Seluruh dunia terpukul oleh tsunami ekonomi yang terjadi. Dimulai dari krisis subprime mortgage, pecahnya gelembung ini ternyata menjadi reaksi berantai yang mengubah seluruh peta ekonomi global. Sama seperti tsunami yang melanda, apa yang tertinggal ada dalam keadaan yang berbeda. Tidak ada lagi hal yang sama, bahkan ketika pemulihan mulai terjadi. Yang pasti, di berbagai negara terjadi pemutusan hubungan kerja dalam skala besar, termasuk di negara maju yang dahulu menjanjikan suatu bentuk keamanan. Yah, tidak ada lagi yang aman sekarang.
Yang menarik dari pemulihan adalah prediksi-prediksi bahwa pusat ekonomi global akan berpindah dari AS dan Eropa ke Asia. Analisa-analisa dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa jika trend pemulihan tetap seperti sekarang, China akan menjadi negara dengan PDB terbesar di dunia dan nilai ekonomi yang melebihi semua negara lainnya. Indonesia juga tidak ketinggalan, karena sekarang saja bursa efek Indonesia merupakan yang terbaik kinerjanya. Sungguh menyenangkan! Sekarang ini, dana-dana mulai mengalir deras ke berbagai negara di Asia. Bursa efek di Asia bergairah, mata uangnya menguat – kecuali di negara yang justru menjaga agar mata uangnya tetap lemah untuk mempertahankan daya saing ekspor. Singkatnya, Asia bergairah!
Tentu saja kita senang dengan pertumbuhan ini. Jika data-data makro ekonomi bisa merefleksikan apa yang terjadi di sektor riil, seharusnya semua orang bergembira. Tetapi, kenyataan berbicara sedikit berbeda. Petunjuknya muncul dari kondisi pasar menjelang Lebaran, yang menunjukkan daya beli masyarakat. Apakah meningkat? Kita mempunyai beberapa parameter, antara lain adalah inflasi. Inflasi Agustus 2009 besarnya 0,56. Bandingkan dengan inflasi di bulan September 2008 (yaitu, sebulan menjelang lebaran) yang besarnya 0,97. Inflasi yang rendah memang menyenangkan, tetapi ini juga menunjukkan bahwa jumlah uang yang beredar juga tidak melonjak banyak, nampak dari perbandingan uang beredar antara bulan Juli dengan bulan Agustus, yang peningkatannya relatif kecil. Uang Primer yang beredar di bulan Agustus 2009 lebih sedikit dibandingkan uang primer yang beredar di bulan September 2008.
Apakah orang Indonesia kali ini berlebaran dengan cara yang sama seperti tahun-tahun yang lampau? Di mana penjual kain dan baju tertawa senang karena stok mereka dibeli sampai habis, demikian juga dengan pengusaha elektronik dan peralatan rumah tangga? Memang masih ada toko dan grosir yang mengalami lonjakan penjualan, tetapi jumlahnya menjadi lebih sedikit. Daya beli masyarakat domestik masih rendah, demikian juga dengan pasar ekspor yang masih belum pulih. Di tempat seperti ini, bursa sahamnya melonjak dengan dahsyat, dan menjadi nomor satu. Tapi ini bukan fenomena Indonesia saja; di banyak negara Asia hal yang serupa muncul juga. Nah, apa yang terjadi?
Jika sesuatu berkembang dengan pesat berdasarkan harapan, tanpa ada landasan yang jelas dan kuat, maka kita menemukan sebuah gelembung ekonomi. Kita mengenal ini dari krisis tahun 1998, di mana Hermawan Kartajaya dan Philip Kotler telah menulis buku "Repositioning Asia: From Bubble to Sustainable Economy" (2000). Apa yang menyebabkan krisis? Selama tahun 1980-1990, Asia mengalami peningkatan yang sangat, sangat mengagumkan. Semua orang berpikir bahwa inilah 'keajaiban Asia', dengan Jepang sebagai lokomotif dahsyat terbesarnya. Tetapi yang tidak disadari adalah banyak hal dibangun dengan berlandaskan pada hutang, yang bisa diperoleh dengan tingkat bunga yang sangat rendah. Banyak infrastruktur dibangun dan perusahaan didirikan, demikian juga bank-bank bermunculan bersama lembaga pembiayaan lainnya.
Hutang, dalam kenyataannya, tidak cukup lama bertahan dalam iklim yang serba tertutup, banyak korupsi, dan penuh dengan permainan kekuasaan. Ekonomi dan politik di Asia mempunyai ikatan yang mendalam; keputusan-keputusan ekonomi mencerminkan pergolakan politik yang ada di latar belakang. Beberapa keputusan merupakan propaganda demi mendorong popularitas pihak tertentu, beberapa yang lain bertujuan melanggengkan kekuasaan, atau menjadi 'upeti' bagi penguasa yang lebih tinggi. Di luarnya yang nampak adalah ekonomi yang bersemangat dan terus bertumbuh. Di bawahnya, sebagaimana banyak perusahaan dari Asia mempunyai beberapa pembukuan, demikian juga para penguasa memilih apa yang perlu diperlihatkan dan apa yang disembunyikan.
Gelembung ini pecah menjadi krisis 1997-1998, di mana kenyataan yang disembunyikan ini melanda Asia, sehingga semua terpuruk – termasuk Jepang. Ekonomi tumbang, maka tumbang pula sejumlah penguasa politik. Di Indonesia, kita melihat itulah awalnya reformasi – atau lebih tepat pertarungan kekuasaan setelah sang jenderal jatuh dari singgasana. Di Jepang, perubahan kepemimpinan masih terjadi, bahkan sekarang ini pun masih belum stabil, karena gelembung lain meletus di Amerika dan Eropa, membawa krisis yang lebih besar di tahun 2007-2008.
Jadi, menarik sekali kalau kita memikirkan bahwa saat ini para analis kembali berpaling kepada Asia dan menunjukkan bahwa dalam sekian dekade, Asia, dipimpin oleh China, akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi global. Rasanya kita harus belajar dari sejarah dan melontarkan satu pertanyaan: apakah saat ini China tidak sedang mengulangi "kesuksesan" Jepang, dalam skala yang beberapa kali lebih besar, yang pada suatu waktu kelak akan menjadi gelembung ekonomi lain yang meletus dengan dahsyat?
Bagaimana kita bisa membedakan suatu gelembung dengan bukan gelembung? Pelajaran tentang ini kita dapatkan dari krisis yang baru lalu. Di mana asal muasalnya krisis subprime mortgage terjadi? Dalam struktur keuangan di Barat, transparansi telah menjadi suatu keharusan. Namun orang mempunyai berbagai metode dalam berinvestasi, dan kalau ditelusuri ternyata banyak investor tidak mempunyai gambaran yang utuh tentang subprime mortgage, sekalipun nama ini sudah menunjukkan adanya suatu tingkat resiko yang lebih tinggi. Ini bukan investasi yang prima, ini adalah sesuatu yang dibawah prima. Seberapa bawah? Tidak ada yang tahu – tapi orang berpikir positif dan optimis karena berbagai lembaga pemeringkat seperti S&P memberi rating yang menunjukkannya sebagai sesuatu yang layak.
Ketidak-transparanan ini menyembunyikan bom waktu, yang ketika meledak menjadi tsunami ekonomi yang merambat pada berbagai rahasia lainnya, termasuk skema ponzi dari Madoff. Jadi, tsunami ekonomi sebenarnya mempunyai pola yang sederhana: nampak bagus di luar, mempunyai hal-hal yang tersembunyi, dan tiba-tiba saja kenyataan tiba serta menghilangkan kepercayaan semua orang yang menimbulkan kepanikan luar biasa. Panik, karena apa yang semula dipercaya ternyata adalah kebohongan.
Masalah besarnya adalah: kalau dibandingkan, kejujuran di Barat masih lebih nyata dibandingkan dengan di Timur. Kejujuran dan integritas adalah nilai-nilai yang ditinggikan di Barat, bukan di Timur, di Asia. Bukan berarti di Barat tidak ada kebohongan – tetapi di sana kebohongan adalah masalah besar. Di Asia, kebohongan masih bisa ditoleransi, bahkan dilupakan. Orang-orang yang menjadi Pejabat dapat melontarkan sesuatu kepada publik, yang kemudian ternyata adalah bohong, tetapi ia masih dapat mencalonkan diri untuk pemilihan umum berikutnya. Kebohongan adalah bentuk yang lebih buruk dari menutup-nutupi, menciptakan berbagai citra dan opini, dan dengan begitu membuat gelembung demi gelembung.
Kalau dipikirkan, bukankah ekonomi Indonesia juga mengalami berbagai letusan gelembung kecil, di saat orang sangat berharap pada sesuatu, yang ternyata tidak pernah terlaksana seperti yang digembar-gemborkan? Korupsi masih terjadi, dan didukung oleh permainan kekuasaan untuk meneruskannya. Itulah sebabnya KPK tidak pernah dapat berjalan dengan bebas – ia harus berperang melawan koruptor dan juga menghadapi kekuasaan para koruptor, yang celakanya menjadi tangan yang bisa menghantam para pemimpinnya. Sadarilah satu hal: apa yang terjadi di Indonesia bukan hanya milik Indonesia. Bagi Asia, ini menjadi suatu fenomena kultur, yang berakar jauh dan panjang dalam sejarah.
Sekarang kita melihat bahwa dunia global sedikit banyak menuntut keterbukaan dan integritas dari para pelakunya – ini adalah apa yang didiktekan oleh kultur Barat yang lebih dahulu menjadi 'negara maju'. Negara Asia tentunya menyatakan mengikuti kultur ini, namun dalam prakteknya tidak menyeluruh. Salah satu pemikiran adalah agar tidak didikte oleh orang asing, orang-orang kulit putih yang dahulu pernah menjajah Asia. Tetapi di balik itu, ada juga kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan dan pengaruh, di samping berbagai pemasukan yang dinikmati pejabat-pejabat negara. Pertanyaannya sekarang: seberapa jauh permainan kekuasaan bersedia tunduk kepada kultur keterbukaan dan integritas dari para pelaku ekonomi global?
Kita sudah melihat bagaimana tuduhan-tuduhan diberikan kepada penganut pasar bebas: neo-liberalism, neo-kapitalism, dan yang buruknya adalah antek-antek asing. Pernyataan-pernyataan diberikan, termasuk analisa yang dengan keras menggugat keputusan yang diambil. Di sini ada satu fenomena yang menarik: ketika tuduhan itu dilancarkan, dasarnya antara lain adalah ketertutupan informasi yang mengganggu. Ambil contoh kasus Bank Century, bukankah publik melihat ada misteri di balik talangan Rp 6,7 Triliun yang dilakukan? Di sini terjadi suatu kontradiksi: jika memang para pelakunya adalah penganut ekonomi neo-liberalism, maka transparansi menjadi prinsip dasar. Ketertutupan ini jelas bukanlah karakter dari penganut neo-liberalisme. Di sisi lain, caranya para analis menggugat juga dapat dipertanyakan, karena mereka mempunyai sumber-sumber sendiri yang tidak selalu jelas dan transparan. Bagaimana orang bisa mengambil kesimpulan bahwa suatu keputusan adalah keliru, kalau tidak mempunyai sumber data yang akurat?
Masalah informasi telah mengangkat banyak kasus menjadi tidak dapat dikendalikan para penguasa. Kenyataannya, hari ini pemerintah China telah menyatakan maksud mereka untuk menyensor internet – sarana terbesar pertukaran informasi. Teknologi dipakai untuk melawan teknologi; bagaimana mereka dapat menjalankan maksud ini masih berupa tanda tanya. Satu tujuan yang terungkap, yang diupayakan adalah mencegah informasi-informasi yang tidak diinginkan masuk. Tetapi ada tujuan lain yang tidak diungkapkan, adalah upaya untuk mencegah informasi-informasi keluar. Bayangkan, jika kebenaran-kebenaran yang ditutupi bisa dipublikasikan melalui forum internet atau suatu blog. Bahaya yang paling jelas adalah ancaman terhadap gelembung yang sedang dibuat penguasa, yang bisa meletus diluar skenario.
Apa yang akan menjadi Tsunami ekonomi berikutnya, sesuai dengan kesimpulan tulisan ini, adalah gelembung yang besar dan beragam, yang timbul ketika seluruh dunia berharap pada Asia sebagai lokomotif pemulihan ekonomi global. Satu hentakan dalam meletuskan gelembung-gelembung itu secara berantai, dan bayangkan akibatnya bagi dunia yang baru mulai bangkit dari krisis. Masalah kepercayaan menjadi masalah kronis, yang tidak dapat diatasi hanya dengan suntikan-suntikan dana talangan. Ini adalah masalah yang harus dijawab oleh integritas dan keterbukaan – termasuk integritas penulis dan pembaca blog ini, dan bertindak sebelum semuanya terlambat.
Karena sekarang, dengan teknologi komunikasi dan komputer, hal-hal yang manipulatif lebih sukar ditutupi dan ketidak-percayaan lebih mudah merambat tanpa henti, hanya dalam waktu jam-jaman. Kalau begini, rasanya kuatir juga kalau memikirkan bahwa Tsunami ekonomi berikutnya tidak menunggu 10 tahun lagi, tetapi akan datang segera. Sangat segera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar