Cari Blog Ini

12 Januari 2008

No Secret: Semesta Tidak Mendukung

Apa artinya keinginan bagi seorang manusia? Ini mungkin menjadi hal yang sering kita hadapi, sekaligus tidak pernah kita pikirkan. Mengapa orang ingin makan sesuatu yang rasanya manis, bukan pahit? Tetapi, mengapa ada juga orang yang menyukai sayur daun pepaya yang pahit, dengan bumbu sambal yang pedas, sehingga melihatnya pun kita turut merasa ingin makan? Beberapa keinginan nampak janggal bagi kita. Mengapa orang ingin melubang-lubangi dirinya sendiri? Mengapa orang ingin menjadi kaya? Sekaligus, mengapa ada juga orang yang memilih melepaskan kekayaannya untuk menjadi penginjil miskin yang berkelana di belantara hutan Kalimantan?

Mengapa ada orang yang ingin belajar dan mengajar sebanyak-banyaknya, menjadi ilmuwan yang hidupnya dihabiskan di laboratorium, dengan eksperimen yang beresiko membahayakan dirinya? Mengapa ada orang lain lagi yang tidak mau sekolah, sebaliknya ia mencari pencapaian karir setinggi-tingginya, dengan bersikap pragmatis di sepanjang jalannya?

Kadang-kadang, kita berusaha menjelaskan keinginan kita kepada orang lain, terutama mereka yang dekat dengan kita. Kita menjelaskan keinginan kita kepada suami, kepada istri, kepada orang tua, kepada anak-anak, atau kepada saudara kandung atau sahabat yang dekat. Apakah semua penjelasan itu berhasil dengan baik? Belum tentu. Betapa pun mereka berhubungan dekat, ternyata tidak semua gagasan kita dapat disampaikan. Mereka ternyata masih belum memahami apa yang kita pahami, belum melihat apa yang kita lihat. Tapi, bagaimana bisa? Bukankah mereka mempunyai mata yang sama, akal budi yang setara?

Jadi ternyata, ada sesuatu pada diri kita yang mendasari apa yang kita inginkan. Masalahnya, apakah 'sesuatu' itu kita pahami -- itu harus diuji terlebih dahulu. Karena banyak juga orang yang menginginkan sesuatu tanpa alasan, tanpa pemahaman mengapa mereka menginginkan hal itu. Apalagi jika hal-hal itu ada di masa depan, sesuatu yang belum pernah kita lihat, bahkan belum pernah terlintas sedikit pun di pikiran kita. Bagaimana mungkin menginginkan sesuatu yang tidak pernah ada di dalam pemahaman manusia!

Ambil saja contoh: soal rasa yang disukai. Ada yang suka manis, berarti kandungan sukrosa atau glukosa yang lebih tinggi pada makanan. Yang lain lebih menyukai kandungan garam -- Natrium Klorida -- yang terasa asin di lidah. Apakah alam mengenal apa artinya 'manis' dan 'asin'? Tidak. Bahkan, mungkin kita sendiri yang menyebut suatu 'rasa' tidak tahu apa yang ada di sana. Ada rasa manis dari gula, tapi ada juga dari pemanis buatan seperti aspartame. Apa orang bisa terus mengetahui ini adalah gula, ini adalah saccharin, atau ini adalah aspartame? Namun, jika sudah disebutkan, mungkin kita lebih memilih gula daripada aspartame. Mengapa?

Karena, ada orang yang menilai gula lebih baik daripada aspartame. Suatu penilaian yang subyektif sebenarnya, karena apakah benar suatu rangkaian C6H12O6 lebih baik bagi tubuh manusia daripada rangkaian kompleks aspartame yang terdiri dari dua asam amino, yaitu phenylalanine dan asam aspartic? Penilaian manusia didasarkan pada suatu pemahaman, sesuatu yang membuat orang memilih satu kondisi ketimbang kondisi lainnya.

Dalam prinsipnya, pilihan itu bukanlah sesuatu yang alamiah.

Banyak hal yang ada dalam diri manusia bukan sesuatu yang muncul dalam alam. Kita menginginkan kekayaan, tapi siapa yang bisa menjelaskan apa yang alamiah dalam hal kekayaan? Apa yang alamiah dari keinginan untuk menimbun segala hal bagi dirinya sendiri, jauh lebih banyak daripada yang dapat dihabiskannya di sepanjang hidupnya? Pemahaman-pemahaman ini ada dalam diri manusia, berangkat dari nilai-nilai yang dianut oleh seseorang (dan belum tentu oleh orang lain).

Sekarang, seumpama memang benar bahwa manusia dapat memancarkan suatu 'sinyal' dari dirinya kepada alam tentang keinginannya. Seumpama memang benar bahwa alam dapat direkonfigurasi sesuai dengan intensitas yang dipancarkan orang itu. Pertanyaannya, apakah alam mengerti apa yang dipancarkan oleh seseorang? Kita bicara, misalnya, tentang seseorang yang berada dalam keadaan kritis -- suatu kondisi sukar dalam hal keuangan, seperti yang banyak dialami orang jaman sekarang. Masalah yang sangat kritis: tidak punya uang yang cukup untuk bayar sekolah anak, misalnya. Siapa yang tidak pusing kalau anaknya tidak bisa bersekolah seperti yang direncanakan?

Lalu, orang ini memancarkan kondisi kritisnya kepada alam. Apakah alam mengerti? Apakah ada suatu pengaturan-pengaturan diri di alam yang dapat menyediakan jalan keluar atas situasi kritis orang itu? Dia mungkin merasa seperti sedang dikejar-kejar penagih hutang, lantas berusaha lebih keras lagi. Ototnya menjadi lebih kuat, ia berpikir lebih rumit dan panjang. Tapi, apakah berusaha lebih keras selalu menyediakan jalan keluar? Mungkin tidak. Yang dibutuhkannya, mungkin adalah bekerja lebih cerdas. Dan mungkin juga, yang dibutuhkannya adalah perubahan paradigma, caranya memandang keadaan. Yang mana berarti, masalahnya semula masih tetap ada di sana, tidak ada perubahan. Hanya nilai-nilai orang itu yang berubah, dan apa yang tadinya 'kritis' tidak lagi terlihat demikian. Ini adalah perubahan pemahaman, bukan jalan keluar. Tidak ada pengaturan ulang apa pun, tidak ada rekonfigurasi apa pun yang terjadi setelah 'sinyal' dipancarkan.

Tentu saja, dalam kasus lain benar-benar timbul suatu jalan keluar. Misalnya saja, orang itu mendadak memenangkan undian dari tabungannya di bank. Atau mendadak, barangkali orang tuanya yang kikir meninggal dan mewariskan cukup dana untuk membayari sekolah anak. Tapi hal-hal ini sama sekali bukan suatu pengaturan alam, karena untuk memenangkan undian, ia sudah lebih dulu menabung. Untuk mendapatkan warisan yang banyak, orang tuanya sudah lebih dahulu menjadi orang kikir yang menyimpan banyak harta, mengabaikan kesehatan (saking kikirnya), dan meninggal sebagai akibat sifatnya itu. Dalam banyak kasus, seringkali jalan keluar timbul dari suatu akibat yang penyebabnya sudah ada lama, jauh sebelum masalah muncul. Bukan sesuatu yang baru muncul setelah orang mencapai 'situasi kritis' yang disampaikan kepada alam.

Alam sendiri tidak dapat memahami 'pesan' yang tidak alamiah. Jika ada orang yang menginginkan alam bagi dirinya sendiri, apa yang dapat ia harapkan sebagai 'dukungan semesta' atau terpenuhinya 'hukum ketertarikan'? Tidak ada. Tidak seperti itu alam diciptakan (atau kalau tidak percaya, sebut saja alam ber-evolusi). Alam tidak akan memenuhi visualisasi manusia yang tidak alamiah. Orang bisa berimajinasi sesuatu yang hebat, bahkan memaksakan gambaran itu kepada orang lain. Tetapi betapapun juga, hal itu tidak akan terjadi.

Dahulu manusia memvisualisasikan bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Segala sesuatu berputar mengelilingi bumi -- jangan keliru, hal ini bukan timbul dari Firman Allah, tapi dari hellenisme, dari gambaran yang di-'ilmiah'-kan oleh Claudius Ptolemaeus. Gambaran ini diyakini, disukai, dan diadopsi sepenuhnya oleh Gereja sebagai sesuatu yang 'suci' dan 'berasal dari Tuhan'. Masuk dalam Dogma, diyakini seperti Alkitab sendiri. Tapi salah, bukan? Pandangan Ptolemy tidak alamiah. Bagaimanapun orang mempertahankan pandangan ini, bahkan dengan menghukum mati Galileo, tetap saja gambaran itu salah dan tidak akan pernah terjadi.

Alam semesta tidak memahami nilai-nilai yang timbul dalam diri manusia, karena hanya manusia saja mahluk yang diberi akal budi, yang sanggup menginginkan sesuatu yang tidak alamiah. Hanya manusia juga yang bisa berhubungan dengan TUHAN, yang sepenuhnya tidak alamiah, karena TUHAN sebagai Pencipta alam berada di luar alam ciptaan.

So, there is no secret: ternyata alam semesta tidak mendukung manusia...betapa pun kerasnya kita menginginkan apa yang tidak alamiah terjadi. Hanya TUHAN yang memahami apa yang kita inginkan dan memenuhinya.

Oh ya, iblis juga paham lho apa keinginan manusia, tetapi sebaliknya dari memenuhi demi kebaikan, iblis memanipulasi untuk mendatangkan kejahatan. Untung, Tuhan sudah mengalahkan si naga tua yang jahat itu.

Terpujilah TUHAN!


Powered by Qumana


Tidak ada komentar: