Cari Blog Ini

11 April 2009

Paskah dan Pemilu

Hari ini adalah hari pemilihan umum. Besok orang Kristen di seluruh dunia akan memperingati Jumat Agung, Good Friday, dan sebenarnya kita mengingat tentang saat-saat penyaliban Kristus. Malam ini di mana-mana orang mengingat malam Getsemani, seperti kembali mendengarkan rintihan-Nya, "biarlah cawan ini berlalu..."

Tetapi hari ini banyak orang yang menunggu dipilih, sementara mereka telah mengeluarkan amat sangat banyak uang, waktu, tenaga, bahkan prinsip-prinsip moral, sedang berharap cawan itu mampir dibibirnya, untuk seteguk kenikmatan politik di negeri ini. Apa yang sebenarnya sedang mereka harapkan? Ini adalah pemilihan legislatif, yaitu satu badan dari trias politica yang mengatur kesepakatan atas bagaimana negara ini akan berjalan, melalui pengaturan hukum dan undang-undang, mulai dari perancangannya, evaluasi pelaksanaannya, hingga pertanggungjawabannya.

Mereka yang berharap terpilih, dalam realita akan menduduki sebuah tempat di Dewan Perwakilan, entah di pusat atau di daerah. Entah mewakili partai atau mewakili daerah. Pilihan kita pada mereka adalah pilihan berdasarkan partai karena pada kenyataannya, para anggota Dewan Perwakilan harus mentaati ketentuan partai tempat di mana mereka beraktivitas. Tetapi orang-orang ini berkampanye seolah-olah mereka menjadi pemimpin, hingga akhirnya ketika kita memilih, ada harapan bahwa pilihan ini akan membuat sesuatu yang benar-benar berbeda. Dan betapa keras para caleg berusaha agar orang-orang memilih dirinya!

Demikianlah kita melihat bahwa mereka yang tidak dalam posisi untuk langsung membuat perubahan, justru menawarkan janji perubahan sementara mereka sendiri tidak membawa sesuatu perubahan yang nyata sebelumnya. Itulah karakter manusia: jabatan dahulu, prestasi menyusul. Salah satu motivasinya adalah imbalan besar bagi setiap orang yang berhasil menduduki kursi dewan perwakilan. Itulah cawan yang manis dan menyenangkan.

Tetapi Tuhan Yesus gentar dengan cawan-Nya sendiri. Bukan karena perubahan yang dibuat oleh Yesus, melainkan bagaimana perubahan itu akan menghampiri diri-Nya sendiri. Ini adalah reaksi yang wajar, suatu hal yang benar, karena Tuhan Yesus sungguh-sungguh menghargai dan memuliakan hubungan-Nya dengan Bapa. Perubahan memang dibutuhkan, tetapi Yesus harus membayar dengan amat mahal. Sebenarnya, itulah harga yang harus dibayar oleh setiap pemimpin perubahan.

Dengan kegentaran-Nya, justru Tuhan Yesus menjadi seorang yang sangat berani. Keberanian bukan berarti tidak merasa takut atau gentar, melainkan justru di tengah rasa takut, Ia tetap memilih untuk maju terus melakukan karya yang harus diselesaikan-Nya. Apakah dengan demikian, Tuhan Yesus mendapatkan sesuatu atau mengharapkan imbalan? Tidak, yang diberikan-Nya adalah anugerah bagi manusia! Ini adalah pemberian satu arah dari kasih agape yang sejati dari Tuhan. Kasih yang menimbulkan keberanian, sehingga Yesus tetap menyongsong murid yang mengkhianati-Nya, membiarkan para prajurit itu menangkap-Nya, bahkan mengobati yang terluka.

Dalam satu sudut pandang, perubahan yang ditawarkan Tuhan menjadi sebuah pilihan yang boleh diambil manusia. Berita kabar baik kini telah disiarkan ke seluruh penjuru dunia, dan manusia bisa "menggunakan hak pilihnya" atas kabar baik ini, atau memilih banyak tawaran kepercayaan dan keyakinan agama lain yang jumlahnya tidak terhitung. Seperti pemilu, pilihan yang diambil juga membawa sebuah konsekuensi. Semua manusia memiliki hak untuk memilih, tetapi tidak bisa menolak konsekuensinya.

Sayangnya, orang seringkali tidak memikirkan konsekuensi, apalagi yang berjangka panjang. Asal hari ini ada keramaian, kehebohan, kemudian bisa makan gratis, hiburan gratis, cukuplah. Inilah wakil rakyat yang dipilih: yang menyenangkan. Tetapi, ketika mereka menelurkan UU yang menekan dan mengacaukan, apa yang dapat dilakukan selain kembali berdemonstrasi? Sayangnya, banyak orang tidak lagi mengingat apa yang mereka pilih, tidak sadar yang dipilih itulah yang sedang mengacaukan negara ini. Itulah konsekuensi.

Demikian pula dengan pilihan manusia atas keyakinan. Orang bisa memilih suatu agama karena teman, karena keramaian, kehebohan, dan mungkin hiburan gratis, makan gratis. Untuk sesaat, mungkin orang mendambakan kegembiraan saat ini juga karena berkat dan rejeki dan teman-teman yang menyenangkan. Tetapi dalam jangka panjang, apa yang orang pilih itu belum tentu memberikan konsekuensi yang kita butuhkan; saat itu kita tidak dapat berbuat apa-apa atas salah pilih yang dilakukan. Malah orang juga bisa menjadi golput, yang dalam istilah lain adalah "atheis" namun itu pun tetap merupakan suatu pilihan dengan konsekuensinya.

Perbedaannya, kita kembali memandang ke atas salib, di mana Tuhan Yesus memberikan pilihan ini dengan memberi nyawa-Nya sendiri. Tidak ada pemimpin di dunia yang memberi sebesar Tuhan Yesus Kristus, baik pemimpin politik maupun pemimpin agama, yaitu menyerahkan nyawa sebagai tebusan atas kehidupan kita. Penyerahan yang diberikan dengan kegentaran, sama sekali tidak mudah, tetapi toh tetap diberikan juga hingga menghembuskan nafas terakhir.

Dari penebusan, Tuhan Yesus memberikan perubahan yang pasti bagi orang percaya yang memilih untuk menerima-Nya. Kita sudah, atau mungkin sudah, memilih dalam politik – rakyat Indonesia sudah melaksanakan pemilu. Tetapi apakah rakyat Indonesia sudah memilih dalam menentukan kehidupan dalam kekekalan?

Nyatanya, berbagai analisa dan perhitungan cepat menunjukkan, orang Indonesia juga sudah memilih agama ketika memilih partai, sebagaimana kita lihat koalisi yang terbentuk berangkat dari agama mayoritas di negara ini. Dalam tahun-tahun yang akan datang, pilihan ini akan membawa Undang Undang dan peraturan yang sesuai dengan keyakinan agama; sukar mengharapkan kebhinekaan atau keterbukaan terhadap agama dan kepercayaan lain, termasuk kekristenan.

Konsekuensinya akan timbul, mungkin dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sebenarnya kita bisa melihat Amerika yang baru memilih presidennya, setelah sebelumnya kongres dikuasai oleh partai yang sama. Kita dapat melihat betapa pilihan itu membawa konsekuensi, suatu kehidupan yang berbeda, situasi berbeda, suatu kehidupan yang semakin dijauhkan dari Kristus beserta Kerajaan Allah. Akan menjadi seperti apakah kehidupan di atas dunia ini?

Satu hal yang pasti, TUHAN tetap memiliki otoritas tertinggi; bahkan ketika seluruh dunia melawan-Nya di Armageddon, tentara dunia terbakar habis dihadapan-Nya. Inilah hal-hal yang telah dinyatakan melalui Wahyu, yang kita bisa memilih untuk percaya atau tidak percaya. Di sana, pilihan untuk menerima Paskah atau menolaknya, menjadi suatu konsekuensi.

Selamat hari Paskah, kiranya kita sekalian teguh dalam pilihan kita bagi Kristus.

Terpujilah TUHAN!

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Tulisan-tulisan yang sudah saya baca,banyak memberi masukan,saya tunggu untuk beberapa cerita yang dapat memberi motifasi.