Kisah Natal Yang Terlupakan
2007, Donny A. Wiguna
Pemuda itu berlari-lari menelusuri jalan yang berbatu. Dengan lincah ia melompati batu-batu, di sepanjang jalur yang menanjak menuju Yerusalem. Dahinya berkeringat, dengan kulit berwarna tembaga karena lama berada di bawah terik matahari. Tetapi waktu itu udaranya tidak terlalu panas, karena hari-hari semakin mendekati musim dingin. Hujan lebat lebih sering turun belakangan ini, membuat rumput-rumput terlihat sedikit lebih hijau, sementara pohon-pohon mulai menggugurkan daunnya. Tetapi pemuda ini nampaknya tidak terpengaruh dengan jalanan yang licin, walau kasutnya nampak sudah lusuh. Ia juga tidak terganggu oleh angin dingin, walau hanya mengenakan jubah gembala yang murah dan tipis.
Seandainya saja kita bisa mengenal namanya! Karena ia sendiri nyaris tidak pernah menyebut namanya sendiri -- bukankah ia hanya seorang gembala yang hari-harinya lebih banyak bertemu dengan domba daripada manusia? Ia biasa dipanggil Doeg, seperti nama leluhurnya, orang Edom, yang konon pernah menjadi pelayan raja Saul. Tetapi, hanya itu saja yang dapat dilakukannya karena pada saat itu orang yang bukan Yahudi hanya dapat menempati tempat pinggiran dan melakukan pekerjaan yang tidak diinginkan. Seperti pekerjaan menggembalakan domba di Bethlehem, di sebelah selatan Yerusalem.
Doeg melihat langit, matahari semakin condong ke Barat sementara awan kelihatan semakin besar menggumpal. Nampaknya sudah mau hujan lagi, sehingga ia mempercepat langkahnya. Dalam hati, diam-diam Doeg semakin berdebar-debar memikirkan apa yang harus dilakukannya. Ia sudah cukup susah sebagai gembala, tidak disangkanya bahwa kemarin malam ia kejatuhan undian untuk pergi ke Yerusalem dan memberi kabar kepada imam-imam di
Hieron (artinya:
Bait Allah). Bayangkan, seorang peranakan Edom mendatangi Hieron! Bagaimana mungkin! Lagipula ia membawa sebuah berita yang tidak masuk akal. Seandainya ia menjadi orang lain, lantas mendengar penuturan tentang berita yang dibawanya, maka ia pun pasti tidak percaya. Apalagi oleh para imam atau ahli Taurat! Doeg mengeluh dalam hati. Apakah sekarang ia dapat kembali dengan selamat? Jangan-jangan, para imam itu akan menghukumnya dengan pukulan penyesahan! Waktu itu memang para imam dan orang Farisi mempunyai kuasa untuk menegakkan hukum Taurat, sehingga mempunyai pasukan sendiri -- seperti polisi -- yang akan menindak pelanggar hukum. Orang-orang Romawi yang menjajah tanah Yudea nampak tidak keberatan dengan cara itu, selama para imam itu hanya menangkapi sesama orang Yahudi.
Tak lama kemudian, Doeg melihat tembok kota Yerusalem, benteng tinggi yang mengesankan. Doeg menghela nafas. Bagaimana caranya sekarang? Ah, jika saja Tuhan mau menolongnya! Bukankah ia baru saja menyaksikan sendiri kemegahan bala tentara Sorgawi, yang dalam mimpi pun tidak pernah terlintas? Tentu tidak sukar untuk menolongnya menyampaikan berita penting ini pada orang yang tepat!
Seperti mendapat jawaban langsung, setelah satu belokan Doeg menemukan kerumunan di tepi jalan. Ada apa gerangan? Doeg menghentikan larinya untuk melihat. Di sana ada seorang tua duduk di atas batu. Di depannya seorang pemuda duduk bersimpuh, menunduk, mengangguk-angguk. Samar-samar Doeg mendengar pemuda itu berkata lirih, "baik Rabbi, saya mengerti.... ya Rabbi, itu memang salah.... terima kasih Rabbi..." Mungkin ia adalah pemuda yang terakhir, sebab tidak ada lagi antrian di belakangnya. Lagipula, Rabbi (artinya: Guru) tua itu nampak sudah lelah. Melihat dari kerut-kerut di wajahnya, pasti ia sudah tua sekali. Dia pasti mengenal para imam di Hieron. Mungkin dia bisa melakukan sesuatu? Doeg membelokkan jalannya. Ia menanti pemuda di depannya berdiri pergi, lalu bergegas menghadap orang tua ini.
"Shalom, Rabbi," salam Doeg. Ia berusaha menenangkan debar jantungnya. Apakah ia cukup sopan? Apakah ia benar menundukkan diri? Doeg menyesali kebodohannya. Ia tidak tahu apa-apa tentang sopan santun saat bertemu dengan seorang Guru di pinggir jalan!
"Shalom," suara orang tua itu begitu lirih. Mungkin ia sudah mulai kehabisan suaranya, "apakah perkara yang mau engkau bawa hari ini?"
"Rabbi, er...., hambamu ini mau memohon sesuatu. Apakah Rabbi mengenal beberapa imam di Hieron?"
Untuk sejenak, Rabbi tua itu tercengang. Biasanya orang muda datang meminta nasehat tentang berbagai hal sehari-hari, tentang hidup kudus dan takut akan Elohim. Ada juga yang meminta nasehat tentang persahabatan yang retak, atau tentang nafsu birahi yang tidak terkendali. Tetapi, bagaimana gembala ini bertanya tentang apakah ia mengenal imam di Hieron?
"Hohoho, anakku, aku si tua Simeon sudah berumur tua sekali, lebih dari semua orang yang ada di tanah Yudea! Tapi rupanya Tuhan masih menyuruh aku tinggal, hingga pemuda yang tadinya seusiamu kini telah turut menjadi tua serta menjadi imam di Hieron. Mereka menjadi semakin tua, tetapi aku ini masih sehat saja. Jadi, tentu saja aku mengenal mereka. Ada apakah gerangan, sehingga engkau menanyakannya?"
Doeg terkejut. Sudah lama beredar pembicaraan di antara para gembala, bahwa ada seorang tua yang sangat bijaksana, yang betul-betul tahu apa artinya hidup saleh dan takut akan Tuhan, yang suka duduk di luar pintu gerbang Yerusalem, sehingga semua orang dari berbagai suku bangsa bisa datang menghadap untuk bertanya dan meminta nasehat. Konon, dahulu ada yang bertanya mengapa ia duduk di luar dan Rabbi Simeon ini mengatakan, bahwa dengan duduk di luar barangkali ia dapat menjumpai Mesias. Karena suara dari Sorga pernah menyatakan, bahwa Rabbi Simeon tidak akan meninggal sebelum matanya melihat Mesias, yaitu Dia yang diurapi Tuhan.
Doeg menelan ludahnya. Bukankah ia sedang membawa kabar tentang kelahiran Juruselamat?
"Rabbi, saya adalah seorang gembala dari padang di dekat Bethlehem."
"Ooh, Bethlehem.... kota Daud, ya...."
"Benar, Rabbi. Dua malam yang lalu, saya dan teman-teman berkumpul, kami sedang memindahkan domba-domba dari kandang di padang ke kandang di desa, karena sebentar lagi musim dingin tiba. Waktu itu kami masih bekerja di padang, lalu tiba-tiba..." Doeg tidak dapat meneruskan kata-katanya. Tenggorokannya seperti tercekik. Dapatkah ia mengatakannya?
"Kenapa, anakku? Apa yang kalian lakukan? Kalian berkelahi? Melakukan dosa?"
"Oh, tidak, tidak seperti itu, Rabbi. Kami... kami mengalami sesuatu. Ah, biarlah kiranya Tuhan menjadi saksi! Sungguh, saya berkata benar! Malam itu, kami sedang menjaga kawanan ternak di padang. Tiba-tiba ada seorang malaikat berdiri di dekat kami, sinarnya menerangi kami semua! Rabbi, kami sangat ketakutan!"
Simeon memicingkan matanya. "Malaikat menjumpai kalian? Bukan main! Lalu?"
"Rabbi, malaikat itu berkata, 'Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud. Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan.'
Kami.... saya tidak akan melupakan kata-kata itu!
Dan bukan itu saja, Rabbi. Kami tidak melihat bagaimana mulainya, tiba-tiba saja bukan hanya seorang malaikat, tetapi ada banyak sekali malaikat... seperti tentara dari Sorga yang muncul dari udara. Kami melihat seluruh padang dipenuhi oleh malaikat, lalu mereka memuji Elohim Adonai! Mereka berkata,
'Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.'
Suaranya begitu jelas, Rabbi. Begitu merdu! Begitu.... ah, ini sangat penting, Rabbi!"
Simeon menegakkan punggungnya. Tiba-tiba saja ia seperti mendapatkan semangat baru. Bukankah baru satu purnama lalu ia mendapat suara, sekali lagi, bahwa ia tidak akan mati sebelum melihat Mesias, atau dalam bahasa Yunani disebut juga dengan Kristus? Apakah ini merupakan akhir dari penantiannya? Ia harus tahu. Tetapi pertama-tama, ia harus yakin bahwa gembala ini tidak sedang mencari muka dengan membual kisah ajaib. Banyak gembala yang melakukan hal semacam itu. Maka, Simeon meninggikan suaranya dan berseru dengan tegas.
"Kau tahu, pendusta harus dihukum! Dan jika dustamu dilakukan terhadap Tuhan, engkau harus mati! Karena itu jangan main-main!"
Doeg mendadak menjadi pucat pasi. "Tidak.... sungguh Rabbi, hambamu ini tidak berdusta! Jika Rabbi tidak... tidak percaya, ada teman-teman yang bisa Rabbi perintahkan untuk memberi kesaksian."
"Dan apakah kalian yakin bahwa yang datang itu sungguh adalah malaikat?"
"Benar, Rabbi.... itu juga yang pertama kali terlintas dalam pikiran kami! Sebenarnya kami merencanakan akan ke Bethlehem ketika matahari sudah terbit. Namun karena mengalami perjumpaan dengan malaikat, kami semua memutuskan pergi ke Bethlehem malam itu juga. Pemimpin kami berkata, 'Marilah kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita.' Ketika hampir sampai, di sana, di kandang domba yang sudah ditinggalkan kosong, kami menemukan satu keluarga di dalamnya. Seorang ibu muda baru saja melahirkan. Anaknya masih merah, dibungkus dengan kain lampin, terbaring di palungan.... persis kata-kata malaikat itu!
Rabbi... ini benar, sungguh-sungguh benar! Kami, para gembala.... memang kadang-kadang kami bicara sembarangan. Mungkin ada teman kami yang sering berdusta. Tapi, kami sendiri sudah melihat seperti apa besarnya kuasa Tuhan! Saya tidak dapat berdusta tentang hal ini, karena saya tahu sekarang bahwa kuasa Tuhan sungguh nyata! Satu saja perkataan malaikat itu salah disampaikan, seumur hidup saya harus menanggungnya!
Saya berkata apa adanya! Kami semua merasa bahwa hal ini harus diberitakan, karena inilah yang bangsa kita nantikan, bukan? Jadi kami memberitakan kepada semua orang di Bethlehem. Tapi pemimpin kami mengatakan bahwa berita ini juga harus disampaikan ke Yerusalem, kepada para imam di Hieron. Kami membuang undi, dan ternyata sayalah yang harus membawa berita ini. Walau sebenarnya saya tidak ingin karena takut... tapi saya tidak bisa menunda-nunda... namun, terpujilah Tuhan, karena saya bertemu dengan Rabbi!"
Simeon sukar menahan senyumnya. Ia tahu sekarang, bahwa nubuat dari nabi Mikha telah terjadi. Sejak ia menerima nubuat dari Roh Allah, ia telah berulang kali mempelajari kembali bagian itu: "Tetapi engkau, hai Betlehem Efrata, hai yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala, sejak dahulu kala." Bethlehem memang kota kecil, lebih tepat disebut desa, dengan padang luas di sekitarnya, seperti Daud yang juga adalah seorang gembala di masa mudanya.
"Jika engkau berkata benar, anakku... lantas apakah ini yang mau engkau sampaikan kepada imam-imam di Hieron?"
"Benar, Rabbi. Kami memutuskan bahwa tempat terpenting untuk dikabari tentang malaikat dan bayi itu adalah Yerusalem, ke Hieron."
"Nah, kalau begitu tenangkanlah dirimu. Kini engkau dapat kembali ke Bethlehem, biarlah aku yang menyampaikan beritamu ini kepada mereka. Tentu saja, harus kami selidiki terlebih dahulu..."
Doeg untuk pertama kalinya tersenyum lebar. Bagus sekali, pikirnya. Dengan demikian ia tidak perlu pergi ke dalam Yerusalem, dengan resiko dirajam batu karena salah melangkah di Hieron -- tentu saja sebenarnya Doeg hanya gembala biasa yang tidak tahu hukum, ia lebih banyak ditakut-takuti ketimbang mengetahui aturan sebenarnya.
Simeon tersenyum kecut melihat kegembiraan gembala muda ini, yang mengangguk cepat kemudian berbalik arah. Seandainya saja Doeg tahu, bahwa saat itu para imam dan orang Farisi terpecah-pecah dalam berbagai kelompok. Ada kelompok yang mau mencari aman di bawah pemerintahan Romawi. Ada kelompok yang ingin memurnikan ajaran Taurat sambil menyerukan perjuangan demi kebebasan. Ada lagi kelompok yang ingin agar orang Yahudi mengikuti arus pemikiran Yunani, seperti kumpulan orang-orang Saduki yang lebih banyak memakai akalnya daripada imannya. Jika ke tengah-tengah kelompok ini diberitakan tentang kelahiran Mesias, siapa yang bisa membayangkan apa akibatnya?
Tidak, berita kelahiran ini terlalu dini untuk diberitakan. Melihat raja Herodes (dikenal juga dengan
Herodes the Great, yang saking jahat dan curiganya menjadi tega membunuh anak kandung sendiri, Aristobulus, yang dicurigai mau mengkudeta) siapa yang tidak merasa ngeri? Lagipula, raja yang kejam dan agak gila ini juga pandai mengatur orang. Herodes mengambil Mariamne, anak Simon sebagai istri ketiga, dengan menjadikan Simon sebagai imam kepala. Itulah sebabnya, sebagian imam lain menganggapnya sebagai 'imam boneka' tapi mereka tidak bisa terang-terangan menentang kekuasaan Herodes. Jika sampai Herodes tahu tentang kelahiran Mesias, pastilah anak ini dibunuh!
Simeon menghela nafasnya. Telah lama ia menyelidiki segala kitab suci dan menemukan banyak nubuatan tentang kelahiran Mesias. Ada empat hal bisa disimpulkan dari berbagai-bagai nubuat itu: Yang pertama, kedatangan Mesias adalah berarti kedatangan Elohim sendiri. Kedua, kedatangan Mesias berkaitan dengan perubahan sikap dan hati orang Israel, menjadi orang-orang yang lebih baik dan setia. Ketiga, kedatangannya membawa pembebasan. Keempat, beserta Mesias ada kuasa yang besar. Semua ini dengan mudah dapat ditafsirkan sebagai ancaman langsung terhadap penguasa Romawi yang haus darah seperti Herodes. Tidak terbayangkan apa yang akan terjadi ketika Herodes berupaya melenyapkan ancaman atasnya!
Ia memutuskan, bahwa berita tentang kelahiran Mesias tidak perlu didengar oleh orang-orang yang tidak dapat menerimanya. Saat ini, Mesias masih merupakan sesosok bayi yang lemah. Tidak perlu menambah kesulitan dengan menyatakan keberadaan Anak itu sebelum waktunya. Simeon telah cukup banyak mempelajari kitab suci dan menemukan betapa hebat kedatangan Mesias beserta segala yang dilakukan-Nya! Karena pada akhirnya semua bangsa akan bertekuk lutut di hadapan Mesias, seorang Raja yang datang memasuki kota dengan mengendarai seekor keledai.... Simeon tersenyum lagi. Kalau lahirnya saja di kandang, hanya dibungkus lampin dan dibaringkan di atas palungan, tidak terlalu aneh jika Raja ini datang dengan mengendarai keledai. Tak ada yang terlalu ajaib bagi rancangan Tuhan!
Namun Simeon tidak dapat menahan hatinya, ketika Roh Tuhan berbisik padanya untuk segera ke Yerusalem, ke Bait Allah. Ia mentaati dorongan ini, walau dirinya belum tahu seperti apa rupa Anak itu, seperti apa ayah dan ibunya, atau bilamana mereka akan ke Yerusalem. Seumur hidupnya Simeon selalu mentaati kebenaran. Ia selalu mengharapkan penghiburan bagi Israel. Betapa Simeon ingin menemui Anak itu! Inilah puncak dari segala kebenaran yang ditaatinya. Inilah hal terbaik dari semua kesalehan yang telah dijalaninya. Satu kali saja matanya bisa memandang Mesias, semua kesusahan hidupnya, semua jerih payahnya, semua pengorbanannya terbayarkan, bahkan berlebih!
Selama beberapa hari, Simeon dengan setia menanti di pelataran dalam Hieron. Seperti biasa, ia menyibukkan dirinya dengan melayani orang-orang yang bertanya kepadanya. Tetapi hari itu terasa lebih cerah dari biasanya, walaupun awan-awan hujan masih nampak bergulungan di kaki langit. Dari sudut matanya, Simeon melihat ke arah pintu gerbang masuk. Sepasang lelaki dan perempuan muda melangkah masuk, mereka nampak sederhana... dan lihatlah apa yang mereka bawa. Yang pria berjalan di depan, membawa persembahan sepasang burung tekukur. Yang perempuan menggendong seorang anak yang masih sangat kecil.
Deg.
Di antara semua orang yang berbisik-bisik mendengung di Hieron yang luas, Simeon seperti mendengar Roh berseru-seru memuliakan Tuhan, menyambut kedatangan Anak itu. Suara Roh begitu keras, hingga terasa menulikan telinga Simeon. Ia segera bangkit dari duduknya, lalu menyongsong pasangan muda yang begitu sederhana. itu. Orang-orang di sekitarnya tentu saja menjadi heran dan terkejut, mereka lantas mengikuti Simeon menghampiri keluarga muda itu.
Deg.
Simeon tidak bisa menahan air matanya memandang mereka. Inilah dia! Penantian berakhir! Simeon hampir berlutut di hadapan mereka, tetapi ia masih bisa menguasai dirinya. Dengan tertatih-tatih ia menghampiri ibu muda itu, memandang kepada seorang anak yang lucu tertidur di pangkuan ibunya. Seluruh kerumunan orang memandang kepada mereka. Lelaki muda di hadapannya menyingkir, memberi jalan. Simeon terus melangkah hingga berhadapan dengan perempuan itu dan bayinya. Maria dan Yesus.
"Boleh?" tanya Simeon. Tangan tuanya terulur. Maria, sejenak ragu-ragu tetapi melihat kesungguhan Simeon, ia memberikan juga gendongannya. Simeon tidak bisa menahan air matanya turun melintasi pipinya yang keriput. Simeon lantas mengangkat Anak itu tinggi-tinggi sambil memuji Tuhan, katanya,
"Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel."
Karuan saja semua orang yang ada di sekitar tempat itu menjadi kaget, terutama ayah dan ibu muda yang baru tiba ini. Sudah gilakah orang tua ini? Tetapi Simeon terkekeh-kekeh senang, seperti seorang yang sudah siap untuk berangkat pulang. Dengan mata yang penuh sukacita ia memandang kepada ibu muda itu, sambil menyerahkan kembali Anaknya. Simeon lalu berkata, "Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan --dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri--, supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang."
Simeon seperti melihat segala hal yang diketahuinya terbuka di depannya. Luar biasa! Semua tulisan, mulai dari kitab Musa hingga kitab para nabi, semua yang begitu diingat dan dipahaminya, kini terlihat sebagai satu rangkaian. Semuanya adalah pintu dan jalan yang tersusun secara luar biasa, ditulis dalam waktu beratus tahun oleh berpuluh penulis -- nabi, pemazmur, pengkhotbah, imam dan raja -- yang membuat dasar bagi kehadiran Mesias. Walaupun ditulis oleh beragam orang dalam berbagai jaman, berita yang disampaikan saling terangkai dalam jalinan yang erat. Semuanya adalah bagian dari rancangan Allah untuk menyelamatkan Israel, bahkan menyelamatkan segala bangsa di atas muka bumi!
Namun sebagai seorang yang benar, Simeon juga tahu benar seperti apa kacaunya keadaan manusia saat itu. Perjalanan Mesias bukan hal yang mudah, dia bisa membayangkan bagaimana kehadiran Anak ini membawa perpecahan di antara orang Yahudi. Dengan kedatangan Mesias, orang tidak lagi bisa mengambil jalan tengah. Entah orang Yahudi harus mengikuti Dia, atau sebaliknya memerangi Dia. Simeon tidak bisa membayangkan apa yang kelak harus dilalui Mesias... tapi ia tahu pasti, apapun itu pastilah terlaksana sesuai kehendak Tuhan. Keselamatan tidak akan gagal diberikan, penghiburan sejati akhirnya bisa dinikmati oleh orang Yahudi!
Ah, seandainya saja Simeon tahu, bahwa penghiburan tersedia bukan hanya bagi orang Yahudi, melainkan atas seluruh dunia! Simeon adalah orang pertama yang menyadari kehadiran Kristus di dunia, yang paham apa arti kedatangan-Nya. Sebagai orang benar dan saleh, Simeon terlepas dari segala beban politik dan kepentingan yang menekan banyak ahli Taurat dan para imam. Seandainya saja mereka seperti Simeon! Karena sesungguhnya berita tentang kelahiran Mesias telah tercantum dalam Kitab Suci.
Kegemparan tempat itu bertambah, ketika seorang nabiah tua bernama Hana muncul. Ia sebenarnya berasal dari suku Asyer, anak Fenuel yang sudah lama menetap di Yerusalem. Nabiah Hana bukanlah seorang yang mendalami Kitab Suci seperti Simeon, tetapi ia telah sering mendapatkan nubuat dari Tuhan. Setiap hari Hana berada di Bait Allah, dan demi melihat bayi Yesus diangkat oleh Simeon, ia memberi seruan pujian yang sama. "Terpujilah Tuhan! Lihat, Anak itulah yang memberi kelepasan bagi Yerusalem! Keselamatan bagi Israel!" Demikian perempuan tua berusia 84 tahun ini berseru-seru gembira. Tak pernah orang melihatnya demikian; ia yang biasa beribadah dengan berpuasa dan berdoa, kini bersorak-sorai bersukacita, penuh ucapan syukur kepada Allah.
Satu saja pandangan melihat Mesias, maka segala beban hidup terangkat sudah!
Kita tidak lagi menemukan Simeon dan Hana. Jauh sebelum Yesus menjadi besar, mereka sudah meninggalkan dunia ini dengan jiwa yang terpuaskan. Tetapi peristiwa yang dituturkan oleh para gembala, yang disaksikan oleh banyak orang hari itu di Bait Allah, tetap membekas. Kisah ini diteruskan dari ayah kepada anak, dari generasi ke generasi, hingga bertahun-tahun kemudian kehadiran Tuhan Yesus menimbulkan kegemparan hebat di langit dan bumi. Seperti yang dikatakan Kitab Suci, di atas bangsa yang berada dalam kegelapan, Terang itu telah bersinar!
Peristiwa Natal bukan sekedar mengingat bagaimana gembala di padang dijumpai oleh malaikat, atau bagaimana orang Majus yang bijaksana datang dari tempat jauh mengikuti bintang. Kita mungkin lupa kisah ini, bahwa Natal juga merupakan penggenapan dari Firman Allah, yang telah lama diberitakan kepada manusia. Inilah permulaan dari penggenapan Perjanjian, yang membawa kepada sebuah Perjanjian Baru bagi manusia, sehingga kita bisa mengambil bagian di dalamnya. Demikianlah kita kini merayakan Natal dengan penuh sukacita!
Selamat Hari Natal 2007, Tuhan memberkati kita sekalian. Terpujilah TUHAN!
Salam kasih,
Donny