Cari Blog Ini

21 Maret 2010

Tanggung Jawab

Kalau dipikir-pikir, negara yang bernama Indonesia ini aneh luar biasa. Coba saja lihat: di parlemen (baca: DPR), orang-orang dan partai yang semula sudah kalah, sudah lama dibelit dan dibebani citra korup dan manipulasi, tiba-tiba bersuara keras bagaikan pahlawan. Mereka mengusung isu menohok Pemerintah melalui kasus Century, yang selama berbulan-bulan menyajikan pemandangan langsung mengenai cara kerja anggota tim pansus, dan kemudian juga dalam sidang paripurna DPR. Apakah di sini masih ada akal sehat? Tanpa tahu atau suka politik pun, kalau melihat bagaimana sidang pansus berjalan pasti bisa mengerti bahwa yang bertanya sedang berusaha mengarahkan kasus ini. Selama masih berbahasa Indonesia, tidak sukar untuk membedakan pertanyaan yang mencari tahu atau pertanyaan yang memberi tahu. Yang menjawab bisa gelagapan sendiri; dijawab ke utara, direspon ke selatan.

Dari sidang-sidang pansus seperti ini, dapatkah diambil sebuah kesimpulan? Kenyataannya, mereka kesulitan mengambil kesimpulan, sampai akhirnya terjadi keramaian yang luar biasa sekaligus tidak masuk akal. Astaga, ada sedemikian banyak orang, yang semuanya konon adalah wakil rakyat yang terpilih, tapi bersikap tidak jauh berbeda dari demonstran jalanan?! Kemudian, dari "kesimpulan" seperti itu, mereka melakukan voting untuk menentukan apa yang benar dan salah. Ajaib! Bagaimana mungkin, suatu penyelidikan tentang kebenaran dalam peristiwa-peristiwa masa lalu, bisa diputuskan melalui pemungutan suara?

Pertanyaan besarnya: apakah kebenaran ditentukan oleh suara mayoritas? – Patut dipahami bahwa dalam hal ini, yang disebut 'mayoritas' adalah dalam konteks anggota DPR, bukan rakyat Indonesia. Dalam kasus ini, sukar untuk menghubungkan diri dengan salah seorang wakil rakyat dari partai 'pemenang' dalam urusan Century di DPR, kalaupun mereka masih menganggap diri sebagai wakil rakyat. Ini mungkin kemenangan mereka, tapi bukan kemenangan saya. Justru, saya jadi jauh lebih hormat dan kagum kepada mereka yang 'kalah' dalam voting yang tidak masuk akal ini. Bersikap tenang adalah suatu ciri kedewasaan, termasuk kedewasaan dalam berpolitik. Tapi menari-nari dan menyanyi-nyanyi jelaslah bukan ciri kedewasaan demikian.

Pastinya, saya tidak akan memilih partai yang tidak dewasa, yang juga sudah punya citra korup dan manipulasi selama bertahun-tahun pemerintahan rezim Soeharto.

Yang lebih mencemaskan sebenarnya adalah kenyataan bahwa bangsa ini untuk maju membutuhkan Undang Undang yang baik dan benar, sesuai dengan tuntutan jaman demi kemajuan semua pihak. Bagaimana berharap ada UU yang baik dan benar keluar dari badan legislatif yang semacam ini? Kalau mereka memilih untuk hanya memikirkan kepentingan sendiri dan bagaimana menjatuhkan pihak lain – sampai ke tingkat di mana niat itu nampak jelas di layar televisi – UU semacam apa yang akan mereka hasilkan?

Masalah terbesarnya adalah ketidaksadaran bahwa setiap orang yang sudah dipilih oleh rakyat memiliki sebuah beban untuk bertanggung jawab. Mereka yang duduk di dalam legislatif bertanggung jawab untuk merumuskan peraturan yang menjadi rujukan, yang disebut dengan UU, agar semuanya berjalan baik. Mereka tidak bertanggung jawab untuk menemukan siapa kriminal dalam suatu perkara, seperti Century – itu adalah tanggung jawabnya penegak hukum. Sekarang nyatanya hasil dari pansus DPR hanya jadi salah satu masukan bagi KPK yang sedang bekerja, yang memang tanggung jawabnya menyidik dan menyelidiki secara seksama. Jadi, kita menemukan parlemen sudah mau jadi penyidik dan penyelidik, sambil melalaikan tugasnya untuk membuat legislasi, membuat UU.

Kegilaan ini menjadi-jadi ketika RUU APBN menjadi sasaran, dengan usulan beberapa orang yang sama sekali tidak bertanggung jawab untuk memboikotnya. Apakah mereka ini berpikir bahwa tindakan seperti itu adalah sesuatu yang pro-rakyat, benar-benar memikirkan kepentingan bangsa dan negara? Sungguh tidak bertanggung jawab.

Tetapi, kalau dilihat lagi dalam lingkup yang lebih kecil, terlihat bahwa memang kita semua masih harus belajar bertanggung jawab secara lebih serius. Tidak usah jauh-jauh, berapa banyak dari antara kita yang sungguh-sungguh memikirkan apa yang akan menjadi masa depan kita? Kita bertanggung jawab untuk mempersiapkan diri, karena ada sesuatu yang akan kita hadapi kelak. Misalnya, kelak kita akan pensiun kalau tidak keburu mati muda. Suka atau tidak suka, ada situasi-situasi yang bisa diperhitungkan akan terjadi, sebagaimana hari ini sudah terjadi.

Coba saja lihat satu contoh: perhatikan bagaimana orang-orang menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi hari ini. Apakah kita berhitung dengan benar? Apakah kita, entah sebagai orang tua atau sebagai negarawan, membuat peraturan, suatu tindakan yang disiplin dan teratur, untuk memastikan masa depan anak kita sendiri, yang menjadi tanggung jawab kita?

Jarang sekali. Nyatanya, di tahun 2009 ada 35% lulusan SMU yang tidak meneruskan kuliah, sebagian besarnya karena masalah biaya. Kalau kita mengingat bagaimana dahulu kita sekolah, masalahnya saat itu bukan soal biaya melainkan kesanggupan untuk melalui saringan ujian masuk perguruan tinggi. Dulu, kehebohannya adalah bagaimana memahami materi pelajaran utama lebih baik, untuk melalui tes – dan lihatlah wajah riang gembira dari calon-calon mahasiswa yang lulus ujian masuk. Tetapi sekarang, hanya melalui tes saja belum memastikan jalan karena orang tua siswa dihadang oleh tagihan yang mengagetkan. Kini anak yang pandai pun belum tentu bisa kuliah sesuai dengan idamannya, kalau orang tuanya tidak mempersiapkan dengan benar. Kalau negaranya tidak mempersiapkan dengan benar.

Jadi, negara ini harus memikirkan tentang masa depan, yang harus dihadapi dengan mengatur diri dengan tertib sejak saat ini. DPR mempunyai tugas untuk merampungkan UU dengan benar – bukan hanya menebar kontroversi semacam UU Pornografi itu, yang sampai sekarang pun tidak begitu jelas arah tujuannya. Bagaimana UU semacam ini dapat mendatangkan kesejahteraan yang lebih besar? Siapa yang memberi DPR wewenang untuk mengendalikan aspek-aspek moralitas, apalagi berdasarkan keyakinan dan agama tertentu, sementara kenyataannya Indonesia adalah negara dengan berbagai-bagai suku, kepercayaan, dan cara hidup?

Indonesia sendiri menghadapi tantangan yang tidak kecil dalam berbagai hal. Dalam ekonomi, situasi global yang tidak menentu dan penuh kejutan merupakan faktor yang harus dicermati. Tanpa memahami situasi dan kondisi emosional dunia secara global, sukar untuk memahami bagaimana bail-out Century merupakan sesuatu yang dibutuhkan dan berakibat sistemik. Sekarang pertumbuhan beralih ke Asia dan kita mulai memberlakukan Free Trade Area antara Cina dan ASEAN. Tidakkah semua ini membutuhkan pengaturan yang lebih seksama?

Dalam bidang lain juga tidak kurang pengaruhnya. Sektor kesehatan, kita menghadapi tantangan dari penyakit-penyakit yang semakin serius dampaknya. Sektor pertanian, kita menghadapi masalah besar dari perubahan iklim, yang hari ini telah merusak ratusan ribu hektar sawah dan tanah pertanian. Sektor pendidikan, kita menghadapi krisis tenaga kerja yang dibutuhkan di masa depan, karena biaya yang dibutuhkan terlalu besar. Untuk menjadi dokter misalnya, dibutuhkan uang ratusan juta rupiah. Kalau terlalu tinggi, tidak ada yang bisa jadi dokter – akibatnya dokter menjadi lebih sedikit, padahal jumlah penduduk makin banyak. Selain itu juga ada UU Badan Hukum Pendidikan, dan saat ini sekolah dari luar negeri sudah bisa langsung membuka kelas di Indonesia.

Kalau dituliskan dengan cara begini, maka artikel inipun menjadi tidak bertanggung jawab karena tiba-tiba saja menyebut segala macam masalah, berujung pada dahi yang berkernyit (dan barangkali, akhirnya menjadi tidak peduli - yang juga tidak bertanggung jawab). Yang ingin disampaikan adalah suatu pemikiran bahwa negara ini bertanggung jawab atas kehidupan rakyatnya; wakil rakyat harus memikirkan para pemilihnya, dan begitu terus sampai tiba pada individu yang harus bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

Selamat bertanggung jawab.

Tidak ada komentar: