Bersukacitalah dalam TUHAN
dan bersorak-soraklah,
hai orang-orang benar;
bersorak-sorailah,
hai orang-orang jujur!
Ada orang yang benar. Ada yang jujur. Sebaliknya ada juga orang yang tidak benar dan jujur. Semuanya berdosa.
Siapa yang tidak berdosa? Tetapi, kenyataan tentang dosa telah lama menjadi sasaran kritik oleh manusia. Orang tidak menyukai sebutan dosa, paling sedikit karena tiga alasan. Yang pertama, status 'berdosa' merupakan cacat pada reputasi, sehingga mengganggu kehidupan sosial. Yang kedua, status berdosa mengganggu idealisme personal, suatu perasaan 'tidak sempurna' yang tidak menyenangkan. Yang ketiga, status dosa mengganggu keyakinan rohani, karena menempatkan diri di bawah ancaman hukuman. Tidak ada orang yang menyukai ancaman, apalagi hukuman neraka berupa penderitaan kekal.
Respon manusia ada dua: yang satu benar dan jujur, mengakui dan menundukkan diri sebagai pertobatan. Yang lain, mengingkarinya. Mereka menipu diri sendiri dan orang lain, dengan mendefinisikan dan menyusun kata-kata.
Mulanya, orang meninggikan rasio dan menjadikan pengamatan atas pengalaman sebagai acuan. Ini disebut rasionalisme dan naturalisme, yang dengan tegas menolak apa yang tidak teramati atau terpikirkan. Orang belajar meragukan ketuhanan, kuasa supranatural, dan otoritas ilahi. Siapa yang bisa menunjukkan Surga? Siapa yang pernah melihat neraka? Berdasarkan rasio dan naturalisme, semua ini bisa diragukan. Kemudian orang meninggikan perasaan dalam gerakan romantisisme, mengembalikan cara hidup memuaskan kenikmatan, alias hedonisme. Kalau rasanya enak, pasti benar!
Semua pemikiran abad ke-19 ini disebut teologia liberal, dan umat manusia merasa baik dan tidak berdosa karena sudah menemukan "kebenaran", yang pada hakekatnya berupa pemikiran yang kompleks untuk menolak dosa, kecuali hal-hal yang jelas merugikan sesama manusia seperti pembunuhan atau pencurian. Tapi, dosa ada di sana, apapun kata orang, dan tetap merusak segala hal yang baik.
Perang dunia pertama dan kedua berakar pada akibat dosa, dan manusia kembali dipaksa melihat kenyataan bahwa "kebenaran" tentang keunggulan manusia adalah salah. Setelah PD I, orang mulai melihat pemikiran 'baru' bahwa cara lama ada benarnya dan Tuhan memang ada, walau Ia begitu jauh. Untuk beriman, orang harus melompat dan meninggalkan rasio. Inilah arah baru dimana teologi liberal runtuh, sebaliknya neo-ortodoksi berkembang. Tokoh utamanya, Karl Barth, disebut sebagai teolog terbesar abad ke-20 yang menjatuhkan bom di taman bermain para teolog liberal.
Hanya, pengakuan tentang Tuhan tidak dengan jujur mengakui status dosa dan masalahnya. Sebaliknya, neo-ortodoksi membuka jalan pada filosofi post-modernism yang serba relatif. Kebenaran menjadi relatif, kata-kata bisa didekonstruksi, dan kekuasaan jadi penentu apa yang benar.
Sekali lagi, kebohongan menguasai pikiran manusia. Orang mengerjakan karya yang tebal dan sukar dipahami, dan mengintimidasi orang untuk menerima pandangan tentang ketidakberdosaan manusia.
Siapa yang masih membaca Mazmur 51 dan 32 dengan keyakinan yang sama dengan Daud? Raja yang satu ini menyadari status dosanya, merasa tersiksa dan tidak tenteram karena kesalahannya, dan dengan itu juga bertobat serta mendapatkan pembenarannya.
Orang benar dan jujur bukannya tidak berdosa. Tetapi saat tangan dan tubuhnya menjadi kotor, ia mengakui kebenaran dan menghadap Tuhan agar dibasuh sampai bersih. Itulah sukacita besar yang dimiliki orang-orang benar dan jujur.
Haleluya! Terpujilah Tuhan!
Published with Blogger-droid v1.6.5