SEANDAINYA SAJA Pilkada DKI Jakarta yang lalu diisi oleh adu program, adu cerdas bagaimana membangun Ibukota, maka perhelatan Pilkada DKI Jakarta hanya bagian dari hidup warga kota DKI Jakarta saja. Tidak ada urusannya dengan orang dari luar Jakarta. Seandainya saja isu-isu yang diangkat hanya seputar apa yang disediakan di Jakarta, entah itu rumah, atau transportasi, atau kesehatan di Jakarta, itu adalah urusan orang Jakarta.
Namun, saat yang ditunjukkan adalah semangat anti korupsi, tentang bagaimana Gubernur berani menolak APBD yang diberi muatan siluman bertriliun-triliun, keteladanan itu menggugah seluruh rakyat Indonesia. Ketika yang diperlihatkan adalah bagaimana dengan anggaran yang sama dengan tahun sebelumnya (karena ribut soal anggaran) tetapi pertumbuhan pembangunan terlihat nyata -- itu membuat ngiler semua rakyat.
Oh, seandainya saja Gubernur di propinsi saya seperti Ahok! Dia tidak korupsi, benar-benar bersih, transparan -- kita bisa melihat segala pertemuannya di youtube dan laporan pemakaian anggaran di website resmi Pemda DKI -- dan menjalankan segala sesuatu secara profesional. Gubernur yang tahu betul soal hukum dan aturan, yang paham betul prosedur, dan secara nyata bekerja di dalam sistem. Seharusnya, sepantasnya, beginilah Gubernur di seluruh Indonesia! Kita punya Presiden yang bersih, juga punya Gubernur yang bersih. Indonesia bisa bersih!
Jadi, terjadi pergeseran dari soal memilih siapa Gubernur, menjadi seperti apakah Gubernur itu seharusnya. Rakyat sudah muak dengan korupsi. Sudah jenuh dengan perilaku pemburu duit negara yang dengan sombong memperkaya diri, meminta dilayani, padahal mereka tidak mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan. Ini bukan hanya kisah pembangunan DKI Jakarta, melainkan kisah seluruh propinsi di Indonesia, tanpa kecuali. Apa yang terjadi di Jakarta, juga diharapkan terjadi di seluruh Indonesia.
Hukum harus ditegakkan.
Menghukum rakyat kecil itu tidak susah. Kejahatan jalanan, atau muda mudi yang dekat melewati batas (baca: mereka berada terlalu dekat dalam satu area, bukan berhubungan intim), bisa jadi sasaran hukuman yang hebat dan terus terang terlihat lebih biadab dibandingkan kesalahan yang dilakukan. Lihat saja bagaimana muda mudi yang melanggar syariah dihukum cambuk di Banda Aceh. Gila, jaman sekarang masih pakai hukum cambuk?
Bandingkan dengan perbuatan korupsi dana Otonomi Khusus Aceh tentang pemakaian dana bantuan ekonomi bagi mantan GAM, sebesar Rp 650 Miliar. Apakah Gubernur Aceh berani menyidik dan menangkap pelakunya di bawa ke tengah-tengah alun-alun untuk dihukum? Atau, beranikah membawa kasus ini ke KPK di Jakarta untuk ditindaklanjuti?
Mencambuki punggung anak muda tidak susah. Bisakah mencambuki punggung koruptor dan raja preman yang menyengsarakan rakyat di satu kota, atau kabupaten? Apa yang dilakukan oleh Ahok, dia membongkar kemaksiatan Kalijodo, mengubahnya jadi ruang publik terpadu ramah anak. Dia tidak mencambuki perempuan dan laki-laki, tetapi Ahok mematikan usaha dan sumber duit sejumlah cukong dan pengusaha yang mengeksploitasi perempuan. Tidake ada lagi bisnis pelacuran di sana.
Ahok dengan caranya telah menyalakan api yang membakar koruptor, menghilangkan bertriliun-triliun Rupiah dari anggaran yang biasanya bisa dikorupsi. Ini bukan soal program, melainkan tentang prinsip yang dilaksanakan dengan konsisten dan tidak pandang bulu. Sesuatu yang tidak pernah terdengar dilakukan oleh seorang Gubernur di Indonesia dalam kurun waktu puluhan tahun. Api ini menakutkan banyak pihak yang selama ini menikmati kekayaan Indonesia.
Pihak-pihak ini tidak tinggal diam. Api dilawan dengan api. Bagaimanapun juga, Gubernur seperti Ahok harus dihentikan. Bila Ahok secara prinsip menyatakan pemerintahan yang bersih, transparan, dan profesional, maka lawan menyatakan prinsip agama. Pemerintahan harus dipimpin orang Islam. Biar korup pun, prinsipnya lebih baik dikepalai oleh orang Islam yang bejat, daripada non-Muslim yang bersih. Api ini disambut dengan gembira oleh banyak cukong dan pengusaha yang selama ini kehilangan banyak uang di Jakarta karena ketegasan Ahok.
Setiap orang punya kelemahan, dan dalam diri Ahok kelemahannya adalah kata-kata yang dikeluarkan. Dia membuka peluang dengan kata-kata 'Al-maidah 51' nya. Langsung disambar oleh Buni Yani, yang dengan bodoh mau saja disuruh -- sekarang dia sendiri harus berhadapan dengan hukum dan menjadi tersangka. Tapi, kobaran api terus diberi segala bumbu hebat.
Maka, tidak pernah dalam sejarah Indonesia kita melihat ada gelombang demo anti penista agama sebesar itu. Sasaran yang dituju bukan hanya Ahok, melainkan juga Presiden Joko Widodo yang sama-sama berprinsip bersih anti korupsi. Demo-demo itu adalah peristiwa yang gila, yang berbahaya bagi rakyat, karena berniat membenturkan rakyat jelata yang dihasut dengan polisi dan tentara. Kita menemukan betapa hebatnya polisi dan TNI menjaga kesatuan bangsa: banyak polisi yang harus masuk rumah sakit diserang demonstran.
Api ini menyebar dengan meruntuhkan jembatan-jembatan antar kelompok masyarakat. Islam terpisah dari Kristen, Buddha, Hindu, Konghucu. Islam Sunni terpisah dari Islam Syiah. Islam Sunni moderat terpisah dari Sunni Wahabbi. Api yang membakar jembatan persatuan ini terus menyala dan menghilangkan pertemanan. Banyak yang mengalami unfriend di sosmed facebook. Cyber bullying menggila.
Apakah setelah Pilkada DKI usai, apinya padam? Karena yang menjadi pokok adalah hal prinsip, tidak mudah mematikan api radikalisme itu. Orang harus berpikir ulang tentang apa yang dipercayainya -- tadinya ia didorong untuk percaya bahwa agama lebih utama dari segala sesuatu, lebih daripada negara. Bagaimana ia dapat kembali berpikir sebaiknya kita semua hidup bersama dalam ideologi Pancasila? Dia sudah yakin kalau ajaran yang diterimanya mutlak benar -- artinya semua yang lain itu salah, dan yang salah harus dimusnahkan atau ditaklukkan. Ajaran itu bukan berasal dari kitab suci, melainkan dogma dari pemimpin agama. Tafsir yang dibuat sekehendak hatinya, toh tidak ada yang berani protes.
Jika api ini tidak dipadamkan, kobarannya bukan hanya menelan Presiden atau Gubernur, tapi juga bisa memusnahkan sendi-sendi dasar negara. Merusak Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena punya pikiran picik bahwa paling penting mengutamakan syariah agama dalam pemerintahan khilafah. Ini adalah pokok-pokok yang disuarakan ormas semacam HTI tanpa ragu-ragu. Mau perang, mau mati, mereka sudah siap dengan sepenuh hati.
Mereka seperti kanker yang berkembang tak terkendali, mengajak anak-anak muda untuk masuk ke dalam kefanatikan yang sama melalui potongan-potongan tafsir ayat agama sepihak dan semaunya. Bagaimana kanker dianggap enteng? Jika dibiarkan, negara ini bisa rusak dan menjadi seperti situasi di Timur Tengah, bedanya di sini ada sangat banyak kekayaan alam yang akan diperebutkan. Rakyat bodoh dan fanatik akan berjuang sampai berdarah-darah bahkan hilang nyawa, untuk sesuatu yang tidak mereka pahami, demi ilusi yang dimanipulasi nampak sungguhan. Kebodohan yang tidak ada batasnya.
Untuk melawan kanker, harus dilakukan isolasi. Harus berani mematikan sel-sel kanker. Pelaku terorisme harus ditangkap, demikian pula dengan guru-guru agama yang menyebar ajaran radikal yang menyesatkan. Orang-orang yang mengajar untuk tidak mensholatkan jenazah yang mendukung Ahok, harus ditindak. Jika mereka mau mendengar, mereka bisa belajar agama lagi dengan benar dan menyeluruh. Jika mereka sudah terlalu keras kepala, setidaknya jangan ijinkan untuk berkotbah lagi. Tidak ada tempat untuk radikal revolusioner.
Kita harus merajut kembali kebhinekaan dan hidup bersama, dengan kembali memberi hormat pada pilihan-pilihan yang berbeda. Allahmu berbeda dengan Allahku, tetapi kita hidup bersama di tanah air yang sama. Kita harus belajar mengerti bahwa nilai-nilai spiritual itu tidak sama dengan politik yang pragmatis dan praktis. Beragama bukan tentang kekuasaan politik, dan fatwa bukanlah hukum positif negara. Dalam hidup bersama, setiap orang harus tunduk pada UUD 45, pada UU, serta turunannya.
Sekalipun disebut imam besar, warganegara yang jadi tersangka harus hadir di panggilan polisi, harus hadir di pengadilan. Jika diputus inkracht bersalah, ya harus menjalani hukuman sama seperti warganegara lainnya. Ia mungkin imam besar di kelompoknya, tapi bagi umat agama lain, ia hanya warganegara biasa. Kalau mengacau, tempatnya adalah di penjara, suruh belajar lagi untuk bermasyarakat.
Percayalah, TNI dan Polri masih sangat kuat untuk menindas para pengacau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar