Cari Blog Ini

15 September 2009

20%, 80%

Ketika kemarin ini mengikuti acara pelatihan yang disebut Basic Management Program (Sequislife BMP, Cisarua-Puncak, 8-10 Sept 2009) satu hal yang dijelaskan adalah prinsip Pareto, 20% - 80%. Nah, yang banyak orang ketahui adalah prinsip yang menyatakan bahwa 80% hasil ekonomi dalam suatu organisasi diberikan oleh 20% dari pelakunya. Jadi, kalau di dalam sebuah perusahaan ada 100 orang salesman yang memberikan hasil 100 juta, analisa akan menunjukkan bahwa hasil 80 juta diberikan oleh 20 orang salesman. 20 jutanya lagi berasal dari 80 orang salesman sisanya.

Pertimbangkanlah implikasi dari prinsip ini. Jika Anda menjadi manajer atau pemimpin dari 100 orang salesman, pilihan Anda adalah menemukan dan memperkuat produktivitas dari 20 orang, sambil berusaha agar tidak mengganggu atau menyinggung yang 80 orang sisanya. Begitulah penerapan dari prinsip Pareto. Alhasil, kita menemukan ada Manajer yang memperhatikan sebagian orang, sambil agak mengabaikan orang yang lainnya.

Yang banyak orang tidak ketahui, prinsip ini diberikan oleh seorang pemikir orang Italia, nama lengkapnya Vilfredo Pareto (1848 – 1923). Walaupun dia lahir di tengah keluarga Italia, sebenarnya Pareto dilahirkan di kota Paris, kemudian belajar di Universitas Turin. Mulanya dia menjadi insinyur dan mengurusi kereta api, tapi belakangan ia mulai menulis hal-hal dalam bidang ekonomi dan mempelajari politik serta filosofi. Tahun 1893 dia diangkat sebagai Profesor di Universitas Lausanne di Swiss, dan tetap di sana sampai akhir hayatnya. Pada tahun 1916 ia menulis buku yang terkenal, Mind and Society, di mana ia membahas tentang perilaku individu dan sosial. Ia secara luas dikenal dengan teorinya yang kontroversial tentang keunggulan kelas elite, di mana teorinya secara umum dikaitkan dengan bangkitnya fasisme di Italia.

Bagi mereka yang mengikuti prinsip Pareto, secara sadar atau tidak terjatuh dalam pemikiran elitisme. Dalam pemikiran yang demikian terjadi standar ganda, yaitu dalam perbedaan menilai dirinya sendiri dan menilai diri orang lain. Begini kejadiannya.

Jika seseorang ditanya, "sudah tahu prinsip Pareto?" kemungkinan ia mengangguk mengiyakan. Ia merasa tidak ada masalah, karena sebagai bagian dari organisasi, ia melihat bahwa dirinya termasuk dalam kategori yang 20% itu. Bagus, bukan? Jadi ia tidak perlu protes. Lain halnya ketika ia melihat "anak buahnya", matanya mulai mencari-cari tanda yang membedakan antara orang yang mampu dan tidak mampu, yang berprestasi dan tidak berprestasi. Mencari mana yang termasuk "kaum elite" untuk ditangani lebih serius, sambil menjaga agar sisanya jangan terlalu patah hati dan patah semangat.

Masalahnya, orang yang mencari bibit unggul sedemikian rupa cenderung membagi dua anak buahnya dalam kelompok 20% dan kelompok 80%. Perlahan-lahan muncul sikap yang berbeda, lalu kultur yang berbeda. Itulah fasisme: bangunnya suatu kelas sosial baru, yang didasarkan pada asumsi keunggulan absolut dari suatu masyarakat dibandingkan masyarakat lain. Karena unggul, maka menerima banyak fasilitas, kelebihan, dan keringanan, sehingga menjadi lebih produktif daripada yang 80%. Ketika hal ini dilakukan, hasilnya mempertegas teori Pareto bahwa yang 20% memang menghasilkan 80% dari total penerimaan.

Pertanyaannya: mengapa teori Pareto benar? Ada asumsi-asumsi yang melandasi teori ini. Yang pertama, kita melihat bahwa Pareto menuliskan teorinya saat dunia ada dalam perkembangan industri, dari modernisasi yang pesat. Di tahun 1916, waktu Pareto meluncurkan Mind and Society, tahun itu juga Albert Einstein mempublikasikan teori Relativitas Umum. Dunia bergerak dengan kapitalisme pasar, pembagian pekerjaan, dan sistem distribusi. Pemikir bisnis yang mengangkat teori Pareto ini – namanya Joseph M. Juran – juga melihat dunia bisnis dalam gerakan yang sama, yaitu gerakan modern. Inilah jaman modern!

Hanya saja, jaman berubah. Sebelum jaman modern, orang tidak mengenal pemikiran tentang 20/80, karena kehidupan kebanyakan orang berdasarkan pertanian, perikanan, dan hasil hutan, hidup dari alam. Setelah jaman modern – yaitu jaman post-modern – apakah pemikiran tentang 20/80 masih tepat?

Kesulitannya, jaman tidak berubah secara drastis. Lihatlah, bukankah saat ini pun masih ada masyarakat agraris, yang ketinggalan jaman? Mereka bercocok tanam, dan tidak berpikir bahwa 80% hasil panen diberikan oleh 20% bibit atau lahan tanam. Di saat yang sama, ada juga orang-orang yang sudah memasuki fase baru yang meninggalkan prinsip-prinsip bisnis modern. Dengan teknologi komunikasi dan komputer saat ini, dengan adanya Web 2.0, bangkitnya generasi Net, munculnya revolusi ekonomi dan sosial, di sana pun pikiran 20/80 tidak muncul.

Ada dimanakah kita sekarang berada? Jika kita masih berdiri dan berjalan di alam modern, dengan sistem ekonomi abad 19 dan 20 masih berjalan, maka kita akan menemukan teori Pareto menjadi prinsip yang "universal" di segala aspek kehidupan modern. Orang merasa bahwa itu adalah "kebenaran" yang mutlak dan tidak perlu dipikirkan lagi. Tetapi, ketika kita mulai melangkah dalam tatanan ekonomi baru yang timbul sekarang ini, asumsi dasar teori ini telah berubah dan kebenarannya bisa dipertanyakan.

Lihat saja, bagaimana dunia menjadi terbuka (openness), dimana hubungan bukan lagi atasan-bawahan melainkan rekan-rekan (peering), di mana orang saling berbagi (sharing), dan semuanya berkolaborasi menghasilkan sesuatu. Kita sudah melihat munculnya Wikipedia.org, sebuah ensiklopedi yang saat ini paling banyak diakses melampaui ensiklopedi lainnya. Kita melihat adanya Flickr.com, yang menyediakan dan membagikan foto-foto berkualitas profesional. Kita juga melihat InnoCentive.com, dimana masalah dibagikan dan solusi diadu dan dihargai setiap hari. Dalam dunia baru ini, banyak asumsi tidak lagi berlaku. Orang tidak lagi menjadi bagian dari "tokoh" utama yang menghasilkan 80%, karena sekarang hasil diberikan oleh kolaborasi banyak pihak yang bebas satu sama lain.

Seperti apa perbandingannya di dunia baru? Kita tidak dapat mengatakannya; kemungkinan besar dalam model baru ini tidak ada lagi perbandingan. Karena dalam model baru, yang disebut "pelanggan" juga bisa menjadi "penjual", dan "hasil" adalah upaya kolaborasi bersama yang terus menerus diperbaharui untuk kepentingan bersama. Tidak ada lagi kelas elite. Kesetaraan terjadi di mana-mana; tak ada cara untuk menentukan siapa yang menghasilkan apa secara individual, ketika semuanya adalah hasil kolektif.

Kita perlu memikirkan ulang tentang apa yang kita kerjakan, apa yang akan kita raih dan bagaimana mencapainya. Jika kita masih berpikir dalam kerangka individualisme jaman modern, kemungkinan besar prinsip Pareto masih tetap berlaku, ketika kita mempunyai armada 100 orang salesman seperti contoh di atas. Namun lihatlah bahwa jaman berubah, siapa tahu sekarang ini yang menjadi penjual adalah pelanggan – hasil memberikan hasil, dikendalikan oleh sistem yang berlandaskan teknologi Web 2.0.

Satu pertanyaan terakhir: masihkah kita dapat mengatakan bahwa 20% dari pembaca artikel ini menjadi pelaku yang menghasilkan 80% perubahan? Hanya Tuhan yang tahu...

Tidak ada komentar: