambil alih tanggung jawab dan konsekuensi dari pilihan kliennya.
Hal ini penting, karena sekarang banyak juga orang yang mengaku-aku jadi Perencana Keuangan. Mereka mulainya mendaftar sebagai agen, biasanya agen asuransi, lalu mendapatkan pelatihan beberapa jam, atau yang lebih baik, beberapa hari. Mereka sudah hafal produk untuk mereka jual, hafal bagaimana mengucapkannya dan hafal berapa akan mendapatkan komisinya. Lantas mereka mengenakan baju yang bagus dan bertemu orang serta memperkenalkan diri sebagai Perencana Keuangan dari perusahaan besar... Tetap saja mereka hanyalah agen penjual. Baju dan kartu nama tidak membuat orang lebih pandai, bukan?
Krisis ini menuntut orang Indonesia, kita semua, menjadi lebih sadar bahwa masa depan tidak lagi mudah, atau begitu saja bisa didapatkan. Kita tidak bisa sembarangan lagi mengambil produk keuangan, apalagi yang bernilai besar seperti Asuransi dan Investasi. Kita harus tahu lebih banyak, mengerti lebih dalam – kalau kita memang benar-benar bertanggung jawab. Kita tidak punya banyak waktu untuk dihabiskan dengan urusan Century, yang sebenarnya tidak mempunyai arti yang penting. Urusan bail-out Bank Century bukan urusan besar! Itu bukan hal yang paling penting! Mengapa menghabiskan waktu begitu lama? Untuk apa semua perdebatan itu?
Sama seperti agen penjual yang mengaku diri Perencana Keuangan, orang yang menjadi Wakil Rakyat di DPR juga mungkin hanya mengubah baju dan kartu namanya. Pertanyaaan bagi rakyat Indonesia, seberapa jauh kita mau menggantungkan diri, masa depan kita, kepada pikiran dan pilihan mereka? Kitalah yang harus menanggung konsekuensi terbesar di masa depan, bukan anggota DPR yang sudah menerima gaji dan tunjangan setinggi langit! Juga bukan menteri-menteri atau pejabat negara yang menerima kemewahan besar dan mobil terbaru itu, walaupun belum menghasilkan sesuatu yang benar-benar penting. Mereka bisa saja menerima semua itu, dan mungkin kita juga tidak keberatan – tapi ingatlah bahwa kelak kita harus menghadapi suatu kondisi yang sudah ditanamkan sejak sekarang.
Lihatlah apa yang kita miliki sekarang. Di mana kita menabung? Apa yang kita dapatkan? Juga, bagaimana perlindungan asuransi kita sekarang? Karena, di hari-hari mendatang akibat dari musibah akan menghantam lebih keras – nanti saat semua orang mengalami kesulitan ekonomi, siapa yang masih mau membantu janda dan anak yang ditinggalkan oleh suami dan ayah, secara tidak terduga? Ada begitu banyak modal ditanamkan dalam bisnis, untuk usaha. Kadang-kadang, semuanya ditaruh di sana sehingga tidak cukup dana tabungan untuk keluarga. Bagaimana dengan resikonya, saat usaha mengalami kemunduran karena gagal bersaing dengan produk buatan China dan Malaysia atau Filipina?
Begitulah: kita perlu berusaha, bersaing, dan menjaga kesejahteraan – untuk masa depan yang lebih baik. Satu hal yang paling penting dari semua ini: jika oleh keadaan sekarang kita mulai merasa khawatir, ingatlah bahwa kita mempunyai PEMELIHARA yang menyediakan, kita digendong oleh TUHAN. Saat kesusahan datang, bahkan untuk berdoa pun mungkin sulit – itulah saat Roh Kudus yang berdoa bagi kita, dengan keluhan yang tidak terucapkan.
Kalau kita berusaha, ini adalah bagian dari tanggung jawab kita. Tetapi untuk kepastiannya, jangan khawatir – itu tidak akan menambah umur, atau menyelesaikan masalah. Inilah saat kita melihat kembali hubungan dengan Tuhan, melihat kembali bagaimana relasi kita mempunyai makna dalam kehidupan yang sebenarnya. Apakah kita lebih bergantung kepada anggota DPR, atau Menteri, atau Agen Asuransi? Atau, kita lebih dahulu menyerahkan masa depan secara sungguh-sungguh dalam tangan Tuhan, setelah itu mulai bertanggung jawab untuk mengerjakan segala sesuatu yang sudah seharusnya kita kerjakan?
Jangan lagi bekerja asal-asalan. Jangan lagi menabung asal-asalan. Jangan lagi mengambil polis asuransi jiwa asal-asalan. Tidak cukup kalau sekarang ini hanya menyerahkan nasib ketangan orang lain – bahkan ke tangan orang yang sudah lama kita kenal. Kalau kita kerja benar, menabung disiplin, dapat perlindungan finansial yang memadai – akhirnya orang melihat hikmat yang benar dan bertanya, "mengapa bisa begitu?"
Saat itu kita tersenyum dan menjawab, "karena Tuhan yang menyediakannya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar