Cari Blog Ini

18 Juni 2009

Korupsi

Sekali lagi -- dan nampaknya selalu -- Pemilu mengangkat tema pemberantasan korupsi. Setiap calon mengemukakan betapa dirinya bersih dan anti-korupsi, tapi nyatanya data dari survei dan banyaknya kasus menunjukkan peningkatan jumlah koruptor. Memang tidak bisa disimpulkan jumlah korupsinya semakin banyak, karena bisa saja tindakan pemberantasan korupsi justru mengungkapkan para koruptor yang selama ini bersembunyi di balik bayang-bayang kerahasiaan instansi semacam DPR atau MA.
Satu hal yang jarang orang pikirkan, sebenarnya bukan pemberantasan korupsi yang harus diperjuangkan. Korupsi bisa diberantas jika dan hanya jika ada peraturan yang jelas dan tegas menyatakan kebenaran, serta orang-orang, baik Pemerintah maupun rakyat, yang bersedia menundukkan diri untuk melakukan peraturan itu.
Maka masalahnya adalah bagaimana peraturan dibuat. Peraturan yang benar adalah peraturan yang berelasi dengan kenyataan dan menegaskan keterbukaan tentang kepastian: ya adalah ya dan tidak adalah tidak. Hukum yang benar tidak membedakan orang, tidak melihat jabatan, tidak memandang muka. Kebenaran adalah kebenaran, tidak berubah oleh waktu, tidak berbeda karena situasi, dan tidak tergantung kepada keyakinan orang yang memegang kebenaran itu.
Masalahnya, banyak orang di Indonesia yang merelasikan hukum berdasarkan keyakinan agama, yang di dalamnya terkandung ajaran ketaatan sepenuhnya pada agama tanpa boleh mempertanyakannya lagi. Kritik dipandang sebagai penistaan yang diancam oleh hukuman penjara, dan hukum dibuat berdasarkan penegakan kekuasaan. Hal ini memungkinkan orang melakukan manipulasi, dengan membelokkan kebenaran sambil menyatakan diri sebagai orang yang saleh dalam memeluk agama.
Pada akhirnya, apa yang diatur adalah perbuatan yang dapat dilihat banyak orang. Pencuri disebut pencuri karena kedapatan mencuri. Orang dermawan disebut dermawan karena dilihat orang memberikan sedekah dalam jumlah besar. Orang saleh disebut orang saleh karena dilihat orang sudah pergi berziarah ke suatu tempat di luar negeri.
Maka, apa yang "dilihat" menjadi perkara penting, di mana banyak orang bisa merasa tersinggung jika seseorang melihatnya dari sisi buruk yang tidak diinginkan. Lantas akhirnya, demi terlihat baik, mereka yang berkuasa berusaha membungkam orang-orang yang melihat dan mewartakan keburukan. Kalau perlu, orang-orang itu dibungkam dengan pasal-pasal tentang pencemaran nama baik -- tanpa peduli bahwa tindakan itu sendiri sebenarnya merupakan upaya mencemarkan nama baik.
Mudah-mudahan, Prita Mulyasari menyadari hal ini dan berbalik menuntut orang yang sudah mencemarkan nama baiknya.
Selama kebenaran masih menjadi permainan kekuasaan, maka korupsi tidak akan hilang betapapun orang berusaha memberantas korupsi. Terlalu banyak kesulitan dan tekanan hidup, yang membuat para pemangku jabatan melirik cara untuk mendapatkan keuntungan ekstra dari jabatannya, asal saja tidak sampai dilihat orang.
Mengapa KPK bisa begitu berhasil menggetarkan hati orang? Karena, mereka mempunyai wewenang untuk membongkar apa yang tersembunyi. Mereka bisa menyadap dan merekam, sehingga bisik-bisik di telepon genggam menjadi rekaman yang diputar di sidang pengadilan, bahkan disiarkan melalui televisi serta dituliskan dalam media massa. Kita melihat bahwa kembali lagi, sekali lagi, pokoknya adalah keterbukaan akan kenyataan: apa yang tersembunyi kini diteriakkan dari gedung pencakar langit!
Sekarang, kembali lagi kepada pemilihan Presiden. Mereka bisa bicara banyak, tetapi kata-kata tidak mengerjakan sesuatu. Pertanyaannya adalah: apakah kita melihat kebenaran dalam segala perkara yang mereka sampaikan? Manusia hidup membuat sejarah, dan mereka yang sekarang berbicara di panggung kampanye juga mempunyai sejarah. Ibu Megawati, Pak Susilo, Pak Jusuf, semuanya pernah menjadi orang nomor satu dan dua di negeri ini. Seperti apa mereka menunjukkan keterbukaan tentang masa lalu mereka, dibandingkan dengan apa yang dikampanyekan hari ini?
Dalam kampanye, ada klaim-klaim tentang keberhasilan. Tetapi, publik juga mempunyai catatan tentang apa yang sudah mereka nyatakan, sikap yang mereka ambil, dan perbuatan yang terungkap serta menjadi pemahaman umum. Apakah semua hal ini benar dan saling mendukung? Ataukah, justru ada kontradiksi dan inkonsistensi?
Sayangnya, kelihatannya tidak ada satupun yang lepas dari kontradiksi dan inkonsistensi. Maka pertanyaannya menjadi, separah apakah kontradiksi yang terjadi? Barangkali kita terpaksa harus memilih yang paling bagus dari antara yang jelek.
Kerepotan kita bertambah karena dalam permainan kekuasaan, bukan hanya capres-cawapres yang berkepentingan. Partai-partai juga memiliki kepentingan, termasuk mereka yang sudah merasa kalah di pileg, sehingga berusaha merapat kepada "kaum pemenang" dan berusaha memberi jasa dengan memastikan kemenangan kaum pemenang ini. Belum apa-apa partai-partai ini sudah sesumbar akan mendapatkan jabatan Menteri Utama, karena sudah mempunyai kontrak dengan kaum pemenang.
Kontrak yang tidak pernah ada pengumumannya, tidak pernah ada pernyataan kedua belah pihak. Yang ada malah pengingkaran, penolakan terhadap klaim semacam itu. Di mana kebenaran dari pernyataan yang diberikan?
Yang terakhir, kesulitan kita juga timbul dari kenyataan bahwa media massa, entah itu televisi atau media cetak atau radio, dan juga para penulis di internet, di milis atau blog, pada dirinya sendiri terkandung subjektivitas yang mengemuka. Informasi yang disampaikan adalah informasi yang sudah dipilih, disaring, dan mungkin juga dimanipulasi, untuk mendukung pasangan tertentu. Jarang melihat ada opini yang benar-benar netral, dan kelihatannya masing-masing mempunyai kebenarannya sendiri dalam politik.
Ini juga, sebenarnya, adalah sebuah bentuk korupsi. Kalau kita semua bersama-sama melakukan korupsi di negara ini.... siapakah koruptornya?

Tidak ada komentar: