Cari Blog Ini

03 Januari 2008

HARAPAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN

Artikel ini merupakan bahan dari talkshow dalam acara Morning Coffee di radio Maestro FM 92.5 Bandung, pada tanggal 3 Januari 2008, pk 08:05 - 08:55

=======================

Setiap orang yang sudah dewasa memiliki dua hal yang tidak dapat dipisahkan dari kedewasaannya, yaitu adanya HARAPAN serta TANGGUNG JAWAB dalam kehidupan.

Harapan
Dalam hal harapan --atau kita sebut IMPIAN-- inilah yang memotivasi orang untuk berusaha terus, berjuang terus. Kita mempunyai pengharapan di Sorga, impian untuk mendapatkan mahkota dari Tuhan. Kita mempunyai pengharapan untuk kehidupan yang baik di dunia. Semua ini tidak akan datang begitu saja, sebaliknya seperti kata penulis Ibrani,

Ibr 12:1 Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita.

Ada banyak orang yang menyaksikan kehidupan kita, seperti awan yang mengelilingi. Bagaimana kita melakukan perlombaan ini? Kita harus menujukan mata kita kepada Kristus, lalu kita berlari, jangan menjadi lemah dan putus asa. Pengharapan berkaitan dengan tahan uji, dengan ketekunan (Roma 5:4) -- ini semua adalah sesuatu yang diperjuangkan.

Harapan Berkaitan Dengan Uang
Lebih jauh lagi, mari kita lihat bagaimana kehidupan orang di masa sekarang. Aktivitas manusia senantiasa berkaitan dengan uang, sebagai alat tukar untuk segala hal. Semua perencanaan untuk sesuatu yang kelak diperoleh, diukur dengan sejumlah uang. Kita melihat pendidikan membutuhkan uang, kesehatan membutuhkan uang, transportasi membutuhkan uang, bahkan pelayanan gerejawi pun membutuhkan uang. Jangan keliru: bukan uangnya yang kita butuhkan, melainkan pendidikan, kesehatan, transportasi, dan berjalannya pelayanan, serta segala hal lainnya. Uang hanyalah alat tukar, sekaligus alat ukur dari usaha kita untuk mendapatkan dan memberikan segala hal baik selama kita hidup di dunia modern ini.

Jadi, harapan untuk masa depan dapat diukur dengan uang juga -- misalnya, orang tua menginginkan pendidikan anak yang baik, kuliah di luar negeri -- yang dijabarkan dengan sejumlah uang yang perlu disediakan di masa depan. Mungkin orang tua kelak harus menyediakan dana Rp 1 Milyar, agar harapannya terpenuhi. Inilah yang perlu diperjuangkannya mulai dari sekarang, karena mungkin orang tua tidak akan sanggup menyediakan uang sebanyak itu dalam waktu singkat.

Sekarang, apa yang kita harapkan di tahun 2008? Barangkali waktunya sudah terlalu singkat untuk mencapai sesuatu yang benar-benar besar. Namun, kita masih mempunyai banyak harapan di tahun-tahun yang akan datang, barangkali ketika anak kita masuk kuliah di tahun 2018, sepuluh tahun lagi. Maka kita bisa menaruh sebuah harapan lain, agar tahun ini menjadi awal dari pengelolaan keuangan yang mapan, yang benar, yang membuat kita memberi yang terbaik bagi keluarga kelak. Kita boleh berharap, tahun ini kita bisa melangkah untuk mendapatkan penghasilan lebih baik. Melakukan investasi yang lebih baik. Mengelola uang kita lebih baik. Hasilnya?

Bukankah indah sekali, memikirkan bagaimana anak-anak kita bisa mendapatkan pendidikan terbaik di negeri ini? Atau mungkin kita akhirnya bisa memperoleh rumah yang kita idam-idamkan? Atau kelak, di saat kita pensiun, kita bisa menghabiskan waktu keliling dunia, mendapatkan sarana pemeliharaan kesehatan yang baik selama bertahun-tahun, tanpa membebani siapa pun juga?

Tanggung Jawab
Tentu saja, beberapa dari kita mungkin tidak menginginkan anak kuliah ke luar negeri, karena berbagai alasan. Mungkin orang tua tidak berharap seperti demikian. Tetapi, kalau harapan itu diturunkan, kita menemukan bahwa ada TANGGUNG JAWAB yang mengharuskan kita memenuhi kebutuhan, baik diri kita sendiri, keluarga kita, gereja, atau masyarakat di sekitar kita. Bagi sebagian orang, harapan dapat diabaikan -- orang bisa berubah pikiran tentang apa yang diimpikannya, bukan? -- tetapi tanggung jawab tidak dapat dikurangi.

Orang yang sudah mempunyai anak, misalnya, bertanggung jawab untuk merawat, membesarkan, dan mendidik anaknya. Orang yang sudah dewasa bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Orang yang mempunyai talenta bertanggung jawab untuk memberikan hasil dari talentanya itu. Kita mengenal baik perumpamaan yang telah diberikan oleh Tuhan Yesus tentang majikan yang memberikan talenta kepada hamba-hambanya. Perhatikanlah: mengembalikan talenta bukan suatu pilihan, melainkan keharusan.

Bertanggung Jawab Mengembalikan Investasi Allah
Yang menarik disini, yang disebut 'talenta' sebenarnya adalah UANG; talenta bukanlah mata uang, tapi satuan nilai uang. Kalau dikonversikan dengan uang sekarang, nilainya kira-kira US$ 960, atau sekitar Rp 9.024.000 (1$ = Rp 9400). Dalam perumpamaan itu, setelah memberikan sejumlah talenta, maka sang majikan pergi untuk jangka waktu yang lama (Mat 25:19). Kita melihat, bahwa dengan jangka waktu yang lama, hamba-hamba yang baik dapat mengembalikan talenta beserta hasilnya 100%.

Kalau dibaca dengan pemahaman modern, perumpamaan ini berbicara tentang INVESTASI. Sang majikan berinvestasi pada hamba-hambanya, dengan suatu kewajiban untuk mengembalikan bunga 100%. Kalau kita yang bertanggung jawab sebagai hamba, apa yang kita lakukan? Perhatikan juga konteks di mana perumpamaan itu diberikan: Tuhan Yesus sedang berbicara tentang Kerajaan Sorga pada hari Dia kembali, saat akhir jaman. Kita juga HARUS berinvestasi atas segala hal yang telah kita miliki, yang harus kita pertanggungjawabkan.

Tanggung Jawab Mengelola Keuangan
Di sinilah kita melihat bahwa orang percaya bertanggung jawab untuk mengelola keuangannya. Kita harus merencanakan keuangan kita. Kita tidak bisa mengatakan, bahwa kita hanya perlu duduk diam dan melihat Tuhan memenuhi kebutuhan kehidupan kita. Rasul Paulus pun memperingatkan,

2 Tes 3:10 Sebab, juga waktu kami berada di antara kamu, kami memberi peringatan ini kepada kamu: jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.

Kita HARUS mengambil jalan terbaik dan benar untuk memenuhi tanggung jawab kita. Orang tidak bisa berharap untuk berjudi dan memperoleh apa yang dia butuhkan. Kita harus melakukan apa yang benar, berupaya memenuhi kebutuhan kita, baik di masa kini maupun masa depan. Untuk itu, kita perlu tahu apa yang harus kita hadapi, seberapa besar kebutuhan kita, seberapa besar uang yang kelak harus disediakan.

Lalu, bagaimana menyediakannya? Banyak orang Kristen yang menutup mata, tidak mau belajar, sebaliknya hanya berkutat dalam apa yang diketahuinya saja. Ini tidak bertanggung jawab, karena sikap ini serupa dengan hamba yang telah berpandangan negatif lalu menyimpan satu talentanya dalam lobang di tanah. Sikap bertanggung jawab menuntut orang untuk terus memahami berbagai fasilitas dan kemungkinan yang ada, mengerti bahwa ada resiko-resiko yang harus dihadapi dan kesempatan-kesempatan untuk digali.

Tanggung Jawab Memahami Investasi
Jika orang mau belajar, maka ia akan tahu bahwa sebenarnya setiap investasi mengandung resiko, dan tidak mungkin menjamin suatu hasil yang besar dalam jangka pendek. Sekarang ini banyak orang --termasuk orang Kristen-- yang terjebak dalam investasi yang dijanjikan akan mendapatkan pengembalian tinggi, 5%-10% per bulan, yang kemudian ternyata suatu modus penipuan, uangnya lantas hilang dibawa kabur. Banyak yang tidak tahu bahwa Pemerintah melalui Departemen Keuangan sebenarnya telah membuat larangan memberi jaminan bunga dalam suatu investasi. Kalau ada ilustrasi perhitungan hasil dalam investasi, itu bukan kontrak, tidak boleh dijamin. Sayang, masih banyak yang mencari tempat berinvestasi 'serba terjamin'.

Sebaliknya, banyak juga orang yang tidak tahu bahwa dalam pasar modal yang tidak dijamin itu, tingkat pengembalian rata-rata selama 10 tahun terakhir ini lebih tinggi daripada inflasi, lebih tinggi daripada suku bunga bank. Ada investasi dalam bentuk yang sangat berfluktuasi seperti saham, justru secara statistik menunjukkan rata-rata peningkatan yang selalu positif dalam jangka panjang. Dalam bentuk yang lebih stabil, pasar obligasi di Indonesia tetap menunjukkan antusiasme tinggi. Sayang, banyak orang Indonesia yang tidak tahu!

Jadi, siapa pemain-pemain besar di pasar modal kita? Orang-orang asing! Mereka sanggup mengenali pasar modal yang mempunyai pertumbuhan tinggi dan baik di Indonesia, mereka mengusahakan agar dana mereka mendapatkan hasil di negeri ini. Sementara kita, yang menjadi rakyat Indonesia, justru banyak yang mencari investasi di negara asing, yang tidak kita pahami, yang sebenarnya tidak lagi bisa memberikan imbalan yang baik atas investasi yang dilakukan. Sekali lagi, ini bukan sikap yang bertanggung jawab. Jika kita berkutat dengan apa yang kita ketahui, menyembunyikan kemalasan dan ketakutan kita untuk belajar dan memahami, kita tidak bertanggung jawab.

Kalau kita bertanggung jawab, kita bisa mengetahui bahwa ternyata rata-rata reksadana saham di Indonesia selama 10 tahun terakhir memberi hasil rata-rata tidak kurang dari 40%. Ini angka yang besar, jauh di atas rata-rata reksadana saham di Amerika, misalnya, yang berkisar kira-kira 15% saja. Kita juga bisa mengetahui cara-cara yang lebih ringan dan terjangkau untuk memperolehnya -- karena banyak juga orang yang mundur dari berinvestasi ketika tahu bahwa modal awal yang diminta mencapai angka puluhan, ratusan juta rupiah. Padahal, tidak harus selalu demikian! Ada cara yang lebih mudah, lebih sederhana, dan terjangkau, yang bisa kita ketahui jika kita bersedia untuk mencari tahu, mendengarkan, meneliti, dan bersikap positif.

Dengan berinvestasi, orang bisa mendapatkan pengungkit (leverage) untuk memenuhi kebutuhannya. Kalau kelak ia membutuhkan Rp 1 Milyar, misalnya, ia tidak perlu menabung sebanyak itu. Dengan berinvestasi dan jangka waktu yang cukup panjang, dalam kedisiplinan diri, orang dapat mengatur agar ia menyediakan sepertiga saja, sisanya didapat dari hasil investasi. Ini jika orang dapat mengatur pengeluarannya, menjaga agar investasi tetap dipertahankan sesuai rencana. Sanggupkah kita melakukannya?

Tanggung Jawab Mengelola Arus Kas
Sekarang ini, masih banyak orang yang merasa tidak sanggup. Apa yang terjadi? Mereka mengatakan, bahwa keadaan hidup saat ini pun terlalu sukar untuk memenuhi kebutuhan. "Hard to make ends meet," begitulah istilahnya. Tapi, kalau di masa kini hidup terlalu sulit untuk dipenuhi, apakah lantas orang dibebaskan dari tanggung jawabnya untuk memenuhi kebutuhan di masa mendatang? Apakah karena sekarang hidup susah, kita tidak lagi perlu menyekolahkan anak, tidak perlu memberikan perawatan kesehatan, tidak perlu menyediakan dana yang diperlukan?

Ada orang yang berharap semua selesai dengan berdoa. Tetapi ia sendiri tidak berusaha untuk menemukan cara yang lebih baik mengelola keuangannya. Ia tidak berinvestasi, sebenarnya bukan karena tidak bisa, melainkan karena tidak mau belajar untuk mengatur pengeluaran. Kita lihat, sikap tidak bertanggung jawab sebenarnya memiskinkan orang, dan betapa sering kita melihat orang miskin justru membelanjakan uangnya dengan cara yang tidak bertanggung jawab! Ini seperti lingkaran setan, yang akan meminta korban anak-anak kita, generasi penerus kita.

Kesulitan keuangan bukanlah hal yang baru; ini sudah lama terjadi. Orang sudah menemukan berbagai macam cara untuk mengatasinya, ada petunjuk-petunjuk yang bisa dilakukan semua orang, asal orang itu disiplin dan tekun. Orang yang bertanggung jawab akan mengelola arus kasnya dengan baik, mereka menyehatkan keuangan keluarga, menyehatkan keuangan usaha. Siapa yang tidak ingin mempunyai keuangan yang sehat? Tapi, siapa yang telah melakukan upaya-upaya yang sepadan untuk hal itu? Ini adalah bagian yang harus orang lalui, membutuhkan ketekunan dan tahan uji.

Bereskan arus kas, maka kita dapat memenuhi tanggung jawab kita. Lebih jauh lagi, maka kita dapat mencapai harapan di masa depan. Siapa yang tidak menginginkan rumah yang lebih baik, melalui masa pensiun tanpa masalah keuangan -- sementara ada banyak sekali orang tua sekarang yang kehidupannya harus ditopang oleh anak-anaknya, padahal mereka sendiri masih bermasalah?

Tanggung Jawab Proteksi Keuangan
Dalam hubungan keluarga dan masyarakat, tanggung jawab keuangan tidak hanya pada diri sendiri saja. Ketika seseorang telah sanggup berproduksi, ia mula-mula menyediakan kebutuhan dirinya. Kemudian, ketika orang memperluas lingkup diri dengan berkeluarga, ia harus menyediakan kebutuhan keluarga: istri, anak-anak, dan segala kebutuhan rumah tangganya. Kita banyak memperhatikan masalah keluarga, berawal dari masalah keuangan. Tidak sedikit penyelesaian konflik suami istri harus melibatkan penasehat atau konselor yang memahami bagaimana mengatur uang. Tetapi dalam beberapa kasus, masalahnya timbul karena faktor resiko, yang tidak mungkin dihindari orang.

Pertama-tama, kita perlu menyadari bahwa semua orang pasti ada dalam dua kemungkinan: yang pertama orang itu menjadi semakin tua, yang kedua orang itu meninggal. Menjadi semakin tua berarti timbulnya kebutuhan-kebutuhan di masa depan, yang berkaitan dengan usianya, kondisi tubuhnya, penyakit yang dideritanya, dan sebagainya. Tapi kalau orang itu meninggal, maka segala produktivitasnya berhenti. Sekarang pertimbangkanlah: siapa yang tahu kapan ia akan meninggal? Bagaimana pun juga, manusia yang hidup PASTI akan meninggal, tapi kapan waktunya terjadi? Orang bisa meninggal karena kecelakaan, karena penyakit, atau karena kejahatan. Siapa yang bisa memastikan bahwa hal-hal buruk tidak akan terjadi pada diri kita?

Sebagai anak-anak TUHAN, seharusnya kematian tidak menakutkan kita. Memang kita tidak perlu takut akan keselamatan jiwa -- ini sudah dijamin oleh Tuhan kita Yesus Kristus. Tetapi, kalau kita meninggal, bagaimana dengan kesejahteraan keluarga yang kita tinggalkan? Kalau kita meninggal di usia tua, kita bersyukur karena tidak ada lagi beban yang harus kita pikul. Tapi bagaimana kalau kita meninggal di saat kita masih produktif? Orang-orang yang bergantung secara keuangan pada kita tentu akan sangat terganggu. Kesejahteraan mereka terancam. Kita sudah melihat contohnya: janda harus menjual rumah, anak-anak berhenti sekolah, serta masalah keuangan terjadi karena meninggalnya sang ayah, sumber nafkah keluarga. Dapatkah orang yang sungguh mengasihi keluarganya bersikap tidak peduli dan hanya berkata, "biarlah Tuhan yang memelihara keluarga saya." Apakah ia sungguh-sungguh mencintai keluarganya?

Maka, sikap bertanggung jawab akan membuat orang mengadakan proteksi keuangan atas jiwanya. Dalam keadaan tertentu, orang juga memahami bahwa dia mempunyai resiko hidup -- resiko mengalami penyakit kritis, resiko masuk rumah sakit, resiko mengalami kecelakaan yang mengakibatkan cacat -- yang perlu ditanggungnya. Tentu saja, resiko dari satu orang ke orang lain akan berbeda, sesuai dengan kondisi dan situasinya masing-masing. Disinilah fungsi asuransi, yaitu untuk mengambil alih resiko finansial atas diri seseorang. Di masa kini, asuransi telah menjadi suatu hal yang umum, yang paling logis untuk dilakukan. Kalau kita perhatikan negara-negara maju, Amerika, Eropa, Jepang, semuanya sudah sadar pentingnya asuransi. Di Jepang, rata-rata orang dewasa mempunyai 6 polis asuransi. Mereka menambahkan polis baru setiap kali nilai ekonomi yang dimilikinya bertambah, karena perlindungan itu harusnya membesar sesuai dengan kemajuan yang dicapai oleh seseorang.

Sayangnya, kita masih menemukan sejumlah praktek yang tidak terpuji dalam dunia perasuransian di Indonesia. Masalahnya, orang Indonesia tidak cukup belajar seluk beluk asuransi, karena di sini tidak diajarkan di sekolah, tidak seperti di negara yang sudah maju. Karena tidak tahu, banyak orang salah paham, dan celakanya mereka tidak mencari tahu lebih dalam. Kita bisa lihat, ini pun suatu sikap yang tidak bertanggung jawab, di mana orang bisa jatuh dalam dua ekstrim yang sama buruknya: yang pertama adalah sikap anti-asuransi secara total, yang menyatakan "pokoknya TIDAK atas asuransi". Di sisi ekstrim lain adalah sikap total-berasuransi yang menerima apa saja yang ditawarkan oleh agen asuransi, tanpa sedikitpun berupaya memahami apa yang didapatkannya. Sikap bertanggung jawab akan menempatkan asuransi pada porsinya, yaitu sebagai proteksi keuangan atas keluarga kita. Kita tidak dapat melepaskan diri dari pertimbangan tentang keadaan kita sendiri, memahami resiko yang kita hadapi, dan mengambil sikap yang sesuai. Kalau kita tahu bahwa kita membutuhkan proteksi sebesar Rp 1 Milyar, kita tidak akan membuat proteksi yang nilainya hanya Rp 100 juta saja.

Belajar Bertanggung Jawab
Demikianlah, kita sudah melihat bahwa harapan dan tanggung jawab kita dalam bidang keuangan personal meliputi tiga hal: Investasi, Arus Kas, dan Asuransi. Hal-hal ini penting; tidak cukup kalau kita hanya menyebutkannya saja. Sebaliknya masing-masing membutuhkan proses belajar, dilanjutkan dengan keputusan-keputusan untuk bertindak sesuai. Di dalam hal inilah kita mengerti bahwa keputusan yang kita ambil berkaitan dengan iman Kristen. Karena untuk melakukan investasi yang benar, mengatur arus kas dengan benar, dan mengambil asuransi yang sesuai, orang sebenarnya membutuhkan iman, kepercayaan bahwa Tuhan memang memelihara dan mempersiapkan segala hal baik untuk kita kerjakan. Mengelola keuangan adalah bagian dari menjadi dewasa di dalam iman -- untuk orang yang baru percaya, Tuhan mungkin memberikan susu, segala berkat yang datang begitu saja. Tetapi ketika orang semakin dewasa, Tuhan semakin melepaskan dia, agar orang itu mengambil keputusan sendiri.

Apakah hal ini mudah? Akan berbeda untuk orang yang satu dibandingkan orang lain. Kita semua berangkat dari situasi yang berbeda, di mana harapan dan masalah kita berbeda. Tetapi ada satu hal yang sama: kita harus mempertanggungjawabkan talenta yang Tuhan sudah berikan. Talenta itu mencakup diri kita, bakat kita, keterampilan kita, dan...ya, uang kita juga. Dan kita bertanggung jawab untuk mencapai harapan kita sendiri, meraih cita-cita kita sendiri. Tuhan memang akan membantu kita, tetapi kita harus dalam posisi bergerak, berusaha. Tuhan tidak akan membantu orang yang tidak mau bergerak, yang tidak cukup berani untuk melangkah. Ia sudah menyerahkan Anak-Nya yang tunggal sebagai Juruselamat, menebus kita dengan darah-Nya yang mahal -- lalu apakah kita masih tetap terlalu takut untuk berupaya, mengerjakan segala sesuatu?

Jangan kuatir, Tuhan tidak menyuruh anak-anaknya untuk langsung berlari, sementara kita masih merangkak. Tapi dari merangkak kita akan belajar berdiri, walau ada resiko jatuh -- rasanya sakit. Ketika kita mulai belajar berjalan, lalu berlari, kalau jatuh akan lebih sakit lagi. Mengatur uang yang pas-pasan mungkin awalnya terasa sakit, demikian juga kerumitan yang harus dihadapi dalam mempelajari berbagai pilihan investasi. Tapi ini semua kita butuhkan untuk kemandirian kita, hingga kita sanggup bertanggung jawab dengan sepenuhnya sebagai orang dewasa. Di saat itu kita dapat dengan bangga mengatakan, bahwa kita sudah tahu. Sudah mengalami. Dan kita bisa melihat bahwa apa yang kita tabur kini dapat kita tuai, dengan hasil yang berlipat ganda, menjadi berkat bagi orang di sekitar kita, bagi masyarakat. Dan demikianlah, kita pun memuliakan TUHAN yang sudah memberikan semuanya!

Tidak ada komentar: