Akhir dari bulan Januari 2009 ditutup dengan berita dari BPS, bahwa di bulan ini terjadi deflasi sebesar 0.07%. Ini adalah angka yang lebih besar daripada deflasi Desember, sebesar 0.04%. Beberapa orang bersorak karena deflasi berarti harga-harga turun. Akhirnya! Penurunan harga ini tentunya juga akan menurunkan BI Rate lebih lanjut lagi, sehingga suku bunga kredit turun. Berita baik untuk mereka yang sedang mencicil rumah atau mobil, atau mereka yang ingin mengambil kredit untuk biaya pendidikan. Lebih bagus, karena dengan tingkat suku bunga yang menurun, tentunya lebih mudah dan murah mendapatkan apa yang kita inginkan.
Di sisi lain, berita-berita tentang pemutusan hubungan kerja mulai menjadi perhatian. Di Amerika, Wall Street turun setelah diungkapkan ada lebih dari 500 ribu orang di PHK, dengan estimasi tahun ini lebih dari 3 juta orang kehilangan pekerjaan. Kita dengar perusahaan yang semula sangat kuat seperti Microsoft pun memangkas 5000 orang tenaga kerjanya. Di Eropa, tingkat pengangguran mencapai 8%. Di Jepang, perusahaan NEC dan Hitachi memutuskan 27000 karyawan, menambah deretan panjang penganggur -- sekarang ini orang Jepang mulai mencari pekerjaan di Cina. Namun di Cina pun terjadi penutupan banyak -- puluhan ribu -- perusahaan yang tutup karena tidak lagi mendapatkan order dari AS dan Eropa. Banyak perusahaan di Cina mempunyai masalah dengan kapasitas besar yang tidak terpakai di industri mereka.
Semua hal ini berkaitan dengan penurunan Produk Domestik Bruto (GDP) dari AS yang sangat parah, demikian juga Jepang, Uni Eropa, Singapura, New Zealand, dan sejumlah negara lain. Di balik angka-angka ini, yang kita lihat adalah menghilangnya produktivitas dari masyarakat negara maju. Hal ini terjadi karena tidak ada lagi 'pengungkit' (leverage) yang selama ini tinggi dan berlebihan atas produk dan jasa. Segala sesuatu yang semula bisa dijual dengan harga premium dengan margin keuntungan tinggi, sekarang harus menerima kenyataan bahwa harga wajar tidaklah setinggi itu. Artinya harus ada pemangkasan margin, sehingga nilai produktivitas usaha menurun.
Masalahnya, dalam banyak hal perencanaan keuangan dibuat dengan asumsi margin tertentu dan perputaran tertentu. Ketika harga turun, biaya-biaya tidak bisa serta merta diturunkan. Gaji pegawai, biaya sewa, dan biaya jasa tidak bisa langsung dipangkas. Langkah pengurangan biaya dengan memangkas biaya dan tenaga kerja akan menghilangkan banyak keunggulan inti, yang mengurangi kemampuan usaha untuk kembali bangkit di masa depan. Tetapi toh nyatanya pemutusan hubungan kerja masih terus terjadi. Untuk sementara, memang tindakan ini membuat posisi neraca dan rugi laba perusahaan menjadi lebih baik dan berakibat kenaikan sahamnya. Kita melihat efek-efek ini terjadi di hari-hari ini.
Sementara itu, pukulan kepada sektor riil menjadi lebih keras dan sukar untuk diatasi. Bagi para pelaku usaha yang konvensional dan tidak memiliki keunggulan yang spesifik, terutama yang berorientasi ekspor, krisis global kali ini terasa sangat berat. Pasar kita masih terselamatkan dengan adanya konsumsi domestik yang besar, walaupun sekarang ini mengalami penurunan daya beli. Bagaimana kita dapat memanajemen bisnis selama masa sulit seperti sekarang ini?
Pertama-tama, kita melihat bahwa di antara berbagai pasar dunia, pasar komoditas masih tetap aktif. Produk komoditas merupakan produk fundamental yang tetap dibutuhkan, walaupun keadaan finansial buruk. Indonesia menerima anugerah dengan banyaknya komoditas yang dihasilkan, sehingga memungkinkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Dari produk komoditas pertanian dan pertambangan, kita masih bisa mengharapkan pertumbuhan PDB di tahun 2009. Selain itu, kegiatan pembangunan juga masih sangat banyak -- justru masalahnya adalah daerah yang terlambat membangun, sehingga dana pembangunan bertumpuk di SBI. Jika pengelolaannya diperbaiki, pembangunan yang dilakukan akan meningkatkan perputaran ekonomi. Masih ada peluang pengembangan domestik yang besar.
Yang kedua, untuk mendorong pertumbuhan usaha domestik, Bank Indonesia telah melonggarkan kebijakan pemberian kredit. Sinyal yang diberikan adalah agar orang kembali mengambil kredit usaha untuk menggerakkan perekonomian - walaupun di sisi lain bank sekarang sangat berhati-hati menyalurkan kreditnya. Dalam usaha menengah - kecil, seringkali yang dijadikan jaminan adalah diri pribadi pemilik beserta kekayaannya. Dari sini kita dapat lihat bahwa kebutuhan pengelolaan resiko menjadi semakin penting, karena menentukan bagaimana dana dapat diperoleh dari sumber-sumber finansial.
Yang ketiga, dengan UU Pajak yang baru, kini semua pihak perlu memikirkan pengelolaan kekayaannya dan menghindari pungutan pajak yang berlebihan, terutama untuk masa depannya. Untuk jangka panjang yang pasti, sarana yang diberikan asuransi memungkinkan orang untuk menabung demi masa depan dengan tidak dikenai pajak, sehingga dapat melebihi inflasi yang mungkin terjadi. Manajemen di masa sulit kini tidak bisa terlepas dari produk asuransi yang memberikan perlindungan dan kebebasan dari pajak, dengan cara yang sah dan diijinkan.
Manajemen masa sulit membawa kita pada berbagai potensi-potensi yang ada di wilayah, dan mungkin mulai dari sekarang kita perlu memperhatikan pertumbuhan ekonomi di sentra-sentra produksi komoditas. Pertumbuhan ini akan dipacu lebih cepat dengan aliran dana kredit usaha dan dana pembangunan daerah. Orang-orang akan semakin membutuhkan produk asuransi dan investasi untuk menyeimbangkan hasil dan resiko usahanya.
Selain itu, bisnis juga membutuhkan jaringan kerja sama yang lebih luas, di mana usaha harus dikerjakan dengan kerja tim. Semakin besar wilayahnya, semakin banyak pula orang yang harus terlibat. Itu berarti dibutuhkan komunikasi yang baik, yang dimungkinkan oleh teknologi. Kondisi sulit membutuhkan juga produk yang memberikan jaminan dan kepastian -- berarti lebih banyak produk asuransi whole life. Jika orang masih menginginkan juga pertumbuhan yang baik, produk ini bisa dikombinasi dengan unit link yang preminya tunggal (misalnya, dalam Sequislife ada Smart Investor dan Investor Plus).
Kita perlu secara aktif melihat kebutuhan-kebutuhan para investor di Indonesia dan orang-orang yang mulai mengelola perusahaan mereka. Dengan memberikan perlindungan yang baik, mereka dapat berusaha lebih baik melalui masa sulit. Sebaliknya, jika mereka tidak mempunyai perencanaan yang memadai serta proteksi untuk menghadapi musibah yang mendadak terjadi, justru orang-orang yang memulai usaha akan menjadi semakin sukar karena tidak mempunyai banyak cadangan yang bisa menanggung beban kehidupan mereka. Dengan kebijakan pemerintah, kita melihat kesempatan yang justru semakin besar di tahun 2009 ini.
Pertanyaannya: apakah dengan adanya krisis ini kita melihat segala sesuatu dengan kacamata pesimis, atau justru kita bisa memandang terbukanya kesempatan-kesempatan yang tidak pernah muncul dalam situasi biasa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar