Cari Blog Ini

16 Juni 2009

Ekonomi

Sekarang ini orang meributkan tentang ekonomi. Yang satu mengatakan, "anti neoliberal!!!" yang lain menyerukan "ekonomi kerakyatan!!!" Rasanya aneh mendengarnya, karena seolah-olah ekonomi sudah berevolusi menjadi spesies-spesies yang berbeda. Sepertinya, ada mahluk "neoliberal" sedangkan yang lain adalah "kerakyatan". Apakah yang kerakyatan tidak neoliberal? Apakah yang neoliberal tidak merakyat?

Tanpa memahami sejarah munculnya istilah-istilah itu, pengungkapan istilah begini kelihatannya hanya berguna untuk menunjukkan identitas yang berbeda. Manfaatnya, sekarang ini pemilu sedang diselenggarakan dan sekarang capres-capres sedang berjuang merebut 'hati rakyat'. Di sisi lain, rakyatnya juga mendadak menjadi penuh perhatian dan ingin memperoleh kursi terbaik di panggung pemilu, agar bisa turut berpartisipasi dalam komentar dan diskusi.

Masalahnya, banyak hal tidak bisa dipandang terpisah, terisolasi, seperti yang didengar dalam banyak berita seperti sekarang. Misalnya tentang kerakyatan, apa yang bisa dikatakan tentang ekonomi yang merakyat? Semua ini disimbolkan dengan sikap 'berpihak' kepada rakyat yang secara tidak langsung mengatakan bahwa selama ini Pemerintah tidak berpihak pada rakyat. Tetapi kalau Pemerintah yang dipilih rakyat tidak berpihak kepada rakyat, bukankah seharusnya Dewan Perwakilan Rakyat sudah bertindak jauh-jauh hari, bukan hanya menjelang kampanye pemilu ini saja?

Lebih parah lagi, kenyataannya adalah DPR juga yang turut mengambil keputusan atas berbagai kebijakan, yang belakangan disebut tidak memihak rakyat. Nah, bagaimana menjelaskan ada perwakilan rakyat yang tidak memihak mereka yang diwakilinya? Inilah Indonesia yang membingungkan. Lantas seperti apa ekonomi yang merakyat itu?

Yang digambarkan kemudian adalah hal-hal yang populer di mata rakyat. Bukankah enak sekali kalau sekolah bisa betul-betul gratis, kalau harga bahan pokok tidak naik lagi, harga BBM tidak pernah naik lagi, dan segala hal yang diatur oleh PEMERINTAH, di mana pasar tidak lagi menjadi penentu atau penguasa, serta Indonesia berdiri sendiri untuk menentukan sendiri apa yang baik bagi rakyatnya.

Untuk mencapai tujuan-tujuan itu, tentunya harus ada orang-orang yang berani, yang bisa membabat habis korupsi, yang bijaksana untuk mengendalikan pasar dan harga-harga, yang bisa... seperti manusia yang serba-hebat dan serba-bisa, begitulah.

Kita semua setuju bahwa sudah waktunya korupsi sekarang juga dienyahkan dari bumi Indonesia. Tetapi, bagaimana mau menghilangkan korupsi jika kekuasaan untuk mengendalikan jatuh ke tangan sekelompok orang saja? Jika memang mau bebas korupsi, caranya adalah transparansi dan pembagian kekuasaan, bukan pemusatan kekuasaan.

Bayangkan ada sebuah pasar, di mana para penjual dan pembeli bertemu. Mereka semua asyik bertransaksi, dan tentunya ada kompetisi yang terjadi. Yang bawa barang paling bagus dan harga paling 'pas' menikmati proses dagang yang baik sampai barang bawaannya habis semua. Yang bawa barang jelek dan mau menjual dengan harga mahal, terpaksa gigit jari melihat pesaingnya laku berjualan sementara ia sendiri hanya duduk-duduk saja.

Tetapi kemudian, karena yang duduk-duduk itu jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang berdiri dan berseru-seru dan laku jualan, maka Penguasa Pasar datang dan membuat peraturan bahwa semua penjual harus bergiliran jualan dan semua pembeli harus menerima apa saja yang dijual dengan sebuah harga yang sama, walaupun kualitasnya berbeda. Dasarnya adalah tidak boleh ada orang yang menjadi miskin, sementara yang lain ada yang menjadi kaya.

Tentu saja pengaturan itu kelihatan bagus di awalnya, tetapi karena Penguasa itu manusia juga, maka ada orang yang berbisik-bisik dan menawarkan keuntungan ekstra bagi Penguasa supaya bisa mengatur transaksi yang lebih besar bagi dirinya sendiri. Maka Penguasa membuat peraturan baru dan tambahan baru, yang diam-diam menguntungkan sebagian orang dan merugikan orang yang lain. Siapa yang peduli? Yang dirugikan juga tidak mau ambil jalan konfrontasi, sebaliknya mengendap-endap mencari kesempatan untuk bisik-bisik lagi mencari celah dan jalan keuntungan...

Seperti itukah jenis ekonomi yang kita inginkan?

Atau, kita lebih suka melihat semua orang dipacu untuk memberikan yang terbaik dengan harga yang paling murah, sehingga para pembeli mendapatkan keuntungan yang terbesar? Sayangnya, cara seperti ini sudah kadung dicap sebagai "neoliberal", suatu produk yang dianggap jahat dan tidak pantas dijalankan di negeri ini. Masalahnya 80 persen pelaku bisnis ternyata tidak bisa memberikan yang terbaik dengan harga murah, karena tidak terbiasa berdisiplin dalam manajemen strategi, manajemen operasional, dan manajemen keuangan. Daripada susah-susah membangun pelaku usaha untuk kerja lebih baik, lebih mudah menerapkan prinsip kekuasaan untuk mengendalikan pasar, yang disukai dengan istilah "ekonomi kerakyatan" karena disebut-sebut membela rakyat kecil yang banyak jumlahnya.

Jika Indonesia hanya sebuah negara yang tidak berhubungan dengan dunia, barangkali kita bisa menerima (dengan rasa waswas) cara seperti ini. Kenyataannya, Indonesia tidak sendirian, karena negeri ini juga bertransaksi dengan dunia melalui ekspor dan impor. Dalam banyak hal seperti produk obat-obatan dan teknologi dan komunikasi, Indonesia masih bergantung kepada negara lain.

Masalahnya, tidak semua yang ada di negara ini berhasil bekerja dengan baik, dan kita harus menanggung 'kekalahan' transaksi dagang dengan banyak pihak lain. Indonesia bukannya tidak berusaha keras; karena akhirnya pelan-pelan cadangan devisa bisa bertambah juga sampai cukup untuk membiayai impor kurang lebih selama 4 bulan. Tetapi dana yang tersedia jumlahnya terbatas untuk wilayah dan penduduk yang begini luas dan banyak. Kalau sekarang Pemerintah harus memilih antara membayar utang luar negeri atau membayari kebutuhan rakyat yang miskin, yang manakah yang harus diprioritaskan?

Sebenarnya, kenyataan tentang kemiskinan rakyat tidak bisa dijawab dengan "keberpihakan" yang diartikan memberi BLT dan subsidi-subsidi serta peraturan yang mengecualikan mereka dari tuntutan untuk bekerja keras. Jika Pemerintah mengobral sekolah gratis dan subsidi yang meningkat terus -- seperti yang dinyatakan oleh sejumlah juru kampanye dalam pemilu -- maka yang diperoleh adalah ekonomi manja, bukan ekonomi kerakyatan.

Yang kita butuhkan adalah peraturan yang melindungi kesempatan yang adil bagi semua orang untuk berkembang, bukan pembatasan. Yang kita perlukan adalah kepastian bahwa tidak ada orang yang bisa memaksakan kehendak sehingga yang lebih maju harus berhenti atau mundur, demi membela yang tidak bekerja keras kelihatan maju. Yang kita perlukan adalah jaminan ada kesempatan yang sama bagi semua orang untuk bekerja, dan tidak perlu meminta izin melalui berbagai-bagai meja yang diisi oleh preman-preman dan perampok-perampok berbaju seragam.

Apakah seruan ini terbaca sebagai corak "neoliberal"? Ini bukan neoliberal, tetapi bisa saja orang memandangnya demikian. Tetapi kalau memang harus demikian, saya akan memilih orang yang masih memakai akal sehatnya dan melihat kebutuhan kita dalam jangka panjang, daripada mendengarkan mereka yang membujuk-bujuk dengan kenikmatan sesaat serta mengabaikan kerusakan jangka panjang.

Tidak ada komentar: