Cari Blog Ini

09 Januari 2011

Menghakimi

Betapa mudahnya melempar kesalahan. Di dalam sebuah komunitas, asal ada orang yang bisa disalahkan, tidak perlu takut berbuat salah. Mau mencuri, mau korupsi, bisa saja. Yang penting, selalu ada orang atau pihak yang bisa dituding bersalah. Tunjuk orang lain sebagai pihak yang bersalah, dan nikmati semua hasil "kreativitas" selama ini.

Mengapa orang bisa sebebas itu? Semua urusan salah-menyalahkan bisa terjadi jika dan hanya jika ada yang menghakimi di sana. Kalau sang boss begitu senang menjadi hakim, anak buah yang lalim dengan senang hati akan membawa seseorang untuk dihakimi. Dalam realita, jarang ada peristiwa yang hanya di sebabkan satu orang; setiap orang memiliki suatu andil di dalamnya. Kalau mau menyalahkan, yang perlu dilakukan hanya menyorot dan membuat kesalahan terlihat jelas, sehingga kesalahan orang lain terlupakan.

Karena itu, hai manusia, siapapun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab, dalam menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama. (Rm 2:1)

Pernahkah dengar tentang seorang boss yang tidak bijaksana? Pada suatu ketika, dari para salesman diperoleh beberapa order besar. Tentu si boss senang, dan memuji serta menyuruh agar order segera dipenuhi. Untuk memenuhinya, barang-barang pesanan harus diproduksi. Biasa saja, bukan?

Tapi, untuk memproduksi barang dibutuhkan bahan baku. Untuk memenuhi kebutuhan itu, bagian pembelian harus memesan barang dan bagian keuangan harus membayar uang muka. Ketika bagian keuangan meminta tanda tangan giro kepada boss, ia hanya bilang, "nanti ya."

Akibatnya, bahan baku tidak dikirim. Bagian produksi tidak bisa bekerja. Barang jadi tidak tersedia. Order tidak dipenuhi, pelanggan jadi marah dan kecewa. Krisis ini membuat ribut dan semua dikumpulkan.

Boss menghakimi kepala gudang barang karena tidak menyisihkan barang yang ada dari order lain yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Boss menghakimi bagian produksi yang tidak mengerjakan produksi memakai bahan yang ada -- bukankah standar produksi bisa diubah? Boss menghakimi bagian pembelian yang tidak bisa mendapatkan bahan baku tanpa bayar uang muka, sekalipun reputasi perusahaan sudah buruk karena terkenal telat membayar. Semua salah, kecuali si boss sendiri.

Sekalipun boss marah dan naik pitam sampai wajahnya terlihat ungu, semua tahu bahwa sebenarnya ini salah si boss sendiri. Dia hanya dapat marah karena para pegawainya masih berharap menerima gaji bulan ini. Walaupun secara aktual ia dapat bersikap lebih tinggi, kebenaran tidak ditentukan oleh kekuasaan. Kata-kata tidak membuat kebenaran, sebaliknya realita menyatakan bahwa ada kesalahan dan si boss ini harus menanggung akibatnya. Jika ia tidak bersedia, misalnya dengan membebankan kesalahan kepada anak buahnya, pada akhirnya ia harus menanggung akibat yang lebih besar ketika ditinggalkan para anak buahnya. Si boss harus mencari lagi orang baru, menanggung kesalahan yang dibuat orang baru, dan secara keseluruhan membuat bisnisnya tidak dapat dipercaya baik oleh pelanggan maupun oleh supplier.

Tuhan juga tidak menyukai si boss yang menghakimi, sementara ia sendiri melakukan kesalahan. Orang yang menghakimi akan dihakimi oleh ukuran yang dibuatnya sendiri; setiap perkataan si boss yang dijatuhkan pada orang lain akan jatuh pada dirinya, karena ia juga dalam kenyataannya tidak ideal seperti tuntutannya.

Apa yang ada pada manusia sekarang adalah kesempatan untuk berubah, waktu yang diberikan oleh kemurahan Tuhan. Kita semua berubah, dan kalau ada satu yang bisa sepenuhnya dituntut dalam hidup, itu adalah menuntut diri sendiri untuk berubah menjadi lebih baik. Agar menjadi lebih baik, kita tentu bisa membantu orang lain untuk berubah, karena manusia saling berhubungan dan kemajuan yang seorang membawa kemajuan bagi orang lain. Inilah kemurahan Tuhan -- bukan kesempatan bagi manusia untuk menghakimi sesamanya dengan semena-mena.

Bagaimana dengan hakim di dunia? Ingatlah, bahwa hakim tidak bekerja berdasarkan pandangan pribadinya. Seorang hakim hanya bisa menilai berdasarkan undang-undang, yaitu suatu pengaturan dalam negara, yang menjadi kesepakatan untuk hidup di negara itu. Pelanggar undang-undang tidak mengganggu sang hakim secara pribadi, atau melanggar aturan moral pada pribadi hakim, melainkan melanggar aturan yang telah ditetapkan negara.

Sayangnya, sikap menghakimi telah menjadi bagian dari masyarakat. Lihat saja, misalnya, kasus Ariel dan sidang pengadilannya. Secara moral ia bersalah, tetapi secara hukum negara ia tidak melanggar apa-apa. Namun ada orang-orang yang menghakimi dan mencela -- dan sikap mereka tidak jauh berbeda dari si boss yang merasa punya kekuasaan untuk menghakimi orang lain, sementara mereka sendiri jatuh di dalam banyak dosa. Siapa yang punya hak untuk melempar batu terlebih dahulu?

Tidak ada. Penderitaan dan kesesakan akan menimpa setiap orang yang hidup yang berbuat jahat, pertama-tama orang Yahudi dan juga orang Yunani, tetapi kemuliaan, kehormatan dan damai sejahtera akan diperoleh semua orang yang berbuat baik, pertama-tama orang Yahudi, dan juga orang Yunani.

Sebab Allah tidak memandang bulu.

Terpujilah TUHAN!
Published with Blogger-droid v1.6.5

Tidak ada komentar: