Cari Blog Ini

13 Juli 2013

Bersyukur

Di akhir tahun ini, kita sepatutnya bersyukur. Mari kita bersyukur oleh kenyataan bahwa Indonesia menjadi negara dengan pasar modal yang terbaik di dunia. Sementara pasar di mana-mana mengalami penurunan yang signifikan, pasar modal Indonesia dengan cepat menjadi pulih kembali dan memberikan pertumbuhan lebih dari 80%. Sangat mengesankan!

Kita juga bersyukur karena tingkat inflasi Indonesia sangat rendah, bahkan ada beberapa bulan yang mengalami deflasi. Ada kestabilan harga, paling sedikit dari kebutuhan pokok. Walaupun beberapa komoditi harganya sempat naik, kini telah kembali normal. Ini menolong banyak keluarga yang pendapatannya pas-pasan.

Selain itu, kita menemukan bahwa cadangan devisa Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan, mencapai angka di atas 60 milliar USD. Ini memastikan keamanan neraca pembayaran paling sedikit selama 5 bulan. Tentunya ini membuat Indonesia mempunyai rating keamanan secara global.
Kita juga jangan melupakan kekuatan mata uang Rupiah, yang menguat dengan cepat setelah sempat melorot dalam periode pendek. Penguatan Rupiah membuat perubahan akibat kenaikan harga minyak menjadi tidak terlalu terasa, dan di dalam negeri kita mendapatkan kestabilan harga BBM -- padahal sekarang ini harga minyak mentah naik lagi.

Secara umum, ini adalah hal-hal baik di tingkat nasional dan global, walaupun dunia sedang mengalami krisis ekonomi global tapi bagi banyak rakyat Indonesia, segala sesuatu berjalan seperti apa adanya.
Itu adalah apa yang sudah berlalu. Bagaimana dengan apa yang akan datang?

Soal bunga tabungan dan pinjaman, kita menemukan bahwa BI Rate tetap bertahan di 6,5 % pada akhir tahun ini. Proyeksinya, ke depan angka ini tidak membesar, sebaliknya mungkin akan mengecil. Kalau bunga tabungan diperkecil maka orang cenderung tidak menyimpan uangnya lama-lama di bank, sebaliknya memasukkan ke dalam bisnis. Ini ditopang oleh bunga pinjaman yang semakin kecil, membuatnya lebih terjangkau orang. Seharusnya, orang lebih banyak berusaha -- pasti untung sekali.
Seharusnya untung…seandainya orang memang benar-benar bisa berusaha. Tapi, mari kita lihat beberapa angka.

Salah satu indikator adalah pendidikan. Data dari BPS menunjukkan 73% angkatan kerja produktif berpendidikan SMP atau lebih rendah. 23% antara SMA dan Diploma. 4% saja yang pendidikan S1 atau lebih tinggi. Kenyataannya, menjadi Pengusaha yang bisa memanfaatkan fasilitas yang ada membutuhkan prasyarat -- karena ada sejumlah hambatan untuk berusaha di negeri ini. Ada urusan perpajakan yang perlu diselesaikan, urusan perijinan yang harus diurus, belum lagi keterampilan untuk membuat pembukuan dan pengendalian operasional yang baik.

Ada yang bilang, bukankah sekarang ini buktinya ada orang-orang yang hanya lulus SD bisa menjadi pengusaha yang sukses? Memang betul, tapi harus dilihat juga bagaimana mereka bisa menjadi sukses. Apakah kesuksesan itu benar-benar muncul dari kemampuannya, atau hanya ekses dari pertumbuhan ekonomi yang mengesankan selama tahun-tahun 1990-an? Jika memang menguasai dan berjiwa wirausaha, tentunya di segala masa dia akan berhasil. Tapi, kalau dia mengambil kesempatan dari perubahan jaman, belum tentu kesuksesannya bisa diulang.

Apakah semua yang dahulu sukses sekarang masih tetap sukses? Kita melihat sejumlah industri mengalami kemunduran. Beberapa pengusaha yang dahulu bermodalkan kerja keras, kini kebingungan karena perubahan yang cepat dan tidak kenal ampun. Pengusaha dalam negeri sempat gentar melihat Cina masuk ke WTO dan tak lama kemudian membanjiri dunia dengan produk yang murah dan berkualitas. Coba lihat, sekarang ini berapa banyak barang yang dibawahnya bertuliskan "Made in China"?

Jadi, untuk sukses berusaha sekarang ini tidak cukup hanya bisa memproduksi sesuatu, atau mengerti suatu produk. Orang harus mempunyai kemampuan manajemen yang bagus untuk usaha yang lebih efisien, diikuti pengelolaan sumber daya manusia untuk meningkatkan potensi perusahaan dalam jangka panjang, serta tentunya sistem informasi yang bagus, baik eksternal maupun internal, dalam membuat analisa dan mengambil keputusan. Soal informasi ini, sekarang kebanyakan informasi yang penting tersedia dalam bahasa Inggris, jadi menuntut kemampuan berkomunikasi yang lebih beragam.

Intinya, dibutuhkan kompetensi yang lebih besar untuk menghadapi persaingan usaha, yang berarti butuh pendidikan lebih tinggi. Repotnya, kalau 73% angkatan kerja produktif berpendidikan SMP atau lebih rendah -- sampai tidak bersekolah, bagaimana kita menghadapi masa depan? Bagi para pengusaha, kesulitannya adalah bagaimana mengembangkan bisnis. Ini juga masalah: ada begitu banyak orang mencari kerja, ada begitu banyak orang yang bekerja, tetapi berapa banyak orang yang benar-benar kompeten untuk mengerjakan tugasnya?

Melihat angka-angka pendidikan, kita mungkin membayangkan bahwa kebutuhan tenaga kerja berpendidikan tinggi sangatlah besar, jadi seharusnya semua lulusan Sarjana menempati posisi yang baik. Sayangnya, hal ini bukan kenyataan, karena buktinya sekarang ini banyak juga lulusan Sarjana yang tidak cukup kompeten, bahkan banyak juga Sarjana yang menganggur! Sedemikian parahnya, sampai orang mulai kehilangan kepercayaan diri kalau hanya lulus sarjana strata-1 -- sekarang orang mulai mengutamakan ijazah S2 sebagai tanda kompetensinya.

Orang kadang lupa, Sarjana Strata-2 itu lebih ahli dalam bidang yang semakin sempit -- sama sekali tidak bisa dianggap bahwa ia mempunyai kemampuan bisnis yang lebih baik (bahkan jika lulus Master dari perguruan tinggi di bidang manajemen bisnis). Kalau ia menghadapi hal-hal yang tidak dipelajarinya di bangku kuliah, walaupun titel namanya disebut "Master", ia tetap saja sama dengan semua orang lainnya: tidak tahu dan tidak menguasai.

Ini mengerikan. Jadi, sebenarnya apa kompetensi orang Indonesia? Kalau orang hanya bekerja ala kadarnya, tidak  mampu berinovasi dan berkompetisi -- apapun keadaannya sekarang, dia terancam mengalami kemunduran di masa yang akan datang. Jika ia berasal dari kelas menengah, ancamannya adalah penurunan kelas dan status sosial -- mungkin ia harus menerima kenyataan menjadi kelas bawah dan gaya hidup yang lebih keras dan berat.

Bersyukurlah kalau kita mempunyai kompetensi yang tetap bertahan di saat sukar. Bersyukurlah kalau sekarang kita telah memiliki perlindungan-perlindungan -- baik secara produktivitas, secara finansial, dan perlindungan terhadap mentalitas. Tapi, kalau belum ada perlindungan yang cukup -- buatlah sekarang. Dengan tingkat ketidakpastian yang tinggi, kesanggupan orang menanggung resiko sebenarnya mengalami penurunan, terkikis habis. Kalau resiko terjadi, akibatnya sangat merusak kehidupan.

Bersyukur adalah hal yang penting. Orang yang bersyukur menghargai apa yang ada padanya, dan bukan sekedar bertahan dalam dunia yang berubah. Inilah kompetensi yang kita miliki, kesempatan kita untuk menjadi berkat di dunia yang tua ini.

Tidak ada komentar: