Baru saja kemarin melihat iklan Pemilu yang dipasang oleh KPU, dengan satu baris penutup demikian: Pemilih Cerdas memilih Pemimpin yang berkualitas. Ini menjadi himbauan yang menarik, dan patut untuk dipikirkan tentang mengapa memilih pemimpin yang berkualitas? Mengapa tidak disebutkan "Pemimpin yang Kharismatik" atau "Pemimpin yang Merakyat"?
Kalau kita perhatikan, "kualitas" secara umum berarti "memenuhi suatu standar kebutuhan dan harapan masa depan sesuai dengan yang disepakati". Sesuatu disebut berkualitas bila berelasi dengan situasi di sekitarnya yang akan terjadi di masa depan. Misalnya saja, di dalam sebuah perusahaan ada seorang manager. Dia dapat disebut manager yang berkualitas bila bisa memenuhi apa yang diharapkan darinya ketika menghadapi masalah-masalah yang dapat timbul kemudian. Hanya saja, tentunya kita tidak tahu apa persisnya masalah yang akan timbul itu, walaupun orang bisa memperkirakan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Kita tahu bahwa ada penurunan ekonomi, terutama di sektor riil. Kita tahu bahwa tingkat resiko usaha saat ini meningkat. Kita tahu bahwa untuk mendapatkan order baru saat ini bukan main susahnya. Manajer yang berkualitas dapat menghadapi dan menyelesaikan tantangan ini semua.
Di dalam memilih Pemimpin yang berkualitas, tidak cukup melihat kata-kata yang dilontarkan oleh para juru kampanye – yang kadang lebih dahsyat daripada kata-katanya para calon Capres/Cawapres. Kita perlu juga melihat apa yang harus dihadapi oleh siapapun yang memenangkan kursi kepresidenan, mengenali tantangan apa yang harus dihadapinya. Baru dari sana, kita bisa mengukur apakah Pemimpin (karena, semua yang menjadi Capres saat ini telah menjadi Pemimpin) benar-benar orang yang berkualitas untuk jabatan Presiden.
Yang pertama adalah tentang ekonomi. Apa situasi yang harus dihadapi Presiden Indonesia dalam perekonomian? Kita perlu memahami bahwa dunia saat ini baru saja 'melihat' dasar jurang ekonomi, sebagaimana secara global semuanya jatuh terperosok ke sana. Ada yang mengatakan ekonomi AS porak poranda, seperti juga ekonomi Uni Eropa dan Jepang, dan seterusnya. Tetapi, kita perlu menyadari bahwa tidak ada satu negara maju yang tinggal diam menghadapi kondisi ini. Mereka berusaha keras, dan berjuang lebih keras lagi. Coba kita perhatikan bagaimana upaya Amerika menyelamatkan General Motors: mereka membangkrutkannya, supaya bisa menghidupkannya kembali. PHK memang dilakukan dan menimpa ratusan, bahkan total jutaan orang, tetapi yang dihasilkan adalah perusahaan yang lebih lincah, lebih efisien, dan lebih berdaya saing untuk menghadapi masa depan.
Ekonomi dunia menjadi ekonomi yang sangat kompetitif. Kalau kemarin ini pertumbuhan ekonomi hanya terjadi di China, India, Indonesia, dan Vietnam, sebenarnya kita harus lebih memperhatikan mengapa pertumbuhan masih terjadi. Apakah karena di empat negara ini ekonominya lebih kompetitif? Atau, apakah justru karena empat negara ini sebelumnya memang ada di bawah, sehingga satu-satunya arah adalah 'bertumbuh' ke atas? Siapa yang membawa pertumbuhan yang hebat dan dahsyat itu?
Kita perlu sedikit mempelajari China, karena ini adalah fenomena yang menarik. Secara keseluruhan, ekonomi domestik China masih menganut prinsip komunisme. Tetapi untuk wilayah tertentu, pemerintah China membebaskan proses penanaman modal dan pembangunan industri, yang disambut dengan kegairahan yang hebat – pernah di awal millenium ini, pertumbuhan industri mencapai 30%! Pertanyaannya: kalau kapasitas produksinya dibuat dengan kecepatan seperti itu, siapa yang membeli hasil produknya? Ternyata, jawabannya adalah: seluruh negara maju. Produk China dibeli oleh semua negara maju karena harganya cukup murah dengan mutu yang cukup baik. Pertumbuhan ekonomi China tahun 2008 mencapai 9%, dan itu disebut sebagai "penurunan" yang cukup signifikan akibat krisis yang meluas. Krisis ini nyatanya telah membangkrutkan puluhan ribu perusahaan di China; pertanyaan berikutnya adalah: apakah pasar domestik di China sudah cukup tinggi pendapatannya untuk menyerap hasil industrinya sendiri?
Indonesia ada dalam situasi yang lebih 'stabil' secara ekonomi, dengan pasar domestik yang relatif tenang; hanya pasar modal saja yang gonjang ganjing karena mengikuti perubahan dunia. Tetapi kestabilan ini mempunyai arah, dan selama tahun 2009 ini jelas arahnya menurun, jadi stabil menurun, seperti kereta api besar bermuatan 230 juta jiwa yang perlahan-lahan percepatannya semakin kecil (catatan: ingatlah dalam fisika, percepatan tidak sama dengan kecepatan. Penurunan percepatan masih tetap meningkatkan kecepatan, tapi kalau menurun terus lama-lama percepatan menjadi perlambatan). Masalahnya adalah bagaimana Pemerintah bisa mendorong produktivitas masyarakat. Apa yang mendorongnya? Bagaimana membuat orang menjadi bergairah untuk berusaha?
Salah satu instrumen yang digunakan adalah instrumen suku bunga. Nyatanya, dari akhir tahun 2008 sampai sekarang, setiap bulan Bank Indonesia menurunkan tingkat suku bunganya. Kalau tingkat suku bunga turun, diharapkan bunga kredit juga turun, likuiditas naik, dan orang-orang bersemangat untuk berusaha. Tetapi, apa yang terjadi? Bunga kredit ternyata tidak turun secepat bunga deposito dan tabungan! Mengapa demikian?
Bagi kalangan perbankan, memberikan kredit bukan sekedar mencari spread. Dalam memberikan kredit usaha juga ada manajemen resiko, dan sekarang ini tingkat resiko usaha justru semakin tinggi. Artinya, probabilitas orang mengalami kegagalan usaha cukup besar, karena situasi pasar yang masih lesu, baik secara maupun secara global. Bank harus mempertahankan tingkat Non Performing Loan (NPL) yang rendah untuk mempertahankan kepercayaan nasabah, artinya tidak bisa mudah menyalurkan kredit. Karena tidak mudah, maka tingkat suku bunga kredit juga tidak bisa diturunkan banyak-banyak. Sebagian besar bank akhirnya lebih suka memberikan kredit konsumsi daripada kredit usaha, karena untuk kredit konsumsi bisa dilakukan analisa manajemen resiko yang lebih pasti, melihat pola pendapatan dan pengeluaran nasabah saja.
Jadi, hanya menurunkan tingkat suku bunga tidak cukup untuk menggerakkan perekonomian. Siapapun Presiden Indonesia, dia harus menghadapi masalah menurunkan tingkat resiko usaha, misalnya dengan menjamin kepastian berusaha, menghilangkan hambatan biaya tinggi dari birokrasi dan pungutan-pungutannya, menjaga kompetisi yang sehat, dan sebagainya. Pemerintah juga harus bisa mendukung agar kapasitas produksi Indonesia bisa ditingkatkan dan tidak tenggelam dalam kompetisi global yang pasti lebih keras daripada sebelumnya. Kalau Indonesia tidak siap, jangan-jangan nanti justru Indonesia diserbu produk dan orang-orang dari mancanegara, dan orang Indonesia hanya menjadi tukang disuruh-suruh saja. Kalau kita mau menolak mereka sudah tidak bisa, karena Indonesia sebelumnya sudah tanda tangan banyak perjanjian kerja sama. Kita harus menghormati janji yang telah kita buat, bukan?
Kita lihat tantangan berikutnya adalah birokrasi. Ini juga merupakan masalah yang menjadi 'hantu' bagi siapapun juga Pemimpin. Seandainya Presiden berganti, para pejabat tidak serta merta berganti, bukan? Masing-masing mempunyai kepentingan, yang bahkan Menteri pun tidak bisa langsung mengubah paradigma dan 'perseteruan' antar-departemen yang telah terjadi. Sedemikian ketatnya persaingan, sehingga muncul upaya untuk mempertahankan status-quo, dan kita melihatnya dalam bentuk kebiasaan saling melempar tanggung jawab.
Lihatlah seperti ini: pelaksanaan pemilu menjadi contoh terbesar tentang siapa yang bertanggung jawab menyusun DPT. Ketika pemilihan legislatif, ada 40 juta suara yang 'hilang' alias golput, tapi berapa banyak yang berasal dari kekacauan penyusunan DPT? Padahal, jika dipertimbangkan kepentingannya, jelaslah bahwa urusan pemilu ini merupakan mandat konstitusional yang sangat penting. Sampai sekarang pun, lempar-lemparan masih terjadi dan nampaknya penyusunan DPT untuk pemilihan presiden tidak mengalami perubahan yang berarti. Siapa yang bisa memperkirakan bagaimana nanti saat pelaksanaan pemilu? Adakah lagi orang-orang yang protes karena kehilangan hak pilihnya karena nama yang tidak tercantum?
Urusan ini menunjukkan seperti apa birokrasi di Indonesia. Bagi yang sering mengurus surat, entah itu surat ijin atau identitas atau proses ini dan itu, tentunya mempunyai pengalaman-pengalaman. Di Indonesia, bukannya tidak ada upaya atau perbaikan, karena dalam hal ini kita patut memuji langkah pembersihan di tubuh Dirjen Pajak dan Dirjen Bea & Cukai. Tetapi upaya ini barulah permulaan, masih ada banyak lagi masalah yang harus dihadapi, di tambah lagi dengan adanya otonomi daerah yang melahirkan penguasa-penguasa daerah – yang tidak semuanya sepikiran dan sependapat untuk mempunyai birokrasi yang efisien bagi rakyat.
Indonesia juga mempunyai berkah sekaligus kutukan – berada di antara dua benua dan dua samudra. Ini berarti Indonesia mendapat tanah yang subur dan air yang melimpah sebagai berkat, sekaligus tempat pertemuan lempeng benua yang berpotensi gempa tektonik, tempat dengan jumlah gunung berapi aktif yang banyak sekali dan besar-besar, tempat dengan kemungkinan amukan badai yang keras di khatulistiwa. Dan sekarang semua masalah ini ditambah lagi dengan perubahan iklim planet Bumi. Suka atau tidak suka, bencana karena pemanasan global mulai terjadi, entah berupa gelombang laut yang besar, badai tropis, maupun kegagalan panen karena pola cuaca yang tidak menentu.
Bagi Presiden Indonesia, keadaan ini mempunyai implikasi yang luas. Ketahanan pangan Indonesia di waktu mendatang bisa terancam; gagal panen terjadi lebih sering dan lebih luas. Bagaimana menjaga agar rakyat tetap memperoleh makanan yang dibutuhkan? Bencana juga bisa dalam sekejap mata menghancurkan investasi yang sudah ditanam bertahun-tahun. Kita lihat, kasus di Jawa Timur menjadi suatu contoh yang nyata.
Ketika sumur Lapindo menyentuh sumber lumpur di perut bumi, orang banyak meributkan kesalahan korporasi ini. Tetapi pertanyaan sebenarnya ada dua: apa yang menyebabkan ada sumbur lumpur itu dalam perut bumi, dan apakah para ahli pengeboran tidak tahu bahwa sebelumnya dibawah tanah itu ada lumpur yang sedemikian banyak dengan tekanan tinggi?
Pertanyaan pertama ini penting untuk dipahami: yang pasti, pengeboran tidak menyebabkan ada lumpur dalam bumi. Mungkin gempa yang terjadi sebelumnya membuat lumpur berada di situ, mungkin juga memang sejak dari dulu di sana sudah terkandung lumpur yang sedemikian banyak. Hal ini berkaitan dengan pertanyaan kedua: apakah sebelum pengeboran, mereka yang ahli geologi tidak tahu bahwa di bawah sana ada lumpur semacam demikian? Jika penyebabnya adalah gempa, mungkin memang lumpur itu baru saja ada di sana. Tetapi jika dari dahulu sudah ada lumpur yang tertumpuk, maka bencana Lapindo sebenarnya adalah kegagalan eksplorasi geologi yang parah sekali.
Dari sini kita bisa menarik kesimpulan, ternyata ilmu pengetahuan manusia belum cukup untuk mengetahui secara mendalam, sehingga resiko hancurnya investasi dan segala hal yang dibuat manusia tidak dapat dihindarkan. Belum lagi ditambah dengan kekurangan manusia untuk memahami pentingnya menjaga lingkungan – siapa Presiden yang bisa mengubah pola pikir orang Indonesia untuk melestarikan lingkungannya dan mengabaikan keuntungan-keuntungan ekonomi, kemakmuran dan kesejahteraan yang luar biasa?
Atas dasar kesejahteraan dan kemakmuran saat ini, para pejabat masih lebih memilih untuk melanggar aturan. Nyatanya hutan lindung masih terus dirambah, hutan-hutan menyusut, dan apa yang bisa dilakukan oleh Pemimpin yang Berkualitas untuk menyelamatkan masa depan Indonesia?
Kita membutuhkan orang yang bisa menghadapi tantangan, bahkan bersikap tidak populer untuk menyelesaikan masalah. Kita tidak membutuhkan liputan media, karena pada akhirnya ternyata press tidak bisa dijamin selalu bersikap seimbang dan benar dalam pemberitaan. Untuk berita-berita yang salah orang bisa mengadu ke pengadilan, tetapi untuk pemberitaan yang berat sebelah, tidak lengkap, dan keluar dari konteksnya, siapa yang akan memperkarakan hal-hal semacam ini?
Demikianlah kampanye pemilihan presiden berlangsung, dan nampaknya orang sekarang lebih senang dengan pernyataan dan janji tanpa penjelasan yang cukup memadai. Entah opini yang dikeluarkan bersifat mendukung atau bersifat menjatuhkan, lebih banyak komentar dan dugaan dibandingkan dengan uraian yang bisa diperdebatkan. Bukankah kemarin ini para capres telah mengikuti acara debat tanpa perdebatan? Semua yang dilontarkan merupakan niat atau tujuan, tidak ada yang buruk. Kalau bicara prinsip, ketiga capres saling menyetujui; sampai setuju 200%. Tetapi bagaimana hal-hal itu bisa dicapai, apa langkahnya...
Mari menjadi pemilih yang cerdas dengan memilih Pemimpin yang berkualitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar