Cari Blog Ini

24 September 2009

Risk & Control

Di mana letaknya kunci keberhasilan suatu tindakan investasi? Sebenarnya, pelajaran terutama menjadi investor adalah perihal mengatur masa depan. Kita senang mengendalikan masa depan, bukan? Walaupun banyak orang bicara tentang perubahan, bahwa dunia selalu berubah dan tidak ada yang sama, nyatanya orang bekerja berdasarkan pemahaman bahwa masa depan akan datang dengan suatu keadaan tertentu yang bisa diperkirakan dengan tepat. Pikirkanlah.

Bayangkan, kita sedang bermain basket. Saya ada di belakang, sedang Anda sudah mengambil posisi di titik tengah lapangan. Bola ada pada saya. Setelah melakukan dribble beberapa kali seraya menghindari pemain depan lawan, saya melontarkan bola ke muka. Tidak persis ke tengah, tetapi arahnya sedikit serong ke kanan, karena saya harus menghindari pemain lawan yang mau merebut bola. Anda melihat saya melepas bola, langsung mengejar ke kanan. Ambil posisi. Bola ditangkap dengan sempurna, langsung diteruskan ke muka pemain depan. Ia lompat ke depan melewati pemain belakang, menangkap, melompat ke arah ring…slam dunk! Score untuk tim kita!

Nah, pikirkanlah permainan ini. Ketika saya melepaskan bola dari tangan, Anda ada di posisi yang salah. Kalau Anda hanya berdiri di sana, bola tidak akan dapat ditangkap. Berkat latihan yang intensif, Anda bisa langsung memperkirakan di mana bola akan jatuh, sehingga langsung ambil posisi. Langsung mempersiapkan kedua lengan terjulur, menangkap bola dengan sempurna. Apakah saat bergerak Anda sudah tahu pasti bahwa bola akan jatuh di tempat yang diperkirakan? Nyatanya, kadang-kadang meleset juga, bukan? Lokasi bola jatuh adalah masa depan, tetapi gerakan Anda dalam sepersekian detik itu menentukan bagaimana masa depan akan terjadi, apakah Anda bisa tangkap bola atau tidak.

Anda juga melanjutkan dengan melakukan hal yang sama: saat itu posisi pemain depan masih belum tepat. Tetapi Anda sudah mengoper bola ke posisi di mana ia seharusnya kemudian berada, untuk menangkap dan menjaringkan bola ke ring. Kalau Anda melemparkan bola ke posisinya semula, ia bisa tangkap bola itu tetapi tidak bisa meneruskan ke ring, karena tertahan pemain belakang lawan. Anda harus lemparkan ke depan.

Untuk membuat keputusan-keputusan itu, kita semua belajar beberapa hal; ada yang dari pengetahuan khusus, ada juga dari pengalaman. Kita belajar bagaimana kekuatan otot kita melempar; otot kuat menimbulkan daya dorong yang lebih besar dan bola bisa lebih jauh dilontarkan, sebaliknya kalau otot kita lemah, lemparan pendek lebih disukai. Kalau otot kuat maka bola dari belakang bisa langsung dioper ke depan. Kalau otot lemah maka kerja sama tim harus lebih erat untuk banyak operan-operan pendek.

Lihat, tidak banyak berbeda dengan investasi, bukan? Dalam lemparan bola, berlaku hukum-hukum fisika berikut besaran-besaran seperti percepatan gravitasi bumi yang besarnya tetap 9,8 m/det2. Dalam investasi, orang berpikir bahwa ada hukum-hukum ekonomi berikut parameternya, yang bekerja dengan suatu aturan tertentu.

Katakanlah, misalnya hubungan antara inflasi dengan tingkat pengembalian atau yield obligasi. Kalau inflasi naik, maka pengembalian obligasi akan naik. Kenapa? Karena, kenaikan inflasi akan mengundang bank sentral menaikkan tingkat suku bunga. Akibatnya, orang melepaskan obligasinya dengan harga lebih murah untuk mengejar real
return yang positif, yang berarti yield obligasi lebih tinggi. Lebih jauh lagi, dana masyarakat akan terhisap ke instrumen pasar uang, sehingga mengendurkan jual beli saham, sehingga indeks saham menjadi turun. Itu berarti pasar mengalami hambatan permodalan, di mana tingkat ekonomi tertekan - berkaitan dengan PDB secara keseluruhan.

Sebelum diteruskan, semoga Anda paham bahwa yang disebut real
return adalah besar tingkat pengembalian yang sebenarnya, yaitu besarnya nominal suku bunga dikurangi inflasi yang terjadi. Kalau tingkat suku bunga simpanan 8% dan inflasinya 6%, real return adalah 2%.

Sampai di sini kelihatannya mudah, sebelum kita menyelidiki lebih jauh tentang bagaimana angka-angka itu muncul. Inflasi dihitung berdasarkan statistik – tapi statistik apa? Di Indonesia, seperti juga di Eropa, inflasi dihitung dari total konsumsi dan memasukkan harga makanan dan energi. Ini disebut sebagai headline inflation. Ada pandangan yang menunjukkan bahwa fluktuasi yang besar dari harga makanan dan energi menuntut intervensi Pemerintah, antara lain substitusi, sehingga pada akhirnya headline inflation tidak menunjukkan kondisi ekonomi yang sebenarnya. Pilihan lain Pemerintah adalah membuat perhitungan inflasi yang tidak memasukkan harga konsumsi yang fluktuatif, disebut sebagai core inflation. Ini adalah pilihan yang diambil oleh Pemerintah Amerika Serikat. Mereka menganggap cara ini lebih tepat menunjukkan situasi ekonomi.

Ketika kemarin ini harga minyak bumi meningkat, bank sentral Eropa – juga Indonesia – melihat inflasi mereka meningkat tajam. Di Amerika, perhitungan inflasinya justru merendah, mengarah ke deflasi. Yang di sini sudah bergerak menahan inflasi dengan menaikkan suku bunga. Yang lain bertahan dengan tingkat suku bunga yang rendah. Sekarang, bagaimana dengan harga obligasi? Harga obligasi di Eropa bergerak menurun, sementara harga obligasi di Amerika – treasury bonds – bergerak menaik. Bagaimana reaksi para penerbit obligasi, terutama dari korporat?Jangan heran, dalam krisis moneter yang lalu, harga obligasi korporat menjadi aneh (untuk mengetahui lebih lanjut, silakan cek http://video.forbes.com/fvn/finadnet/milking-the-muni-bond-anomaly).

Intinya: apa yang dipandang sebagai "hukum ekonomi" ternyata berubah dalam pengaruh finansial global. Dahulu, para penguasa dapat mengendalikan ekonomi negara dengan cara yang relatif lebih pasti, saat bank sentral dapat melangkah menenangkan pasar. Mereka mempunyai kendali yang lebih besar untuk menahan tingkat resiko yang rendah, sambil terus meningkatkan hasil investasi. Tapi sekarang kendali itu semakin lama semakin tidak efektif. Kalau instrumen yang seharusnya cukup stabil seperti obligasi menjadi lebih volatile – harganya turun naik – tanpa terduga, apa jadinya dengan efek seperti saham yang memang bersifat volatile?

Krisis global melihat bahwa investasi dalam saham menuntut pemahaman baru, karena sekarang harganya bukan saja turun melainkan dapat lenyap padahal beberapa minggu sebelumnya masih berharga tinggi. Inilah yang terjadi dengan berbagai bank dan lembaga keuangan (ingat Lehman Brothers?), sehingga nilai saham sektor finansial Amerika dan Eropa terjungkal jatuh. Siapa yang mau memegang saham perbankan di masa-masa seperti ini? Malangnya, hal ini juga berarti bank dan lembaga keuangan mempunyai masalah untuk memperoleh tambahan modal yang mereka butuhkan. Bahkan di antara bank-bank, ketidakpercayaan semakin tinggi sehingga tidak ada bank yang mau memberikan pinjaman kepada bank lain – hal yang sebenarnya sangat umum di masa-masa normal.

Bank mempunyai fungsi menjadi katup-katup likuiditas – memberikan pinjaman cair yang dibutuhkan dunia usaha. Ketika bank-bank bermasalah, usaha-usaha juga mengalami masalah – terutama usaha yang mengandalkan perputaran modal dari bank. Maka sekarang bukan hanya sektor finansial yang beresiko tinggi, semua sektor mempunyai masalah besar seperti orang yang mengalami penyempitan pembuluh darah jantung.

Itulah sebabnya, Pemerintah AS begitu lancar menyuntikkan dana-dana talangan untuk mempertahankan bank dan lembaga-lembaga keuangan. Hal ini dalam jangka pendek terbukti berhasil – nyatanya sekarang Ben Bernanke, ketua The Fed menyatakan bahwa resesi di Amerika berakhir. Namun dalam jangka panjang, konsekuensi dari melimpahi likuiditas ke pasar dalam jumlah besar, dilakukan dengan berbagai macam cara termasuk mencetak banyak uang, dapat berarti masalah baru seperti inflasi tinggi dan tidak terkendali. Itu PR besar bagi Ben: membalikkan apa yang telah pemerintah AS lakukan setahun belakangan ini.

Apa yang dapat dilakukan untuk menyerap kembali likuiditas? Jika dahulu langkah-langkah bank sentral dapat diyakini mengendalikan kondisi moneter, sekarang langkah yang sama tidak lagi se-efektif dahulu. Penurunan kendali membuat tingkat resiko yang meningkat – di sisi lain memberi kemungkinan memperoleh keuntungan yang lebih tinggi. Higher risk, higher gain.

Kenyataannya, jumlah total dana kekayaan yang diinvestasikan di seluruh dunia, termasuk di antaranya kekayaan minyak Timur Tengah dan keajaiban industri China, bernilai jauh lebih besar dibandingkan total investasi beresiko rendah yang ada. Bagi para pengelola hedge fund, dana ekuitas privat, dan manajer kekayaan, permainannya adalah mengelola resiko tinggi untuk hasil yang tinggi. Mereka yang jumlahnya relatif kecil ini mengelola dana besar beresiko besar dan berpendapatan besar, sementara puluhan juta investor lainnya mengelola dana yang kecil, berpendapatan kecil sampai sedang, dan beresiko besar. Mengapa? Gerakan para ahli ini memaksa semua orang memainkan permainan mereka, mengikuti prinsip "orang bodoh mengikuti orang pintar".

Bagaimana dengan Indonesia? Walaupun pasar efek berada di Indonesia, permainannya juga adalah mengikuti pemain asing. Salah satu alasannya adalah besaran dana; bagi pemain lokal, dana yang mereka miliki terbatas. Bagi orang Indonesia, mempertaruhkan uang sebesar Rp. 1.000.000.000.000 (Satu Trilyun Rupiah) adalah hal yang sukar. Bagi fund manager asing yang rekeningnya dalam mata uang US dollar, uang sebesar USD 100.000.000 (Seratus Juta US Dollar) tidak terlalu besar atau sukar dipertaruhkan. Bagaimana orang Indonesia bisa mengendalikan pasar yang kini terbuka bagi dunia? Tidak bisa; akhirnya pemain yang bermodal pas-pasan selalu harus mengikuti sang petaruh besar.

Cara yang lebih cerdas sebenarnya adalah belajar mengambil bagian dalam investasi dunia, dengan demikian dapat membatasi diri dari paparan resiko pasar. Sayangnya, penduduk dan pemerintah Indonesia nampaknya belum mengapresiasi situasi ini dengan baik; sebaliknya banyak yang berupaya untuk menutup diri dari keterlibatan kepada pasar dunia. Pemikiran yang timbul adalah situasi serba-ekstrim: kalau tidak berinvestasi seluruhnya di luar negeri, maka sama sekali tidak berinvestasi di luar negeri. Padahal, salah satu prinsip pengelolaan resiko dan hasil adalah dengan diversifikasi. Lakukan sebagian di sana dan sebagian lagi di sini. Yang dibutuhkan adalah pemahaman yang lengkap, komprehensif, mengenai apa yang patut diambil dan harus dihindari – bukan semua yang ada di luar negeri adalah tempat berinvestasi yang baik.

Akhirnya, kita berpikir bahwa kita bisa mengendalikan keuangan kita – tapi pertimbangkanlah satu hal ini, bahwa esensi dari keberhasilan pengendalian adalah keberhasilan menghindari resiko-resiko. Jika Anda mampu mengendalikan mobil dengan baik, maka mungkin mobil itu tidak melaju secepat yang Anda mau tapi tidak ada tabrakan atau kecelakaan yang terjadi. Perhatikanlah, saat ini banyak orang yang mengalami kegagalan finansial yang parah: mereka gagal menyekolahkan anaknya, gagal membayar tagihannya, gagal mendapatkan rumah bagi keluarga – dan satu kesamaan dari orang-orang ini adalah mereka menganggap diri sebagai "penghindar resiko". Mereka lupa, bahwa selain ada resiko dalam melangkah, ada juga resiko di dalam tidak melakukan apa-apa.

Hari ini keadaannya begitu membingungkan, bahkan bagi para pemain kawakan. Semakin banyak analisa-analisa ekonomi yang meleset, dan intuisi serta tebakan yang ngawur; siapa yang masih bisa menyebut dirinya "ahli" sekarang ini? Hadapilah kenyataan, bahwa kini kita membutuhkan pemahaman atas diri kita, atas tujuan-tujuan kita, dan pilihan yang bisa kita ambil demi diri kita sendiri. Kalau pemahaman itu belum ada, mintalah bantuan orang-orang yang bisa mempelajari situasi, Perencana Keuangan yang dapat dipercaya untuk memberi nasehat yang sesuai, bukan hanya ikut-ikutan.

Resiko dan kendali – itulah yang kita perlu pikirkan sekarang!

Tidak ada komentar: