Dengan perkembangan terkini di dalam ekonomi global, pertaruhan yang besar adalah apakah globalisasi akan terus berlanjut, atau terhenti di dalam proteksionisme. Secara populer, di saat krisis terjadi seperti sekarang tidak banyak yang menyukai ide untuk terus mengembangkan globalisasi. Para politikus memanfaatkan kesempatan ini untuk menegaskan kembali "jati diri bangsa" dan membuat batasan-batasan yang lebih ketat untuk membatasi "pengaruh global" yang berpotensi merugikan bangsa dan negara.
Satu hal yang perlu dicermati di sini adalah: apa peran orang-orang Kristen di dalam kekisruhan ekonomi? Jawaban yang diambil, antara lain, adalah sikap pasrah dan membiarkan apa yang terjadi, terjadilah – kita hanya berdoa dan "melakukan kehendak Tuhan", yaitu menyelesaikan tugas yang lebih mudah dikerjakan seperti memberi persepuluhan dengan disiplin. Nah, tentang memberi persembahan tidak ada hal yang salah mengenai memberi persepuluhan, tapi masalah sebenarnya adalah ketidak-pedulian terhadap situasi yang sedang berkembang. Itukah apa yang disebut "melakukan kehendak Tuhan"?
Pernahkah terpikir, mengapa globalisasi menjadi begitu penting? Kunci pemahaman atas hal ini adalah pengetahuan tentang produktivitas manusia. Perhatikanlah: setiap negara mempunyai pengukuran Produk Domestik Bruto alias PDB, tetapi bagaimana PDB itu muncul merupakan isu yang berbeda. Ada PDB yang muncul dari alam, produksi komoditas yang berlimpah karena alam yang kaya raya seperti Indonesia. Ada PDB yang muncul dari hasil manufaktur yang berkembang pesat, seperti di China yang rata-rata PDB nya di atas 9% dalam satu dekade terakhir. Ada juga PDB yang muncul dari sektor jasa, seperti yang terjadi di Amerika dan Eropa.
Berkaitan dengan globalisasi, kita lihat bahwa sektor-sektor yang berkaitan dengan produk agraria dan manufaktur cenderung diatur dan diawasi, termasuk diproteksi. Kalau kita bicara tentang proteksionisme, objek bahasannya adalah komoditi dan hasil manufaktur. Bagaimana dengan sektor jasa? Globalisasi dimulai dari jasa-jasa yang melintas negara, diikuti dengan permodalan. Sebenarnya, kalau tidak ada jasa finansial yang mengatur perpindahan modal lintas negara, tidak akan terjadi globalisasi. Kalau tidak ada jasa yang mengatur perdagangan, atau disebut trade broker, dari dulu pembeli dan penjual yang berbeda benua tidak akan pernah bertemu.
Seluruh sektor jasa bertumpu pada relasi yang terjadi antara orang yang satu dengan lainnya, berkaitan dengan apa yang dilakukan oleh manusia untuk mempengaruhi manusia lain. Kita mengenal jasa seperti dunia hiburan dan film, yang bukan saja memberi kesenangan melainkan juga menciptakan trend tertentu di masyarakat. Kita mengenal jasa pendidikan, yang menyebar-luaskan pemikiran-pemikiran, filosofi, dan ideologi. Kita mengenal jasa pelayanan kesehatan. Dan secara global, kita menemukan jasa layanan finansial, yang memberikan globalisasi ekonomi dunia menjadi kenyataan.
Ketika sebuah negara mendasari PDB nya dari jasa, terutama jasa finansial, maka negara itu menjadi dominan dalam globalisasi. Itulah sebabnya kita temukan Amerika, Inggris, Jerman dan Swiss menjadi pemain besar dalam globalisasi dunia. Mereka selama beberapa dekade menikmati peningkatan kemakmuran yang tinggi dari globalisasi. Mereka menjadi tempat-tempat yang dipercaya sebagai pemberi jasa finansial terkemuka. Itulah sebabnya, ketika krisis subprime mortgage terjadi, sangat banyak pihak yang terkejut – bukan hanya karena runtuhnya nilai subprime mortgage, melainkan karena hilangnya kepercayaan kepada lembaga-lembaga keuangan dan akhirnya kepada negara yang mewadahi lembaga-lembaga tersebut.
Subprime mortgage adalah surat gadai yang dibawah prima, alias kelas dua. Tetapi para pengelola dana mengambil surat hutang itu, kemudian melakukan sekuritisasi dan memasukkannya dalam wahana investasi terstruktur kelas satu yang dianggap aman dengan asumsi bahwa aset tanah dan bangunan, biar bagaimanapun juga, tidak akan turun nilainya. Tentu saja ini adalah asumsi yang salah, tetapi menguntungkan mereka yang bekerja sebagai penyedia jasa finansial dalam bentuk komisi dan kompensasi biaya transaksi. Pertanyaannya: mengapa badan regulator dari Pemerintah seperti The Fed membiarkan hal serupa ini terjadi? Kalau orang bisa manipulasi dalam subprime mortgage, apakah mereka dapat melakukan manipulasi dalam hal lainnya, seperti Ponzi scheme yang dilakukan oleh Madoff? Apakah di kemudian hari, Pemerintah negara itu tetap akan membiarkan manipulasi dilakukan sampai dampaknya menjadi besar dan tidak terelakkan?
Masalah krisis global sebenarnya bukan soal produk yang cacat. Ini adalah masalah kepercayaan, soal integritas – karena sekarang orang menemukan bahwa ada banyak alasan bagi para pelaku ekonomi untuk tidak berintegritas. Apa alasan seseorang bersikap jujur, kalau ketidak-jujuran menghasilkan keuntungan cepat dan langsung? Toh perubahan begitu cepat terjadi, sehingga pembahasan mengenai jangka panjang tidak lagi relevan.
Sikap berintegritas akhirnya menjadi bagian dari karakter, yang dilandasi oleh nilai dan prinsip yang dianut seseorang. Darimana orang-orang mendapatkan nilai dan prinsip-prinsip dalam hidupnya? Apa yang menjadi sumber nilai dan prinsipnya?
Suka atau tidak suka, disinilah kita menemukan peran agama dalam diri manusia. Agama memberikan nilai dan prinsip, serta bagaimana karakter dibentuk. Secara fundamental, agama Kristen menjadi bagian dari budaya negara barat, termasuk Amerika, Inggris, Jerman, dan Swiss – sehingga walaupun sebagian penduduknya mungkin tidak memiliki kepercayaan yang mendasar kepada Kristus sebagai Juruselamat, mereka menerima nilai dan prinsip yang muncul dari kepercayaan itu. Agama Kristen menjadi landasan budaya yang mengutamakan keterbukaan dan kejujuran, serta kasih sebagai landasan dalam hubungan antar manusia. Hukum emasnya adalah "lakukanlah kepada orang lain apa yang engkau ingin orang lain lakukan kepadamu." Di sinilah inti dari integritas,
Sejarah agama Kristen dalam negara-negara Barat telah begitu lama, berabad-abad, sehingga menjadi tradisi dalam bersikap dan bermasyarakat. Sayangnya, dengan filosofi baru yang muncul sejak "abad pencerahan", baik itu rasionalisme dan naturalisme, kemudian liberalisme dan eksistensialisme, keyakinan masyarakat turut berubah, apalagi setelah trauma yang muncul dari perang dunia, PD 1 dan PD 2. Di satu sisi, usaha manusia menemui perkembangan yang menakjubkan dari teknologi dan kemajuan kemanusiaan – ditandai dihapusnya perbudakan dan pernyataan tentang kesetaraan. Di sisi lain, dasar keyakinan iman menjadi sesuatu yang kuno, yang tidak masuk akal. Agama Kristen menjadi sebuah petunjuk tentang hidup yang baik, namun bukan sesuatu untuk sepenuhnya dipercayai.
Yang banyak orang tidak sadari adalah hal ini: perilaku manusia diarahkan oleh tujuannya, yang muncul dari relasi yang dimiliki manusia itu. Relasi pribadi antara manusia dengan TUHAN melalui kepercayaan kepada Kristus menimbulkan tujuan yang jelas – hidup kekal bersama Tuhan – serta mendefinisikan perilaku yang sesuai, seperti menjaga kekudusan dan memelihara kesetiaan, dalam kebenaran dan keadilan.
Ketika kepercayaan itu ditolak, maka perilaku yang mengikuti tradisi sebenarnya hanya meniru contoh saja, mengikuti teladan dari orang tua. Saat orang tua terdahulu masih memegang kepercayaan dengan sepenuh hati, mereka mengajar anak-anak untuk berperilaku benar dan melihat bagaimana semua itu menciptakan masyarakat yang tertib dan baik. Namun saat anak-anak kehilangan kepercayaan, yang mereka lihat hanyalah suatu sebab-akibat antara perilaku dan kemasyarakatan. Orang memiliki tujuan-tujuan yang lebih pragmatis seperti menginginkan kekayaan dan kenikmatan, dan hidup yang bebas dari perang. Perlahan tapi pasti, kepentingan-kepentingan finansial dan politik membentuk sikap hidup yang sama sekali berbeda. Kini kebenaran menjadi sesuatu yang relatif, karena tidak lagi didasarkan pada keyakinan iman. Demikian juga dengan turunannya seperti integritas, yang kini mengalami pergeseran makna.
Haruskah kita benar-benar terkejut ketika menemui orang-orang yang telah lolos uji sebagai pengelola perbankan, yang memiliki segala integritas yang dibutuhkan, ternyata melakukan penipuan-penipuan? Ketika kebenaran menjadi relatif, orang tidak lagi tahu seberapa jauh sebenarnya mereka telah hanyut dalam manipulasi yang dibuat secara sistematis. Setiap orang melakukan satu penyimpangan kecil, yang kalau dilihat secara individual tidak berarti namun secara kolektif menjadi sangat berbeda. Skala permasalahan krisis finansial yang terjadi bukan dibentuk dalam satu atau dua bulan, melainkan telah ditanamkan selama bertahun-tahun.
Pada akhirnya, kita melihat bahwa peran Kristen dalam perekonomian telah memudar sedemikian rupa, digantikan oleh pertemuan berbagai kepentingan dan kekuasaan. Semula orang hidup dalam suatu ilusi bahwa integritas dan sifat dapat dipercayai, sesuatu yang dibangun dalam tradisi Kristen selama berabad-abad, masih tertanam dalam para pelaku ekonomi yang juga dapat dipercayai. Tetapi, krisis demi krisis menunjukkan hal yang sebaliknya – menimbulkan pertanyaan: saat ini siapa yang masih dapat dipercaya?
Bayangkan apa yang terjadi saat sifat dapat dipercaya menghilang dari usaha jasa, yang bertumpu pada kepercayaan. Orang meragukan keamanan dananya yang disimpan dan diinvestasikan di surat berharga di Amerika dan Eropa. Ketika G20 bertemu di Pittsburg, orang-orang berdemonstrasi dan menolak – yang berangkat dari ketidakpercayaan atas ketulusan niat dan tujuan pemerintah-pemerintah yang berunding. Apakah ketidakpercayaan hanya dalam hal keuangan saja? Tidak, kecurigaan muncul dalam urusan pendidikan (sekolah yang berbisnis), dalam urusan kesehatan (memeras orang), dan bahkan juga hiburan (awas propaganda terselubung). Peristiwa bangkrutnya Lehman Brothers menjadi contoh yang diulang-ulang oleh banyak orang untuk mengingatkan betapa perusahaan besar di Amerika tidak bisa dipercaya. Lalu, siapa yang bisa dipercaya? Apa yang bisa dipegang?
Berbagai Pemerintah berusaha mempertahankan kepercayaan dengan memberikan jaminan bagi sistem finansialnya, tetapi uang tidak bisa membeli sifat bisa dipercaya. Sebaliknya, justru kucuran uang mendatangkan para pengeduk keuntungan. Siapa yang bisa memastikan bahwa kucuran dana talangan (bail-out) seluruhnya sampai ke sasaran? Yang lebih menakutkan adalah kenyataan bahwa dana itu diperoleh dengan cara mencetak uang lebih banyak; saat ini ratusan miliar dollar telah dicetak dan disuntikkan untuk menyokong sistem finansial di Amerika dan Eropa. Dalam jangka panjang, hal ini menimbulkan resiko inflasi yang tinggi, yang justru menurunkan tingkat kepercayaan. Tidak heran, hari ini beberapa pihak mulai berpikir untuk melepaskan dolar Amerika. Tidak ada yang mau turut mengalami kerugian saat gelombang masalah kedua datang melanda negara Paman Sam ini.
Kekacauan dari ketidakpercayaan bukan hanya berhenti di Amerika, tetapi juga mempengaruhi seluruh tatanan globalisasi. Peran kekristenan yang tidak lagi signifikan dalam kehidupan digantikan oleh manipulasi dan permainan kekuasaan, kini mendatangkan akibat yang menakutkan orang untuk berelasi dengan orang lain. Kembali kepada awal dari tulisan ini, ketidakpercayaan telah membuat orang tidak lagi menyukai globalisasi, walaupun sejarah membuktikan globalisasi mendatangkan kemakmuran.
Kita kini masuk dalam alam finansial yang baru...dimana yang bisa dipercaya adalah mereka yang dekat, yang lokal, perusahaan-perusahaan swasta nasional (maaf, tapi saat ini perusahaan milik negara masih dicurigai penuh korupsi). Apakah orang-orang Kristen saat ini dapat membuat perbedaan? Tuhan yang memampukannya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar